backpackstory
  • Home
  • Domestic
    • Aceh
    • Bali
    • Banten
    • DKI Jakarta
    • Jawa Barat
    • Jawa Tengah
    • Jawa Timur
    • Kalimantan Timur
    • Kalimantan Utara
    • Kepulauan Bangka Belitung
    • Kepulauan Riau
    • Lampung
    • Maluku
    • Maluku Utara
    • Nusa Tenggara Barat
    • Nusa Tenggara Timur
    • Papua
    • Papua Barat
    • Riau
    • Sumatera Selatan
    • Sulawesi Tengah
    • Sulawesi Utara
    • Sulawesi Selatan
  • Foreign
    • Armenia
    • Australia
    • Azerbaijan
    • Belgium
    • Bhutan
    • Brunei Darussalam
    • Cambodia
    • China
    • England
    • France
    • Georgia
    • Hong Kong
    • India
    • Iran
    • Italy
    • Japan
    • Kenya
    • Laos
    • Macau
    • Malaysia
    • Myanmar
    • Nepal
    • Netherlands
    • North Korea
    • Philippines
    • Russia
    • San Marino
    • Singapore
    • Scotland
    • South Korea
    • Taiwan
    • Tanzania
    • Thailand
    • Timor Leste
    • Turkey
    • United States of America
    • Uzbekistan
    • Vietnam
  • Mamacation
  • Events
  • Miscellaneous
    • Accommodation
    • Culinary
    • Others
    • Survival Kit
    • Transportation
  • Visa
    • Visa Amerika
    • Visa Armenia
    • Visa Australia
    • Visa Azerbaijan
    • Visa Cina
    • Visa Georgia
    • Visa India
    • Visa Iran
    • Visa Jepang
    • Visa Kenya
    • Visa Korea Selatan
    • Visa Myanmar
    • Visa Nepal
    • Visa Rusia
    • Visa Schengen
    • Visa Taiwan
    • Visa Tanzania
    • Visa Timor Leste
    • Visa Turki
    • Visa UK
  • About
    • Achievements
    • Clients Portfolio
    • Country List
    • Stage Performance
  • Newcastle United Fans

    Cerita ‘Naik Haji’ ke Newcastle (1)

  • apartemen pakubuwono terrace rumah.com

    Perjalanan Berliku Mencari Hunian Idaman (1) – Dari Kostan, Apartemen, Hingga Perumahan!

  • Walking Tour Moshi Tanzania

    Penasaran Ikutan Walking Tour di Moshi Tanzania

  • Ariev in Pyongyang

    Let Me Tell You A Story, About My (Travel) Life in A Decade (Part One)

  • Backpackstory

    Panduan Membuat Travel Blog (dan Memulai Hidup Sebagai Seorang Travel Blogger)

  • Nou Camp Barcelona

    Jalan-jalan Terus, Duit dari Mana?

  • Coldplay Paris

    Konser Coldplay Paris dan Owa-owa Berjamaah

  • Trinity: Nekad Traveler The Movie – Pengalaman Pertama Main Film Layar Lebar

  • Turkish Airlines Business Class

    Ini Rasanya Naik Pesawat Business Class!

  • Trinity Traveler

    Intimate Interview bersama Trinity Traveler: Hidup sebagai Travel Writer!

  • My Trip My Adventure - Wae Rebo

    Panduan Mengikuti Trip MTMA untuk Pemula

  • 25 Alasan Melakukan Road Trip Flores

  • 11 Hal Menyebalkan yang Mungkin Kamu Temukan di Paris

  • Sebuah Perjalanan Panjang Bernama Pernikahan (3) – Detik-detik Pernikahan

  • Ibarat Perjalanan Menuju Air Terjun Mata Jitu

  • This Is How FootballTicketNet Ruins My Childhood Dream

  • Inggris dan Mimpi Bertemu The Beatles

  • Mengurus Sendiri Visa Inggris (UK)

  • Kisah (Nama) Muhammad di Amerika Serikat

  • Khataman di Laos

  • 18 Hal yang Harus Dibiasakan di Amerika

  • Visa Amerika

    Langkah-langkah Mengurus Visa Amerika

  • Ngeblog ketika Traveling, Why Not?

  • Wisata Horor Kota Bandung

  • Hati-hati ke Ujung Genteng!

  • Mamacation, Semuanya Berawal Dari Sini.

  • Mengintip Adult Shop di Jepang

Puncak 29 Rahtawu Gunung Muria

Puncak 29 Rahtawu Gunung Muria: Kisah Pendakian Penuh Petilasan

arievrahman

Posted on August 17, 2022

Kabar buruk tak pernah datang di saat yang tepat, dan tidak akan ada saat yang tepat untuk sebuah kabar buruk yang datang. Pagi itu, di penghujung Oktober 2021, saya sedang bersiap untuk berangkat ke kantor dari kamar indekos yang saya tempati di Ciamis, saat sebuah pesan masuk melalui aplikasi WhatsApp di handphone saya. “Innalillahi wa inalillahi rojiun, ibu meninggal pagi ini di Pati.”.

Ibu, adalah panggilan kami untuk nenek, atau ibu dari Mama. Mama yang terbiasa memanggil ibunya dengan ‘ibu’, membuat kami –cucu-cucu, juga mengikutinya. Usia ibu saat itu sudah lebih dari 80 tahun; Beliau meninggal setelah sempat dirawat sebelumnya di rumah sakit. Komplikasi beberapa penyakit karena usia ditambah adanya faktor psikosomatis karena banyak rekan-rekan sepantaran Ibu yang berpulang karena COVID-19, adalah faktor penyebab kepergiannya. Anak-anak Ibu yang bergantian menunggu di rumah sakit pun sudah siap seandainya kabar buruk tersebut tiba.

Saya, yang mendapat kabar buruk tersebut, segera mengajukan cuti ke atasan, dan langsung nekat berkendara sejauh 400 kilometer ke arah timur, melewati jalanan yang belum pernah saya lewati sebelumnya. Atau tepatnya, sedikit bertualang akibat Google Maps, yang iseng membawa saya melewati Gunung Lio sebelum masuk jalan tol pantura dari Brebes.

Beberapa jam kemudian, saya pun tiba di Pati, untuk berkumpul bersama keluarga besar, sambil mengantarkan Ibu ke tempat peristirahatannya yang terakhir, yang hanya terletak beberapa meter dari tempat Bapak (kakek saya) disemayamkan, belasan tahun sebelumnya. Malam itu, rumah Ibu kembali ramai, walau tanpa si empunya rumah, namun semua berkumpul di sini. Om dan Tante yang ada di Jawa Tengah, juga Pakde yang berdomisili di Sumatera ikut hadir di Pati. Ya, selain pernikahan, kematian adalah hal lain yang dapat menyatukan anggota keluarga dan saudara yang terpisahkan jarak. Baru setelah itu, biasanya disatukan lagi dengan yang namanya pembagian warisan.

Pati

Sebagai cucu, saya hanya bisa ikut menyimak perbincangan malam itu, mengenai rencana kehidupan anak-anak sepeninggal Ibu. Sambil menyimak, sebuah pertanyaan juga muncul di dalam benak saya “Mumpung mudik, mumpung cuti beberapa hari, enaknya sambil main ke mana ya?”

Categories: Domestic, GMT +7, Jawa Tengah

Tagged: gunung muria, kudus, puncak 29, rahtawu

0 Comments

+Read more

Renaissance Bali Uluwatu Resort & Spa

Pada Suatu Waktu di Uluwatu

arievrahman

Posted on July 7, 2022

“Kamu diikutin barong, tuh.” Si mbok yang saya temui secara tidak sengaja malam itu berkata, ujug-ujug, tidak ada angin tidak ada hujan dan tidak ada Pandji yang bersembuyi sambil menunggu untuk berseru ‘Kena deh!’. Hanya ada kita berdua malam itu, remang-remang, ditemani lantunan musik jazz yang mengalun perlahan. “Iya, barong yang ada jubah emasnya itu.”

“Hah, barong?” Saya yang sedang melamun santai sambil membayangkan dipijat di pinggir pantai oleh wanita berbikini sambil diiringi lagu Sway dengan irama marimba tiba-tiba membelalak. Barong, bukankah dia mahkluk menyerupai singa dengan kepala yang berwarna merah dan berbulu putih tebal, yang patung atau lukisannya kerap kita temukan di pura? Lantas, pertanda apakah ini? “Aduh…”

“Tenang, diikuti barong itu pertanda baik.” Mbok mencoba menenangkan saya yang terlihat gusar. Memang, dalam mitologi Hindu Bali, barong kerap dijadikan sebagai simbol kebajikan dan perlindungan terhadap hal-hal yang jahat. Dalam konsep keagamaan, barong terdiri dari dua kata yaitu bar atau bor yang berarti poros dan ong adalah sebutan bagi Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa). “Gak apa-apa, dia cuma mau antar kamu balik, memastikan kamu baik-baik saja.”

“Oh, begitu ya, Mbok.”

“Iya, aman kok. Memangnya kamu habis dari mana, kok sampai diikuti oleh barong?”

Categories: Bali, Domestic, GMT +8

Tagged: Bali, renaissance, tebing batu jaran, uluwatu

7 Comments

+Read more

Doha Qatar

Selain Menonton Piala Dunia, Inilah 11 Hal yang Bisa Kamu Lakukan di Doha Qatar!

arievrahman

Posted on June 16, 2022

Piala Dunia akan kembali digelar pada tahun 2022 ini, namun gaungnya seperti biasa saja, tidak se-memorable goyangan Ricky Martin di Perancis pada tahun 1998 atau se-wkwk-ee Shakira seperti di Piala Dunia 2010 yang diadakan di Afrika Selatan. Tahun ini, entah mengapa euforia itu seperti tak kentara. Entah karena perhelatannya diadakan di Qatar yang notabene bukan negara dengan kultur sepakbola yang dikenal, atau entah karena diadakan pada waktu yang di luar kebiasaan Piala Dunia pada umumnya.

Iya, Piala Dunia tahun 2022 ini diadakan pada bulan November, berbeda dengan kebiasaan sebelumnya, di mana FIFA selalu mengadakan Piala Dunia pada libur musim panas liga-liga Eropa di bulan Juni-Juli. Alasannya adalah karena suhu udara di Qatar pada musim panas bisa mencapai 40º Celcius, di mana pada suhu tersebut kita disarankan untuk lebih banyak istighfar dibandingkan bermain bola panas-panasan sambil latihan menjadi musafir di padang pasir.

Terlepas dari helatan Piala Dunia yang mungkin seperti tidak menarik, masih ada banyak hal lain yang dapat kamu lakukan di Doha, ibu kota Qatar, negara yang luasnya kurang lebih hanya dua kali lipat Pulau Bali ini. Ya, menurut saya, kalau kebetulan kamu sedang berada di Doha dan menurut kamu menonton Piala Dunia 2022 itu membosankan, maka setidaknya kamu bisa melakukan hal-hal berikut ini:

1. EXPLORING KATARA CULTURAL VILLAGE

Walaupun bernama village, tapi Kaltara Cultural Village ini bukanlah sebuah desa inpres, melainkan sebentuk proyek ekshibisi budaya, yang berbentuk komplek luas dengan bangunan-bangunan menarik yang dapat digunakan untuk pameran budaya. Seiring berjalannya waktu, Katara Cultural Village ini kerap digunakan untuk ajang festival baik nasional maupun internasional, workshop, hingga pertunjukan seni dan budaya lainnya.

Nama Katara sendiri diambil dari sebutan yang kerap digunakan dunia untuk menyebutkan wilayah semenanjung Qatar sejak tahun 150 Sebelum Masehi. Pada peta kuno yang dimiliki oleh Perancis, tersebutlah nama Katara untuk menyebutkan wilayah yang sekarang menjadi Qatar ini. Katara, lalu berkembang menjadi Qatar, cocok bukan?

Doha Qatar
Doha Qatar

Ide awal pembangunan komplek ini adalah berkat visi jangka panjang yang dicanangkan oleh HH Sheikh Hamad Bin Khalifa Al Thani, ayah dari Emir penguasa Qatar saat ini, yang menginginkan terciptanya sebuah proyek interaksi manusia melalui proses pertukaran seni dan budaya, yang kemudian diwujudkannya dengan pembangunan Katara Cultural Village ini.

Categories: Foreign, Qatar

Tagged: corniche, doha, Qatar, the pearls

4 Comments

+Read more

Tbilisi Georgia

Kejutan Demi Kejutan di Georgia

arievrahman

Posted on May 27, 2022

“Welcome to Georgia!” Ucap petugas imigrasi di Tbilisi setelah memberikan stempel kedatangan di paspor saya. Alhamdulillah, kali ini e-visa yang saya bayar dengan biaya 20 Dollar Amerika berhasil menunjukkan tajinya, di mana saya berhasil masuk ke Georgia tanpa perlu terkena insiden imigrasi seperti ketika pertama kali mengunjungi Amerika Serikat pada 2014 di mana saya terkena detensi lebih dari tiga jam di bandara John F Kennedy, New York.

Drama perjalanan panjang selepas pengalaman yang kami dapat di batas negara Azerbaijan-Georgia hari itu sepertinya akan berakhir ketika kami keluar dari Bandar Udara Internasional Novo Alexeyevka, Tbilisi dan akan menuju penginapan setelah menyempatkan mengambil uang di ATM dan membeli kartu SIM supaya bisa tetap online dan eksis di Instagram. Pukul sepuluh malam, kami keluar dari bandara dengan badan pegal dan keinginan supaya dapat langsung berbaring di kasur yang empuk.

“Taxi, Mister?” Seorang pria berbadan gempal, berambut cepak, dengan lengan yang berukuran sebesar paha saya menawarkan jasanya. Bulu-bulu lebat nampak menyelimuti kulitnya yang putih. Apabila di Azerbaijan orang-orangnya mirip orang Timur Tengah, maka di Georgia ini orang-orangnya lebih mirip dengan orang-orang Rusia.

Wajar saja, namanya juga bekas wilayah kekuasaan Rusia di masa lampau, walaupun dengan pengandaian demikian, saya masih merasa sedih karena tidak memiliki wajah tampan seperti orang Belanda ataupun kulit putih seperti orang Jepang.

“Mister?” Tanyanya lagi, mengalihkan pikiran saya yang memerhatikan bulu-bulu di tangannya.

Saya menatap Adi, dan mengatakan bahwa sebaiknya kita menggunakan taksi karena hari sudah malam. Adi pun mengangguk pasrah. “How much?”

“40 Lari.” Jawabnya, pada saat itu 1 Lari setara dengan 5.500 Rupiah. “Normal price.”

Saya sempat menawar harga taksinya, dengan berargumen bahwa kami hanyalah turis dari negara berkembang yang presidennya selalu dianggap salah. Namun gagal, si pria berbulu bergeming dengan penawarannya.

“Ya sudah deh, Bang, ikut!” Sebelum naik ke mobil, saya sempat memperhatikan sebuah poster di pangkalan taksi bandara yang bertuliskan ‘FIXED PRICE TO CITY – 30 LARI’. Sebuah poster yang sebelumnya ditutup-tutupi oleh badan besar si sopir taksi. Keparat, namun nasi sudah menjadi bubur.

Taxi Tbilisi Georgia

Dengan kecepatan tinggi dan teknik mengemudi yang setara dengan sopir Kopaja di Jakarta, kami dibawa meninggalkan bandara malam itu, menuju penginapan yang telah kami pesan di jantung kota Tbilisi.


Categories: Foreign, Georgia

Tagged: Caucasus, Fadli Zon, Georgia, Tbilisi

0 Comments

+Read more

Blogger Backpackstory

Sepuluh Hal yang Didapat dari Sepuluh Tahun Menjadi Travel Blogger

arievrahman

Posted on April 15, 2022

Halo, nama saya Muhammad Arif Rahman, dan saya sudah sepuluh tahun menulis di blog perjalanan bernama Backpackstory ini. Untuk kamu yang sudah membaca dari awal kemunculan Backpackstory, saya mengucapkan terima kasih banyak. Sementara kalau kamu baru menemukan blog ini secara tidak sengaja akhir-akhir ini, atau datang ke sini karena artikel-artikel tentang visa yang mungkin dapat membantumu, saya juga mengucapkan terima kasih karena telah memberikan saya kekuatan dan semangat untuk terus menulis hingga detik ini.

Walaupun blog sekarang sudah semakin dilupakan, akibat pergeseran tren konsumen dari membaca tulisan ke menonton video, yang secara langsung berpengaruh terhadap jumlah kunjungan dan juga nominal adsense (di WordPress disebut dengan WordAds –iklan berbayar) yang masuk, namun saya terus mencoba untuk tetap berkomitmen menulis, ya sekarang setidaknya sekali sebulan (dari yang awalnya bisa 1-2 kali dalam seminggu).

Tapi ya itu saya, gak tahu dengan teman-teman blogger yang lain, apakah masih tetap menulis? Atau hanya menulis ketika dibayar atau diundang datang ke event? Atau hanya mencantumkan bio ‘travel blogger’ di Instagram atau Twitter atau TikTok, tapi tidak pernah menulis lagi di blog, karena keasyikan membuat konten pendek yang lebih viral dan lebih ada duitnya?

Well, semua adalah pilihan, walaupun saya belum tentu jadi pilihan kamu.

Statistik blog Backpackstory

Berdasarkan statistik di atas, dapat dilihat bahwa selama 10 tahun terakhir jumlah pengunjung Backpackstory mengalami pasang surut seperti bursa saham dan kurs Rupiah terhadap Dollar –Amerika, bukan Zimbabwe. Views terbanyak didapat pada tahun 2017 yang melebihi satu juta mata membaca Backpacskstory, sementara tahun berikutnya terlihat menurun, yang beriringan dengan banyaknya kreator video bermunculan. Ketika COVID, pengunjung Backpackstory makin mengenaskan lagi, turun langsung separuh dari tahun sebelumnya. Ya wajar saja, namanya travel blog, kalau tidak boleh jalan-jalan, ya tidak ada yang membaca, bukan?

Categories: Events

Tagged: blog, Tips, travel blogging

3 Comments

+Read more

« Older entries   


post title here

Banners for Blog Indonesia Terbaik 2019


Travel Blogs Award 2018

Travel Blog Awards 2017 – Winners

Top Posts & Pages

  • Panduan Lengkap Mengurus Sendiri Visa Turis Australia
  • Cara Mendapatkan e-Visa Georgia bagi Warga Negara Indonesia
  • Panduan Mendapatkan Visa Taiwan untuk Wisatawan Indonesia
  • 8 Alasan Mengapa Harus Memakai XL Pass di Luar Negeri
  • Mudahnya Mengurus Visa Australia dengan Bantuan Dwidayatour

Archives

Blog Stats

  • 5,307,563 serious hits

Donate to Backpackstory

Donate Button with Credit Cards

Enter your email address to become a serious reader and receive notifications of new posts by email.

Join 58,756 other subscribers
Follow backpackstory on WordPress.com

Recent Comments

Dedi Dwitagama on Sepuluh Hal yang Didapat dari…
Nurul on Pada Suatu Waktu di Uluwa…
@punyadiari on Exploring Bintan on A Shoestri…
arievrahman on Lika-Liku Mendapatkan e-Visa…
Renata on Lika-Liku Mendapatkan e-Visa…

Twitter Updates

  • instagram.com/reel/CqXp3PlDF… 1 hour ago
  • RT @tomspr: Menjelang Lebaran, pasti mulai pada nyiapin buat hadiah ke ortu dan sanak saudara kan? Buat yang mau ngasih parfum, ga perlu k… 4 hours ago
  • Es Nangka Kelapa Gula Aren by Dapur Gladies #food #dessert #ramadan youtu.be/TItXF9l8pVk 5 hours ago
  • RT @TheDOHIDMedia: @arievrahman Wow... this would be peaceful for you and in meaning you work from Ciamis since the past few years when the… 6 hours ago
  • RT @rendraTEUB: @arievrahman Tenang, Pondok Rajeg juga masih Cash Pak kalo beli BBM. Satunya sih ada ATM nya.. Terbiasa nyimpen cash kuwi… 6 hours ago
Follow @arievrahman

Official Facebook Page

Official Facebook Page
  • View arievrahman’s profile on Facebook
  • View arievrahman’s profile on Twitter
  • View arievrahman’s profile on Instagram
  • View arievrahman’s profile on LinkedIn
  • View arievrahman’s profile on YouTube
  • View arievrahman’s profile on Google+
  • View arievrahman’s profile on Tumblr
Advertisements

Return to top

© Copyright Backpackstory 2012-2021

Website Powered by WordPress.com.

  • Follow Following
    • backpackstory
    • Join 2,649 other followers
    • Already have a WordPress.com account? Log in now.
    • backpackstory
    • Customize
    • Follow Following
    • Sign up
    • Log in
    • Report this content
    • View site in Reader
    • Manage subscriptions
    • Collapse this bar
 

Loading Comments...