
Saya masih ingat malam itu, di pertengahan 2015, ketika sebuah pesan masuk ke akun Twitter saya. Pesannya sederhana, tidak meminta sumbangan dengan embel-embel kemanusiaan, tidak menjual akun Netflix atau Spotify dengan harga murah yang ternyata adalah hasil cracking kartu kredit, pun tidak pula menawarkan jasa open BO, melainkan hanya sebuah pertanyaan simpel yang ditujukan kepada saya, yang kurang lebih seperti ini bunyinya:
“Setelah ini, mana lagi destinasi yang ingin Mas kunjungi?”
Malam itu, saya sedang nongkrong santai di Starbucks Senayan City, sembari mengerjakan pekerjaan online yang saya dapatkan di Twitter ketika pesan tersebut masuk. Sebagai travel blogger dan seorang freelancer, pekerjaan saya saat itu adalah menjawab pertanyaan seputar traveling pada sesi Q&A yang dilakukan oleh sebuah akun Twitter agregator tiket pesawat, ya sebut saja Skyscanner; sehingga rasanya cukup terbiasa juga dengan banyaknya pertanyaan yang masuk pada malam itu.
Termasuk pertanyaan di atas, di mana sambil iseng, saya spontan menjawabnya:
“Pengin ke Newcastle. Untuk menonton bola.”
Ya, pergi ke Newcastle, di Inggris, yang tergabung di UK (United Kingdom of Great Britain) adalah impian masa kecil saya, di mana sudah sejak tahun 1996-1997 saya mengidolakan klub bodoh bernama Newcastle United ini. Iya sekarang bodoh, kalau dulu ya agak pintar karena bisa membuat top skor sepanjang masa Alan Shearer, Faustino Asprilla yang bisa melakukan hattrick melawan Barcelona, hingga Michael Owen di penghujung kariernya untuk bergabung. Menonton langsung pertandingannya di depan mata, rasanya adalah hal yang saat itu ingin sekali saya wujudkan.
Namun tentu saja terbentur biaya. Susah memang menjadi orang susah.

Ilustrasi pertandingan Newcastle
Obrolan malam itu berlanjut, dari yang semula saya pikir hanya basa-basi semata, ternyata menjadi lebih serius. Saya langsung mengecek jadwal pertandingan Newcastle United, dan memberikan rencana perjalanan saya kepada sang penanya misterius, ketika dia bertanya “Memangnya kalau mau pergi, rencananya kapan, Mas?” Setelah saya memberikan hal-hal yang diminta, dengan bijak dia menjawab:
“Bismillah ya Mas, kalau memang rezekinya Mas, maka akan jadi rezekinya Mas.”
Semua Bermula dari Mimpi
Saya sudah hampir lupa dengan obrolan malam itu, ketika pada suatu siang, beliau yang bersangkutan menghubungi saya kembali, bertanya seputar nomor rekening untuk keperluan transfer terkait dengan rencana kepergian saya ke Newcastle. Beberapa hari sebelumnya, memang saya sempat membawa obrolan tersebut ke dalam mimpi. Lagian, siapa sih yang tidak mau pergi ke Inggris? Namun, apa iya ada yang mau mengeluarkan biaya untuk orang asing yang bahkan belum pernah ditemui dalam mimpi? Lagipula siapakah saya, hanya orang biasa, bukan seorang Aryati yang dipuja Ismail Marzuki dalam mimpinya.
Namun pertanyaan tersebut terjawab beberapa hari kemudian, ketika sang penanya misterius memberikan sebuah kabar baik yang bunyinya sama seperti pesan-pesan yang ditunggu oleh para freelancer di luar sana, sebuah pesan yang berbunyi:
“Sudah ditransfer ya, Mas.”

Kabar baik yang juga merupakan kabar genting, karena praktis saya hanya mempunyai waktu sekitar dua-tiga minggu untuk menyiapkan segala sesuatunya, mulai dari cuti, perbekalan, hingga masalah visa. Karena kenaifan saya yang ingin segera berangkat, TERNYATA EH TERNYATA MENGURUS SENDIRI VISA UK (United Kingdom) BISA MEMAKAN WAKTU DUA MINGGU!
Ya untungnya, pihak VFS Global menyediakan yang namanya jasa Priority Service untuk mengurus Visa UK, sehingga visa tersebut dapat saya perolah dalam waktu tiga hari kerja saja, sepanjang semua persyaratan lengkap dan kamu mampu membayar biaya layanan prioritas tersebut, yang biayanya fluktuatif disesuaikan dengan naik turunnya kurs Rupiah.
Pada tahun 2015, biaya layanan prioritas saja di luar biaya visa (biaya visanya sekitar US$136 –iya dua jutaan) mencapai dua juta Rupiah, sementara pada tahun 2017, tercatat biayanya naik ke 3,3 juta Rupiah. Duh, Cindy Cenora pasti sedih mendengar kabar ini.
Periode perjalanan yang saya pilih adalah sekitar sepuluh hari, dari weekend bertemu weekend, dengan harapan bahwa saya dapat menonton dua kali pertandingan Newcastle United secara away & home. Away, atau pertandingan tandang melawan Manchester United di Old Trafford, dan home, atau pertandingan kandang melawan Arsenal di kuil suci St. James’ Park, eh Sports Direct Arena, maksudnya.
Ini adalah kali kedua saya traveling jauh seorang diri, di mana pada tahun sebelumnya, saya mengunjungi Amerika Serikat juga seorang diri, yang membuat saya sepertinya mendapat perlakuan spesial di imigrasi kala itu.
Karena menggunakan maskapai KLM (di mana pesawatnya yang berkonsep futuristik minimalis telah berhasil membuat saya ternganga), saya sempat transit di Amsterdam, yang menandai kali pertama saya menginjakkan kaki di Benua Biru, Eropa. Ya namanya kali pertama, tentu saja membuat saya katrok (dengan hiruk pikuk bandara Amsterdam juga layanan internet super kencang yang mudah terkoneksi di Bandara Schipol tanpa perlu menyebutkan nama ibu kandung dan tiga angka di belakang kartu kredit), dan entah bagaimana ceritanya saya bisa berfoto seperti di bawah ini. Entah siapa pula yang mengambil fotonya.

Dari Amsterdam, saya terbang ke Manchester, kota pertama yang akan saya kunjungi di Inggris sebelum bertolak ke Newcastle, dengan rencana yang super matang. Iya betul, sebagai seorang karyawan yang memiliki jatah cuti terbatas, saya harus melakukan perencanaan perjalanan dengan baik, sehingga tidak ada waktu yang terbuang percuma. Saat itu, saya mempunyai beberapa mimpi dan rencana berikut ini:
Tiba di Manchester, lalu naik kereta ke York untuk mengikuti Ghost Hunt Tour, sebelum menonton pertandingan Manchester United melawan Newcastle United di Old Trafford, dan kemudian ke Liverpool untuk ikut serta dalam tur The Beatles. Setelahnya, saya akan bertolak ke London dan berkelana di sana termasuk mengunjungi Stonehenge yang misterius, sebelum kembali ke utara untuk menjelajah Edinburgh dan Newcastle sebagai penutup kunjungan saya di UK.
Ya walaupun memang namanya manusia, kita hanya bisa berencana, di mana dompetlah yang menentukan. Sama halnya dengan sebuah mimpi, yang…
Terkadang Mimpi Tak Seindah Kenyataan
“Wait.”
Seorang petugas imigrasi meminta saya untuk menunggu selepas saya menyerahkan paspor kepadanya. “For vacation.” Saya menjawab pertanyaannya yang kemudian menanyakan maksud kedatangan saya ke Inggris.
“For how long?” Lanjutnya. “And where are you going in United Kingdom?”
Saya menyerahkan segepok itinerary yang sudah saya siapkan dan cetak dalam ukuran kertas A4, tebalnya sekitar tiga belas halaman. “For ten days.” Jawab saya sambil tersenyum khas orang Jawa. Maniezt.
Sang petugas membuka lembar demi lembar itinerary yang sudah saya buat, tak lupa juga saya menunjukkan bukti reservasi semua tiket pesawat, kereta, bus, dan atraksi yang sudah saya pesan sebelumnya. “Wow, you made these?” Cetusnya takjub sembari mengembalikan bundelan dokumen yang kali ini lebih terlihat seperti sebuah skripsi mahasiswa kampus, yang kemudian saya balas dengan anggukan manja. “Welcome to Manchester, then!” Sambutnya seraya memberikan senyuman khas Britania Raya. Dingin.
Saat itu, saya masih tak tahu peristiwa apa yang akan menyambut saya di Manchester dua hari kemudian. Sebuah peristiwa sial yang tak akan terlupakan sampai kapanpun.

Saya tiba kembali di Manchester esok lusa dengan kereta langsung dari York, saat itu adalah Hari Sabtu, 22 Agustus 2015, hari di mana saya dijadwalkan untuk menonton pertandingan antara Manchester United melawan Newcastle United, di Old Trafford. Tepatnya pada tribun away, tempat suporter garis keras Newcastle United berada. Orang-orang bilang untuk mendapatkan tiket pada tribun away di Old Trafford sangatlah susah, namun saya berhasil mendapat konfirmasi ketersediaan tiket tersebut dari FootballTicketNet, tempat saya membeli tiketnya secara online. Harganya £127.00, atau setara 2,5 juta Rupiah saat itu.
“Do you have any package for me, from FootballTicketNet?” Saya bertanya kepada seorang wanita, petugas resepsionis di hostel tempat saya menginap di Manchester, yang juga merupakan tempat di mana FootballTicketNet berjanji untuk mengirimkan tiketnya kepada saya. “Under the name, Muhammad Arif Rahman.“.
Saat itu pukul sepuluh pagi waktu Manchester, saat si petugas, sebut saja namanya Carmen, menatap mata saya dalam, sebelum menjawab pertanyaan saya. Sempat terjadi keheningan sesaat ketika dia menjawab “Sorry, we don’t have any package for Mr. Muhammad Arif Rahman.” yang dilanjutkan dengan sebuah gelengan kepala. Air muka Carmen berubah, seiring perubahan suasana di lobi tersebut, dari hening saja, menjadi hening banget.
Sehening Kota Manchester di pagi hari.

Pergi traveling seorang diri adalah sebuah perjalanan spiritual, yang dapat membuat saya menemukan diri saya sendiri yang sebenarnya. Juga merupakan sebuah perjalanan survival, karena tidak ada orang lain yang dapat saya andalkan di perjalanan, kecuali diri saya sendiri.
Saya sudah hampir menangis mendengar kabar dari Carmen, namun saya tahan karena malu. Masa jauh-jauh terbang 7.000 mil atau hampir 12.000 kilometer dari Jakarta ke Manchester hanya untuk menangis, ya paling tidak menangis sambil goyang dombret, lah.
Hal yang berikutnya saya lakukan adalah mengontak FootballTicketNet, untuk mencari tahu di mana tiket saya sebenarnya. Pada email sebelumnya, diberitahukan bahwa mereka mempunyai alamat email emergency yang berbeda dari email utama, tempat di mana mereka mengirimkan konfirmasi pemesanan tiket sebelumnya.

Sent! Saya mengirimkan email ke email emergency mereka, yang ternyata langsung dibalas, oleh mesin penjawab otomatis. Hadeh. Satu dua menit saya menunggu, kutak-kutik di depan gawang, eh lobi hostel, namun tidak ada balasan. Sebagai seorang introvert, melakukan panggilan telepon adalah hal terakhir yang akan dilakukan sebelum melabrak kediaman Mayang Sari, namun saat itu sepertinya tak ada pilihan lain, selain menelepon langsung ke FootballTicketNet, menggunakan nomor lokal yang saya beli di bandara beberapa hari lalu.
“Hello.”
Saya hampir saja menjawab dengan “Luwak White Coffee, Kopi Nikmat Tidak Bikin Kembung.” kalau tidak ingat bahwa saya sedang dalam kasus emergency. Saya menjelaskan kejadian yang sedang saya alami ke wanita di ujung telepon yang memperkenalkan dirinya sebagai Linda, yang tentu saja bukan Linda Ronstadt. Dia menjelaskan bahwa tiket saya sudah diantarkan ke hostel, sesuai aplikasi.
“But the fact is, I haven’t received my ticket yet.” Saya bersikeras, sesuai fakta yang terjadi di lapangan.
“Wait a moment.” Linda meminta saya menunggu sejenak sebelum dia mengecek kembali data yang ada padanya, dia mengatakan bahwa kurirnya akan datang ke hostel untuk mengecek apakah tiket saya sudah diantarkan dengan baik tadi malam. “He will arrive in one hour. I will call you for any updates.”
Satu jam kemudian, tetap tidak ada kabar apapun. Tidak ada kurir yang datang ke hostel, pun tidak ada panggilan dari Linda yang sudah mengetahui nomor telepon saya. Selayaknya orang panik pada umumnya, saya mondar-mandir di lobi hostel sambil sesekali duduk di sofa, bertanya kepada Carmen beberapa kali, untuk kembali mengecek mailbox-nya, siapa tahu ada yang terlewat olehnya. Namun jawabannya selalu sama “Nothing.”.

Waktu mendekati pukul 11.00 ketika serombongan tamu yang menginap di hostel berkumpul di lobi, hampir semuanya mengenakan jersey Manchester United, bersiap untuk berangkat ke stadion. Matchday, hari di mana suporter di seluruh kota akan berkumpul di stadion untuk menonton tim kesayangannya bertanding, ya walaupun kalau di Manchester, klub yang asli ya Manchester City, eh.
Saat itu, perasaan geram berkecamuk dalam dada, geram karena tiket yang belum juga saya pegang, bercampur perasaan iri karena tidak dapat bergabung bersama mereka untuk berangkat ke stadion yang terletak di pinggiran kota Manchester itu. Dengan sisa pulsa terakhir, saya kembali menelepon FootballTicketNet, namun jawaban mereka tetap sama. “Just wait, he will come.“.
Satu jam kemudian, saya memelas dan meminta Carmen menelepon FootballTicketNet menggunakan telepon hostel, dan kali ini saya mendapat jawaban yang mengejutkan, yang rasanya seperti hampir meninggal. Mereka bersikeras bahwa mereka sudah mengirimkan tiket saya pada pukul 10 malam di hari sebelumnya, dan seorang wanita bernama Loisa menerima paketnya. Bagian paling epic-nya adalah … TIDAK ADA PEGAWAI YANG BERNAMA LOISA DI HOSTEL TERSEBUT.
“She was so mean in the phone.” Carmen mengomentari hasil obrolannya di telepon. “She kept yelling, and saying bad things to me.”
“And how about my ticket?” Saya bertanya dengan cemas dan gelisah, karena pertandingan akan berlangsung pada pukul 12.45 waktu setempat, sementara saya belum memegang tiketnya. Sebuah pertanyaan yang dibalas dengan sepasang bahu yang terangkat dengan kedua telapak tangan terangkat ke atas. The I don’t know face.
Dalam kekalutan, saya kembali mengirimkan email ke FootballTicketNet dan mendapat balasan super cepat namun tidak berguna dari mereka. Pada titik ini, saya merasa bahwa FootballTicketNet adalah sebuah scam terbesar, yang telah merusak impian masa kecil saya untuk menonton langsung pertandingan Newcastle United.

Pukul 12.30, hal satu-satunya yang bisa saya lakukan adalah menangis manly dalam diam, hingga Carmen melihat saya. Saya menyeka air mata dan menceritakan cerita saya hingga bisa tiba di Manchester. Cerita tentang the love of my life, Newcastle United, tentang perjalanan terbang ribuan mil dan belasan jam penerbangan hanya untuk melihat sebuah pertandingan sepakbola antara klub favorit saya, yang akan bertanding melawan Manchester United, klub favorit semua orang di dunia.
“You’re crazy.” Komentarnya. Seorang pria mungkin dapat berganti-ganti wanita, namun tidak demikian dengan klub bola yang didukungnya. “You flew thousand miles from Indonesia to England, just to watch football. I don’t get it.“.
Hal berikutnya yang saya tahu adalah Carmen yang mulai menitikkan air mata, entah karena kisah sedih saya, atau karena wajah saya yang menyedihkan. Saya tahu bahwa dia sangat ingin membantu saya, namun tidak tahu bagaimana caranya. Ya andai saja saat itu dia menawarkan nenen, mungkin cerita ini akan berakhir menjadi sebuah episode di Fake Hostel. Tapi tidak demikian adanya. Setelah kehilangan Papa beberapa tahun sebelumnya, ini adalah patah hati terbesar saya berikutnya.
Berikutnya, saya menghubungi kembali FootballTicketNet yang tanpa tahu malu mem-branding dirinya sebagai THE BIGGEST TICKET RESELLER IN EUROPE, untuk kali terakhir dalam hidup saya. Tentu saja dengan telepon hostel, karena saya tdak memiliki pulsa tersisa dan saya bukan seorang Mama yang bisa minta pulsa saat itu. Saya bertanya bagaimana perkembangan terakhir dari tiket saya, di manakah posisi kurirnya sekarang, siapa nama kurirnya, dan berapa nomor telepon kurirnya, yang anehnya mereka tidak mempunyai jawabannya. Mereka hanya meminta saya sabar menunggu, hingga kurirnya datang. Sementara saat itu sudah pukul 12.50 yang berarti bahwa pertandingan sudah dimulai.
Saya menutup telepon dengan sebuah rencana emergency yang tiba-tiba muncul di kepala, dan dengan tergesa, saya bertanya ke Carmen “Do you know any sport bar around here? I want to watch the match there.“
“Just two blocks from here, Tib Street Tavern, you can watch the match there.” Jawabnya. Dengan kecepatan penuh, saya melaju ke tempat yang disebutkan. Pada saat itu, kamu dapat melihat transformasi saya menjadi Usain Bolt.

Pertandingan sudah berlangsung dua puluh menit ketika saya tiba di bar, saat itu Florian Thauvin sedang melakukan debutnya bersama Newcastle United dan tampak anggun ketika melompat melewati sliding tackle dari Luke Shaw. Tidak ada orang Asia yang saya temui di bar itu, kecuali saya, dan tidak ada seorang pun pendukung Newcastle United di sana, kecuali saya.
Untungnya sport bar yang saya datangi di sana bebas dari atribut partai dan klub sepakbola, termasuk saya yang gentar mengenakan jersey Newcastle United di Manchester, jadi semua orang yang berada di sana dapat lebih netral menikmati pertandingannya.
Setiap Manchester United melakukan serangan, seluruh bar langsung ramai dengan teriakan semangat. Sementara ketika Newcastle United melakukan serangan, hanya saya yang berteriak dengan semangat, di dalam hati. Sesekali saya menyamar menjadi pendukung Manchester United supaya tidak diamuk massa, namun tentu saja dalam hati kecil, saya tetap mendukung Newcastle United, klub bodoh ini.
Ya paling tidak saya dapat menikmati pertandingan hari itu, paling tidak saya benar-benar menonton sepakbola di Manchester, dan paling tidak saya benar-bener dapat menonton Newcastle United bermain di Inggris –di dalam bar lokal, di mana semua orang mendukung Manchester United.
Bulan Agustus adalah musim panas di Inggris, di mana matahari bersinar hingga malam. Walaupun sempat terasa dingin karena peristiwa tidak mengenakkan di siang hari, namun apa yang alami di penghujung hari dapat membuat semuanya terasa hangat. Bermain imbang dengan Manchester United di Old Trafford adalah sebuah hasil yang pantas dan baik untuk tim yang akhirnya terdegradasi di akhir musim.
Saya menutup hari dengan berkunjung ke Football Museum di jantung kota Manchester, melihat patung-patung para pemain sepakbola terkenal dunia, dan sempat mengangkat replika piala FA yang didandani dengan warna-warna Manchester United –merah, putih, hitam. Setelahnya saya nongkrong cukup lama di sebuah restoran cepat saji yang menyajikan ayam dan kentang goreng, yang bukan bermerek Sabana.
Seorang pelayan restoran yang ternyata adalah orang Syria yang datang ke Inggris dengan Refugee Visa memberikan bonus potongan ayam dan kentang untuk saya, begitu mengetahui bahwa saya datang dari Indonesia dan sama-sama muslim. Pada titik ini, saya merasa kalau Inggris tidak dingin-dingin amat, kok.
Ini adalah hari ketiga saya di Inggris, dan saya sudah mengalami patah hati yang pertama. Seminggu kemudian, Newcastle United dijadwalkan bertanding menghadapi Arsenal di St. James’ Park, kandangnya, dan saya seharusnya sudah memiliki tiket pertandingan tersebut. Namun, berkaca pada pengalaman buruk di Manchester ini, saya masih belum tahu, bagaimana nasib saya seminggu ke depan. Apakah saya bisa ‘naik haji’ ke Newcastle? Saya masih belum tahu jawabannya.
Going to England, for common Indonesian people like me, is a rare chance, also one in a millions opportunity. I really thankful to someone who can made it happen, whoever you are. This article is for you.
Bersambung…
Tagged: FootballTicketNet, Manchester, Newcastle United, Premier League, scam, UK
Ya ampun bang … sedih banged cerita pengalamannya, lebih sedih dari sinetron indosiar …
Turut prihatin, tapi teteup semangat traveling ama sharing2 ceritanya yeee …
LikeLike
Ahahaha iya sedih bg, tapi yang lalu biarlah berlalu, mari kita nonton Indosiar!
Semoga kita semua juga dapat traveling kembali dalam waktu dekat ini yeeee~
LikeLike
sebelumnya kayaknya aku pernah baca tulisan ini. tapi aku lupa. wkwk.
ditipu sama toko online aja udah kesel meskipun cuma beberapa ratus ribu, ini tiket nonton bola, langsung ke enggres pula. :”)
LikeLike
wkwkwk iya dulu pernah nulis cuplikannya dalam bahasa Inggris, sekarang dilokalin dulu. Makanya kebayang keselnya saat itu, udah jauh-jauh, mahal-mahal, sampai sana kayak dibokisin aja.
LikeLike
Saya menikmati ceritanya sambil terkikik sama celotehannya. hmm penasaran,nonton bolanya yg pertama gagal, gimana yang kedua?
Turut prihatin ya mas, tapi saya rasa ada banyak pelajaran yang bisa diambil dari cerita ini
LikeLike
Ahahaha thanks mbak sudah menikmati ceritanya, untuk lanjutan ceritanya sudah tayang di Cerita ‘Naik Haji’ ke Newcastle (2) hehehe. Benar banget banyak banget pelajaran yang bisa diambil dari pengalaman sial ini huhuhu.
LikeLike