
Puncak 29 Rahtawu Gunung Muria: Kisah Pendakian Penuh Petilasan
arievrahman
Posted on August 17, 2022
Kabar buruk tak pernah datang di saat yang tepat, dan tidak akan ada saat yang tepat untuk sebuah kabar buruk yang datang. Pagi itu, di penghujung Oktober 2021, saya sedang bersiap untuk berangkat ke kantor dari kamar indekos yang saya tempati di Ciamis, saat sebuah pesan masuk melalui aplikasi WhatsApp di handphone saya. “Innalillahi wa inalillahi rojiun, ibu meninggal pagi ini di Pati.”.
Ibu, adalah panggilan kami untuk nenek, atau ibu dari Mama. Mama yang terbiasa memanggil ibunya dengan ‘ibu’, membuat kami –cucu-cucu, juga mengikutinya. Usia ibu saat itu sudah lebih dari 80 tahun; Beliau meninggal setelah sempat dirawat sebelumnya di rumah sakit. Komplikasi beberapa penyakit karena usia ditambah adanya faktor psikosomatis karena banyak rekan-rekan sepantaran Ibu yang berpulang karena COVID-19, adalah faktor penyebab kepergiannya. Anak-anak Ibu yang bergantian menunggu di rumah sakit pun sudah siap seandainya kabar buruk tersebut tiba.
Saya, yang mendapat kabar buruk tersebut, segera mengajukan cuti ke atasan, dan langsung nekat berkendara sejauh 400 kilometer ke arah timur, melewati jalanan yang belum pernah saya lewati sebelumnya. Atau tepatnya, sedikit bertualang akibat Google Maps, yang iseng membawa saya melewati Gunung Lio sebelum masuk jalan tol pantura dari Brebes.
Beberapa jam kemudian, saya pun tiba di Pati, untuk berkumpul bersama keluarga besar, sambil mengantarkan Ibu ke tempat peristirahatannya yang terakhir, yang hanya terletak beberapa meter dari tempat Bapak (kakek saya) disemayamkan, belasan tahun sebelumnya. Malam itu, rumah Ibu kembali ramai, walau tanpa si empunya rumah, namun semua berkumpul di sini. Om dan Tante yang ada di Jawa Tengah, juga Pakde yang berdomisili di Sumatera ikut hadir di Pati. Ya, selain pernikahan, kematian adalah hal lain yang dapat menyatukan anggota keluarga dan saudara yang terpisahkan jarak. Baru setelah itu, biasanya disatukan lagi dengan yang namanya pembagian warisan.

Sebagai cucu, saya hanya bisa ikut menyimak perbincangan malam itu, mengenai rencana kehidupan anak-anak sepeninggal Ibu. Sambil menyimak, sebuah pertanyaan juga muncul di dalam benak saya “Mumpung mudik, mumpung cuti beberapa hari, enaknya sambil main ke mana ya?”
Tagged: gunung muria, kudus, puncak 29, rahtawu