
Lebaran, merupakan momen yang paling ditunggu bagi saya –yang notabene adalah seorang karyawan–, karena selain memberikan kesempatan untuk berkumpul bersama keluarga, juga menyediakan waktu yang cukup panjang untuk berlibur, dalam bentuk cuti. Dan salah satu nilai lebih dari cuti lebaran adalah, saya bisa merayakan liburan bersama keluarga.
Selepas salat ied dan bersalam-salaman dengan keluarga, saya bersama sebagian saudara telah siap di halaman rumah nenek di Pati untuk bertolak ke Probolinggo, karena kami berencana mengunjungi Bromo di lebaran tahun 2011 itu. Hanya lima orang tersisa yang mempunyai waktu luang ikut dalam liburan kali ini, sisanya tidak ikut karena telah mempunyai acara lain, selain karena faktor fisik, ketampanan, dan usia.
Perjalanan menuju Probolinggo via Tuban dan Lamongan berlangsung lancar, bahkan dapat dikatakan tak ada hambatan sepanjang perjalanan. Jalanan cukup lengang dan bebas dari arus mudik. Godaan pertama datang sebelum memasuki Kota Tuban, perut yang telah berbunyi nyaring memaksa saya untuk menghentikan laju mobil di salah satu rest area berlatarkan hutan, untuk menikmati … mie instan. Perjalanan dilanjutkan kembali setelah ishoma (istirahat sholat makan, bukan istirahat sholat mabuk-mabukan, red), dan godaan kedua pun datang setelah melewati jalan tol lingkar Surabaya, yaitu ketika kami melintas di area bencana Lapindo, Porong, Sidoarjo. Kami ingin menyaksikan secara langsung, sebagaimana besar dampak yang ditimbulkan oleh lumpur Lapindo tersebut.
Ironisnya, di Indonesia, tempat bencana justru dijadikan objek wisata. Misalnya seperti lumpur Lapindo di Sidoarjo, bekas jalur erupsi Merapi –sebelum dibenahi– di Magelang, hingga contoh paling simpelnya adalah ketika adanya kecelakaan di jalan, lebih banyak orang yang berhenti untuk menonton daripada menolong. Ironis, tapi itulah Indonesia.
Seorang pria berpenampilan sangar dengan kulit legam karena matahari menepikan mobil kami tepat di sisi tanggul lumpur Lapindo. “Parkir sini saja.” Serunya. Kami menurut, dan bergegas menaiki tangga yang terbuat dari bambu yang seadanya. Menariknya, ada seorang pria lagi yang meminta kontribusi dari kami sebagai tiket masuk objek wisata bencana tersebut. Indonesia.
Di atas, pemandangan memilukan menyambut kami, tampak lautan lumpur yang telah berangsur mengering terbentang seluas mata memandang. Entah berapa banyak kerugian yang ditimbulkan oleh kue lumpur dari Aburizal Bakery ini, namun kami hanya bisa mendoakan yang terbaik bagi para korban.
Setelah menyelesaikan administrasi (baca: membayar parkir liar di objek wisata Lapindo), kami bergegas menuju Probolinggo, ke tempat hotel yang telah kami pesan sebelumnya, yaitu Hotel Paramita dengan rate sekitar Rp. 200.000,00/kamar twin. Godaan ketiga hari itu datang waktu malam ketika perut kembali mengajak kami menikmati hidangan malam di Probolinggo yang sejuk, dan semangkok bakso menjadi pelampiasan keganasan kami malam itu.
Untuk menuju Bromo ada beberapa cara, dan kami saat itu memutuskan untuk menggunakan mobil sewaan dari Probolinggo dengan tarif Rp. 500.000,00 untuk mobil Avanza + hantaran jeep ke Pananjakan pulang pergi melalui jasa Pak Toli (tanpa imbuhan lain). Pada pukul tiga pagi di saat kami sedang tidur pulas, bunyi telepon yang memekakkan telinga berdering di kamar, mengatakan bahwa jemputan kami telah siap menanti di depan hotel. Tanpa sempat mandi dan blow rambut di salon, berangkatlah kami untuk melihat matahari terbit di negara tropis, dengan pakaian musim dingin.
Tiba di hentian terakhir sebelum naik ke Penanjakan dengan menggunakan jeep, udara dingin merasuki tubuh kami hingga ke tulang. Tak salah jika sebelumnya Mama menyiapkan jaket tebal, hingga penutup telinga milik Papa sebagai antisipasi udara dingin. Sebagai reward atas ketahanan kami terhadap udara dingin tersebut, ribuan bintang menyapa kami dengan indahnya. Hampir seperti tak ada jarak antara saya dan bintang di langit, yang membuat saya ingin bernyanyi kepada Mama “Ambilkan bintang, Bu.” namun kemudian membatalkannya karena ingat bahwa judul lagunya adalah “Ambilkan Bulan, Bu.”. Lagu anak durhaka.
Saya hanya menutup mata sepanjang perjalanan dengan jeep ke Penanjakan, selain tak ada yang bisa dilihat di luar karena gelap, si supir juga membawa kami berkelok-kelok dalam kegelapan tersebut. Pasrah pada nasib, juga ikhlas karena tak ada sinyal handphone di daerah itu, membuat kami tak henti-hentinya berdzikir. Setelah tiba di perhentian terakhir jeep, si supir meminta kami untuk berjalan mengikuti arus manusia di situ. Saat itu sekitar pukul empat pagi, dan kami harus berolahraga dalam arti yang sebenarnya.
Langit masih sangat pekat ketika kami tiba pada pucuk jalan tersebut, saya pun menyiapkan Peju untuk membidik sang surya, walaupun saat itu kami masih tidak tahu bahwa matahari akan muncul dari mana. Sekitar pukul lima pagi, perlahan langit mulai benderang, matahari naik dengan indahnya di antara Gunung Batok dan Gunung Semeru. Pekatnya malam mulai terganti dengan semburat oranye yang ciamik yang berpadu dengan biru yang tenang. Kami bersyukur, bahwa perjuangan kami bangun pagi, dan berjalan kaki menaiki bukit, akhirnya berbuah manis.
Puas menyaksikan matahari terbit, kami kembali ke arah hentian jeep untuk menuju lokasi berikutnya, yaitu Gurun Pasir Bromo. Kali ini jeep mengantar kami hingga ke pemberhentian terakhir sebelum Pura Luhur Poten yang terletak di kaki Gunung Bromo. Dari sini, perjalanan dilanjutkan ke puncak Gunung Bromo. Pilihannya adalah dengan menaiki kuda, berjalan kaki, atau berjalan kaki sambil menggendong kuda menuju tangga pendakian Bromo yang lokasinya relatif jauh dari pura.
“Kudanya, Bu?” Seru abang tukang kuda kepada mama dan tante.
Dua wanita tersebut menoleh sambil memperhatikan bodi kuda yang perkasa. “Berapa, Pak?” Saya yang memperhatikannya pun ikut menelan ludah.
“Seratus ribu saja, tarif resminya.” Abang tukang kuda menjelaskan.
“Gak boleh 25.000 saja?” Dua wanita menawar.
Dan abang tukang kuda berkata: “Maaf Bu, aku gak bisa.” Dia tersenyum “Ini sudah tarif resmi dari Pemda setempat.”
Kami pun berjalan mendekati tangga, dengan dua orang abang tukang kuda (beserta kudanya) membuntuti di belakang. Sepanjang perjalanan, mereka terus menawarkan jasa kudanya kepada kami. Namun kami bergeming. Dan ketika sudah sampai setengah perjalanan, kedua wanita tersebut berhenti, tersengal, kelelahan, lemah, letih, lesu, dan melambaikan tangan ke arah abang tukang kuda, “Mari-mari sini, aku mau naik kuda.”
“Boleh kak, kudanya.”
“Tapi seratus ribu buat dua orang ya.” Karena bukan wanita namanya kalau tidak menawar “Kan sudah separuh jalan ini.”
Abang tukang kuda terdiam, dan setelah hasil diskusi panjang dengan imajinasinya selama satu menit, dia pun mengiyakan “Tapi jangan bilang-bilang yang lain ya.”
Setelah berjalan puluhan menit, sampailah kami di tangga yang akan mengantarkan ke puncak Gunung Bromo. Di sana telah mengantri ratusan orang –selain beberapa penjual minuman– untuk naik ke puncak, serta puluhan sisanya menggunakan waktunya untuk berfoto dengan latar balakang gunung yang telah beberapa kali meletus ini.
Tak disangka, tangga tersebut merupakan tangga yang dibentuk seadanya dari pasir yang telah mengeras dan menggumpal, maka tak jarang kami terperosok ke dalamnya. Angin yang bertiup kencang, terkadang menerbangkan pasir-pasir tersebut ke arah kami, dan beberapa kali memasuki tubuh molek Peju (baca juga: Kisah tragis Peju di sini). Setelah perjuangan yang tak mudah, sampailah kami di Puncak Gunung Bromo tersebut, dan pemandangan yang terlihat dari sana juga sangatlah menakjubkan. Cekungan kawah yang masih diisi oleh asap belerang di depan kami, dan pura serta barisan jeep yang terparkir rapi jauh di bawah sana tak ayal membuat kami semakin banyak bersyukur telah dianugrahi pemandangan yang menakjubkan ini.
Perjalanan turun ke bawah tidak sesusah ketika naik, malah kami bisa bermain seluncuran di pasir ketika turun. Perjalanan menuju hotel membuat kami tercengang, karena ternyata kami turun melalui di jalan sempit dengan jurang terjal di kiri dan kanan kami, saat itu seketika saya percaya bahwa SIM si supir jeep bukanlah hasil nembak. Perjalanan menuju Pati, dua hari berikutnya –karena kami menyempatkan mampir ke Malang lebih dulu– berlangsung lancar melewati Pujon dengan gemericik sungai dan bukit-bukit yang hijau sepanjang jalan, bahkan kami sempat menikmati sunset yang menawan ketika tiba di Tuban.
Ini cerita liburan lebaranku, kalau kamu sendiri bagaimana?
*meringis*
[PS: Kalau suka cerita Bromo ini, mungkin kamu juga akan suka cerita Krakatau ini.]
Tagged: Bromo, Jawa Timur, Lapindo, Penanjakan, Probolinggo
Cerita lebaran 2011 baru muncul 2013,
Berarti cerita lebaran 2013 baru muncul …..
LikeLike
tahun kemareeeen…
LikeLike
ini apanya yang tahun kemaren cobaak?! ,_,
LikeLike
gaya nulisnya berubah ya bang? kamu berubah bima satria.. berubah #salahfokus
LikeLike
aaakkkk, kamu … kamu … Perhatian banget sama aku.
Emang yang sebelumnya gimana?
*berubah jadi Johnny Depp*
LikeLike
Yang sebelumnya agak lebih serius kayaknya. Itu foto mas yang berdiri sama Peju bagus. Tumben #eh
LikeLike
Ogitu, yang ini gak serius ya? Makasih loh, sudah mulai terbuka mata hatinya.
LikeLike
Yang ini ada humornya, bang :). Terus nggak terlalu banyak dialog.
LikeLike
belum pernah ke bromo *malu
LikeLike
Saya malah kepengin lagi ke sana, Mas. Ehehe.
LikeLike
Eh sumpah jadi kangen bromo, kangen makan rawon nguling ama nasi campur nya 🙂
LikeLike
Aku malah belum makan rawon nguling sama nasi campur di sana 😦
LikeLike
mau ke bromo deh. btw, itu pose tantenya kak arif juara banget *masih ngikik* 😀
LikeLike
HAHAHAHA!
AKU BILANGIN ORANGNYA LOH!
LikeLike
kalo ke bromo lagi, mampir ke malang yaa
LikeLike
Siap! Eh, lebaran kemarin kan aku di Malang 2 hari, hehehe.
LikeLike
wah.. mampir tuban, tapi ngga mampir rumahku sih, masih kurang seru hehehe #ehSKSDbanget :))
LikeLike
Kapan-kapan kalau lewat lagi ya, nanti dikabarin, haha!
Aku sering kok lewat Tuban 😀
LikeLike
Dengan senang hati, haha 😀
LikeLike
setiap Minggu ada kok. Biasa dimulainya jam 8 – 10 pagi. Acaranya diselang-seling
LikeLike
Skill pengemudi Hardtop Bromo emang jempolan. Tikungan tajam hampir 270 derajat sambil nanjak. Belum lagi jika macet menuju pananjakan pas longweekend.
Jika memperhatikan lebih detil, di beberapa titik driver hartop bromo mengubah mode dari 4 WD ke 2WD, agar tidak mandek di tanjakan.
Selain sunrisenya, pengalaman menaiki jeep hartop juga menjadi bagian dari “wisata” bromo
LikeLike
Hooh, bener banget. Skillnya emang jempolan, gak perlu diragukan lagi. Waktu itu malah gak sempat lihat pakai 2WD atau 4WD hahaha.
LikeLike
rekeasi yang menantang
wisata bromo the adventure tour
makasih infonya
LikeLike
Sama-sama, jadi pengin ke sana lagi nih.
LikeLike
Saya tertarik dengan tulisan anda mengenai pariwisata dengan sejumlah wisata yang menarik. Sangat bermanfaat untuk dapat mengetahui tempat wisata yang menarik dan penuh dengan suasana baru.Saya juga mempunyai tulisan yang sejenis mengenai pariwisata yang bisa anda kunjungi di http://www.pariwisata.gunadarma.ac.id
LikeLike
Siap, terima kasih infonya.
LikeLike
tapi sekarang apa udah dibuka lagi ya bromo kan setau saya kabar terakhir sedang erupsi ?
LikeLike
Weekend kemarin temanku ke sana aman sih, tapi ya masih berasap.
LikeLike
mantap, liburan lagi nih ke bromo
LikeLike
Yoiii! Jadi pengin balik ke Bromo lagi nih!
LikeLike
yang ke bromo naik jeep bareng kiya yook rental jeep bromo
LikeLike
boleh kakaaa, tunggu aku ke Bromo lagi yaaa!
LikeLike