
Saat itu Hari Jumat pukul tujuh malam lewat tiga puluh sekian menit, saat saya sudah selesai menukarkan tiket online dengan tiket fisik kereta api di Stasiun Jakarta Pasar Senen. “Ah, masih ada waktu sekitar setengah jam untuk ke toilet dan membeli cemilan di perjalanan.” Batin saya. Apalagi sebelumnya, Mama sudah mengingatkan untuk membawa bekal, kalau-kalau kereta yang saya tumpangi ini mengalami keterlambatan tiba, karena banjir yang melanda Stasiun Tawang Semarang.
“PLAK!” Sebuah tangan menampar lengan saya, saat saya hendak masuk ke Seven Eleven –yang baru saja dibangun– pada komplek stasiun. Saya sontak kaget, takut apabila tangan yang baru saja mendarat di lengan saya adalah milik preman stasiun, atau bencong penguasa daerah tersebut. Saya menoleh dan melihat ke arah pemilik lengan, seorang pria yang duduk di bangku Seven Eleven terkekeh sambil menutup mulutnya.
“Lho, kowe tho, Ndes?” (“Loh, kamu toh, kawan?” Kata “Ndes” merupakan panggilan akrab bagi orang-orang yang tinggal di kawasan Semarang dan sekitarnya. Mirip seperti “Cuk” di Surabaya, atau “Nigga” di Brooklyn.) Saya melihat wajah seorang teman yang kemudian saya kenali sebagai Wisnu, teman semasa kuliah yang baru saja dimutasi ke Jakarta, yang kemudian saya cubit putingnya (tindakan ini jangan dipraktikkan kepada teman lawan jenis, di tempat umum.). “Jek ngopo ning kene?” (“Sedang apa di sini?” Pertanyaan yang wajar dan tidak terkesan posesif karena tidak dilanjutkan dengan “TADI SIAPA COWOK YANG PEGANG-PEGANG PAHA KAMU?”)
“Nungguin Kereta Senja Utama.” Wisnu menyebutkan nama kereta yang sama dengan yang akan saya gunakan. “Malam ini keretanya delay empat jam.”
“WASSUUUU!” (“Astaghfirullah.”)
Dahulu, saya pernah mengalami delay yang serupa ketika menggunakan Kereta Api Argo Anggrek dari Stasiun Gambir. Kereta yang harusnya berangkat pukul 21:30 baru berangkat pukul 00:30. Saat itu, saya menunggu tepat di ruang terbuka di samping rel, yang mengakibatkan saya sukses terkena demam esok harinya.
Kali ini kereta berangkat sesuai jadwal (jadwal delay. -red), yaitu pukul sebelas malam. Saya segera menempati tempat duduk sesuai nomor yang tertera pada tiket, sementara Wisnu bergegas menuju gerbong yang lain, karena kami tidak ditakdirkan berada dalam satu gerbong. Setelah pemeriksaan tiket, saya segera mengencangkan jaket hingga ke atas, memasang bantal leher, dan terlelap.
“PRAK!” Kali ini sebuah cengkeraman kuat mendarat di lengan kanan saya, saya yang masih setengah sadar membuka mata, dan mendapati Wisnu di samping saya. “Kenopo, Ndes?” (“Ada apa, kawan?”)
“Sepure mandeg iki.” (“Keretanya berhenti nih.”) Jelasnya “Sudah satu jam gak gerak. Dan kabarnya di depan masih ada tiga antrian kereta lagi yang belum jalan. Sama-sama macet karena stasiun Semarang banjir.”
Aduh. Saya melihat ke arah jam tangan. Pukul tujuh pagi. “Ini di mana?”
“Kata orang-orang sih Krengseng.”
Kejadian seperti ini, bukanlah yang pertama saya alami. Dahulu ketika masih kuliah, saya pernah mengalami yang lebih parah. Tujuh jam Kereta Api Tawang Jaya terhambat di Stasiun Kalibodri karena banjir yang menghanyutkan rangkaian rel yang akan kami lalui. Namun dulu, saya tidak mengejar apa-apa, karena saat itu sehabis ujian dan akan libur panjang, sehingga kami (saya dan teman-teman), memilih menunggu di kereta yang tidak bergerak, selama tujuh jam.
Namun kali ini berbeda, saya hanya memiliki waktu dua hari di rumah, dan ada acara penting yang harus dihadiri. Sehingga saya (dan Wisnu, juga beberapa penumpang lain) memilih turun dari kereta, dan menggunakan ojek dadakan hingga ke jalan raya terdekat.
“Berapa Mas?” Tanya saya ketika akan naik ke punggung sepeda motor bebek milik pemuda yang tinggal di daerah tersebut. Memang, macetnya kereta telah membuka lapangan pekerjaan baru bagi para penduduk, yaitu menjadi tukang ojek dadakan, yang mengantar penumpang ke jalan raya terdekat, yaitu jalan raya Grinsing, dekat Alas Roban.
“Empat puluh ribu, Mas.” Jawabnya.
“Sudah, tiga puluh ribu berangkat.” seru Wisnu yang sudah duduk di punggung sepeda motor sedari tadi, di mana kemudian saya menyusul duduk di belakangnya. Saling tusuk. Atau yang biasa dibilang Orang Jawa adalah Cenglu (bonceng telu, bukan ngaceng ngilu. -red).
“Asemik, kebelet ngising!” (“Sial, kebelet buang air besar!” Asemik, juga kata-kata umpatan halus yang sering diucapkan penduduk Semarang dan sekitarnya.) Gerutu Wisnu ketika turun dari ojek. Setelah tidak menuruti saran saya untuk meminjam kamar mandi di SD maupun salon kecantikan di dekat situ, kami menyusuri jalan, hingga tiba di sebuah rumah makan besar dan memutuskan untuk menggunakan toiletnya. Lumayan, karena masih pagi, toilet masih gratis.
Saya sering singgah di Rumah Makan Gerbang Elok, ketika menggunakan bus dari Ungaran ke Jakarta semasa kuliah. Bus malam tersebut, biasanya mampir di rumah makan ini untuk makan malam. Dan saya biasa mengabarkan ke orang tua, bahwa saya sudah sampai di sini. Tapi itu dulu.
Selepas buang hajat, kami menyetop bus pertama yang lewat di depan rumah makan. Kernetnya mengatakan bahwa bus tersebut akan berhenti di Terminal Mangkang Semarang, sehingga kami tanpa ragu menaikinya. Tarifnya Rp. 15.000. Perjalanan darat tersebut lancar, hingga sampai di sebuah jalan raya yang ramai di Weleri, kami diturunkan.
Asemik.
Ternyata kami dioper dari satu bus ke bus yang lain, dan menjelang turun, kernet pertama –seorang bapak tua– mengatakan bahwa kami tak perlu membayar apa-apa lagi. Gak apa-apa deh.
Lain dengan kernet bus pertama yang kalem, kernet bus kedua ini lebih sangar. Pernah ada seorang penumpang alay dengan rambut jabrik, kaus merah muda dan celana melorot –yang dari logatnya, saya menebak adalah Orang Sunda yang belajar bahasa Jawa– remaja sekitar 20 tahun awal umurnya, membayar kurang dari tarif yang berlaku.
Kernet (K): “Kurang seribu nih.”
Pemuda Alay (PA): “Halah, biasanya juga segitu. Sudah langganan nih mau ke pasar.”
K: “Langganan apa? Kurang seribu ya kurang! Enak-enakan saja.”
PA: “Ya udah kalau gak mau, saya turun di tengah jalan.”
K: “Ya udah turun!” *pemuda alay diturunkan di tengah jalan bersama barang bawaannya*
PA: *mengumpat*
K: “WOOO PANCAL RAIMU SISAN!” (“I wanna flipkick your head off!”)
Saya yang menyaksikan cuma bisa diam, apakah itu akibat dari ekonomi sulit, atau pengaruh Liverpool yang sudah lama tak mendapat gelar. Entahlah. Tak berapa lama tibalah kami di Terminal Mangkang. Saya berpisah dengan Wisnu yang menggunakan Trans Semarang ke kota, sementara saya ke Ungaran dengan menggunakan minibus.
Walaupun pada awalnya si kernet mengatakan bahwa bus akan berhenti di Pudakpayung (batas antara Semarang dan Ungaran), namun kenyataannya, bus yang menetapkan tarif sebesar Rp. 10.000,- ini cuma berhenti sampai Banyumanik. Sehingga saya harus menggunakan angkutan umum lain untuk menuju rumah. Dan pilihannya kali ini adalah, menggunakan angkutan umum berwarna kuning hingga Ungaran, dengan tarif Rp.3.000,-.
Alih-alih langsung pulang ke rumah, saya malah menyempatkan diri mampir ke Alun-alun Ungaran untuk merapikan diri sebelum acara penting dan mengalami near death experience bulanan, yaitu potong rambut di pangkas Rambut Bangkalan Madura. Bayangkan ketika nyawa kamu sudah di ujung tanduk saat sebilah pisau tukang cukur mendarat di leher. Untuk mencukur jenggot.
Saat terakhir ke sini tahun lalu, tarifnya masih Rp.10.000,- namun sekarang bergeser menjadi Rp.12.000,- mengikuti nilai tukar US Dollar. Namun curangnya, ketika nilai tukar US Dollar turun, tukang cukur pasti tak akan menurunkan tarifnya. Waktu kecil, saya sering ke sini bersama Papa, untuk dirapikan rambutnya. Saya masih ingat ketika saya duduk di kursinya menggunakan tambahan bangku karena badan saya yang tidak terlalu tinggi.
Setelah rapi, saya segera menuju pangkalan ojek yang berada tak jauh dari situ, dan mengatakan tujuan saya kepada mas ojeknya. Karena tak begitu jauh, DC pun hanya Rp. 10.000,- tanpa tips. Saya yang biasa tiba di rumah pada pukul lima pagi, kali ini tiba di rumah hampir pukul 12 karena banjir di Stasiun Tawang Semarang. Tak mengapa, karena banyak jalan menuju rumah.
Setibanya di depan rumah, nampak sebuah panggung berwarna hijau dengan dekorasi yang meriah menyambut, ya kepulangan saya kali ini karena sebuah pesta perkawinan. Yang sialnya, bukan pesta perkawinan saya. Saya berangkat dengan baju batik pada Jumat malam karena tidak sempat berganti pakaian, dan tiba dengan baju batik di hari Sabtu siang, yang langsung disambut pesta perkawinan. Pas!
Pesta perkawinannya sendiri berlangsung lancar, dan makanannya pun enak dan melimpah. Namun ada satu yang mengganggu saya, yaitu pertanyaan “Kapan Nyusul?” yang berulang kali muncul.
Asemik.
EPILOG
Karena berbagai pertimbangan (terutama banjir yang dapat membuat terlambat masuk kantor, saya membatalkan (dengan ribetnya) tiket Kereta Api Menoreh yang telah saya pesan untuk hari berikutnya, dan memesan satu kursi penerbangan di hari Minggu malam. Ya, karena terkadang spekulasi harus diambil dalam hidup ini.
Ketika terjebak badai di Puerto Princesa, saya juga membeli satu tiket lagi untuk penerbangan lusa dengan pertimbangan cuaca, namun batal digunakan karena cuaca esok harinya sudah agak membaik. Menyesal? Tak mengapa. Karena orang bijak berkata lebih baik menyesal karena beli, daripada karena tidak beli.
Pesawat berlogo Singa mendarat di Jakarta sepuluh menit lebih cepat dari jadwal yang ditetapkan. Sungguh sebuah prestasi tersendiri bagi maskapai yang sering dihujat karena catatan delay-nya. Dan esoknya, saya bertanya kepada Wisnu –yang tetap menggunakan Kereta Api Menoreh malam itu ke Jakarta– tentang bagaimana perjalanan kereta malam itu.
“Lancar Bro, sampai Jakarta pukul empat pagi.” Jawabnya.
Asemik!
[Jika kamu suka artikel ini, mungkin kamu mau baca cerita ketika saya naik kereta ke Semarang, namun ketiduran, dan diturunkan di Solo berikut ini.]
Tagged: Argo Anggrek, Kalibodri, Kereta Api, Krengseng, Lion Air, Menoreh, Poncol, RM Gerbang Elok, Semarang, Senja Utama, Tawang banjir, Tawang Jaya, Ungaran
Itu bus nya siap2 oplosan bareng soimah yaaa ????
Jadi kangen naik kereta, dah lama buanget kagak naik kereta
LikeLike
Ayo naik kereta!
Sudirman – Manggarai.
Gak tahu tuh busnya kenapa namanya Soimah, eh, Oplosan.
LikeLike
Deuh sungguh perjuangan yak menuju rumah gara-gara banjir.
Btw kapan nyusul kawin *asemik kabur*
LikeLike
Asemik!
*kawinin Alid* *sama sapi*
LikeLike
Dan, di saat yang sama, perjalanan Tegal-Semarang yang biasanya 4 jam naik bus, jadi 6,5 jam mas. Haahaahaa..
LikeLike
MAKANYA JANGAN SUKA NGEJEKIN AKU. HIH!
LikeLike
Begitu beli tiket pesawat, keretanya lancar. Asemik.
LikeLike
Nah!
Asemik.
LikeLike
jadi… kapan nyusul? wkwkwkwk….. *bulukan lhooo 😀
LikeLike
Hahahaha asemik!
Gong Xi Fat Choi Mbaaaak 😀
LikeLike
Uwehe, jadi inget perjalanan pulang jakarta-jogja yang makan waktu 36 jam. Super epik pake acara bis mogok dan nyasar di Subang. Anyway, mas arif, salam kenal. Saya langsung ngefans sama blognya, semoga menang ya di Bloscars. Amiin 😀
LikeLike
Huwow, lama bangeeeet! Pas mudik lebaran ya? Itu kalau diceritain jadi cerpen asik tuh 😀
Aamiin doanya, semoga bisa menang dan semoga makin betah mampir di sini.
LikeLike
wahahaha aku kok melu2 jadi capek awake setelah baca postingan ini. kalau pengalamanku dulu jalurnya ngurah rai-cengkareng-damri ke gambir-gak kebagian tiket kereta-naik mobil cartera-diturunin di kebumen-ganti bus egrekegrek-angkot-langsung ke kubikel kantor.
baca ini jadi terinspirasi buat nulis ceritaku itu juga kapan2 😀
LikeLike
Bokonge panaassss pokokeee : )))
Aku baca commentmu wae kesel dewe, Mas, hahaha. Dan bus egrekegrek itu yang epic!
Iya cerita begini aja, gak perlu yang rumit-rumit, hihi.
LikeLike
Yah mas bro kenapa ngga brg wisnu aj naik trans ke kota nanti lanjut ke taman unyil…
LikeLike
…nganu, waktu itu ndak tau kalau Trans-nya bisa sampai Ungaran.
*isin dewe*
LikeLike
Hahahahah ngekek dewe ndes moco tulisanmu… gedruk-gedruk sikilku pas ketemu kata *Wass… (tiiit)
LikeLike
Wahahaha, suwun loh uwes moco.
Semoga terhibur yoooo (tiiiit)
LikeLike
keren ceritane broo… bisa buat teman saat sepi termenung sendirian dikamar….
LikeLike
Alhamdulillaaah….
LikeLike
Terima kasih sudah buatku tersenyum dengan ceritamu 🙂
LikeLike
Katanya dijuluki serious travel blogger. Tapi ko kocak mas haha
LikeLike
Maaf mas, mungkin aku belum bisa serius saat ini 😦
LikeLike
emang, berpetualang didaerah orang emang kagak ada habisnya, bang! selalu aja menegangkan dan seru :v
LikeLike
Ahahaha, expect the unexpected lah kalau kata orang Amrik.
LikeLike
ungarane ngendi ki mas.. jo’2 tonngo dewe ki ?? hihihi…
LikeLike
hahaha, cedak siwarak mbak.
LikeLike
wah tonggo tenan, siwarak kolam renang… aku sembungan mas.. :)))
LikeLike
huahahahahahaaa *salaman sek*
LikeLike
Kapan nyusuul? undang-undang yaa..rumah kita pan dekat riiv…
LikeLike
Aamiin, doain yaaa. Nanti ngunduh aja kalau itu, hihi.
LikeLike
wahaha itu tukang cukur madura di alun alun ungaran.
sekarang sari boga dan bangunan didepannya dirobohkan lho, mbuh mau dibangun apa
(cuma info kalo belum tau)
LikeLike
Hahaha kamu apal banget sih mas!
Eh sari boga itu yang mana sih?
LikeLike