Ungaran, Pertengahan 1995

Saya mengambil kartu pos yang terselip di bawah pintu depan rumah, mengangkatnya, dan memandangnya bolak-balik. Pada bagian muka, terpampang foto sungai besar dengan airnya yang cokelat di mana pada tengah sungai tersebut terdapat delta yang memisahkan sungai tersebut menjadi tiga bagian. GOLDEN TRIANGLE, begitulah tulisan yang terletak di bawah gambar tersebut.

Di baliknya, terdapat tulisan yang sangat familiar buat saya. Tulisan bersambung yang saya kenali sebagai tulisan Papa. Menjumpai: Ananda Muhammad Arif Rahman. Demikian tajuk kartu pos itu. Isinya singkat hanya menceritakan kabar Beliau di sana, dan memberikan alamat tempat training selama kunjungan dinas di Thailand. Tanpa menyebutkan lokasi yang tertera pada kartu pos tersebut.

Saya menyimpan Kartu Pos tersebut di atas meja belajar, dan meninggalkan tanda tanya besar mengenai Golden Triangle.

Chiang Saen, September 2012

DSCN6138

Golden Triangle’s boat

Hanya butuh waktu kurang dari lima menit dengan perahu untuk mencapai bagian tengah dari  Sungai Mekong yang Naudzubillah lebarnya, dan di sana pandangan saya menyapu luas delta di depan saya.

“Golden Triangle itu titik pertemuan antara tiga negara.” Kalimat dari Papa tersebut terngiang kembali di telinga saya. “Yaitu Thailand, Myanmar, dan Laos.”

“Wah, jadi sekali ke sana bisa langsung dapat tiga negara dong, Pa?” Tanya saya dengan polosnya waktu itu, sembil memainkan sebuah kartu pos di tangan.

“Iya dong. Papa ke sana waktu itu pakai perahu, rame-rame sama teman training.”

“Waaah, serunya.” Gumam saya. Membayangkan suatu tempat yang terletak di antara tiga negara sungguh membuat saya penasaran, bagaimana rasanya hidup di antara tiga kultur yang berbeda, apa bahasa yang digunakan, dan bagaimana rupa penduduk di sana.

DSCN6131

Welcome to Golden Triangle

Ada tiga landmark menarik di tepian sungai ini, yang sekaligus menandai lokasi tiap-tiap negara. Patung Buddha yang duduk di atas bahtera pada sisi Thailand, dan dua buah kasino –masing-masing milik Myanmar dan Laos– pada sisi yang lain.

DSCN6164

Mekong River, Thailand side.

DSCN6156

Myanmar’s Casino

“Nanti kamu ke sana sendiri ya.” Ucap Papa sambil mengusap kepala saya, dan kami berdua tersenyum.

Jakarta, Pertengahan 2009

Sebuah telepon yang berdering di telepon genggam saya pada tengah malam, mengabarkan berita bahwa Papa telah berpulang ke sisi-Nya.

Donsao, September 2012

DSCN6201

Welcome to Donsao

Perahu menepi perlahan, setelah mengantarkan penumpangnya melihat delta yang merupakan titik temu antara Sungai Mekong dan Sungai Ruak, sekaligus memisahkan wilayah tersebut untuk tiga negara.

Kami berhenti pada satu sisi yang dikatakan si pemandu telah masuk bagian negara Laos, yaitu sebuah daerah yang bernama Donsao.

We stop here for shopping!” Ben, pemandu kami berseru. “The good news is, we don’t need to do an immigration check here.”

DSCN6172

Donsao/Done Xao/Whatever

Saya melihat ke sekitar, memang tak ada apa-apa di daerah tersebut melainkan kios-kios tempat berjualan cinderamata yang berjejer banyak. Ben, menuntun para rombongannya memasuki salah satu kios yang ada di situ, di mana di depannya terdapat puluhan botol-botol yang berisi …

DSCN6177

Wanna Try?

People call it Lao Beer.” Ben mengangkat salah satu botol yang berada di situ. Kami bergidik melihat isinya, bagaimana tidak, botol-botol tersebut berisi binatang-binatang yang telah mati –yang digunakan untuk membuat campuran bir– seperti kalajengking, trenggiling, dan “Yes, it’s a snake. Dead snake fortunately.” Jelas Ben sambil terkekeh.

Lebih lanjut lagi dia menjelaskan bahwa bir tersebut dipercaya penduduk setempat dapat memberikan tenaga ekstra bagi tubuh, dan dia menawarkan kepada kami untuk mencobanya.

“EWWWW!” Jerit sebagian penumpang wanita, juga saya. Walaupun mungkin dapat digunakan sebagai penambah stamina, tapi saya teringat pesan Bang Haji Rhoma kalau mabuk itu haram. Jadi saya memilih untuk melihat saja.

Barang-barang yang dijual di sini, kebanyakan adalah cinderamata yang diperuntukkan untuk turis yang berkunjung, seperti kaus, gantungan kunci, ataupun bordiran bertuliskan Laos. Selain itu, di sini banyak terdapat kerajinan kulit (hewan, bukan manusia. -red) yang diolah menjadi berbagai macam produk seperti tas dan dompet. Tak ada merk Kate Spade, Longchamp, ataupun Balenciaga di sini, karena hampir semua tas di sini dicetak polos tanpa merk. Mungkin bagi mereka, lebih baik menghasilkan produk sendiri tanpa merk, daripada bermerk tapi palsu. Sama seperti saya, yang walaupun tidak fashinable tetapi malu jika memakai barang palsu.

DSCN6196

Shopping, Ma’am?

Setelah berhenti selama satu jam, perjalanan pun dilanjutkan dengan menyusuri kembali Sungai Mekong yang berwana cokelat ke arah Chiang Rai. Di riaknya yang cokelat, saya merasakan bahwa Papa dulu pernah ke sini, dan merasakan atmosfer yang sama. Saya menjumput kepingan kenangan Beliau yang tersisa di Golden Triangle, dan menyatukannya ke dalam hati dan pikiran, tempat Beliau berada kini.

Mae Sai, September 2012

Perjalanan hari itu dilanjutkan kembali dengan makan siang di restoran prasmanan yang menyajikan menu khas Golden Triangle, sebelum berpegal-pegal ria di jalanan yang –saat itu– sedang dalam proses perbaikan menuju Mae Sai. Mae Sai sendiri merupakan kota terluar Thailand yang berbatasan langsung dengan Tachileik yang merupakan pintu masuk ke Myanmar dari Thailand.

DSCN6237

The Northern Most of Thailand

Setelah kurang lebih satu jam perjalanan semi off-road, kami pun tiba di ujung paling utara Thailand tersebut. Terdapat sungai yang memisahkan antara Thailand dengan Myanmar, yang di atasnya berdiri pintu gerbang imigrasi, dan pada kedua sisinya terdapat pasar yang menjual suvenir (pada sisi kanan) dan berbagai makanan jalanan (pada sisi kirinya).

DSCN6243

Myanmar’s Entrance

Karena waktu yang terbatas –dan sayang apabila membayar bea masuk–, saya memutuskan untuk tidak masuk ke dalam wilayah Myanmar, dan hanya berjalan-jalan di pasar Mae Sai tersebut. Alhasil satu potong kaus dan setusuk sate cumi pun berhasil saya amankan dengan biaya yang tak mahal.

Chiang Rai, September 2012

Hari hampir gelap ketika saya teringat sesuatu yang saya baca sebelumnya di situs biro perjalanan ini “Ben, we still have one more place to visit, right?” Saya meyakinkan diri, bahwa perjalanan belum berakhir.

Yes sure, The Karen Long Neck Village.” Dia mengangguk “We’re almost there.”

Karen Long Neck Village, atau desanya para wanita berleher panjang. Seperti yang terdapat di muka salah satu kartu pos yang pernah dikirimkan Papa dulu. Tempat di mana masih terdapat kepingan kenangan akan Papa.

arievrahman

Two beautiful girls from Karen tribe.

Saya menelusuri pondok demi pondok kecil di perkampungan yang memang disiapkan oleh pemerintah setempat sebagai desa wisata, dan menemukan seseorang yang saya kenali wajahnya sebagai si wanita kartu pos. Dia tersenyum, dan membolehkan saya berfoto dengannya. Saya bersyukur bahwa wanita tua itu baik-baik saja, seperti di kartu pos yang dikirimkan Papa dulu. Saya hendak bercerita tentang Papa dengannya, bahwa Papa dahulu pernah datang ke sini, dan mengunjunginya. Namun karena sepertinya menjelaskan padanya bisa membutuhkan waktu sehari semalam ditemani penerjemah bersumpah, saya pun membatalkan niat saya tersebut.

Di senyumnya yang tulus, saya merasakan kehangatan Papa yang tertinggal di sana. Saya menjumput kepingan kenangan Beliau yang tersisa di Golden Triangle, dan menyatukannya ke dalam hati dan pikiran, tempat Beliau berada kini.

That’s funny how a place can make you remember someone, although you haven’t been there with that someone.

Perjalanan adalah bagian dari kepingan kenangan, yang mungkin saja –oleh sebagian orang– dilupakan, atau justru –oleh sebagian lainnya–  tak terlupakan.

***

[PS: Perjalanan saya dalam mengumpulkan kepingan kenangan Papa di Tokyo, bisa kamu baca pada buku The Journeys 3 yang akan segera terbit.]