Saya tidak terlahir dari keluarga Beatlemania. Papa saya lebih menyukai lagu-lagu Ebiet G. Ade daripada lagu-lagu barat, dan kalaupun ada lagu barat yang Beliau suka, mungkin itu adalah lagu Billy Joel ‘Just The Way You Are’ (Bruno Mars, who?). Mama apalagi, Beliau lebih memilih mendengarkan Broery Marantika dan Dewi Yull bernyanyi ‘Jangan Ada Dusta’ ketimbang ‘Reunited’ yang dinyanyikan Peaches & Herb.

Perkenalan saya dengan The Beatles, mungkin dapat dibilang terlambat (seperti halnya ketika saya mengenal cinta sejati) karena baru mengenal mereka sejak kelas 3 SMA. Sebelum itu, saya lebih banyak mendengarkan lagu-lagu dari Red Hot Chili Peppers, System of A Down, hingga Slipknot, namun ternyata selera saya tersebut tidak membuat gadis-gadis lugu mendekat. Hingga akhirnya saya mendengarkan The Beatles, yang ternyata hasilnya sama saja. Masih belum ada gadis lugu yang mendekat.

Tapi setidaknya, karena The Beatles saya berhasil menguasai 1-2 kalimat romantis dalam bahasa Inggris.

“If I fell in love with you, would you promise to be true, and help me understand.
Cos I’ve been in love before, and I found that love was more, than just holding hands.”
(If I Fell)

Adalah Bowo dan Lucky yang membuat saya lebih menggilai The Beatles. Mereka meracuni saya dengan kumpulan lagu-lagu The Beatles, juga mengajarkan saya cara memainkan lagu-lagu The Beatles dengan gitar. Hasilnya, belum ada juga wanita yang tergila-gila terhadap saya. Ya mungkin saja, karena saya tidak segagah John Lennon, setampan Paul McCartney, sekarismatik George Harrison, atau setengil Ringo Starr, ya.

The Beatles

The Beatles

The Beatles bagi saya, bukan lagi sebuah grup musik, namun sudah merupakan aliran musik tersendiri menemani Pop, Rock, dan Rhoma Irama. Band ini adalah guru spriritual saya di bidang percintaan, karena hampir semua masalah percintaan telah dijabarkan pada lebih dari seratus lagunya. Ya lagu-lagu yang dimulai dari Love (Love Me Do) dan diakhiri pula dengan Love (Real Love).

Adalah sebuah mimpi bagi seorang Beatlemania seperti saya, untuk dapat pergi ke Inggris dan mengunjungi tempat-tempat di mana The Beatles pernah berada. Sebuah mimpi untuk dapat bertemu The Beatles yang akan membuat air mata pria sejati seperti saya mengalir deras. Sekadar informasi, bahwa sebelum ini, pencapaian terbesar saya adalah berfoto bersama patung The Beatles di Madame Tussauds.

Beatlemania's Room

No, this is not my room.

“You, you came just one dream ago, and now I know that I will love you.
Oh I knew when you first said hello, that’s how I know that I will love you.”
(Like Dreamers Do)

Berawal dari sebuah mimpi, saya pun berusaha mewujudkan impian tersebut. Dari yang hanya diam, saya mencoba berbagai macam cara, seperti mengikuti kuis menulis berhadiah perjalanan ke Inggris (yang hasilnya saya kalah namun tidak mengurangi semangat saya untuk menulis), berdoa setelah salat lima waktu, menjalankan puasa di Bulan Ramadan, membayar zakat fitrah, hingga berserah diri kepada Yang Maha Kuasa. Semua sudah saya lakukan.

Mungkin, inilah yang dinamakan semangat Cross Over, yang dari hanya sekadar bermimpi, sampai berani melakukan berbagai macam hal untuk mewujudkan mimpi tersebut.

Hingga pada suatu hari, muncullah seseorang yang mengaku menyukai tulisan saya, menawarkan kebaikannya untuk mewujudkan mimpi saya menjadi kenyataan.

“Mas, ada negara lain yang sangat ingin dikunjungi?” Tanyanya.

“Inggris.” Saya menjawab tanpa bimbang, karena saya bukan Melly Goeslaw.

Itulah awal mula dari mimpi saya yang diolah menjadi kenyataan. Saya merasa seperti seorang pemenang undian berhadiah dari bank tanah air, yang sering saya temui pada surat kabar nasional.

The Beatles Story

“I read the news today oh boy,
about a lucky man who made the grade.”
(A Day In The Life)

Berikutnya, akan saya ceritakan kepingan demi kepingan mimpi yang berhasil saya temukan di Inggris.

Menyeberang Abbey Road

“Sudah nyebrang aja!” Seru Danang kepada saya, “Nanti aku yang motoin.”

“Iya, mumpung di sini loh.” Unee pun tak kalah kompornya.

TA..TAPI KAK! NANTI KALAU DIKLAKSONIN ORANG GIMANA?” Saya menjawab, sambil memantau situasi di sekitar Abbey Road.

Itu adalah hari kelima saya di Inggris, dan saya hanya pernah tiga kali mendengar bunyi klakson, yaitu ketika:

  1. Ada mobil yang tiba-tiba memotong jalur dari bus yang saya tumpangi;
  2. Saya sedang bermain handphone di bawah lampu zebra cross dan tidak buru-buru menyeberang ketika lampu sudah hijau;
  3. Sekumpulan orang tiba-tiba menyeberang Abbey Road, dan membuat mobil yang melaju pada jalan itu menjadi gemas.

Abbey Road, adalah sebuah nama jalan di wilayah Camden, City of Westminster, London yang dijadikan sebagai judul album studio kesebelas dari The Beatles. Cover album tersebut menampilkan John, Ringo, Paul, dan George sedang menyeberang Abbey Road pada , dengan gaya yang berbeda-beda. Menariknya, Abbey Road ini adalah satu-satunya album The Beatles yang tidak menampilkan nama artis atau judul album pada cover-nya.

Pencetus ide desain album ini, Kosh (Apple Records’ Creative Director), mengatakan pada suatu hari “We didn’t need to write the band’s name on the cover … They were the most famous band in the world”.

Abbey Road

Abbey Road, cross over the street.

Akhirnya, dengan memberanikan diri, saya mulai menyeberang zebra cross paling terkenal di dunia itu, melangkah pasti sambil memasang senyum manis, menghadap kamera. Walaupun sayangnya, tak ada yang menemani saya.

“He say, ‘One and one, and one is three.’
Got to be good-looking ’cause he’s so hard to see. Come together right now over me.”
(Come Together)

Mencoret-coret Tembok Abbey Road Studios

Tak jauh dari persimpangan Abbey Road, sekitar 10 meter, ada sebuah bangunan dengan tembok depan berwarna putih yang penuh coretan. Pada pintu gerbang bangunan yang beralamat di 3 Abbey Road, St John’s Wood, City of Westminster, London itu tertulis “Abbey Road Studios.”.

Abbey Road Studios, yang dahulu dikenal sebagai EMI Studios, adalah sebuah studio rekaman yang didirikan pada bulan November 1931 oleh Gramophone Company. Studio ini menjadi terkenal karena merekam hampir semua album dan lagu The Beatles selama kurun waktu 1962-1970, dengan menggunakan the four-track REDD mixing console yang didesain oleh Peter K. Burkowitz.

Oleh kerena hal tersebut, banyak sekali Beatlemania yang datang ke Abbey Road Studios untuk beribadah, sambil mencoret-coret tembok Abbey Road Studios, untuk menunjukkan rasa cintanya kepada The Beatles. Namun saya, sebagai orang yang cinta kebersihan (ya, saya selalu mandi tiap hari), memilih untuk tidak mencoret-coret tembok tersebut.

Jadi jangan heran kalau kebetulan kamu berkunjung ke sana, namun tidak menemukan coretan seperti “Ariev was here“, “baca terus http://www.backpackstory.me!”, ataupun “Cek IG kami sis: arievrahman!” pada tembok depan Abbey Road Studios.

Tapi ingat, walaupun tembok depan Abbey Road Studios boleh dicoret-coret, namun jangan sampai mencoret-coret tembok di sebelahnya, ataupun tembok di Buckingham Palace kalau masih mau hidup enak. Tepat di samping studio, terdapat peringatan yang dipasang pada tembok Abbey House, seperti di bawah ini.

Abbey House Wall

Abbey House Wall, near Abbey Road Studios

“Each one believing that love never dies, watching her eyes and hoping I’m always there.
I will be there and everywhere. Here, there and everywhere.”
(Here, there and everywhere)

Memborong Pernak-Pernik di The Beatles Store

Salah satu hal yang tak boleh dilewatkan seorang Beatlemania adalah, berburu pernak-pernik The Beatles, dan salah satu tempat yang menyediakan itu semua adalah London Beatles Store yang beralamat di 231/233 Baker Street, London, tepat di samping museum Sherlock Holmes.

Di tempat ini, kamu akan menemukan banyak sekali pernak-pernik The Beatles, baik yang baru maupun yang berasal dari tahun 60-an, meliputi kaus, poster, vinyl, hingga memorabilia bertanda tangan The Beatles.

The Beatles Store

The Beatles Store – London

The Beatles Store, merupakan tempat yang tepat untuk membeli pernak-pernik The Beatles, baik untuk koleksi pribadi, maupun untuk oleh-oleh sanak saudara di kampung. Tempat yang membuat saya khilaf dan tak berani menatap tagihan kertu kredit bulan berikutnya. Belajar dari pengalaman saya, jangan sampai khilaf membelanjakan uang, dan ingat selalu cicilan KPR yang masih beberapa tahun itu.

“Money don’t get everything, it’s true. What it don’t get, I can’t use.
Now give me money, that’s what I want.”
(Money)

Menjadi Saksi Cerita Sejarah Kesuksesan The Beatles

Lalu sebenarnya, bagaimana cerita kesuksesan The Beatles tersebut, mulai dari band kecil di Liverpool, hingga terkenal di seluruh dunia, dan mampu memunculkan fenomena Beatlemania yang masih tumbuh hingga sekarang?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, saya menuju Liverpool, kota awal mula The Beatles terbentuk, pada sebuah museum bernama The Beatles Story di daerah Albert Dock.

The Beatles Story

Welcome to The Beatles Story

Semua berawal pada bulan Maret 1957, ketika seorang pemuda bernama John Lennon membentuk sebuah grup skiffle, bersama dengan teman sepermainan dari Quarry Bank School. Pada mulanya mereka menggunakan nama Blackjacks, namun kemudian menggantinya menjadi The Quarrymen karena nama sebelumnya sudah dipakai oleh grup lokal yang lain. Pada bulan Juli, John bertemu dengan Paul McCartney, yang kemudian bergabung dengan grup tersebut sebagai rhythm guitarist. Kemudian pada bulan Juli 1958, Paul mengenalkan George Harrison kepada John sebelum akhirnya George bergabung sebagai lead guitarist.

Pada bulan Januari 1959, teman-teman John dari Quarry Bank School mengundurkan diri dari grup dengan alasan ingin melanjutkan kuliah. Sebuah alasan yang baik, di samping “Kamu terlalu baik untuk aku, John.”, sehingga hanya tersisa tiga orang gitaris, yaitu  John, Paul, dan George yang kemudian menggunakan nama Johnny and The Moondogs selama beberapa kali penampilan. Seperti halnya posisi pada grup band, nama grup band tersebut juga mengalami pergantian beberapa kali, dari mulai Beatals, Silver Beetles, Silver Beatles, hingga akhirnya menjadi The Beatles pada bulan Agustus 1960.

Sama seperti urusan nama, ternyata mencari anggota tetap The Beatles pun bukan perkara yang mudah. Tercatat nama-nama seperti Pete Best, Stuart Sutcliffe, Chas Newby, Norman Chapman, dan Tommy Moore pernah bergabung sebagai anggota The Beatles, hingga akhirnya Ringo Starr bergabung pada tahun 1962, dengan posisi akhir yaitu John pada rhythm, Paul pada bas, George pada lead, dan Ringo pada drum. Mereka berempatlah yang kelak dikenal sebagai The Beatles yang legendaris.

This slideshow requires JavaScript.

Memasuki The Beatles Story yang terletak di bagian bawah tanah Albert Dock, saya merasakan seperti menyusuri sebuah lorong waktu dengan The Beatles sebagai tokoh utamanya. Pada museum tersebut, saya mendapati kisah sukses The Beatles pada berbagai diorama yang dimulai dari band kecil di Liverpool, menjadi band pada kafe-kafe di wilayah red district Hamburg, menjadi band terbesar dan paling fenomenal di dunia, hingga akhirnya bubar pada tahun 1970. Sebuah perjalanan yang panjang menuju kesuksesan.

“The long and winding road that leads to your door, will never disappear.
I’ve seen that road before it always leads me here, leads me to your door.”
(The Long and Winding Road)

Selain memuat kisah perjalanan The Beatles, museum yang didatangi sekitar 300.000 turis tiap tahunnya ini juga menampilkan barang-barang unik yang berhubungan dengan The Beatles, seperti kacamata bulat John Lennon, gitar George Harrison yang digunakannya pada penampilan terakhir di Cavern Club, Violin Bass bermotif bendera Inggris yang (hanya ada dua di dunia) digunakan oleh Paul McCartney untuk merayakan ‘Diamond Jubilee’ Ratu Inggris, hingga batu nisan Eleanor Rigby yang digunakan untuk shooting video klip ‘Free As A Bird’ pada tahun 1995 juga replika kapal selam ‘Yellow Submarine’ pun ada pada museum ini.

Jarang-jarang kan ada kapal selam di museum, biasanya kan cuma di tukang pempek.

Melihat Eksibisi The British Invasion

Sebenarnya, ketika membeli tiket The Beatles Story seharga £14.95, saya juga mendapatkan free-pass untuk memasuki eksibisi The Beatles lainnya yang terletak di Pier Head, tak jauh dari Albert Dock. Museum ini dapat ditempuh selama 10 menit dengan berjalan kaki dari Albert Dock, atau 18 jam 10 menit dari Jakarta.

Eksibisi yang bernama The British Invasion.

The British Invasion

The British Invasion

Diceritakan bahwa pada kurun waktu 1960-1970 terjadi invasi besar-besaran dari Britania Raya ke Amerika Serikat. Bukan, yang dimaksud invasi di sini bukanlah invasi seperti Belanda ke Indonesia, ataupun seperti Pangeran Kelantan ke Manohara, melainkan invasi para artis dari Britania Raya ke tangga lagu Billboard di Amerika Serikat, di mana salah satunya adalah The Beatles.

Sejarah The Beatles di Amerika Serikat dimulai pada bulan Oktober 1963, di mana The Washington Post memberitakan bahwa saat itu sedang terjadi kegilaan terhadap The Beatles di Inggris. Hal tersebut berlanjut dengan pemberitaan dari berbagai media cetak dan stasiun televisi di Amerika Serikat mengenai The Beatles pada bulan November.

Pada bulan Desember, seorang pendengar radio, Marsha Albert mengirimkan surat kepada radio WWDC, meminta untuk memutarkan lagu The Beatles di radionya, “Why can’t we have music like that here in America?” Tanyanya. Hal tersebut kemudian dibalas oleh penyiar radio bernama Carroll James yang selanjutnya memutarkan lagu ‘I Want To Hold Your Hand’ milik The Beatles. Sebuah lagu yang saya kenal dari serial Taiwan berjudul ‘Poor Prince’ yang diperankan oleh Vic Zhou. Kyaaaa!

Sejak saat itu, telepon di WWDC semakin sering berdering, dan toko-toko musik di Washington DC kewalahan mendapati permintaan untuk menyediakan album rekaman The Beatles, yang saat itu tidak tersedia di tokonya.

“Oh please, say to me. You’ll let me be your man.
And please, say to me. You’ll let me hold your hand.”
(I Want To Hold Your Hand)

Selain memorabilia The Beatles, pada eksibisi The British Invasion ini saya juga menemukan memorabilia milik artis-artis lain seperti misalnya: Supremes dresses yang lazim dipakai pada masa itu, jumpsuit milik James Brown, gitar Gibson ‘Lucille’ milik BB King, set drum milik Keith Moon, hingga yang paling keren adalah naskah asli tulisan tangan dari lirik lagu The Beach Boys yang paling romantis menurut saya, ‘God Only Knows’.

Mengintip The Beatles Hidden Gallery

Masih di lokasi yang sama, selain melihat eksibisi The British Invasion, saya juga menyaksikan eksibisi berjudul The Beatles Hidden Gallery. Bukan, eksibisi ini bukan menampilkan foto-foto The Beatles yang diambil dengan hidden camera layaknya Fake Taxi, melainkan menampilkan foto-foto langka dari The Beatles hasil jepretan Paul Berriff dari tur The Beatles selama tahun 1963-1964.

Lalu letak ‘hidden’-nya di mana? Foto-foto tersebut baru ditemukan lagi oleh Paul di loteng rumahnya, setelah bersembunyi hampir lima puluh tahun! Untung saja yang ditemukan Paul di lotengnya adalah foto-foto The Beatles, coba kalau dia malah menemukan hantu di film Ju-On.

Sebanyak 38 foto hitam putih The Beatles saya temukan di sini, yang antara lain meliputi foto John, Paul, Ringo and George pada saat santai tanpa penjagaan, latihan di panggung, merokok di ruang ganti, hingga momen-momen manusaiawi lain seperti makan dan minum. Ya, The Beatles juga manusia.

“Everywhere people stare, each and every day.
I can see them laugh at me, and I hear them say, ‘Hey you’ve got to hide your love away’.”
(You’ve got to hide your love away)

Mengikuti Magical Mystery Tour

Bagi seorang Beatlemania, belum puas rasanya kalau hanya menyaksikan diorama dan foto-foto The Beatles saja. Maka salah satu solusinya adalah mengikuti Magical Mystery Tour. Tur seharga £16.95 ini rencananya akan membawa saya berkeliling Liverpool dengan bus selama lebih kurang dua jam, mengunjungi tempat-tempat yang berhubungan dengan The Beatles seperti rumah masa kecil anggota The Beatles, kafe yang dijadikan inspirasi lagu Ringo Starr, juga tempat-tempat memorable yang disebutkan pada lagu The Beatles.

Sesuai dengan jam yang telah saya pesan sebelumnya, saya bergerak ke arah pinggiran Albert Dock, tempat sebuah bus berwarna kuning dengan ornamen warna-warni terparkir. Ornamen yang mengingatkan saya pada sebuah album The Beatles berjudul Magical Mystery Tour. Setelah menunjukkan tiket kepada si tour guide, saya melangkah masuk ke dalam bus tersebut, siap mengikuti Magical Mystery Tour.

“The magical mystery tour is coming to take you away, coming to take you away.
The magical mystery tour is dying to take you away, dying to take you away, take you today.”
(Magical Mystery Tour)

Perjalanan tersebut berlangsung sangat menyenangkan, meninggalkan pusat keramaian Liverpool menuju daerah-daerah permukiman di pinggiran kotanya, tempat di mana The Beatles tumbuh dan berkembang. Yang membuat tur ini semakin menarik adalah, tour guide yang informatif yang berpadu dengan lagu-lagu The Beatles pilihannya sesuai dengan nama tempat yang dilalui. Sungguh, saya bahagia bukan kepalang selama mengikuti tur ini.

Adapun beberapa tempat yang paling berkesan untuk saya selama tur ini adalah:

Penny Lane

Saya sedang duduk tenang ketika bus melewati lapangan dan taman luas di sisi kanan jalan, ketika sang pemandu tiba-tiba berucap, “Now we will arrive in the most famous street in the world.” dan seketika intro lagu Penny Lane berkumandang di bus.

“In Penny Lane…”

“In Penny Lane there is a barber showing photographs, of every head he’s had the pleasure to know.
And all the people that come and go, stop and say hello.”
(Penny Lane)

Menurut Paul, sang pencipta lagu, Penny Lane yang dimaksud pada lagu tersebut sebenarnya adalah sebuah terminal bus yang digunakan Paul untuk berganti bus menuju rumah John pada masa itu, demikian pula sebaliknya, ketika John ingin berkunjung ke rumah Paul. Dikisahkan pula, bahwa mereka memang sering berjumpa di Penny Lane. Sebuah tempat romantis untuk nostalgia di masa lalu, antara cowok dan cowok.

Strawberry Fields

Saat itu, bus tiba-tiba berbelok ke arah kiri, menuju jalanan menurun yang sempit dan sepi. Tak ada angin, namun sedikit hujan, tiba-tiba audio dalam bus memutarkan sebuah lagu yang sudah saya kenal sejak lama.

“Let me take you down, cos I’m going to…”

Strawberry Fields

Strawberry Fields Forever

“Let me take you down, cos I’m going to Strawberry Fields.
Nothing is real and nothing to get hung about. Strawberry Fields forever.”
(Strawberry Fields Forever)

Sama seperti Penny Lane, lagu Strawberry Fields Forever ini juga diilhami dari kisah nyata yang dialami John semasa kecil. Sejatinya, Strawberry Fields adalah sebuah nama Salvation Army Children’s Home yang terletak tak jauh dari rumah tempat tinggal John di daerah Woolton, di pinggiran Liverpool. Di belakang rumah ini terdapat sebuah taman tempat John biasa bermain bersama teman-temannya sewaktu kecil. Tidak, tidak bersama dengan Paul saat itu.

John Lennon Childhood House

Berikutnya, bus melaju perlahan, pada sisi kiri jalan tempat sebuah rumah bertingkat berada. Dikatakan bahwa rumah tersebut adalah rumah tempat tinggal John sewaktu kecil bersama bibinya, Aunt Mimi. Pada masa itu, John terpaksa tinggal di rumah bibinya, setelah ibu kandung John yang tinggal bersama pacarnya mengatakan bahwa kehidupan John akan lebih baik apabila dirawat oleh Aunt Mimi dan suaminya. Sungguh ibu kandung yang lebih kejam dari ibu tiri.

Aunt Mimi ini pulalah yang kerap menemani John menonton pertunjukan musik dari band milik Salvation Army.

John Lennon Childhood House

John Lennon House

Rumah yang beralamat di 251 Menlove Avenue, Liverpool, ini kemudian dibeli oleh janda John Lennon, yaitu Yoko Ono pada tahun 2002 untuk disumbangkan ke National Trust. Saat itu Yoko berkata, “When John’s house came up for sale I wanted to preserve it for the people of Liverpool and John Lennon and Beatles’ fans all over the world.“. Sungguh istri kedua yang sangat baik.

“Finally made the plane into Paris, honeymooning down by the Seine.
Peter Brown called to say ‘You can make it OK. You can get married in Gibraltar, near Spain.’.
Christ you know it ain’t easy.”
(The Ballad of John and Yoko)

Bersantai di Fab4Cafe

Setelah lelah akibat mengikuti tur dan kunjungan ke beberapa museum, saya memilih untuk beristirahat sejenak di Fab4Cafe yang terletak di Albert Dock. Saya sempat menyangka bahwa kafe ini adalah sebuah kafe spesial, namun ternyata kafe ini adalah sebuah … Starbucks.

Fab 4 Cafe

Fab 4 Cafe, or Starbucks?

Ya walaupun demikian, bedanya kafe ini dengan Starbucks lain adalah lagu-lagu yang diputar di sini adalah lagu-lagu The Beatles, bukan Rhoma Irama. Dan satu hal yang membuat saya bahagia berada di kafe ini adalah adanya colokan di pojokan.

“A taste of honey, tasting much sweeter than wine.
I will return, yes I will return. I’ll come back for the honey and you.”
(A Taste of Honey)

Hal menarik yang saya temukan di kafe ini adalah bahwa salah satu pelayannya menguasai sepenggal kalimat bahasa Indonesia, yaitu “Terima Kasih”. Menurutnya, cukup banyak orang Indonesia yang berkunjung ke sana, kurang lebih sekitar 3 orang per minggunya. Cukup banyak apabila dibandingkan pengunjung dari Burkina Faso.

Mengunjungi Cavern Club

Bagi The Beatles, Cavern Club adalah sebuah tempat bersejarah, karena di klub inilah pertama kali Brian Epstein (yang kelak akan menjadi manajer The Beatles) datang dan mengunjungi mereka pada tahun 1961. Saat itu, Brian yang seorang pengusaha di industri musik mendatangi The Beatles yang sedang memainkan musik pada jam makan siang di Cavern Club.

George yang langsung mengenalinya bertanya, “And what brings Mr. Epstein here?“, dan Brian Epstein pun menjawab, “We just popped in to say hello. I enjoyed your performance“.

Sebuah peristiwa bersejarah yang kemudian semakin membawa nama The Beatles melambung. Sekadar informasi, Brian pula lah yang membawa The Beatles untuk melakukan proses rekaman di Abbey Road Studios.

Cavern Club yang saat ini ditemui di Mathew Street, Liverpool, sebenarnya bukanlah Cavern Club asli tempat The Beatles bermain dulu, karena bangunan yang asli sudah ditutup pada tahun 1973 sehubungan dengan adanya rencana pembangunan jalur kereta bawah tanah.

Sementara Cavern Club yang sekarang ada, adalah sebuah bangunan baru yang dibangun menyerupai Cavern Club asli –dan diklaim mempunyai kemiripan 75%– pada tahun 1984 dengan menggunakan banyak batu bata milik bangunan terdahulu.

Bermodal tiket seharga £3.00, saya memasuki klub ini, mengarahkan langkah saya melalui tangga yang menuju panggung bawah tanah klub, yang dibentuk sedemikian pula seperti layaknya zaman The Beatles dulu. Pada sisi yang lain, saya menyaksikan berbagai foto dan memorabilia terpajang di tembok klub ini, semua berasal dari artis yang pernah bermain di sini, termasuk The Beatles. Sementara itu pada tembok dan langit-langitnya yang terbuat dari batu bata nampak penuh terisi oleh coretan penggemar band yang tampil di sini, mirip seperti yang saya temukan di Abbey Road Studios. Saya tentu saja, tidak ikut mencoret tembok tersebut. Yang ada malah ingin menghapus coretan pada tembok tersebut, dengan tipp-ex.

Pikiran saya kemudian kembali ke masa itu, pada saat The Beatles masih bermain di sini, ketika sudut mata Paul tiba-tiba menangkap seorang gadis cantik di sudut klub.

“Well, she was just seventeen.
And you know what I mean, and the way she looked was way beyond compare.
So how could I dance with another, and I saw her standing there.”
(I Saw Her Standing There)

Menyaksikan The Mersey Beatles Bermain

Sekitar pukul 21.15 malam itu, panggung yang awalnya kosong kembali terisi oleh empat orang pria yang mengenakan setelan kemeja putih dengan vest dan dasinya. Sekilas keempat orang tersebut mengingatkan saya kepada The Beatles, dan ternyata memang iya! Keempatnya bahkan memperkenalkan diri sebagai John, Paul, George, dan Ringo!

Merekalah The Mersey Beatles, band lokal yang dibentuk sebagai tribute untuk The Beatles.

The Mersey Beatles

The Mersey Beatles

The Mersey Beatles

The Mersey Beatles in stage

Dibuka dengan All My Loving, The Mersey Beatles mampu membuat seluruh pengunjung Cavern Club bergerak dan berteriak bersama menyanyikan lagu-lagu The Beatles. Saya apalagi, malam itu saya berteriak sekeras mungkin mengikuti lagu-lagu yang dimainkan The Mersey Beatles, tak peduli bahwa saya tuna nada dan mungkin saja saya akan mengalami radang tenggorokan keesokan harinya.

Sungguh, bagi seorang Beatlemania, menyaksikan The Mersey Beatles (yang telah bermain di Cavern Club lebih banyak dari The Beatles) adalah sebuah hal terdekat dari bertemu The Beatles.  Saudara perempuan John Lennon yang bernama Julia Baird mengatakan, “There are a lot of Beatles tribute bands from all over the world, and I’ve seen them all, but The Mersey Beatles are the best I’ve heard.“.

Malam itu, saya menutup mata, mendengarkan The Beatles bernyanyi di hadapan saya yang membuat saya menitikkan air mata, dan merasakan bahwa inilah mimpi saya yang menjadi kenyataan.

“Close your eyes and I’ll kiss you, tomorrow I’ll miss you, remember I’ll always be true.
And then while I’m away, I’ll write home every day, and I’ll send all my loving to you.”
(All My Loving)

Kalau kamu, how far will you go? You decide.