Perjalanan, bukanlah sekadar berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Perjalanan, adalah rangkaian peristiwa yang membawa kita bertemu dengan sisi lain dari diri kita sesungguhnya, yang muncul ketika berbenturan dengan situasi yang dialami. Lebih dalam lagi, perjalanan, adalah proses pendewasaan, di mana seorang manusia akan ditempa dengan tantangan yang ditemui selama berjalan, yang akan mengubah hidupnya menjadi lebih berarti.

Bagi saya, setidaknya ada tiga peristiwa perjalanan yang telah mengubah hidup saya. Bukan, bukan peristiwa membersihkan karang gigi singa di Tanzania, memanen kopi di Sao Paulo, maupun mandi beramai-ramai di Jepang, melainkan:

1. Perjalanan Pertama ke Luar Negeri

Semuanya berawal karena patah hati akibat wanita pujaan justru memilih bersama dengan pria lain, yang lebih mapan dan lebih tampan. Saya yang dalam kondisi terpuruk dan ingin mengiris nadi dengan berlian (namun gagal, karena tidak mampu membeli sebongkah berlian), langsung mengekor kawan saya yang baru saja mengurus paspor perdananya. Tak tanggung-tanggung, saya langsung mengurus paspor ke calo, yang selesai dalam waktu satu hari kerja, kemudian membeli tiket untuk keberangkatan dua minggu lagi.

Tujuannya, Singapura. Mana lagi?

Itulah perjalanan ke luar negeri perdana saya, bersama seorang kawan yang juga baru pertama kali. Sebut saja namanya Ainul. Itulah kali pertama kami merasakan menginap di hostel, berinteraksi dengan penduduk asing, dan juga berjalan kaki belasan kilometer, yang tentu saja tidak mungkin kami lakukan di Jakarta.

Ketika di Sentosa Island, Ainul meminta tolong kepada seorang turis untuk memfoto kami berdua di depan patung Merlion raksasa “Mister, would you mind to take our photo?” Pintanya, yang dibalas dengan anggukan. Sesaat setelah pria tersebut mengambil gambar, Ainul pun berterima kasih dengan “Thank you ya, Mister.” sebelum kemudian mendengar si mister berbicara dengan Bahasa Jawa kepada temannya. Jauh-jauh ke Singapura, ternyata Orang Indonesia juga. Culture Shock.

Perjalanan pertama di tahun 2010, tidak membuat kami kapok, justru ketika mendapat tiket murah Air Asia pada tahun berikutnya, kami makin semangat. Hasilnya, kami berhasil mengunjungi Malaysia dan Macau di tahun-tahun berikutnya. Tentu saja dengan Air Asia.

Putrajaya

Saya dan Ainul, di Putrajaya, Malaysia. Bukan di Abbey Road, kok.

Perjalanan pertama yang mengubah cara pandang saya terhadap kehidupan, bahwa dunia bukanlah sekadar kubikel kantor, melainkan sebuah permainan Jumanji yang harus ditaklukkan.

2. Lika-liku Mengumpulkan Kepingan Kenangan Papa

Setahun sebelumnya, saya mengalami peristiwa yang lebih memilukan daripada sekadar patah hati, yaitu ketika Papa saya meninggalkan dunia. Sempat tak percaya, bahwa Papa yang selalu terlihat sehat, dan sering melakukan perjalanan dinas ke luar kota juga luar negeri, ternyata harus meninggalkan saya –si anak tunggal– dan Mama dalam perjalanan paling abadinya.

Saya masih ingat ketika Papa mengunjungi Jepang, pada tahun 2000-an. Saya yang menyukai sepak bola, meminta Beliau untuk membelikan jersey Yokohama Marinos, klub lokal di kota tempat Papa bertugas waktu itu. Namun Papa yang hanya membawa uang pas-pasan tidak membelikan titipan saya, dengan alasan ekonomi. Dan alih-alih membelikan jersey, Papa membelikan saya kaus hitam bertuliskan ♥ Tokyo “Ini kaus paling murah yang Papa temukan di Jepang.” Ucapnya.

Jepang, memanglah bukan negara yang murah untuk dikunjungi, dan wajar jadinya apabila Papa pun tak membawa banyak oleh-oleh dari sana. Hal inilah yang tertanam di pikiran saya tentang Jepang, mahal tapi keren. Hingga pada suatu hari yang tenang di bulan April 2012, adik sepupu saya Rico, menghubungi saya untuk meminjam kartu kredit.

“Mau buat apa?” Tanya saya.

“Ini buat booking tiket Air Asia.” Jawabnya singkat “Sedang ada promo murah ke Jepang.”

Jepang, negara kenangan yang pernah dikunjungi oleh Papa semasa hidupnya. Negara yang ingin sekali saya kunjungi, walaupun menurut saya masih tak terjangkau untuk ukuran seorang karyawan kelas menengah ngehe’ di Jakarta. Dan murah? “Emang murahnya berapa sih?” Cerocos saya lagi.

SATU KOMA SEMBILAN JUTA PP, MAS!

APAAAA????” Seketika iman saya terusik.

Air Asia X

Pesawat Air Asia X menuju Jepang.

Dan tibalah saya di Jepang, bermodal keinginan mengumpulkan kepingan kenangan Papa, yang dipadukan dengan tiket murah Air Asia X. Di sana memang saya tidak menemukan Papa, tapi saya merasakan Papa ada di sana melalui kepingan kenangan yang saya temui sepanjang perjalanan di Jepang.

Ingatan akan suvenir-suvenir mungil yang dibungkus kertas kado, sushi yang dimakan langsung di pasar ikan, hingga kuil Asakusa yang pernah menjadi latar belakang foto Papa, terlintas kembali di benak saya. It’s little bit funny when a particular place reminds me about someone, even though I never be in the place with that special someone.

Kuil Asakusa

Kuil Asakusa, Tokyo.

Sebuah perjalanan yang mengubah cara pandang saya terhadap kematian, bahwa sesungguhnya mereka tidak mati, melainkan hanya berpindah dari kenyataan, menjadi kenangan.

3. Mamacation

Dua tahun setelah Papa berpulang, saya yang telah menyandang profesi sebagai pemburu tiket murah Air Asia, nampak berbinar-binar ketika menemukan sepasang tiket murah tujuan Singapura untuk keberangkatan bulan Mei. Nama Singapura mungkin terdengar biasa, namun yang membuatnya spesial adalah, saya akan melakukan perjalanan tersebut dengan Mama, pada hari ulang tahunnya.

Sebelumnya, saya telah melakukan berbagai cara untuk membuat Mama senang dan tidak merasa kesepian karena kepergian Papa.  Mulai dari lebih rajin pulang, — iya, saya LDR dengan Mama, terpisah ratusan kilometer. — sampai membelikan sepasang kucing untuk menemani hari-harinya di rumah. Hingga pada suatu ketika saya merenung, sungguh naif rasanya, apabila saya bisa bepergian kemana-mana, tapi tak bisa sekalipun mengajak Mama turut serta.

Maka dimulailah sebuah perjalanan, sebuah bulan madu kecil antara saya dan Mama, yang saya namakan sebagai Mamacation.

Pulau Langkawi

Saya dan Mama, di depan patung elang kebanggaan Langkawi.

Mamacation, adalah sebuah perjalanan yang mengubah cara pandang saya terhadap kebahagiaan, bahwa kebahagiaan bisa ditimbulkan dengan membuat orang-orang terdekat saya bahagia.

Dan bulan madu kecil tersebut berlanjut lagi, tetap dengan bantuan tiket murah Air Asia, yang membuat kami menjelajah Malaysia dan Thailand. Saya masih memikirkan akan ke mana mamacation berikutnya, hingga beberapa hari yang lalu Mama menelepon dan menanyakan “Eh, katanya ke Jepang tahun depan sudah bebas visa. Mbok aku diajak ke sana.”.

Hmm. Mamacation, sambil memunguti kepingan kenangan Papa yang tersisa, saya rasa adalah ide yang bagus. Jadi, selanjutnya ke Jepang, atau bahkan ke Nepal, Ma?