
Saya adalah seorang anak tunggal, yang dipisahkan oleh jarak dengan orang tua saya. Sudah sekitar 10 tahun saya merantau di Jakarta, dan selama itulah saya menjalani LDR (Long Distance Relationship, bukan Long Dick Reduction, -red) dengan mereka. Semasa saya kuliah, tercatat saya hanya beberapa kali pulang kampung dalam setahun, yaitu ketika lebaran, ketika libur semesteran, atau ketika benar-benar rindu dengan mereka. Sewaktu awal-awal bekerja di Jakarta, saya bisa menyempatkan pulang kampung sekali setiap dua bulan termasuk beberapa hari ketika lebaran maupun cuti bersama.
Namun semuanya berubah di pertengahan tahun 2009, ketika Papa dipanggil Yang Maha Kuasa. LDR tidak lagi seperti dulu. LDR terasa lebih menyeramkan daripada LDL yang tinggi sekalipun. Perasaan was-was pun muncul, bagaimana jika Mama kangen Papa, bagaimana jika Mama kenapa-kenapa di rumah karena sendirian tanpa Papa, bagaimana jika Mama berangkat kerja tapi tak ada Papa yang mengantarkan, bagaimana jika Mama pengin nge-mall di akhir pekan tapi tidak ada yang menemani, bagaimana jika saya yang semakin tua (baca: matang) tapi belum menemukan pasangan hidup juga? Oh Mama Oh Papa.
[Catatan: Kisah ini juga yang menginspirasi munculnya Mamacation]
Sejak saat itu, saya semakin rutin pulang kampung dengan intensitas yang mengalahkan penampilan Boediono di media tanah air. Dengan mengambil waktu akhir pekan, atau Hari Libur Nasional, saya menyempatkan untuk pulang setiap bulannya. Tak lama memang, namun semoga cukup untuk bercengkerama dengan Mama, juga untuk menabur bunga di pusara Papa. Berbagai alat transportasi pun saya gunakan, mulai dari pesawat, bus malam, hingga kereta api. Dan karena sering menggunakan kereta api, banyak yang bilang kalau saya telah resmi tergabung dalam Pegawai PJKA (Pulang Jumat Kembali Ahad).

Air Asia Jakarta – Semarang, yang biasa saya gunakan di Sabtu pagi, namun sekarang sudah tutup rute.
Dan cerita berikut ini, adalah salah satu pengalaman saya ketika pulang kampung menggunakan kereta api.
Cerita ini terjadi kurang lebih satu tahun silam, ketika pada sebuah long weekend saya berniat untuk pulang kampung ke Semarang. Karena waktu pengambilan keputusan yang mepet dengan Hari H, saya kehabisan tiket kereta Senja Utama kelas bisnis yang biasa saya gunakan, tiket bus hanya tersisa bus abal-abal, sementara harga tiket pesawat sangat tinggi. Saat itu, satu-satunya yang tersedia (selain saya) adalah tiket kereta api kelas eksekutif bernama Bangunkarta dan dengan terpaksa saya pun menebus tiketnya dengan biaya lebih dari tiga ratus ribu rupiah.
Sekadar informasi, Kereta Api Bangunkarta adalah kereta api eksekutif yang melayani rute Jakarta – Jombang, yang melewati dan singgah di Semarang, tempat tujuan saya. Kereta ini dijadwalkan berangkat pukul 17:45 dari Jakarta dan tiba di Semarang pukul 23:00, sebelum akhirnya merapat di Jombang pada pukul 01:00. Dan ketika kereta api tersebut berangkat tepat waktu, maka petualangan saya pun dimulai.

Gambar diambil dari sini.
Kereta berjalan sesuai prosedur yang ditetapkan, yaitu tetap di atas rel. Tidak perlahan, tidak pula tergesa, sedang tapi pasti. Saya duduk di deretan tengah gerbong, tepat di samping seorang wanita muda yang mengenakan hijab. Saya tidak berani menyapa dia yang sedari tadi sibuk dengan telepon genggamnya, maupun menyentuhnya, karena bukan muhrim.
Kurang lebih satu jam sejak diberangkatkan, datang seorang petugas berseragam PT. KAI yang dikawal oleh dua orang berseragam polisi yang membawa senjata api. Maksud kedatangan mereka adalah untuk memeriksa tiket kereta penumpang, apakah sudah sesuai dengan kereta yang digunakan, juga untuk menanyai tujuan akhir si penumpang. Pada kereta api eksekutif, petugas akan membangunkan para penumpang apabila telah tiba di tujuan akhirnya.
“Turun mana, Pak?” Tanya si petugas kepada saya sambil melubangi tiket kereta yang saya berikan kepadanya.
“Semarang.” Jawab saya, pelan tapi pasti.
Pria tersebut mencatat tujuan akhir saya pada catatan kecil yang dibawanya. “Kalau Mbaknya, turun di mana?” Tanyanya kepada wanita di samping saya.
“Semarang, Pak.” Si wanita tersebut menjawab.
“Oh, Semarang juga, Mbak.” Ucap saya.
“Iya Mas.” Dan dia pun kembali asyik dengan gadget-nya.
Setelah pemeriksaan tiket, kali ini datang petugas yang menawarkan makanan. Kalau di kereta eksekutif, biasanya terdiri dari dua orang, seorang wanita dan seorang pria. Yang wanita bertugas menawarkan makanan dan/atau minuman, sementara yang pria bertugas mencatat pesanan penumpang. Apakah ini yang disebut emansipasi, wahai wanita?
“Mau pesan makan malam apa, Mas?” Desahnya.
Saya yang belum sempat makan malam (catatan: waktu itu saya masih kurus, sehingga masih melakukan tradisi makan malam.) karena langsung menuju stasiun sepulang kantor, melihat-lihat sejenak menunya, sebelum memutuskan untuk memesan “Nasi Bistik Sapi, ya, Mbak.”
Tak berapa lama, makanan datang. Saya bertanya berapakah harga makanannya, namun si pengantar makanan menjawab supaya dibayar nanti saja. Kemudian saya makan dengan lahap. Walau rasanya biasa saja, namun porsi makanan tersebut cukup untuk mengganjal perut selama satu jam ke depan. Karena bill yang tak kunjung datang, dan akibat perut kekenyangan yang dikombinasikan dengan kursi empuk, bental nyaman, ruangan ber-AC, dan selimut hangat, saya pun tidur, atau ketiduran. Mana yang lebih dahulu.
Ketika tidur, saya merasakan sebuah sentuhan lembut pada bahu saya. Saya membuka mata secara perlahan, dan melihat sesosok wanita cantik di hadapan saya. “Bistiknya tadi 35.000, Mas.” Ucap si wanita cantik. Saya mengeluarkan selembar uang berwarna biru dari dalam dompet dan menyerahkan kepadanya. “Kembaliannya ditunggu, ya.” Saya mengangguk, dan tertidur lagi.
Kali ini, giliran lutut saya yang dicolek ketika tertidur. “Ini Mas, kembaliannya.” Ucap sebuah suara. Sambil menggerutu, saya memasukkan kembalian tersebut ke saku celana, dan tertidur lagi. Tidur saya malam itu cukup nyenyak, hingga akhirnya sebuah getaran di saku jaket jeans sebelah kanan membangunkan saya.
“Drrttt! Drrttt!” Telpon genggam yang saya pasang dalam mode getar, berdering, dan terpampang satu nama di layar handphone yang saat ini telah raib, Mom.
“Sampai mana?” Tanya Mama di ujung telepon. Saya yang baru saja bangun pun kebingungan, nge-blank. Saya melihat ke bangku sebelah, wanita berhijab tadi telah hilang. Saya melihat ke jendela, gelap, ternyata pantulan muka saya sendiri. Saya melihat jam tangan, waktu menunjukkan pukul satu dini hari, di mana seharusnya pukul sebelas malam saya turun di Semarang.
Oh, Shit.
“Wah, gak tahu ini di mana.” Ucap saya panik. “Harusnya berhenti di Semarang jam sebelas tadi.” Saya berlari menuju sambungan gerbong, dengan tergesa.
“Sudah gak usah panik. Coba tanya ke petugasnya dulu.” Mama mencoba menenangkan saya. Di saat seperti ini, suara Mama lebih menenangkan dibanding bersandar di paha Angelina Jolie, sambil dipelototin Brad Pitt.
“Petugasnya di mana?”
“Coba cari ke bagian restorasi.”
“Restorasi di mana?”
“Cari ke tengah!”
Karena posisi tempat duduk yang berada di gerbong dua, saya pun berlari lagi melewati gerbong tiga, empat, lima, sebelum akhirnya tiba di gerbong restorasi dengan napas tersengal. Di sana, saya mendapati ada satu, dua, tiga petugas sedang berbincang-bincang. “Ini di mana?” Tanya saya dengan wajah pucat.
Petugas yang kaget karena kedatangan saya di tengah malam menjawab “Paron, Mas.”
“Semarang, mana?”
“Sudah lewat, Mas.”
Saya shock tak mampu berkata-kata, wajah saya menjadi lebih pucat daripada Edward Cullen, namun kulit saya tetap lebih hitam daripada Jacob Black. Setelah berhasil menenangkan diri, saya berkata “Saya harusnya turun di Semarang, Pak.”
“Wah, sudah kelewatan, Mas.” Ucapnya.
Sial. Batin saya kesal. “Lalu solusinya bagaimana? Saya jam tujuh pagi ada acara.”
“Ya turun di stasiun terdekat.”
“Lalu siapa yang tanggung jawab? Saya gak dibangunin. Dari stasiun itu naik apa? Biayanya gimana?” Cerocos saya.
“Mas, tenang dulu. Yuk ke ruangan, kita bicarakan dengan penanggung jawab.” Petugas itu menuntun saya masuk ke ruangan sempit yang hanya berisikan enam buah bangku.
Si penanggung jawab adalah seorang Jawa berkulit sawo matang, berperawakan gemuk dan mengenakan jas yang tidak dikancingkan –mungkin karena sudah tidak muat–, yang berumur kira-kira 30 tahun. Sebuah name tag tersemat di dadanya, bertuliskan “SURYANTO”. “Mas, ini sedang saya usahakan turun di stasiun terdekat, Gundi.” Dia mencoba menenangkan saya. “Mas ambil tasnya dulu, deh.”
Saya berjalan kembali menuju gerbong dua, melewati gerbong lima, empat, tiga. Mengambil tas, dan kembali lagi ke restorasi, melewati gerbong tiga, empat, lima. Setibanya kembali, saya menemukan Pak Suryanto sedang berbicara melalui telepon genggamnya, di mana sesekali nada panik terdengar. “Mas.” Dia menurunkan telepon tanpa mematikannya, dan melihat ke arah saya. “Mas bisa turun di Gundi, tapi…”
“Tapi apa, Pak?” Saya cemas.
“…tapi Gundi itu hutan, dan tak ada transport menuju Semarang. Kalaupun ada paling hanya sewa mobil/motor ke sana.”
Saya semakin cemas. “Lalu saya harus bagaimana?”
“Tenang Mas, saya sedang coba hubungi stasiun terdekat lainnya.” Jawabnya, sambil berbicara lagi melalui sambungan telepon.
“Madiun, kereta ini akan berhenti di Madiun.” Petugas kereta lain berseru.
“Tapi kan Madiun jauh banget, Pak.” Protes saya.
Pak Suryanto menurunkan teleponnya lagi “Mas, kalau turun Solo, bagaimana?” Ujarnya sambil memperhatikan catatan kecil di tangan kanannya. “Dari Solo banyak transportasi ke Semarang.”
“Iya, saya tahu kalau itu. Tapi apa bisa turun di Solo?”
“Ini sedang saya usahakan, Mas.” Dia melanjutkan lagi teleponnya, sebelum akhirnya tersenyum dan melirik saya yang jika tidak dalam situasi panik, mungkin saya sudah menyalahartikan lirikannya. “Mas, bisa turun Solo.” Ujarnya. “Sekarang siap-siap Mas.”
Saya lega.
“Lima puluh menit lagi sampai.” Tambah Pak Suryanto.
Lima puluh menit tersebut saya habiskan untuk berbincang dengan Pak Suryanto, dan dari dia saya mengetahui bahwa sebenarnya petugas sudah membangunkan semua penumpang yang turun di Semarang. Dan karena saya dikira teman si wanita berhijab –yang akan dibangunkan olehnya, tapi ternyata tidak– petugas pun melewati saya. Pak Suryanto sendiri, naik dari Semarang pada pergantian shift jaga malam itu. “Tadi sebenarnya berhenti lama lho, di Semarang.” Jelasnya. “Satu jam lebih.”
Saya dan kebiasaan tidur saya yang berlebihan.
“Mas, sebentar lagi sampai Solo.” Ucapnya beberapa saat kemudian, di atas kereta yang melambat. “Tapi sebelumnya, ini…” Dia mengeluarkan uang dari saku jasnya “…buat naik taksi. Seratus ribu.”
Saya menerima pemberiannya, setelah memastikan semuanya aman. Tak ada KPK, maupun intelejen Australia. “Ini sudah sampai stasiun Solo Jebres, Mas. Silakan.”
Sebelum turun, kami bersalaman. “Maaf ya, Mas. Atas kelalaian kami.” Ucapnya.
“Iya Pak, tidak apa-apa, kok.” Jawab saya, sambil memasukkan uang ke saku jaket sebelah kiri. “Emang ini harusnya berhenti di sini?” Tanya saya lagi.
“Enggak, Mas. Harusnya Madiun. Tapi tadi saya sudah bilang ke petugas stasiun untuk berhenti darurat.”
“Oh, ya sudah, makasih bantuannya, Pak.”
“Justru kami yang minta maaf karena lalai bangunin. Maklum tadi petugasnya orang baru.” Jelasnya.
Saya berpamitan, sebelum meloncat dari atas kereta yang telah berhenti. Kereta melanjutkan perjalanannya lagi ke stasiun berikutnya, dan saya keluar dari stasiun Jebres, tapi batal naik taksi. Dengan pertimbangan taksi akan memakan biaya 200.000 rupiah, saya memilih menggunakan becak, untuk diantarkan ke Terminal Tirtonadi. Langit Solo pukul tiga dini hari sehabis hujan, sangatlah cantik. Bulan purnama yang menyinari genangan air di aspal, berpadu dengan aroma tanah sehabis hujan. Dunia serasa milik berdua, hanya ada saya dan tukang becak.
Dari terminal, saya menggunakan bus bernama “Eka Cepat” yang dilengkapi AC dan Wi-Fi untuk pulang ke Ungaran. Dan dengan tarifnya yang hanya sebesar 20.000 rupiah, nasi bistik sapi semalam pun terbayar lunas, malah saya mendapatkan keuntungan dengan perhitungan sebagai berikut:
Uang saku : 100.000
Nasi bistik sapi : (35.000)
Becak : (15.000)
Bus : (20.000)
Net income : 30.000
[Tip: Apabila ingin mendapatkan keuntungan dari naik kereta, kamu bisa meniru pengalaman saya tersebut.]
Pada saat cerita ini ditulis, kamu akan mengetahui bahwa saya adalah salah satu orang yang mendapatkan uang saku ketika naik kereta, dan bisa menghentikan kereta di stasiun di mana kereta tidak seharusnya berhenti. Sementara dunia akan mencatat Pak Suryanto sebagai pegawai PT. KAI yang baik dan bertanggung jawab.
Tagged: Bangunkarta, DKI Jakarta, Eka Cepat, Jebres, Kereta Api, Semarang
Entah ada kaitannya atau tidak, dihari yang sama mas Ariev posting tulisan diatas, atau berita ini mas –> http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/12/06/2/199400/Ignasius-Jonan-CEO-Terbaik-BUMN-2013 hehehhe
LikeLike
Huwow, nice sharing Mas Adi. Memang sepertinya BUMN kita lagi proses perbaikan di mana-mana, semoga makin bagus servisnya.
LikeLike
…. dan bikin panik ini mah! : )))
LikeLike
Bahahahak! Yoih!
LikeLike
Yang duduk di sebelah lo pas di kereta masa gak mau bangunin lo ya, Riev? sebegitu seram kah muka lo sampe dia gak berani mau ngebangunin lo? :)))
LikeLike
Kagak berani dia Ron, kan bukan muhrim.
LikeLike
Ceritanya sdh pernah diceritain lewat tweet…tp tetap ok. Pernah ketemu pak Suryanto lagi, gak?
LikeLike
Wah, iya, udah pernah live tweet. Ini dipindahin ke sini, karena dibuang sayang. Hahaha.
LikeLike
Nah, iya bener kak. cerita yang menginspirasi dibuang sayang 🙂
LikeLike
Eh busettttttttt baru tahu kalau naik kereta eks itu pas turun akan dibangunin, perasaan dulu waktu ke jogja naik eks gak ada yg bangunin deh -__-
klo kelewatan ya resiko tanggung sendiri hiks
LikeLike
Lah, emang dulu pernah kebablasan juga Lid? Harusnya sih dibangunin, kan ditanyain dulu mau turun mana.
LikeLike
enggak pernah dan gak pernah ditanyain haha, jadi pasang weker hahaha
LikeLike
Ngakak! :)))
selalu ada spot2 tertentu yang bikin ngakak. sebenernya nggak relevan sama jalan cerita tapi lucu aja. itu namanya punchline bukan ya?
“Saya tidak berani menyapa dia yang sedari tadi sibuk dengan telepon genggamnya, maupun menyentuhnya, karena bukan muhrim.”
“Di saat seperti ini, suara Mama lebih menenangkan dibanding bersandar di paha Angelina Jolie, sambil dipelototin Brad Pitt.”
“jika tidak dalam situasi panik, mungkin saya sudah menyalahartikan lirikannya.”
Dan puncaknya so pasti di perhitungan net income-nya itu loh!
Suka gaya tulisannya,kak. Informatif, lucu, tapi nggak lebay 🙂
LikeLike
Ahhh, komen-komen kayak gini nih yang bikin makin semangat nulis :’)
Terima kasih Santi.
Iya, itu punchline, kalau beberapa kalimat sebelumnya, kalau gak salah namanya bit. Hehehe.
LikeLike
:’)
tulisan2 kayak gini nih yang bikin semangat baca2 blognya 😀
LikeLike
Erteh (RT) –> Shanti. 😀
LikeLike
*peluk syariah*
LikeLike
Seriusan dapat duit dari petugas KA ???? baik banget yaaaa. Mudah2an pelayanan kereta ini makin jadi lebih baik dan harga exe nya di turunin.
Sudah sejak 1999 ngak perna naik kereta lagi kalo mudik ke sby, harga tiket KAI sama dengan tiket pesawat.
LikeLike
Aamiin, semoga makin terjangkau nantinya. Karena moda transportasi ini yang harusnya bisa lebih diandalkan.
Iya, kalau tiket eksekutif ke Surabaya sih emang sama jatuhnya kayak pesawat, mending pakai pesawat sekalian, gak bikin tua di jalan. Kalau ke Semarang masih nyaman pakai kereta bisnis soalnya.
LikeLike
enak banget yah dpt uang hehehe.. btw ternyata sama2 d jakarta sama2 perantauan ternyata
LikeLike
Iya, jarang-jarang dapat uang kayak gitu nih.
*toss karena sama-sama merantau*
LikeLike
agak gmn gtu ya sama cewek yg berhijab itu.
LikeLike
Hahaha, orangnya cuek banget broh.
LikeLike
Hahahaha, ini lucuk beudh. Sebenernya bukan ngebangunin sih, tapi lebih tepatnya, petugas akan memberitahu semua penumpang di setiap gerbong untuk bersiap-siap jika ada yang turun di stasiun di mana kereta sebentar lagi akan berhenti.
Yang membuat gw bingung, ini maksudnya apa ya? –> wajah saya menjadi lebih pucat daripada Edward Cullen, namun kulit saya tetap lebih hitam daripada Jacob Black.
*gak rela* 😥
LikeLike
Etapi biasanya dibangunin sih, soalnya kan ditanyain dulu turunnya di mana hehehe.
Itu maksudnya … sorry I’m too awesome to explain it. *ditimpuk bistik sapi*
LikeLike
tapi kok bisa ya, mas ariev kan kelewatan semarang jam 1 malem. Di posisi itu kereta ada di paron. trus kok tiba-tiba ke solo? atau emang jalur bangunkarta ngelewatin solo jebres?
tapi terlepas dari semua itu saya malah baru tau kalo semisal kelewatan turun bisa dapet duit dari petugas KAI nya hehehe
LikeLike
Nah itu dia yang saya gak tahu jalur keretanya, apakah sengaja dibelokin ke Solo buat nurunin saya, atau gimana. Saya sempat bingung sih kalau tiba-tiba kebablasan sampai Jawa Timur, untungnya bisa berhenti di Solo.
Hahaha, itu mah pas lagi beruntung saja dapet duitnya 😀
LikeLike
Wah kalo naek ekonomi trus ketiduran bakal dapet 100rb juga ga ya…#ngarep X)))
LikeLike
Kalau naik ekonomi dapet cepek jadi balik modal dong sis :’)
LikeLike
..kecewa, sesungguhnya kisah ini akan lebih seru jika dirimu diturunkan di Gundi, brader! 😉
LikeLike
SEMTENAN! *keplak*
LikeLike
nah hiyo bener. kapan-kapan medun gundi yo mas :))
LikeLike
Edian ik, metu sing jenengane Gundi tenanan! : ))))
LikeLike
Lol!! *ngakak*
LikeLike
Thanks udah ngakak! 😀
LikeLike
hahahhaaa
serunya naik kereta
untungnya aku nggak pernah kebablasan ;p
LikeLike
Cobain kebablasan deh mas sekali-kali, siapa tahu dikasih duit, hahaha.
LikeLike
hahahah curhat…
hanya orang indonesia yang makan steak pake nasi.. dan di kereta malam heheheh
LikeLike
WOY WOY WOY!
LikeLike
Wah hape luw yang sekarang apa emang riev? Iphone yah?? Btw itu yang nama nya punchline, baru tau dan jadi terinspirasi hehe
LikeLike
Sekarang pakai Samsung S4: https://backpackstory.me/2013/05/05/samsung-galaxy-s4-my-perfect-travel-companion/ sama Blackberry Z10: https://backpackstory.me/2013/11/17/kota-lama-kawan-lama-dan-kenangan-lama/ 😀
Iya, kayak gitu punchline, semoga bermanfaat.
LikeLike
Broh, makanya mudik jangan sendirian. Ajak si mba-ya biar ada yang bangunin 😆
LikeLike
Kalau sama si mbak, takutnya malah “bangun” 😦
LikeLike
HAHAHAHA, moral of the story… wanita berhijab seringnya cuek bebek. #eh #dijumroh
LikeLike
Astaghfirullah, ya akhi.. Khuznudzonlah..
LikeLike
untung gak langsung utun locat dari kereta ya..hehe
LikeLike
padahal mau loncat indah ke stasiun broh..
LikeLike
Baek amat itu si bapak ngasih uang 100 rebu haha.. Bagi donk! 😀
LikeLike
Hahaha! *kasih goceng*
LikeLike
Kuraang *ngerogoh dompet*
LikeLike
Hahahaa sempet2nya ada perincian hitung2an segalaaaaaa. astaga abis baca postingan pertama nangis, skr ngakak2. dikira gila gw riev -_-
LikeLike
Hahaha, katanya udah pulang tadi wooo ~
LikeLike
ga jadii wooo dikunciin suami soalnya ga boleh pulang……
LikeLike
cerita menarik karena saya jg sering didepan kereta bangunkarta ( supirnya bro ) hehehe…
LikeLike
Wah, seriusan masinisnya? :O
Salam kenal yaaa!
LikeLike
😀 yup candilius cerita yg laen jg keren sipp terus berkarya Bro
LikeLike
Huwow! Mantap broh!
Semoga makin jaya, buat kereta api Indonesia!
LikeLike
Ahahaha, makanya jangan pelor, Riev. Pelor = Nempel Molor hihihi.
Dulu waktu mau ke Semarang pernah mau pesen tiket kereta bangunkarta, tapi karena tujuannya jombang nggak jadi deh, walaupun lewatin semarang. Takut kebablasan kayak kamu, jadinya pesen kereta api kelas bisnis senja utama semarang 🙂 Inget banget tuh jadwalnya berangkat jam 7 malam dari stasiun pasar senen hehehe.
LikeLike
Hahahahahaha, iya deh iyaaa!
Ini masih agak trauma sih kalau naik kereta yang sama, semoga beneran dibangunin.
LikeLike
eh ini serius ya mas? dapet uang saku gitu? :O
wah saya yg punya banyak temen anggota Railfans (Pecinta Kereta Api) aja malah gak tau kalo dapet uang saku 😮
LikeLike
Eh, yang uang saku kan gak resmi. Itu karena muka melas gue aja kali yah. Hahaha.
Tapi seriusan dikasih duit gue.
LikeLike
wah kocak mas bahasa dan ceritanya, lanjutt…
LikeLike
Siaaap! Thanks bro!
LikeLike
Hahaha, gek ngopo aku nyasar di sini ini lho? Awalnya tegang dan menegangkan, tapi ujung-ujungnya hahahahaha. Penak men ya naik kereta dapet susuk 🙂
LikeLike
Wahahaha iyo ngopo iso nyasar ning artikel iku hahaha. Ho oh, pengalaman banget yo iku mas, tak terlupakan pokoknya.
LikeLike