Kala itu, hampir tengah malam ketika Kang Ujang mengemudikan mobilnya memasuki Bandung. Setelah perjalanan sekitar empat jam melewati jalanan yang berliku dari Banjar Patroman, akhirnya kami tiba juga di Bandung. Saya duduk di jok depan bersama Kang Ujang, sementara di jok belakang ada Abex dan Billy yang nampak sama kelelahannya dengan saya. Perjalanan darat yang apabila ditotal lamanya mencapai belasan jam ini tentu saja membuat kami kelelahan, yang kalau di saya, tanda-tandanya adalah pusing, mata merah, mengantuk, pegal-pegal, dan tidak mampu mengenali uang pecahan kecil.

Kami berangkat dari Jakarta pada Jumat malam, dan baru tiba di Banjar Patroman pada Sabtu pagi. Setelah seharian menjadi pembicara pada sebuah event, kami langsung kembali lagi ke Bandung untuk bermalam, sebelum ke Jakarta sehari kemudian, pada hari Minggu.

“Saya di Hotel Golden Flower, Kang.” Ucap saya pada Kang Ujang, setelah mobil mengantar Abex dan Billy ke hotel mereka, yang terletak di dekat stasiun. “Di Jalan Asia Afrika.”

“Siap, Kang!”

Bukan tanpa alasan saya memilih menginap di sekitar Jalan Asia Afrika, karena sudah sejak lama saya menginginkan berjalan-jalan di  Kota Bandung pada Minggu pagi. Sementara menurut saya, Jalan Asia Afrika dan Jalan Braga yang terletak di dekatnya, adalah pilihan yang tepat karena menghadirkan beberapa atraksi dan kuliner yang menarik di pagi hari.

Tak berapa lama, kami sudah tiba di Golden Flower, hotel yang saya pesan pada Jumat malam melalui aplikasi Traveloka dengan menggunakan fitur Pay at Hotel, yang memungkinkan saya untuk melakukan pembayaran langsung ke hotel, alih-alih menggunakan kartu kredit dan membuat saya menambah utang lagi.

Traveloka Pay at Hotel

Sampai di hotel, ternyata saya tidak perlu membayar lagi, dan bisa langsung menju kamar. Loh kok bisa? Ya bisa, kan ada Neng yang datang duluan, dan membayar hotelnya dengan menunjukkan bukti reservasi Traveloka yang saya kirimkan padanya. Lumayan, jadi lebih irit dengan fitur Pay at Hotel, kan? Eh.

Secara garis besar, Pay at Hotel adalah sebuah fitur baru dari Traveloka yang membantumu merencanakan perjalanan dengan memungkinkan kamu untuk dapat memesan kamar tanpa biaya dan dapat melakukan pembatalan tanpa biaya. Nantinya, pembayaran dapat dilakukan pada saat kamu tiba di properti, baik secara tunai maupun dengan kartu. Tidak, tidak bisa dilakukan dengan Kartu Tanda Penduduk, ya.

Secara umum, fitur ini cocok bagi para traveler yang ingin kegiatan berliburnya siap terencana,  namun tetap tidak merugi saat harus melakukan pembatalan pemesanan.

Traveloka Pay at Hotel

Untuk melakukan pemesanan hotel dengan fitur Pay at Hotel, hanya dibutuhkan lima langkah mudah dan tanpa prosedur birokrasi yang rumit, yaitu:

1. Mencari Hotel yang Diinginkan

Untuk mencari hotel yang diinginkan, kamu tinggal memasukkan kriteria pencarian pada halaman muka aplikasi Traveloka, yang meliputi destinasi, jumlah tamu yang akan menginap, lalu berapa malam kamu akan menginap. Tenang, Traveloka tidak akan bertanya dengan siapa kamu akan menginap, kok.

2. Memilih Hotel yang Memiliki Fitur ‘Pay at Hotel’

Aplikasi Traveloka akan menampilkan daftar hotel-hotel yang sesuai dengan pencarian kamu sebelumnya. Namun yang perlu diingat di sini adalah, belum semua hotel memiliki fitur ‘Pay at Hotel’ maka kamu dapat memilih filter ‘Pay at Hotel’ pada bagian kiri atas aplikasi untuk menampilkan hotel-hotel yang memiliki  fitur ini.

3. Memesan Kamar yang Dimau

Seperti halnya hotel, tidak semua kamar juga memiliki fitur ‘Pay at Hotel’ ini, maka pastikan kamu juga menyeleksi kamar yang cocok. Jangan salah pilih.

4. Mengisi Data Kartu Kredit sebagai Jaminan

Setelah kamu mendapatkan kamar yang memiliki fitur ‘Pay at Hotel’ berikutnya kamu dapat lanjut untuk mengisi data kartu kredit sebagai jaminan pemesanan kamu. Kartu kredit di sini hanya berlaku sebagai jaminan, dan tidak akan ditagihkan ke kamu kecuali apabila kamu tidak jadi datang ke hotel dan lupa tidak melakukan pembatalan pesanan.

Pastikan kamu memiliki kartu kredit yang masih berlaku dan memiliki sisa limit yang cukup sesuai dengan biaya pemesanan hotel untuk dijadikan sebagai jaminan pemesanan hotel. Tidak perlu kartu kredit sendiri, bisa juga menggunakan milik orang lain.

5. Menerima Voucher Hotel

Dalam jangka waktu maksimal 60 menit, Traveloka akan mengirimkan voucher hotel yang berlaku, yang dapat kamu sertakan sebagai bukti reservasi hotel ketika check-in.

Setelah melakukan langkah-langkah pemesanan seperti di atas, maka berikutnya kamu tinggal datang ke hotel, membawa bukti reservasi, dan melakukan pembayaran di resepsionis hotel. Hal inilah yang dilakukan oleh Neng, beberapa jam sebelum saya tiba di Bandung malam itu.

Kamar yang saya pesan di Hotel Golden Flower cukup luas dan menarik, dengan sebuah King Size Bed berada di tengah-tengah ruangan. Kamar mandinya pun tak kalah besar, dengan bathtub dan shower di dalamnya, ya walaupun air panasnya bermasalah, tapi lumayanlah. Tengah malam itu, saya sempat menyantap pempek yang dibawakan oleh Neng, sebelum akhirnya tertidur pulas di kasurnya yang empuk.

Golden Flower Hotel Bandung

Keeseokan harinya, saya terbangun pukul delapan pagi dengan badan yang pegal-pegal. Rencana berjalan-jalan di Bandung pada Minggu pagi pun hampir batal ketika kami menyelesaikan mandi dan sarapan pada pukul sembilan lebih.

“Jam segini sudah kesiangan gak ya?” Tanya saya ke Neng.

“Ya kita lihat saja dulu yuk.” Jawabnya. “Mungkin masih ramai.”

Semenit kemudian, kami sudah keluar hotel dan berada di Jalan Asia Afrika, yang pagi hari itu masih cukup ramai, baik dengan warga Bandung, ataupun mungkin warga Jakarta, seperti kami.

Jalan Asia Afrika Bandung

Saya pernah berbincang kepada pengemudi taksi online di Bandung, mengenai perbedaan Bandung sekarang dan Bandung pada masa silam, sekitar dua puluh tahun lalu. Dia mengatakan bahwa Bandung yang dulu lebih sepi dan lebih dingin, tidak seperti saat ini, di mana Bandung sudah cukup ramai dan berhawa panas. “Dulu mah, kita masih bisa ketemu embun kalau pagi hari.”

Wah, embun, kosakata yang sudah jarang saya dengar di kota. “Sekarang, malah mirip Jakarta, ya.” Saya menimpali ketika kami menjumpai kemacetan di depan, ya wajar saja, dengan banyaknya orang yang mengunjungi Bandung setiap harinya ditambah pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor di jalan, tentu akan membuat Bandung tidak senyaman dulu, walaupun memang, Bandung masih mempunyai keunikannya sendiri.

Menjumpai Para Cosplayer di Jalan Asia Afrika

Entah sejak kapan, para cosplayer ini menempati  Jalan Asia Afrika dan menawarkan jasa untuk berfoto bersama kepada pengunjung yang lewat di sana. Kostum yang digunakan para cosplayer ini juga menarik, mulai dari super hero seperti Spider-Man (Biasakan menulis Spider-Man dengan Spider-Man bukan Spiderman, daripada kena semprot anak Marvel), Captain America (yang tidak mati di Infinity War), dan Bumblebee (yang saya masih ragu apakah dia superhero atau bukan). Lalu ada juga anime character seperti Sasuke dari komik Naruto, dan yang paling kondang adalah hantu-hantuan khas Indonesia seperti pocong, kuntilanak, dan nenek sihir.

Mereka biasanya sudah mulai menempati trotoar Jalan Asia Afrika sejak Malam Minggu, dan bertahan hingga minggu pagi, semua demi kehidupan yang lebih layak.

“Ayo foto, Teh.” Ucap si pocong kepada Neng dengan suara yang gemulai, ketika kami lewat di depannya, sementara di samping pocong, sang nenek sihir juga meminta kami untuk berfoto bersama. “Gak papa, foto sama pocong.”.

Supaya adil, kami berfoto dengan sang nenek sihir dahulu, sebelum berfoto dengan pocong (dan meminta nenek sihir untuk mengambil foto kami bersama). Setelahnya kami memasukkan donasi seikhlasnya ke dalam kaleng yang berada di situ. “Bismillahirohmanirrohim.” Saya membatin sambil memasukkan selembar uang ke dalam kaleng.

Melewati JPO yang Fotogenik 

Dari para cosplayer, kami berjalan ke arah Jalan Braga, dan melewati JPO, atau Jembatan Penyeberangan Orang yang sangat fotogenik. Jembatan yang terletak di dekat Museum Konferensi Asia Afrika ini, memiliki dua buah dinding dengan dua buah kalimat indah yang terpatri pada masing-masing sisi kolong jembatan.

Yang pertama berbunyi “Bumi Pasundan lahir ketika Tuhan sedang tersenyum” yang merupakan kalimat dari seorang Budayawan asal Belanda, M.A.W Brouwer, yang banyak menghabiskan waktunya di Indonesia. Bumi Pasundan sendiri mengacu kepada Bandung. Melihat banyaknya neng-neng geulis yang memenuhi Kota Bandung, saya pun ikut tersenyum mengamini ucapan Brouwer tersebut.

Kalimat kedua yang terketak di seberangnya adalah buah pemikiran Dilan, eh, Pidi Baiq, yang berbunyi “Dan Bandung bagiku bukan cuma masalah geografis, lebih jauh dari itu melibatkan perasaan, yang bersamaku ketika sunyi”. Sebuah kalimat yang saya tak paham artinya, namun tetap kelihatan indah.

Menikmati Jalan Braga

Dari Museum Konferensi Asia Afrika, saya berbelok ke Jalan Braga, sebuah jalan utama di Kota Bandung yang juga menjadi daya tarik utama wisata Kota Bandung. Yang menarik dari Jalan Braga adalah tetap dijaganya arsitektur dan tata kota seperti zaman Hindia Belanda dulu. Tata letak pertokoan yang berada pada Jalan Braga dibuat mengikuti model yang ada di Eropa sesuai dengan perkembangan kota Bandung pada masa itu (1920-1940-an) sebagai kota mode yang cukup termasyhur seperti halnya kota Paris pada saat itu.

Karena hal tersebut, Bandung juga mendapat julukan sebagai Paris van Java, atau (Kota) Paris yang berada di (Pulau) Jawa, tanpa Menara Eiffel dan copet-copet di Paris.

Berjalan-jalan di Jalan Braga serasa membawa kami ke masa lalu, dengan bangunan-bangunan tempoe doeloe, restoran dan toko kue dengan menu-menu makanan yang klasik, serta para pelukis yang menjajakan karyanya di kanan-kiri jalan. Kami sempat menjumpai beberapa orang yang melakukan pemotretan pre-wedding di Jalan Braga ini. Yang menarik adalah, ada pasangan yang melakukan pemotretan pre-wedding yang berasal dari Korea Selatan! Jauh-jauh dari Korea Selatan ke Bandung, cuma untuk difoto bersama tukang cilok.

Selain itu, masih di Jalan Braga, kami juga menyempatkan untuk…

Mampir Ngopi di Kopi Toko Djawa

“Kalau mau ngopi di mana ya, Neng?” Tanya saya kepada Neng, beberapa saat sebelum kami berbelok ke Jalan Braga. neng, yang orang Bandung, mungkin lebih tahu mengenai rekomendasi tempat ngopi di Bandung.

“Ke Toko Djawa saja.” Katanya, sambil menceritakan bahwa Kopi Toko Djawa memang sedang populer akhir-akhir ini. Selain tempatnya yang artsy, kopinya pun enak, tembahnya.

Umm, instagrammable gak?”

Pada awalnya, Toko Djawa ini bukanlah sebuah warung kopi seperti yang kamu lihat di atas, melainkan sebuah toko buku yang menjual buku sejak tahun 1955, tahun kelahiran Papa saya. Toko Buku Djawa ini mencapai zaman keemasan dari tahun 1960-an hingga 1980-an dan sempat menjadi toko buku langganan BJ Habibie.

Namun, zaman berubah, Toko Buku Djawa terpaksa tutup pada 2015 karena kalah bersaing. Berikutnya manajeman memutuskan untuk mengubah Toko Buku Djawa menjadi Kopi Toko Djawa, dengan tetap mempertahankan desain dan nuansa tempoe doeloe yang dimiliki bangunan tersebut. Sebuah langkah yang sepertinya mendatangkan hasil, hingga saat ini. Harapannya semoga Kopi Toko Djawa yang terletak di Jalan Braga Nomor 79 Bandung ini bisa tetap eksis di zaman modern seperti sekarang.

Siang hari di Masjid Raya Bandung

Masjid Raya Bandung

Dalam perjalanan mencari makan siang, kami menyempatkan mampir ke Alun-alun Masjid Raya Bandung, yang sudah mengalami perubahan signifikan ketika Ridwan Kamil menjabat sebagai Walikota Bandung. Walaupun sudah tengah hari, namun masih banyak warga sekitar yang menghabiskan waktunya di sana, baik bermain bersama anak-anak dan keluarganya, maupun sekadar bersantai menikmati suasana.

Kalau kami, kami hanya numpang lewat, sebelum…

Makan Mie Yamin di Rumah Makan Linggar Jati

Sama seperti Toko Djawa, Rumah Makan Linggar Jati ini juga salah satu rumah makan legendaris yang berada di Kota Bandung. Dimulai pada tahun 1950, rumah makan ini pada awalnya merupakan sebuah restoran biasa yang menyajikan berbagai macam menu makanan, hingga kemudian fokus pada mie yamin dan bakso, yang kini menjadi andalan rumah makan ini.

Menu favorit kami di sini, adalah mie yamin (yang disajikan dengan potongan ayam yang berlimpah), bakso babat, dan es alpukat.

Mie Ayam Linggarjati

Secara garis besar, mie yamin di sini rasanya sangatlah istimewa, namun tidak disarankan untuk disantap oleh anak kostan pada tanggal tua, mengingat harganya yang cukup mahal untuk ukuran mie yamin dan bakso.

Selepas makan siang, saya kembali ke hotel dengan sebuah simpulan akan Minggu pagi di Kota Bandung yang ternyata sangat menyenangkan juga mengenyangkan.