Apabila ada gunung di Indonesia yang akan saya daki untuk pertama kalinya, maka gunung tersebut haruslah Gunung Ungaran –sebuah gunung setinggi 2.050 MDPL (meter di atas permukaan laut) yang senantiasa menjaga dan mengawasi diam-diam kampung tempat tinggal saya sewaktu kecil hingga beranjak dewasa –tanpa kakakku Rani tentu saja, di Ungaran, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.

Ngopo kowe munggah gunung?” celoteh Mama, ketika saya bertanya apakah boleh saya mengikuti ajakan teman-teman untuk mendaki Gunung Ungaran ketika libur sekolah. “Aneh-aneh wae, mengko ndak ilang.

“MAMA YANG ANEH, ANAK SUDAH KELAS SATU SMA KOK MASIH TAKUT HILANG. MEMANGNYA NASKAH ASLI SUPERSEMAR!” Saya balik menjawab, dalam hati, karena takut durhaka.

Saat itu, saya cuma bisa diam, sebelum mengunci diri di kamar dan memandangi poster Alan Shearer, sambil menangis manly. Mungkin karena bagi Mama saya adalah anak satu-satunya, walaupun bagi Dewa 19 kamulah yang satu-satunya. Sejak saat itu, impian untuk naik ke Gunung Ungaran saya kubur dalam-dalam seperti Catacomb di Paris, berganti mimpi untuk sekolah dan kuliah yang benar sesuai harapan orang tua. Agar bisa menjadi PNS, tentu saja.

Akibat peristiwa tersebut, saya menjadi beranggapan bahwa gunung adalah sebuah tempat yang menakutkan –yang bisa membuat orang hilang secara misterius seperti Widji Thukul ataupun dalang pembunuhan Munir.

Ungaran

Dua puluh tahun setelahnya, saya pulang kembali ke Ungaran dengan tujuan yang spesifik, yaitu mendaki Gunung Ungaran. Sebuah hal yang ingin sekali saya lakukan sejak remaja. Tentu saja saat itu, saya pulang setelah mewujudkan mimpi dan harapan orang tua, kuliah sudah rampung, pekerjaan tetap sudah ada, hanya memang mencintaimu yang selalu gagal.

Saya juga merasa, segala persiapan yang saya lakukan sudah cukup. Fisik sudah terbentuk akibat sering berolahraga ketika pandemi, dan perkataan bahwa gunung merupakan tempat yang menakutkan pun sedikit banyak sirna, berkat rajin mencari informasi sana-sini. Selain itu, saya juga menemukan fakta bahwa Gunung Ungaran bisa didaki tanpa perlu menginap di tenda, dan bisa pulang-pergi dalam satu hari. Cocok kan untuk orang-orang sibuk seperti saya dan Elon Musk.

Gunung bukanlah tempat yang menakutkan, melainkan sebuah tempat megah dan sakral yang harus senantiasa dihormati.

Namun ternyata, nasib berkata lain. Akibat kelelahan setelah menyetir Jakarta-Ungaran, ditambah kecapekan karena olahraga dahulu pagi harinya serta terlalu lama di jalan, fisik saya justru drop ketika tiba di rumah. Alhasil, rencana naik Gunung Ungaran pun batal lagi. Beralih menjadi rencana ke klinik setempat karena saya menderita diare akut.

“MANGKANE OJO KEKESELEN!” Mama mengingatkan, setelah semua ini terjadi. TERLAMBAT, MA! Ini semua terjadi begitu cepat, tanpa saya bisa menyadarinya.

Beberapa bulan kemudian, saya kembali lagi ke titik yang sama, yaitu rumah masa kecil saya yang terletak di kaki Gunung Ungaran. Iya literally dan jujurly, guys, dari rumah saya kamu bisa melihat kemegahan gunungnya. Belajar dari kegagalan sebelumnya, kali ini saya sudah lebih siap lagi. Banyak istirahat dan mengurangi intensitas waktu olahraga sebelum menjadi sopir AKAP adalah kuncinya. Kunci yang membuat saya lebih fit untuk mendaki.

Gunung Ungaran

Posisi rumah saya kira-kira ada di balik baliho paling jauh di foto ini

Mendaki, sebenarnya bukan barang baru untuk saya. Selama setahun terakhir, saya kerap berlatih mendaki sambil trekking di Sentul, ya kalaupun naik paling juga cuma ke Puncak Kuta atau ke Bukit Paniisan, yang terletak di ketinggian kurang dari seribu meter di atas permukaan laut. Sebelumnya, saya juga pernah ke Puncak Bromo atau ke Bukit Sikunir, tapi kan itu cemen. Setelahnya, saya juga pernah mendaki (((iseng))) ke puncak tertinggi di Timor Leste, yaitu Gunung Ramelau, yang berada di ketinggian 2.963 MDPL, tapi kan itu bukan di Indonesia.

Maka dari itu, pendakian pertama ke puncak gunung di Indonesia, terlebih ini adalah Gunung Ungaran merupakan sebuah hal yang spesial, sekaligus sakral bagi saya.

Beberapa minggu sebelum pulang kampung, saya menghubungi salah seorang teman di SMA dulu, Filan, meminta waktunya guna menemani dan mengantarkan saya mendaki Gunung Ungaran secara tektok, atau pulang pergi dalam satu hari. Untung saja, waktunya pas, karena pada tanggal saya pulang, Filan juga sedang tidak ada acara apa-apa, kasihan sih sebenarnya.

“Kalau kemarin sih, aku lewat Perantunan tektoknya.” Jawabnya, ketika saya bertanya sembari scrolling Instagramnya dengan penuh rasa iri karena sudah beberapa kali naik ke Puncak Gunung Ungaran. “Paling dekat dari situ, biasanya siang atau sore sudah beres.”.

Saat ini terdapat beberapa jalur yang dapat dipilih untuk naik ke puncak Gunung Ungaran, di antaranya adalah jalur Basecamp Mawar, Jalur Candi Gedong Songo, Jalur Promasan, dan Jalur Perantunan.

Bawen Ungaran

Perantunan yang dimaksud oleh Filan adalah sebuah basecamp, atau titik kumpul yang berada di Jalan Gintungan Utara, Legowo, Duren, sedikit di atas Pasar Bandungan Lama yang kini hanya tinggal kisahnya saja. Terdapat jalan perkampungan di atas Susan Spa sebelum percabangan ke arah basecamp. Mobil tidak dapat parkir di basecamp, melainkan diarahkan pada sebuah lahan kosong di samping kuburan, yang mungkin juga biasa digunakan sebagai lapangan sepakbola dadakan ketika 17 Agustus, atau untuk coblosan kepala desa.

Sepuluh ewu.” Ucap seorang pria yang tiba-tiba muncul bukan dari dalam kuburan, meminta kami untuk membayar biaya parkir. Baru juga sampai, tanah kuburan belum basah, mesin belum mati, sudah diminta pertanggungjawaban dunia. NYOH!

Dari tempat parkir tersebut, kami masih harus berjalan menyusuri jalan setapak yang terbentuk dari paving block menuju Basecamp Perantunan dengan jarak sekitar satu kilometer, dengan elevasi yang mulai menanjak. But worry not, the view is amazing. Kanan kiri perkebunan mawar (nama sebenarnya), di depan Gunung Ungaran, sementara di jauh di belakang terlihat lanskap deretan gunung yaitu Gunung Lawu, Gunung Merapi, Gunung Merbabu, Gunung Telomoyo, juga Gunung Andong, kalau tidak salah copas.

Sebuah percakapan masa kecil antara saya dan Handono kembali terlintas ketika kami semakin mendekati pintu masuk Basecamp Perantunan, di mana (((tinggal selangkah lagi))) untuk mencapai… titik awal pendakian.

Kowe ngerti gak Gunung Ungaran iku nek didelok seko adoh koyok opo?” Tanyanya, ketika saat itu saya masih duduk di bangku kelas 3 SD. Sebelah tangannya menunjuk lokasi gunung yang memang terlihat dari Alun-alun Lama Ungaran, yang lokasinya ada di belakang SD. “Koyok wong lagi turu madep munggah. Kui sing gede koyo wetenge, sing cilik koyo sirahe.” Imbuhnya, menjawab pertanyaannya sendiri, karena tidak ada yang menjawab.

Iya, dari jauh Gunung Ungaran ini terlihat layaknya seseorang yang sedang tertidur, ada yang bilang mirip Eyang Semar, ada yang bilang juga mirip wanita hamil yang sedang berbaring.

Dikutip dari Wikipedia, dikatakan bahwa menurut mitos masyarakat setempat, pada lereng Gunung Ungaran ini terdapat kawah berbau belerang tepatnya di sekitar Candi Gedong Songo yang merupakan makam Dasamuka. Konon Dasamuka yang suka mabuk dikubur di kawah ini oleh Hanoman –sementara Hanoman sendiri kemudian berdiam di Gunung Telomoyo mengawasi Dasamuka jika sewaktu-waktu bangkit. Konon katanya, Dasamuka bisa bangkit jika dia mencium bau minuman keras, hingga masyarakat setempat pada zaman dahulu tidak berani minum minuman keras di areal Candi Gedong Songo. Kalau sekarang tidak berani minum minuman keras karena takut dimarahi Fahira Idris dan digrebek FPI.

Saat itu pukul setengah tujuh pagi, dan kami baru saja mendapatkan Tiket Pendakian Gunung Ungaran via Perantunan, dengan harga Rp10.000,- ditambah Rp5.000,- lagi untuk fasilitas COVID-19 yang ternyata sama gaibnya dengan virusnya sendiri. Tidak terlihat, namun ada.

Berdasarkan peta yang terdapat pada gerbang depan, terdapat lima buah pos pendakian yang akan dilalui oleh pendaki apabila ingin mendaki Gunung Ungaran, tentunya tergantung dengan rute yang akan dipilih. Saya yang saat itu tidak tahu apa-apa, memutuskan untuk mengikuti Filan yang lebih pengalaman di bidang pergunungan. The power of karepmu.

Dari Basecamp Perantunan yang terletak di ketinggian 1.290 MDPL, kami bergerak naik sesuai jalur yang ada, sebuah jalan setapak kecil yang terletak di ujung basecamp, melewati tenda-tenda kosong para pendaki yang ternyata penghuninya sedang sibuk foto-foto dan selfie-selfie. Biasalah!

Sebuah gerbang masuk yang dinamakan Pintu Rimba menyambut saya dengan hangat layaknya Jane menyambut Tarzan X, sementara kebun warga nampak rapi tertata di kanan kirinya. Sampai sini, perjalanan masih cukup ringan, karena lintasannya masih cukup landai dan lebar. Tak jauh dari sini, kami tiba di Pos 1, yang dinamakan Watu Omah, atau Batu Rumah. Dinamakan demikian karena terdapat sebuah batu di dekat pos yang bentuknya menyerupai rumah. Bukan, bukan Rumah Uya.

Dinamakan pos memang bukanlah tanpa alasan, karena di sini kita dapat beristirahat sejenak, duduk di gubuk mungil ala kadarnya, sembari mengatur napas dan menyiapkan energi untuk tanjakan berikutnya. Dari Watu Omah, kami bergerak ke pos berikutnya, yaitu sebuah pos yang dinamakan Watu Jajar. Karena apa? Ya betul, karena ada sepasang batu di dekat pos yang letaknya sejajar.

Kami tak beristirahat lama di sana, karena masih memiliki energi berlebih untuk melanjutkan perjalanan ke pos berikutnya, yaitu Watu Srumpuk. Perjalanan dari Pos 2 menuju Pos 3 menjadi semakin menarik karena kami mulai masuk ke area hutan yang rimbun sehingga tidak merusak skincare yang saya kenakan, dengan beberapa binatang sesekali terlihat, sebut saja luwing dan cacing.

Pos 3 ini dinamakan Watu Srumpuk karena di sekitar sana terdapat beberapa batu yang saling bertumpukan dalam posisi tertidur –karena kalau bangun akan menyeramkan. Di sini, kami beristirahat beberapa saat sebelum melanjutkan perjalanan.

Gunung Ungaran via Perantunan

Selepas dari Pos 3, sensasi naik gunung yang sesungguhnya akan dimulai, tanjakan mulai muncul tanpa henti seperti aliran Dana Bansos, apalagi selepas melewati sebuah titik yang dinamakan Ondo Rante. Hati-hati di sini, karena jalanan landai akan berganti dengan tanjakan curam yang berkelak-kelok, sedikit lebih licin, dengan sesekali variasi pohon tumbang menghalangi jalanmu.

Sek leren sek, nda.” Filan memberikan aba-aba supaya beristirahat. “Wes suwe gak olahraga, aku.” Sebuah alasan diberikannya, karena jarang olahraga sehingga lebih mudah capek. Padahal bisa saja faktor usia juga. Pada beberapa titik setelah Ondo Rante, kami pun berhenti. Numpang minum seperti layaknya kehidupan, sambil sesekali mengunyah camilan dan cokelat yang kami bawa dari bawah. Iya, ketika mendaki, kamu perlu makan yang manis-manis, supaya mendapatkan tambahan energi lagi.

Kurang lebih setengah jam sejak beranjak dari Pos 3, kami tiba di Pos 4 yang bernama Kolo Keciko yang artinya … apa ya?

Kami tidak sempat beristirahat banyak pada Pos 4, selain karena pos tersebut masih digunakan banyak pendaki yang turun gunung untuk beristirahat, kami juga menemukan kebimbangan ketika mendapati jalan yang bercabang seperti rambut kamu yang ketika kebanyakan dicatok. Tiga buah panah untuk dua buah jalan. Ke kiri ada dua buah panah,ke kanan ada satu buah panah, dan hanya tatap matamu yang bagai busur panah.

Sepasang panah ke kiri menunjukkan arah ke dua buah puncak, yaitu Puncak Botak dan Puncak Bondolan, sementara panah ke kanan menunjukkan arah ke Puncak Banteng Raiders. Banteng Raiders adalah nama umum yang digunakan batalyon infanteri raider Tentara Nasional Indonesia dari Kodam IV Diponegoro –yang berarti puncak tersebut adalah puncak yang kerap didaki para anggota mereka.

Sing ndi dalane beb?” Saya bertanya ke Filan, yang sudah lebih dahulu berbelok ke sebelah kiri. Ke kiri dapat dua puncak termasuk Puncak Botak yang merupakan titik tertinggi di Gunung Ungaran, sementara ke kanan, dapat satu puncak yang sepertinya lebih menantang dan membangkitkan gairah pria dewasa.

“Aku wingi sing kiri soale!” Teriaknya dari jarak lima meter di depan, “Sing kanan aku durung tau.” Baiklah, kali ini saya terpaksa menahan gairah dahulu.

Gunung Ungaran via Perantunan

Pohon-pohon rindang berganti dengan semak belukar dan padang ilalang ketika kami mendaki naik di ketinggian sekitar 1.800 MDPL, sejumput kabut turun dengan syahdu pada sisi kiri yang juga merupakan sebuah jurang, sementara Gunung Ungaran berada pada sisi kiri kami. Seekor Elang Jawa anggun terbang di ketinggian sambil mengintai mangsanya. Iya, saya panggil Elang Jawa karena dia berasal dari Ungaran.

Pada satu titik, saya berhenti, Filan juga. Kami duduk di atas sebuah batu pada pinggir jalan setapak sambil melihat kumpulan awan tertiup angin yang berada di bawah kami. ANJIR SUDAH DI ATAS ANGIN, PANTAS SAJA RASANYA INGIN SOMBONG.

“Ini spot photogenic-nya.” Jelas Filan sembari menunjukkan padang ilalang yang cocok untuk berfoto pre-wedding bersama Pevita Pearce.

Saya mengangguk, sebelum memberikan handphone ke Filan, “Ya sudah kalau begitu, fotoin aku.”

Gunung Ungaran via Perantunan

“Omong-omong, ini mana puncaknya?” Saya bertanya penasaran. Saat itu sudah pukul setengah sembilan pagi, yang berarti sudah sekitar dua jam sejak kami memulai perjalanan.

“Sedikit lagi.” Jawab Filan. Sebuah ucapan yang kalau didengar di gunung bisa berarti ‘masih agak jauh, sabar keleus, emangnya situ saja yang capek, namun tetap semangat ya!’ “Sebentar lagi kita sampai ke puncak satu.”

Untungnya, apa yang dikatakan Filan adalah sebuah kebenaran hakiki, karena lima belas menit kemudian kami sudah tiba di salah satu puncak Gunung Ungaran, yang bernama Puncak Bondolan. Bondol sendiri sebenarnya adalah nama sebuah burung yang banyak ditemukan di Pulau Jawa, dan kerap juga disebut emprit –iya seperti tukang parkir. Istilah ini juga digunakan untuk menyebut orang, atau biasanya wanita dengan potongan rambut yang cepak, mirip si burung bondol.

Gunung Ungaran via Perantunan

Di Puncak Bondolan yang terletak di ketinggian 1.890 MDPL, telah terpasang banyak tenda beraneka warna pada sebuah dataran yang lapang, dengan sebagian besar areanya merupakan tanah cokelat, tanpa rerumputan. Apakah karena ini puncaknya dinamakan Bondolan?

Menurut penelusuran lebih lanjut dari Wikipedia –sebagai sahabat browsing kita semua supaya kelihatan lebih pintar dan intelek, belum ada catatan yang jelas mengenai aktivitas gunung ini. Namun, diperkirakan gunung ini pernah meletus pada zaman kerajaan dahulu, dengan letusan yang amat dahsyat sehingga menghancurkan dua pertiga bagian puncak dari semula sehingga yang dapat dilihat sekarang adalah hanya sepertiga bagian dari Gunung Ungaran berapi purba. Diperkirakan, gunung ini sedang mengalami masa tidur panjang dan sewaktu-waktu dapat aktif kembali. Walaupun pengaktifannya, tentu tidak cukup hanya dengan sekadar isi ulang pulsa.

Walaupun tidak ada catatan khusus mengenai aktivitas vulkanologi di gunung ini, tetapi terdapat sumber mata air panas di kaki gunungnya yang mengindikasikan adanya aktivitas panas bumi di bawah tanah. Lokasi sumber mata air panas tersebut terdapat di Candi Gedong Songo dan Gonoharjo, Limbangan, Kendal.

Karena terlalu banyak orang yang bergantian berfoto di Puncak Bondolan, yang juga ditandai oleh bendera merah putih yang bukan warna bendera Monako atau Polandia, kami memutuskan untuk langsung bergerak ke Puncak Botak yang berada pada sisi gunung yang satu lagi. Ibarat kata, kami harus menyusuri punggung gunung untuk dapat berpindah antar puncak.

TIDAK MENGAPA KARENA INI ADALAH BAGIAN PALING FAVORIT SAYA PADA PENDAKIAN INI! Setapak yang hanya muat untuk satu orang dengan tebing di kanan dan kiri, hamparan hijau panjang membentang, dengan langit biru yang cerah (iya, kami bersyukur akan cuaca hari itu, terima kasih Tuhan semesta dan ibu bumi) adalah highlight perjalanan kali ini.

Menyeberang antar puncak, membawa saya kembali ke obrolan masa lalu bersama Handono, apakah dua puncak ini yang dilihat olehnya? Yang mirip seperti perut buncit dan kepala orang yang sedang tidur, sementara setapak yang saya lalui adalah bagian dada dan lehernya. Ah entahlah, apapun itu, saya sangat senang karena mimpi masa kecil saya dapat terwujud pada hari itu, di Puncak Gunung Ungaran.

Gunung Ungaran via Perantunan

Dari Puncak Bondolan ke Puncak Botak, kami membutuhkan waktu sekitar setengah jam perjalanan, santai, sambil sesekali beristirahat dan berlari demi konten Instagram. Pada satu titik, kami duduk di hamparan ilalang, memakan bekal, sembari menunggu pendaki lain lewat dari atas. Bergantian jalan.

Yang membuat mendaki gunung menjadi menyenangkan adalah keramahan dan kekerabatan antar pendaki, yang saling menyapa satu sama lain. Yang naik diberikan semangat oleh yang turun, sementara yang turun diberikan perhatian oleh yang naik. Melihat kami yang naik hanya dengan bermodal daypack kecil, tak jarang dari mereka bertanya “Tiktok, Mas?” Sebuah pertanyaan yang hampir saja saya jawab dengan joget Peaches a la Justin Bieber sebelum mengerti maksud sebenarnya dari pertanyaan tersebut.

“Iya Mas, tektok.” Jawab kami, yang menunjukkan bahwa kami mendaki pulang pergi dalam satu hari, tanpa menginap. Sebuah jawaban yang kadang-kadang dibalas dengan jokes pendaki gunung yang tingkat kelucuannya mendekati jokes bapack-bapack di grup Facebook.

“SUDAH SUSAH -USAH NAIK KOK TURUN LAGI, MAS? XIXIXIXI.” Grrrr banget lucunya.

Gunung Ungaran via Perantunan

Tidak seperti Puncak Bondolan yang ramai, hanya ada sepasang tenda berwarna oranye yang kami temui di Puncak Botak. Mungkin karena memang area kempingnya yang tidak luas, atau karena banyak diantara para pendaki yang capek untuk membawa ransel ukuran besar ke sini. “Mending kemping di Bondolan, toh ke Botak gak jauh ini bisa tiktok, gak perlu bawa banyak barang pula.” mungkin itu yang terdapat pada pikiran mereka.

Di Puncak Botak yang terletak pada ketinggian 2.050 MDPL, kami bertemu serombongan pendaki asal Solo, yang pada siang itu sedang bersiap-siap untuk turun gunung. Saya ingin mengucapkan jokes pendaki di atas, tapi saya tahan-tahan, karena takut gak lucu dan malah jadi ngebomb.

“Sudah berapa lama di sini, Mas?” Saya bertanya sembari beristirahat dan tanpa melempar jokes. “Kayaknya bawaannya banyak banget.” Saya mengamati tas punggung yang dikenakannya, sebuah tas carrier berukuran sekitar 60 liter yang diisi penuh, dengan beberapa buah botol plastik yang digantungkan di belakangnya. Sure, we leave nothing but footprints, kan. Jadi jangan meninggalkan sampah di gunung. Tapi kalau orang-orang yang gak percaya COVID-19 boleh lah kita taruh di gunung supaya tidak menulari yang lain.

“Ini sudah dua hari, Mas.” Jawabnya. “Rencana siang ini turun lalu balik ke Solo. Kalau Masnya, Tiktok?”

Lagi-lagi saya mendengar kata Tiktok, dan hampir menjawab dengan “Follow Tiktok saya Mas, @arievrahman, kayaknya gak laku.” namun saya tahan-tahan lagi daripada terjadi pertikaian dengan benda tumpul. “Iya Mas, ini habis ini langsung turun.”

YA TAPI SEBELUM TURUN MASA IYA GAK FOTO DI PUNCAK BOTAK! Seperti mengerti keinginan kami, mas-mas yang saya belum sempat berkenalan lebih lanjut tersebut menawarkan, “Mau difotoin, Mas?”

HEHEHE. BOLEH MAS.

“Rencana turun lewat mana, Mas?” Mas-mas Solo kembali bertanya dengan santun, dan saya jawab dengan mengatakan bahwa kami akan turun lewat jalur naik sebelumnya, via Bondolan, karena tidak tahu jalan pintas untuk langsung menuju Susan Spa. “Kalau kami kayaknya mau turun lewat Pos 5, Mas. Dari Puncak Botak langsung turun, jadi gak lewat Bondolan.”

Hmmm. Hmmm. Saya bertatapan dengan Filan, tanpa rasa baper. Di dalam pikiran, kami mungkin saling berpikir akan turun lewat mana. Namun di dalam hati, masih terjadi pergulatan emosi. Sementara di saat yang sama, rombongan Mas-mas Solo tersebut berpamitan, karena akan turun lebih dulu.

“Hati-hati Mas, sampai bertemu lagi!” Kami mengucap salam perpisahan tanpa melibatkan tempelan. Sedang pandemi, bunda.

Selepas rombongan turun gunung, kami beristirahat sejenak sembari menghabiskan sisa camilan yang ada. Saat itu masih pukul sepuluh pagi, yang mana saya pikir masih punya banyak waktu untuk turun dan dapat tiba kembali di basecamp sebelum sore. Karena berdasarkan pantauan warga lokal, sebut saja Filan, kemungkinan untuk turun hujan akan lebih besar di siang menjelang sore hari.

“Dadine medun lewat ndi iki, beb?” Saya membuka obrolan, bertanya enaknya turun gunung lewat mana. Saya sendiri, lebih penasaran dengan jalur yang lain daripada yang pernah dilewati sebelumnya. Namun, Filan mungkin punya pertimbangan lain.

“Aku durung tau lewat sing kene ik, beb.” Jawabnya, menggunakan kata ik, sebagai penekanan logat Semarang-nya. “Tapi yo manut kowe wae, Ndeng.” Manut, atau terserah, yang diucapkan oleh seorang wanita adalah ibarat blusukan Jokowi di tengah pandemi, yaitu punya banyak arti. Sementara Ndeng, adalah panggilan kedaerahan khas Bawen.

Saya yang belum pernah menjadi bimbang, bimbang y lola. Namun ada situasi-situasi di mana saya, sebagai lelaki harus memberikan jawaban atas kegalauan seorang wanita, asalkan tidak menggerutu setelahnya. “Ya sudah, kalau begitu, kita coba jalur baru ya!”

OKE!

Jalur baru tersebut, ternyata adalah sebuah turunan curam ke arah kaki gunung. Kami mendapati sebuah pohon tumbang melintang di tengah ilalang, pada tepian gunung, sementara pada bagian lainnya, Filan sempat turun perlahan dengan posisi ngesot karena medan yang dianggapnya terlalu terjal. Saya bagaimana? Ya kalau saya sih bagian foto-fotonya saja.

Sewaktu turun dari tepian gunung, kami melihat rombongan mas-mas tadi yang kala itu terpisahkan jarak beberapa ratus meter di depan kami. Kami di atas, mereka sudah di bawah, bersiap untuk masuk hutan yang sepertinya nampak lebih lebat dibandingkan hutan tempat kami berangkat sebelumnya.

Tak berapa lama, rombongan mas-mas melihat keberadaan kami, sementara kami juga melihat mereka. Walapun jauh, namun saya merasakan bahwa pandangan kami bertemu, tanpa love-love di udara, dan saling menyemangati dalam hati. Mereka berteriak beberapa kali kepada kami, yang karena jauhnya jarak, ditambah embusan angin yang melintas, terdengar seperti ucapan panjebar semangat.

“WOOOOYYYYY!” Kami pun membalas dengan makin semangat, sebelum akhirnya kami dapat mendekati rombongan. Rombongan besar lebih dari lima orang, dengan barang bawaan banyak dan berat, biasanya akan bergerak lebih lambat dibanding rombongan seperti kami, hanya dua tiga orang, dengan barang bawaan yang ringan.

Ketika bertemu, saya pun bertanya ke mereka, “Tadi bilang apa Mas?”

“Anu mas, kalau bisa jangan lewat sini. Treknya susah.” SAY WHAATTT!

Namun, nasi sudah menjadi bubur, tanpa bisa dijual maupun dicampur. Pilihannya saat itu, mau terus maju, atau kembali mendaki Puncak Botak, untuk kemudian menyeberang kembali ke Bondolan dan turun lewat jalur semula. Kami pun memilih terus maju, walaupun tidak sampai tiga periode.

Pada satu titik di mana rombongan memutuskan untuk berhenti sejenak untuk beristirahat, kami memutuskan untuk menyusul. “Sumimasen, kulonuwun.“. Kami berjingkat maju melewati mereka, dengan sayup-sayup ucapan semangat terdengar di belakang. Tak berapa lama, hutan menjadi semakin pekat, dan kami merasa bahwa hanya tinggal kami berdua di situ. Tak ada suara rombongan di belakang, pun suara celotehan pendaki di depan. Hanya ada suara ranting dan dedaunan yang ditiup angin, berpadu dengan suara serangga dan burung-burung yang terkadang lewat.

Ternyata, ini adalah jalur yang jarang dilalui orang, yang ditandai dengan sudah tertutupnya jalan setapak yang biasa digunakan para pendaki untuk naik maupun turun. Mengikuti intuisi, kami bergerak turun ke titik-titik yang kami pikir sebagai jalan setapak yang dahulu ada. Perlahan dan hati-hati, melewati pohon-pohon besar yang tak jarang ditumbuhi lumut lebat, hingga akhirnya satu jam kemudian kami tiba di sebuah lokasi yang lebih sunyi.

Sebuah lokasi yang ditandai dengan papan kayu usang bertuliskan “Lembah Hantu”.