
Rasanya seperti baru kemarin, ketika saya mencemplungkan diri masuk ke lubang sedalam dua setengah meter –yang tersusun menjadi dua tingkat– sambil menopang leher Papa dalam balutan kain putih bersih, sementara dua orang tetangga lainnya membantu menyangga bagian tubuh dan kaki Papa. Setelah membaringkan Papa untuk yang terakhir kalinya, saya beranjak naik satu tingkat ke atas. Kain hijau bertuliskan nama Allah membentang di atas saya, meneduhkan kami untuk sesaat. Membayangkan wajah Papa yang tenang dan tersenyum di hari akhirnya, entah bagaimana membuat saya sedikit lebih tenang. Di pusara yang masih basah tersebut saya mengumandangkan adzan diantara desak tangis, mengantar kepergian Papa ke perjalanan abadinya. Allahu Akbar Allahu Akbar … La Ilaha Illallah. Dimulai dari Allah, dan kembali pada Allah.
Manusia.
“Aku di sini saja, nungguin Ibuk.” Ucap Papa, dalam sebuah piknik keluarga beberapa bulan sebelum kepergiannya. Ibu, adalah panggilan untuk ibu dari Mama, atau mertua Papa, nenek saya.
Saya tak tahu, apakah itu adalah alasan sebenarnya, atau mungkin saja Papa memang sudah merasa tidak kuat berjalan mendaki bukit-bukit yang memisahkan candi-candi di Komplek Candi Gedong Songo Kabupaten Semarang. Saya bersama Mama juga beberapa saudara yang lain, termasuk Rico, pun mulai menjelajah Candi Gedong Songo, termasuk menyempatkan mampir di kolam mata air belerang untuk membasuh kulit. Setibanya kembali, saya mendapati Papa yang sedang berbincang sambil bercanda bersama Ibuk. Semua rasanya seperti baru kemarin.
Tahun sebelumnya, keluarga saya bersama keluarga Rico dan Ibuk, memutuskan untuk berlibur di Kawasan Wisata Umbul Sidomukti Kabupaten Semarang. Kawasan yang terletak di kaki Gunung Ungaran ini memiliki sejumlah hiburan yang komplit termasuk bagi orang yang menyukai tantangan dan petualangan, seperti Si Bolang, Dora, dan saya. Mulai dari wahana flying fox yang menghubungkan dua bukit dengan jurang setinggi 70 meter di bawahnya, marine bridge menyeberangi tangga tali di atas jurang, hingga ATV dan trekking melintasi sawah-sawah yang saat itu tumbuh hijau dan segar. Kembali, Papa tidak ikut mencoba flying fox dan marine bridge, dan memutuskan untuk menonton dari kejauhan. “Aku di sini saja, sama Ibuk.” Jawab Papa, si menantu kesayangan Ibuk.
Rasanya seperti baru kemarin, ketika di awal tahun 2007 –saat itu saya masih magang pada sebuah instansi di Semarang– kami sekeluarga memutuskan untuk pergi mengunjungi sebuah pemancingan dan menikmati makan siang bersama. Papa seperti biasa, memesan karedok kesukaannya. Sementara saya seperti biasa, menghabiskan karedok pesanan Papa. Dan Mama seperti biasa, membayar karedok yang dipesan Papa dan dihabiskan oleh saya. Kami adalah keluarga kecil yang bahagia.
Beberapa bulan sebelumnya, Papa, Mama, Ibuk, datang ke Jakarta dalam rangka wisuda saya. Saya, adalah cucu pertama Ibuk, juga merupakan anak pertama (dan satu-satunya) dari Papa dan Mama. Air muka bahagia terpancar dari wajah mereka ketika melihat saya mengenakan toga (dan celana yang literally) kebesaran, diwisuda bersama ribuan orang lainnya. Saya tak tahu pasti, tapi saya merasakan bahwa itu adalah momen yang membahagiakan untuk Papa dan Mama. Dengan prestasi dan wajah yang pas-pasan, saya bersyukur dan bangga dapat membahagiakan orang tua, termasuk orang tua dari orang tua saya. Orangtua-ception.
Acara sehabis wisuda adalah touring, ya, Papa yang waktu itu membawa mobil Xenia merah kesayangannya –mobil pertama yang berhasil dibelinya dalam keadaan baru, bukan bekas– memutuskan untuk menempuh jalur lain menuju Semarang, sekaligus berwisata bersama. Rute kali itu adalah Jakarta – Puncak – Bandung, sebelum akhirnya kembali ke Semarang. Tentunya tidak dalam sehari penuh, namun singgah di beberapa tempat untuk menginap dan menikmati pesona yang disajikan tempat tersebut. Seperti misalnya Taman Safari, Taman Bunga Nusantara, hingga beberapa Factory Outlet di Bandung. Sungguh perjalanan yang akan selalu diingat seumur hidup.
Papa sendiri, bukan merupakan orang yang hobi jalan-jalan, namun penugasan dari kantor seringkali membuatnya bepergian ke beberapa tempat. Tugasnya sebagai peneliti, adalah menulis, atau membuat report tentang kunjungannya ke lokasi-lokasi penugasannya. Lain dengan Mama yang memang suka jalan-jalan, dan kerap mengajak Papa untuk bepergian setiap akhir pekan. Alasannya, karena sudah penat dengan hari-hari kerja, masa weekend kok di rumah juga. Kombinasi Papa yang suka menulis, dan Mama yang suka jalan-jalan, telah menghasilkan anak yang rajin mengaji, semasa di TPA.
Rasanya seperti baru kemarin, saat Papa berpamitan di bandara dan terbang ke Thailand untuk bertugas selama enam bulan pada tahun 1995. Sungguh senang rasanya ketika mendapatkan kartu pos yang dikirimkan Papa dari sana, dan rasanya girang bukan kepalang ketika pada suatu malam Papa menelepon via sambungan internasional (dahulu belum ada Skype, dan kalau pun sudah ada, belum ada sambungan internet di Ungaran), dan mengabarkan keadaannya selama bertugas di sana. Mendengar suara orang yang dicintai setelah terpisahkan beberapa bulan lamanya, merupakan kebahagiaan yang tak dapat dilukiskan dengan kata-kata.
Ketika pulang, Papa juga bercerita bahwa Beliau sempat mampir ke Singapura dalam rangka berlibur di sela-sela kunjungan dinasnya tersebut. Beliau membawa brosur Sentosa Island dan Jurong Bird Park, yang membuat saya hanya bisa terkagum-kagum melihatnya. Beberapa tahun kemudian, saya menetapkan Singapura sebagai negara yang akan saya kunjungi pertama kali setelah mendapatkan paspor. Dan bukan Orchard Road, Raffles Place, atau Geylang yang menjadi tujuan wajib saya kala itu, melainkan Jurong Bird Park. Saya percaya bahwa setiap perjalanan akan meninggalkan kepingan kenangan, yang akan menuntun kita kembali pada perjalanan tersebut. Dan saat itu, saya sedang mengumpulkan kepingan kenangan Papa yang tertinggal di Jurong Bird Park.
Sekadar informasi, kunjungan pertama ke Singapura inilah, yang membuat saya menjadi kecanduan traveling.
Lain lagi cerita ketika Papa mengunjungi Jepang, pada tahun 2.000-an. Saya yang menyukai sepak bola, meminta Beliau untuk membelikan jersey Yokohama Marinos, klub lokal di kota tempat Papa bertugas waktu itu. Namun Papa yang hanya membawa uang pas-pasan tidak membelikan titipan saya, dengan alasan ekonomi. Dan alih-alih membelikan jersey, Papa membelikan saya kaus hitam bertuliskan I ♥ Tokyo “Ini kaus paling murah yang Papa temukan di Jepang.” Ucapnya.
Kaus tersebut sempat menjadi kaus wajib yang selalu saya bawa ketika traveling, karena berisikan semangat dan kepingan kenangan akan Papa. Namun pada perjalanannya, kaus tersebut lama-lama menjadi belel karena banyak disikat dengan deterjen, dan menjadi berlubang kecil karena terlalu sering disetrika dengan suhu yang panas, hingga akhirnya saya memutuskan untuk tidak memakainya lagi, dan menyimpannya di dalam lemari. Namun kabar baiknya, kaus tersebut telah pergi ke tampatnya berasal, yaitu Tokyo. Tempat yang sama di mana Papa pernah berada dulu.
[PS: Baca kisah lengkapnya pada buku The Journeys 3 yang terbit bulan ini]
Pernah juga pada suatu masa di mana Papa berlibur bersama Mama ke Bromo, ya, tentu saja Mama yang mengajak Beliau berlibur bersama teman-teman kantornya. Saya yang tidak ikut waktu itu hanya bisa mendengar kisah romantisnya, dan mendapat oleh-oleh selembar syal berwarna hitam putih bertuliskan “Bromo”. Beruntung, saya bisa mencicipi Bromo saat liburan lebaran beberapa tahun kemudian –walau tanpa Papa–, sementara syal bertuliskan “Bromo” tersebut menjadi teman baik saya ketika menghadapi musim dingin di Macau.
Rasanya seperti baru kemarin, ketika Papa memergoki saya bolos latihan marching band sewaktu SD, dan menemukan saya bermain arcade game di sudut pesing alun-alun Ungaran. Papa tanpa suara, dengan muka yang merah karena marah, langsung menyeret saya pulang, dan mengurung saya di kamar mandi. Saya menangis meraung, meminta maaf atas kesalahan saya. Papa yang keras, adalah orang yang membuat saya menangis sewaktu kecil, sekaligus membuat saya bersyukur bahwa berkat kedisiplinan dia, saya bisa menjadi seperti saat ini.
Rasanya seperti baru kemarin, ketika saya menemukan sebuah kaset usang di dalam laci meja kerja Papa dan memutarnya di tape merk Aiwa, yang telah menjadi penunggu rumah selama belasan tahun. Suara dalam kaset tersebut, membawa saya kembali ke masa ketika saya baru saja pindah ke Ungaran dan merayakan ulang tahun saya yang ketiga. Ya, suara tersebut adalah suara Papa –yang direkamnya sendiri– ketika mengadakan pesta ulang tahun di rumah mungil kami, dan mengundang para tetangga datang dalam pesta kecil kami. “Selamat ulang tahun, Arif.” Ucap suara parau dalam kaset tersebut, yang disambut sorak sorai dan tepuk tangan yang meriah.
Rasanya seperti baru kemarin, ketika saya menemukan sebuah buku tua dalam tumpukan buku-buku yang tersusun rapi di lemari buku milik Papa. Sebuah buku yang menuliskan catatan kehidupan saya selama beberapa tahun. Sebuah buku yang ditulis dengan tulisan tangan yang rapi, dengan hurufnya yang bersambung, tulisan tangan Papa.
…
Umur tiga tahun, mulai bisa mengeja Bismillah, dengan Bis Lah Him Bis Lah Him.
Umur satu tahun, telah mulai berdiri dan belajar berjalan.
Telah lahir seorang bayi laki-laki dalam keadaan sehat, dengan berat dan tinggi sebagai berikut … di RS Panti Rukmi Pati.
Bayi tersebut kami namakan Muhammad Arif Rahman yang berarti …
…
Rasanya seperti baru kemarin,
ketika seorang pria menyenandungkan adzan di Rumah Sakit Panti Rukmi Pati,
sebagai tanda telah ditiupkannya ruh ke dalam raga seorang manusia,
pria yang kemudian saya panggil sebagai Papa.
Selamat ulang tahun, Pa.
***
For me, people are not dead.
They just transformed from reality to memory.
In memoriam of my beloved father,
Mulyara Rasdani
9 December 1955 – 9 June 2009
***
Tagged: Asakusa, Bromo, Candi Gedong Songo, Jurong Bird Park, keluarga, Mamacation, Papa, Taman Safari, Umbul Sidomukti
pertamax om, ane jg lg ngeblog neh
LikeLike
Hanjer, lu cepet tanggap ya koh.
LikeLike
Merinding bacanya! Selamat ulang tahun, om..
LikeLike
Kak Romie!
*nemplok sambil tiup kupingnya*
LikeLike
Mas geli, mas.. aah enak, mas.. lagi mas.. *kemudian pingsan*
LikeLike
Serius, nahan airmata biar gak jatuh… InsyaAllah Papa-mu berada di tempat yang baik 🙂
LikeLike
Aamiin, terima kasih Eka. Akupun nulisnya sambil nahan airmata, tapi gagal.
LikeLike
lima tahunan dari tanggal posting dan saya baru koment. tapi saya masih ikutan nangis. love this mas arief
LikeLike
Wahhh makasih mbak, really appreciated that 🙂
LikeLike
Your beautiful story brought tears to my eyes…
Thank you for sharing :’)
LikeLike
Ah, you’re welcome Amel. Let’s love our parents when we still have time 🙂
LikeLike
:’) ceritanya mengharukan
itu mas arif masih kurusan x)))
LikeLike
*plak* iya dulu kurusan, mengharukan ya keadaan sekarang :’)
LikeLike
Berdoa untuk papamu mas, semoga senantiasa diberikan tempat terbaik oleh Allah Swt amin 🙂
Btw, foto yang di taman Safari kamu kok keliatan genit gitu ya? hehehe.
LikeLike
Aamiin Om Ndut, semoga Beliau tenang di sana.
Hahaha, aku juga baru sadar pas upload foto itu, tapi gakpapalah namanya juga masih ABG dulu.
LikeLike
Mengharukan! Bagaimana pun saya mengamini kekuatan keping memories ketika melakukan perjalanan. Menjadikan perjalanan yang menyesakkan penuh makna ya.. saya mengalami utk Myanmar/Burma dan Jepang.. Semoga papamu khusnul khotimah dan diberikan tempat terbaik disisiNya. Aamiin YRA
LikeLike
Awh, same here Mbak, rasanya nyess gitu pas ke tempat di mana seseorang yang tinggal di hati kita pernah ke sana.
Aamiin, terima kasih doanya Mbak.
LikeLike
Ya, ya, pagi ini perasaan ini gw diaduk-aduk. Habis baca tulisan yang bikin gw ngakak, lalu baca ini yang enggggg….
selamat ulangtahun, almarhum ayahnya Ariev. Pasti di surga sana cekikikan ngelihat tingkah anaknya. Hahaha..
LikeLike
Umm, Om Adit :’0 maaaappppp…
Hahaha, semoga Beliau betah di sana yah.
Btw, mana link postingan ngakaknya?
LikeLike
Aahh, Ariev…
Kamu bikin aku inget, udah 3 bulan ini ga mengunjungi makam papa yang udah 23 tahun menjadi tempat istirahat kekalnya.
Beruntunglah anak” yang masih punya banyak kesempatan untuk menghabiskan waktu bersama orangtua.
LikeLike
Ah, kakak Nda.
Iya kita harus bersyukur selagi masih diberkati waktu untuk bersyukur bersama orang tua. Habis ini aku juga mau ke makam kak, ngucapin selamat ulang tahun.
LikeLike
:’)
*cuma bisa komen itu
LikeLike
:’) terima kasih sudah mampir dan membaca.
LikeLike
rest In Peace Om, :I. Ull be proud to ur lil knight now, punten btw alm.papa mu peneliti apa riev?
LikeLike
Ah, I hope he is.
Peneliti bidang perikanan sih dulunya, hehehe.
LikeLike
Ohh… Tetep semangat ya, iya beliau hidup di memori hee
LikeLike
TERIMA KASIH 😀
LikeLike
PERFECT! Selamat ulang tahun papa-nya Ariev..
LikeLike
APANYA YANG PERFECT, RON?
Makasih yah.
LikeLike
Jadi pengen cepet2 tanggal 24. Bpk, ibuuuuuu ….aku pulaaaaaannggg. Selamat ulang tahun Papanya Arif 🙂
LikeLike
Akkkk, ayo buruan pulaaangg.. Ini aku di rumah 😀
LikeLike
I like your story
LikeLike
Thanks 🙂
LikeLiked by 1 person
Cerita bagus, bro… Bingung mo comment apa lagi yang pasti ayahmu pasti merasa bangga lihat anaknya yang sekarang :’)
Aiwa jadi inget walkman generasi #90an terus kepo ini Ariev kelahiran mana en tahun berapa hahaha
LikeLike
Wah, makasih masbro, semoga Beliau tenang di sana. Hehehe.
Hahaha, sebenarnya kalau ditelusurin bisa tuh ketahuan umurnya 😀
LikeLike
eh samaan dong kita, lahir di rumah sakit panti rukmi, pati :D. *lossfokus
sending al fatihah for your late beloved father.
semoga Alloh menempatkan beliau di tempat di mana ada sungai2 mengalir di bawahnya. aamiin 🙂
LikeLike
*toss sesama pemuja nasi gandul*
Aamiin, semoga doanya dikabulkan. Al Fatihah ~
LikeLike
Wah. saya suka tulisannya. saya yang membaca aja dapat mendapatkan emosi si penulis. Salut atas cintanya kepada Bapaknya. hiikssss…
LikeLike
Wah, terima kasih Mas Andy, sudah suka sama tulisannya. Salam kenal, Mas.
LikeLike
sebelum comment,
titip doa al-fatihah untuk bapaknya mas
Jika sebelumnya edisi mamacation yang penomenal, kini mucul lagi papacation.
pasti bapak di alam sana bangga dengan tulisan anaknya ini, karena begitu banyak yang kirimkan doa. ceritanya syahdu..
LikeLike
Aamiin..
Al Fatihaah ~
LikeLike
keren tulisannya,,,
ampe nahan air mata deh ini ngebacanya,,,,
LikeLike
Ah terima kasih Rara, aku pun yang nulis juga nahan air mata. Tapi gagal.
LikeLike
Aku terharu bacanya. Happy birthday om! Btw kok ganteng amat dlu pas kurus, kak? :))
ABG2 yg gampang diculik. Muahahaha.
LikeLike
Yoih kan, husni doang mah lewat #eaaa
LikeLike
Bebeb, ternyata kamu dulu pernah kurusan dan agak ngondek *tapi ngomongnya sambil gemeteran nahan nangis*
LikeLike
Makasih beb, itu cuma faktor cahaya kok :’)
LikeLike
:’)
Ikut berdoa, semoga almarhum beristirahat dengan tenang dan diberikan surga-Nya :’)
Happy Birthday Om!
LikeLike
Aamiin, terima kasih Alfira :’)
LikeLike
**hugs
LikeLike
*hugs back*
LikeLike
terharuuuu, anak sayang Papa sayang Mama.
selamat berulang tahun untuk Papanya!
btw, beda banget dulu masih kuyusss…
LikeLike
Ahahaha, namanya juga anak kuliahan belum ada duit jadinya ya segitu badannya. Hahaha.
Terima kasih Yuki, anak mama!
LikeLike
Selalu terharu, dan sedkit iri, ketika mendengar kisah seorang ayah. Semoga papa mas Ariev ditempatkan di tempat yang layak di sisi Allah.
Beruntung kamu masih punya kenangan manis bersama beliau. Aku, bertemu ayah sendiri pun tak sempat di dunia ini.
Sending Al Fatihah untuk mereka di sana 🙂
LikeLike
Ah, malah aku yang terharu baca komen ini, Wir. Aamin, semoga diterima Al Fatihah kita :’)
*brotherhood hug*
LikeLike
ahhh, mas ariv, sukses buat orang nangis. selamat ulang tahun buat almarhum papanya mas 🙂 dan terima kasih telah berbagi cerita ini
LikeLike
Ah, jangan nangis dong, nanti aku ikut nangis lagi.
Eh, terima kasih ya sudah membaca 😀
LikeLike
hayahilahhhh gue mewek di kantor deh :((
LikeLike
Jangan nangis, nangis cuma buat make-up berantakan.
Untung gue gak pakai make up *mewek*
LikeLike
ariev.. jadi nangis nih di kantor :,(
*close window*
*matiin komputer*
*pulang*
And for sure, he’s in a better place right now :’)
LikeLike
Ah jangan nangis gitu dong Mar!
*anterin pulang* *dikepruk suaminya*
LikeLike
hauahaha asiikk ada yang nganterin pulangg \o/ ulalalayeye ~
*dikunci sama suami di depan rumah*
*sama pagernya sekalian*
LikeLike
sediih gak kebayang kalo gw yg ngalamin *peluk papah*
tapi yang kayak gini makin dewasa makin membayangi langkah ya rif, bayangan bahwa kita akan meninggalkan atau ditinggalkan 😥
tapi pose lu yang depan taman safari gengeus banget rif *teteuuppp*
LikeLike
Iya ngondek banget ya fotonya? Hahaha.
Kalau buat gue sih prinsipnya, kalau bisa jangan meninggalkan dunia sebelum orang tua, karena akan membuat mereka sedih. Selagi bisa, ya disenengin tuh orang tuanya. *ikut peluk papah*
LikeLike
Gue baca paragraf pertama aja, langsung takut baca cerita selanjutnya. I have a big weak spot when it comes talking about family.
Lihat gambar-gambarnya aja, dan lu mirip banget ama Almarhum.
LikeLike
Ah kokoh :’) *peluk macho*
Bokap gue sebelum nikah kurus, dan gue belum nikah aja udah gemukan. Hiks.
LikeLike
Yang penting jangan putus doanya ya, brad!
Nice writing, it reminds me to show more affectionate loving to my parents..
LikeLike
Aamin, semoga gak putus-putus kayak ABG pacaran.
Thanks brad, we should do the best to take care of our parents.
LikeLike
Saya terharu kak. Sedih dan sedikit iri dengan kebahagian serta kasih sayang yang luar biasa dalam keluarga kak Ariev.
Saya turut serta mendoakan om di surga senantiasa tersenyum bahagia bangga dengan kakak. 🙂
Selamat Ulang Tahun Om (Telat ya? tidak apa-apa deh) 🙂
#Inspirasi yang luar biasa kak. #Jempol
LikeLike
Ah, terima kasih Mia, menurutku memang sudah sepantasnya kalau keluarga dilingkupi kasih sayang yang besar.
Aamiin, terima kasih untuk doa dan ucapannya. 🙂
LikeLike
Iya kak. Benar sekali.
Masama 🙂
Oia, itu foto saat wisuda kak ‘ganteng’. Ah, jadi tidak sabar pengen wisuda juga 🙂
LikeLike
Hahaha, kamu kuliah/sekolah di mana emang?
Semoga lancar ya 😀
LikeLike
Iya kak saya Kuliah. Saya di Kalimatan Timur. Universitas Mulawarman. Aamiin. Isyaallah Maret wisuda kak 🙂
LikeLike
Aaahh, senang mendengarnya, jangan kayak saya ya. Waktunya wisuda malah jalan-jalan, hahaha.
LikeLike
Kak jurusan apa?
Jalan-jalan setelah wisuda memang asik kak. Beban hilang walaupun sesaat. Hehe,
LikeLike
Aku dulunya akuntansi, Mia.
Iyap, emang enakan jalan-jalan, pas ujian juga enak. Hahaha.
LikeLike
He-em. Wah, Saya paling enggak ngerti akutansi. Hehehe
LikeLike
Papa kamu pasti lagi senyum ngelihat kamu dari atas. :’)
LikeLike
Iya Chik :’)
PS: Selamat ulang tahun ke 62 buat Mama kamu yah.
LikeLike
Makasih Ariev! 😀
LikeLike
ini rabu pagi, di Kantor. berangkat tadi masih cakep *menurut saya* lengkap sama eyeliner (garis item diatas bulu mata -red) yang rapi dan dibikin dengan seksama.
lha kok yo baca postingan ini..
*sluuurrt (ini suara pilek campur nangis -red)
you got me at “menangis meraung waktu dikancingi bapak di kamar mandi”
saya pernah mas. saya pernah. gara-gara magrib2 main pasir di depan mushola.
papa mas ariev di tempat yang paling baik sekarang..
Al Fatihah sent!
LikeLike
Hei, udah gak nangis kan? *rapihin eyelinernya*
Iya, orang tua mungkin pernah melakukan hal-hal yang “kejam” ya tapi kalau dipikir lagi, itu semua demi kepentingan kita. Asalkan tindakannya masih rasional.
Aamiin, terima kasih untuk Al Fatihah-nya 🙂
LikeLike
Iya mas.. mungkin kita bkn org yg kayak sekarang kalo dulu gak dikunciin di kamar mandi sama ortu.. *mungkin aku jadi tukang aduk semen gara2 gak berhenti main pasir, dan mas jaga game online.. *tapi gakpapa kalo jodoh pasti bertemu. *eh.
LikeLike
Hihihi, iya jodoh sudah ada yang ngatur.
Kadang-kadang namanya Take Me Out Indonesia.
LikeLike
Nah.. mungkin yg ikut take me out itu dulu dikunciin di kamar mandi sama ortunya gara2 rekening telkom bulanan naik keseringan dipake telpon2an sama “temen”nya. *random bingit*
Oh yes. Salam kenal dari Sidoarjo.
LikeLike
Hahaha! *iyain aja*
Salam kenal juga Tya! 😀
LikeLike
Kerenn, “ngena” bgt bacanya.
skrg fokus ke nyokap nih, bahagiakan trus bro.
cepet2 ngasih cucu mungkin 😀
LikeLike
Ah, thanks bro.
Doain dong buat bisa segera ngasih cucu, hahaha!
LikeLike
Mantep nih postingannya masbro…gak melulu soal travelling..jd blogwalking fav gue nih.. 😀
LikeLike
Ah, thanks bro Vagha. Lama gak dengar kabarnya.
Sehat kan? 😀
LikeLike
hanjir. baru juga buka postingan pertama kali. langsung disodorin kayak beginian. langsung keinget udah lama gue gak “nengokin” almarhum bokap dan kakak gue ke tanah kusir.
lucu juga ya efek kelilingan blog ini. happy birthday om, such a beautiful post.
LikeLike
Ya maap, berhubung bokap habis ultah jadi muncul postingan ini, hehe. Iya, harus sering ditengokin biar pada hepi di sono. Mungkin bokap lu lagi main catur sama bokap gue di sana yah. Haha.
Efek kelilingan itu opo? Kalau salju emang dari WordPress-nya, tiap winter mereka kasih efek salju. Thanks udah mampir, Ndir!
LikeLike
gigit bibir supaya gak nanggis dan gak ngakak, sblm seruangan liat dgn sudut mata krn smua sedang serius. dalem banget yah ceritanya. cara kamu cerita jd berasa gmn rasa sayangnya kamu ke bapak ;”), aku jg sayang ayahku walaupun dia galak nya ampun2. tapi kalo gak galak smua anak perempuannya tah jadi apa di era pembangunan ini. eh ini era apa ya sekarang :”)
sending al-fatihah to papa mu riev
LikeLike
Ah, terima kasih buat Al-Fatihah-nya, Fevy.
Semoga yang digigit adalah bibir sendiri ya. Ehm, iya, sepertinya kebanyakan ayah memang dikodratkan untuk galak, supaya anaknya bisa menurut dan menghormatinya. Dan iya, aku sayang ayahku, juga ibuku :’)
PS: Sekarang eranya globalisasi, tunggu 2015.
LikeLike
Terimakasih ya untuk semuanya yang sudah doakan papanya arif,semoga beliau disana tenang, bahagia dan mendapat tempat yang terbaik disisiNya… Dan untuk arif, marilah kita terus berjalan dan berjalanlah terus untuk satu tujuan yang mulia.. Percayalah Allah SWT, selalu bersama kita… amiiin
LikeLike
Aamiin, terima kasih juga untuk semua doanya. Semoga Beliau ditempatkan di tempat terbaik di sana.
LikeLike
Hmmmm jadi mrebes mili menitikan air mata baca nya. Semoga papa nya bahagia da mendapat tempat yg terindah disisi Allah. Amien
LikeLike
Aamiin, makasih mas cumi.
*seka air mata mas cumi pakai kaus kaki*
LikeLike
Aku sedih bacanya kak :’)
Nice story..
Selamat ulang tahun buat papahnya
#telat #biarinaja hehe
LikeLike
Ah, makasih Desti :’)
LikeLike
Ha. Rasanya juga baru kemarin ketemu papamu pertama kali dan ternyata itu yg terakhir kali mas.
Al fatihah…
LikeLike
Ah, iya nduk, rasanya baru kemarin ya saat-saat itu. Aku masih ingat pas kamu ndeprok di sarean, hahaha. Bapak Ibu sehat kan?
~Al Fatihah..
LikeLike
This is touching, Kak…
Aku merinding pas baca bagian kaset yang isinya suara Papa Kak Arif. Semoga doa-doa Kak Arif buat Papanya bisa menjadi jariyah yang diijabah Allah. Aamiin :”)
LikeLike
Aamiin, makasih doanya kak.
*baru sadar belum balas komen ini*
LikeLike
Alhamdulillah sehat semua. Mereka juga barusan dari bromo minggu kmrn. Semangat yaa… 🙂
LikeLike
Iyaaa, salam buat mereka ya, nduk.
Buat suami sama anak juga ❤
LikeLike
Mas Arief, sungguh tulisan yang sangat bagus.. saya sampai nangis bacanya, mungkin karena kesamaan2 yang mengingatkan saya dgn ayah saya.. Beliau berpulang dengan sangat mendadak 8 tahun yang lalu, juga ketika saya tidak sedang di sisinya.
Soal kaset juga mengingatkan saya meski agak berbeda. Dulu ayah saya suka merekam suara saya waktu kecil ketika menyanyi. Lama-lama kasetnya juga berisi percakapan ayah saya dan saya kecil.
Ayah saya juga yang membuat saya senang jalan-jalan dan punya impian melihat dunia, meski mungkin beda caranya. Ayah Mas Arief dengan membagi cerita-ceritanya saat perjalanan bisnis, meski sebetulnya kurang hobi jalan-jalan… Sedangkan ayah saya yang hobi jalan-jalan, dengan mengajak kami melihat berbagai tempat di Indonesia dari kecil, meski saya kecil suka malas bepergian 😛 Tapi ternyata hasilnya sama-sama membuat anak2nya suka travelling 🙂 Anyway, semoga ayah-ayah kita bahagia di atas sana ya 🙂 keep up your blog, I love how informative n funny it is! 🙂
LikeLike
Hai Mbak Tara,
Terima kasih sudah menyempatkan membaca dan komen, I really appreciated it.
Tentang Ayah, iya, banyak hal-hal kecil, yang kalau diingat-ingat bikin kita kangen Beliau. Saya pun semalam memimpikan dia, dan saya bangun tidur dengan mata yang sembab. Apapun keadaan Beliau di sana, yang bisa kita lakukan adalah mendoakannya, semoga jalan-jalan abadinya Beliau menyenangkan di sana, hihi.
Thanks to them, who made us love traveling now.
…and thanks for the compliment 😀
LikeLike
di bagian postingan ini, aku cuma scroll aja (bacanya cepet) ehh berkaca2 juga nih mata, karena udah baca duluan di buku DestinaAsean aja udah sukses bikin aku mewek hehehe
LikeLike
Ah :’) *ambilin tissue*
DestinASEAN atau The Journeys 3 hayooo? 😀
LikeLike
*mewek di kantor* untung lagi sendirian…
Arippppp, salam buat mama ya 🙂
LikeLike
Ahahaha, jangan mewek doong *kasih tisu*
Iyaa, disalamin!
LikeLike
Halo Kak Ariev..
Gak di The Journeys 3, gak disini, cerita alm. Papa-nya Kak Ariev bikin brebes milii.. Sayang Papa banget yah Kak. Beliau pasti sudah mendapatkan tempat yang terbaik di surga. 🙂
Bapak saya juga sudah berpulang 3,5 tahun yang lalu. Semoga juga bisa napak tilas ke tempat beliau pernah diutus dulu, ke Fakfak Papua. Beliau dulu ikutan Trikora Kak, diutus Bung Karno untuk mengajar di pedalaman. Kata Bapak disana dulu masih banyak yg kanibal. Huehehe untung beliau bisa balik lagi ke Pulau Jawa dengan selamat.
Eh tapi ya, di dalam tulisannya Kak Ariev yang mengharukan di The Journeys 3, aku bisa ketawa lama banget gara2 ‘Stop’ & ‘Satu yang tak bisa lepas’ itu kak.. Lucu banget gak bohong deh 😀
Sukses selalu ya Kak, ditunggu cerita tentang Papa-nya lagiii 🙂
LikeLike
Halo Mon!
Pertama-tama, thanks sudah menyempatkan baca cerita kepingan kenangan ini baik di The Journeys 3 maupun di sini, dan iya, memang kehilangan Papa waktu itu adalah sebuah pukulan telak bagiku. Tapi setelah KO, kita cuma bisa punya dua pilihan kan, mau tetap KO, atau mau bangkit dan bertanding kembali? Hehehe.
Waw, perjalanan ke Fakfak –apalagi kalau sempat bertemu dengan suku-suku kanibal– pasti bakal menjadi cerita keren yang tak terlupakan. Semoga rencananya berhasil, dan Beliau bisa semakin tersenyum di sana.
…dan akhir kata, thanks sudah terhibur dengan cerita-ceritaku, semoga gak kapok! 😀
LikeLike
*ambil tissu dulu* 🙂
Sedih bacanya, jadi inget papa *mewek*, aih.. sebenarnya saya manggil beliau itu Bapak, ini ikut2an Ariev aja manggil Papa.. eeeaaaaaaa .. 🙂
Happy Birthday ya Om … *kirim surat Al-Fatihah* …
Papa kita sudah tenang dan mendapatkan tempat yang terbaik disana, Riev ..
Kalau bapakku dulu, sering ajak jalan-jalan ke Puncak pinjem mobil kantor, trus sering jalan2 juga ke PRJ hehehe,.
The Journeys 3 => lagi pesen, tinggal bayar aja trus nungguin deh tuh buku dateng hihihi.. Kalau udah selesai baca, saya review nih buku ahahaha :p
LikeLike
Aamiin, semoga mereka sudah beristirahat di tempat terindah di sana. 🙂
Wah, iya, sama ya ada suka jalan-jalan, pasti mereka senang nih lagi pada jalan-jalan di sana juga.
Asik! Ditunggu banget reviewnya, Syifna! 😀
LikeLike
Ntar, masih ada 3 buku yang belum di baca :))
LikeLike
Disela sela tulisan sedih ini, kenapa mas arif masih bisa ngelucu :’)
Ah sukaaa banget
LikeLike
Karena kesedihan tidak seharusnya dirayakan dengan terus bersedih, bukan? 😛
terima kasihhhhh mbak!
LikeLike
Tulisan-tulisannya bagus, mas Arief. Bisa bikin geli sampai nahan biar nggak ngakak2, dan yang ini dengan mudahnya bikin saya nangis…di kantor:). Salam kenal, ya.
LikeLike
Ah terima kasih banyak apresiasinya mbak heni, senang membaca komentarnya 🙂
Salam kenal mbak!
LikeLike
Mas keren! lagi dalam kondisi sedih, masih bisa cerita travelling. Walopun udah berlalu beberapa tahu tapi masih bisa mengulas dgn baik, dgn hati. 🙂
LikeLike
Hehehe, makasih mbak onix! Appreciate that 😀
LikeLike
Doa yang terbaik buat papanya Kak Ariev 🙂
Cheers,
Dee – heydeerahma.com
LikeLike
Terima kasih kakak kece! 😉
LikeLike
Baca postngan ini, aku jadi semua kenangan alm.papaku …..
Jadi ikutan sedih.
LikeLike
Hiks 😦
Semoga Beliau ditempatkan di tempat terbaik di sana.
LikeLike
Tulisannya dibumbuin bawang merah nih, bisa bikin mata berair 😢
LikeLike
Hiks, maaf yaaa 😦
LikeLike