Pagi itu, tak biasanya Mama cemberut. Padahal, hari itu merupakan hari spesial untuk kami, atau khususnya untuk saya yang sedang berulang tahun dan akan melangsungkan pernikahan pada hari yang sama. Namun, bukannya ucapan selamat atau kecupan yang saya dapatkan dari Mama, melainkan…

“TADI MALAM DARI MANA?”

Aduh, gawat, sepertinya saya akan kena amuk sebentar lagi. Menghadapi seorang wanita yang sedang emosi, apalagi gemini, saya setuju dengan Slank yang bilang ‘ngebohong salah, jujur malah tambah salah’, namun berbekal pelajaran PMP yang saya dapatkan sewaktu kecil, saya memilih untuk jujur “Nganu…nganu, Mah. Semalam aku tidur sama Galang.”.

Jujur, bahwa saya tidur dengan pria lain di malam sebelum pernikahan saya.

“KAMU ITU…”

“Ganteng?” Saya berbisik.

“…BUKANNYA TIDUR SAMA MAMA, MALAH SAMA GALANG!”

Oh, ternyata Mama cemburu. Saya menunduk dan membatin, wajar bila Mama kesal, karena saya lebih memilih tidur bersama pria yang baru saya kenal tiga tahun dibanding bersamanya yang sudah membesarkan saya selama 3o tahun. Di hari terakhir saya melajang, mungkin Mama berpikir bahwa saya seharusnya meluangkan lebih banyak waktu bersamanya, bukan malah tidur dengan pria brengsek seperti Galang.

Klik untuk membaca cerita sebelumnya, juga tentang hal-hal yang harus disiapkan menjelang pernikahan.

“Maaf Ma, aku pikir semalam kamarnya ramai.” Saya beralasan, karena memang ada banyak saudara yang menginap di Hotel Wirton ini. “Jadi aku tidur sama Galang deh di bawah.”

YA UDAH, BURUAN MANDI, TERUS DI-MAKE UP-IN!

Perjalanan di Hari Pernikahan – 14 Februari 2016

06.20

Saya menyelesaikan mandi sunnah, tanpa sempat buang air besar karena diburu-buru keadaan. Berikutnya, saya berpakaian dengan segera. Setelan jas menjadi pilihan saya untuk akad, supaya terlihat rapi dan profesional. Bukan setelan jas yang dijahit custom sesuai ukuran badan, namun setelan jas yang dibeli di mal karena diskon.

“Ayo kalau sudah buruan dibedakin.”

“Aduh.”

06.30

Proses bedak-membedak ini ternyata berlangsung singkat, tidak sakit, dan tidak menimbulkan trauma masa kecil bagi saya. Setelah selesai, saya tampak seperti seorang eksekutif muda dengan wajah yang putih dan leher yang hitam muda.

“Sebentar, pakai lipstick dulu, Mas.”

Saya pasrah, ketika sebuah lipstick mendarat di bibir saya yang ranum. Tanpa peduli apakah itu lipstick 50.000 atau 500.000, saya menikmatinya.

Groom

Pesan, jodohnya satu, ya Allah.

07.10

Saya telah siap, Mama dan keluarga pengiring calon pengantin pria telah selesai didandani dan dibedaki. Tidak sepucat mayat, dan tidak seputih Sinta, riasan hari itu terasa pas di wajah. Apalagi di wajah Mama yang sudah tidak cemberut, riasan tersebut sangat terlihat cantik.

Groom and Mom

Ready to ho’oh!

“Kalau sudah siap, langsung kumpul di bawah ya.” Pinta salah seorang kru dari wedding organizer yang bertugas pada hari itu.

Aduh, mana belum sarapan pula. Untung saja semalam saya sudah cukup puas melahap sepasang ayam McDonald’s.

07.30

Tak berapa lama, dan tanpa drama, kami telah siap di lobi Hotel Wirton. Dengan para pria yang mengenakan setelan jas gelap semua, kami lebih mirip serombongan mafia dibanding rombongan pengantar pengantin. Untung saja, para wanitanya mengenakan pakaian muslimah, sehingga kami menjadi terlihat seperti rombongan mafia syariah.

Groom & Family

“Kalau sudah foto-fotonya, langsung bergerak menuju lokasi ya. Semua sudah siap semua di sana.”

07.40

Sebenarnya, Masjid Nurul Jamil yang menjadi lokasi resepsi pernikahan saya saat itu dapat dicapai dengan berjalan kaki dari hotel, namun berhubung banyak yang bilang “Masa pengantin kok jalan kaki.”, akhirnya kami bergerak menuju masjid dengan menggunakan mobil pengantin.

Ya kami, saya, Mama, Om Nono sebagai wali menggantikan Papa, dan Rico sebagai sopir tembak.

Mazda 2 as wedding car

07.50

DHEG!

Untuk pertama kalinya dalam hari itu, jantung saya berdetak lebih kencang dari biasanya. Aneh, padahal saya tidak ngopi pagi itu, dan tidak sedang menatap wajah Dian Sastro. Ataukah ini yang dinamakan sindrom pernikahan? Entahlah.

Mazda 2 as wedding car

Perlahan, mobil memasuki pelataran parkir Masjid Nurul Jamil. Saya semakin dag-dig-dug. “Is this the day? The day when I end my single and miserable life?”

Seperti Leonardo DiCaprio yang baru saja tiba di malam Oscar, pagi itu saya turun dari mobil dengan sambutan kamera para fotografer pernikahan.

“Maaf Mas, ulang lagi Mas, turun dari mobilnya. Yang tadi kurang ganteng.”

Asem.

08.00

Dengan diapit Mama dan Om Nono, saya menaiki undakan tangga kecil ke arah tempat akad. Pada halaman masjid yang telah disulap dengan dekorasi serba putih tersebut, telah menanti Mamam dan Daddy yang sudah tidak terlihat gahar lagi. Kali ini, raut haru dan bahagia terpancar di wajah mereka, menyambut kedatangan keluarga saya.

Berikutnya, Mamam mengalungkan rangkaian melati ke leher saya. Kami bersama-sama bergerak menuju tempat duduk yang telah disediakan.

Masjid Nurul Jamil

Untuk saya dan Neng, Masjid Nurul Jamil adalah sebuah venue yang tepat untuk melangsungkan hajat pernikahan kami. Masjid merupakan tempat suci bagi umat Islam, sementara halamannya yang hijau dan mungil, sangat cocok dengan konsep white garden party yang diimpikan Neng.

Guna mewujudkan impiannya itu, Neng memilih vendor Putih Putih Decoration untuk mendekorasi lahan yang ada. Semuanya serba putih, seputih wajah saya hari itu.

PS: Jika ingin mendapatkan diskon dari Putih Putih Decoration, bilang saja dapat referensi dari Backpackstory, atau katakan kalau temannya Ariev dan/atau Gladies.
Masjid Nurul Jamil

08.15

Berikutnya, acara dilanjutkan dengan pidato penyampaian maksud kedatangan keluarga saya pada acara ini, –termasuk penyerahan kotak serah-serahan secara simbolis– yang disambut dengan baik oleh keluarga Neng.

Disambut dengan baik, belum tentu diterima nikahnya. Karena masih ada tahapan yang harus saya lakukan, yaitu melangsungkan akad nikah. Setelah acara serah terima selesai, saya digiring ke sebuah meja putih dengan beberapa buah kursi dan sepasang microphone.

Meja putih dengan papan-papan kecil bertuliskan: calon pengantin pria, calon pengantin wanita, saksi 1, saksi 2, wali nikah, dan penghulu.

DHEG! Rintangan apalagi yang harus saya hadapi kali ini?

Masjid Nurul Jamil

08.30

Dengan tertunduk, saya mendengarkan pembacaan ayat-ayat suci Al-Quran yang dilantunkan seorang bapak berpeci tinggi yang membuatnya mirip pengawal Ratu Elizabeth yang mengenakan batik. Di hadapan saya telah duduk Daddy sebagai wali nikah bersama seorang penghulu dari KUA, sementara di kanan kiri kami duduk dua orang saksi, dengan Pakde Wid sebagai saksi dari keluarga saya.

Saya semakin deg-degan ketika Neng belum juga kelihatan batang hidungnya, apa jangan-jangan dia ketiduran tadi malam sehabis party? Atau dia sedang bersembunyi di bawah meja putih ini? Damn, where are you when I need you the most?

“Sudah siap ijab kabul?” Tiba-tiba pak penghulu membuyarkan lamunan saya tentang Marshanda.

DHEG!

Apakah ini saatnya saya untuk menikah? Apakah saya sudah siap hidup dengan seorang wanita pisces yang suka berdiam diri kalau ngambek seumur hidup saya? Apakah Newcastle akan bertahan di Premier League musim ini? Apakah Cinta akhirnya menikah dengan Rangga di AADC2? Apakah Risty Tagor jadi cerai dengan suaminya yang tak mampu menafkahinya 20 juta per bulan?

Berbagai pikiran muncul di otak saya, sementara Daddy menatap saya tajam. Anjir, kok jadi garang lagi wajah Daddy?

Pak Penghulu menyerahkan sebuah microphone kepada saya, sementara microphone satunya diberikannya kepada Daddy. Gawat, saya belum pernah ijab kabul sebelumnya dan belum latihan apa-apa tentang akad nikah ini. Bagaimana kalau tiba-tiba saya salah sebut nama mantan, atau nama Galang?

DHEG!

Berikutnya, Pak Penghulu menyerahkan sebuah kertas kecil kepada saya yang diiringi kedipan sebelah matanya. “Dibaca saja.”

Akad Nikah

Sambil bersalaman dengan Daddy, saya membaca tulisan tangan Pak Penghulu di kertas tersebut. Hmm, sebenarnya ini penghulu apa dokter sih? 

“SAYA TERIMA NIKAHNYA POETRY GLADIES KARINA DEWI BIN MOCH. TABRONI DENGAN MAS KAWIN PERHIASAN DIBAYAR TUNAI.”

Sebuah perkataan lantang, yang langsung dibalas dengan kalimat Daddy berupa kesediannya menikahkan putrinya dengan saya.

“BAGAIMANA, SAH PENONTON?” Teriak MC akad kepada semua yang hadir.

“SAAAAAHHHHHHHHHH!” Teriak semua yang hadir kompak dan bersamaan.

Alhamdulillah, sekarang kita keluarkan mempelai wanitanya.”

09.00

Sambil mengenakan kebaya putih yang serasi dengan bedak saya, Neng berjalan ke meja akad untuk kemudian duduk di samping saya. Ini kali pertama kami duduk bersama sebagai suami istri yang sah secara agama, dan sudah halal untuk melangsungkan sebuah hubungan. Hubungan pernikahan.

Saya menyalami tangan Neng, yang ternyata sangat dingin. Aduh Neng, kamu habis mainan es balok di belakang panggung?

Berikutnya, Pak Penghulu menyerahkan sepasang buku nikah dan surat-surat yang harus kami (saya dan Neng, bukan saya dan Daddy yang berkumis tebal) tanda tangani supaya pernikahan ini sah dan diakui oleh negara, juga supaya boleh bulan madu ke Aceh. Pada sesi yang sama pula, kami saling memasangkan cincin yang telah kami beli sebelumnya. Wedding ring, bukan suffe ring.

Acara selanjutnya, adalah prosesi sungkeman kepada orang tua dan sesepuh, yang dilanjutkan oleh saweran. Bukan, saweran yang dimaksud di sini adalah bukan saya goyang kayang dan Neng pole dancing kemudian penonton yang hadir nyawer, melainkan menyebarkan rezeki dan kebahagiaan secara simbolis dalam wujud koin dan permen kepada teman-teman yang hadir.

Sekarang, kami bukan lagi dua, melainkan satu. Satu keluarga, yang pelaporan SPT Tahunan-nya boleh digabung.

09.25

Setelah prosesi akad selesai, selanjutnya kami diberikan waktu untuk beristirahat sebentar, coffee break sebelum berganti baju dan mengenakan riasan kembali untuk acara resepsi.

Ternyata, perjalanan hari itu masih panjang.

Pada hari spesial ini, saya juga meminta bantuan kepada dua sahabat saya Sutiknyo dan Wira Nurmansyah yang sudah tak suci untuk mendokumentasikan acara suci ini dalam bentuk video dan foto.

Wedding Party

With the videographer & Photographer (disclaimer, bukan gue yang ngancingin kancing jas bawah)

10.20

Di belakang panggung pelaminan, saya dan Neng didandani lagi untuk acara resepsi. Kali ini Neng memercayakan Wickky Halim yang juga tergabung dalam tim Barli Asmara (I don’t know who s/he is) untuk memoles wajahnya secara natural. Sementara untuk urusan busana, kami mengenakan kebaya nasional dengan warna biru muda, seperti warna Backpackstory.

Dengan beskap yang slim fit yang muat pada badan saya, saya cukup senang karena hasil diet empat bulan saya menunjukkan hasilnya. Di belakang panggung itu pula, saya dirias kembali, masih dengan riasan yang sama, yaitu wajah yang putih dan leher yang hitam muda.

Make up session

“Ayo, kalau sudah langsung masuk mobil lagi.”

Deja vu. Sepertinya tadi sudah pernah seperti ini.

11.11

Seperti kejadian beberapa jam sebelumnya, mobil kembali diparkir di pelataran masjid Nurul Jamil dengan Rico masih sebagai sopir tembak. Namun kali ini hanya ada saya dan Neng di belakang, sebagai suami istri.

Dengan slow motion, saya turun dari mobil.

“Maaf Mas, ulang lagi Mas, turun dari mobilnya. Istrinya diajak juga dong.”

Eh iya ding!

Welcoming New Couple

Saya kembali melewati jalan setapak yang sama seperti yang saya lewati tadi pagi menuju meja akad, namun bedanya kali ini ada Neng yang menggamit lengan saya, sebagai suami istri.

Pada kanan kiri jalan, terlihat teman-teman yang mengenakan busana putih sebagai dresscode, memegang balon berwarna putih yang melambangkan kesucian (Kesucian saya lah, siapa lagi). Mereka menyambut ketibaan kami di halaman masjid dengan bahagia di wajah dan kamera di tangannya.

Semua bahagia, di hari bahagia saya dan Neng, sebagai suami istri.

Me & Neng

Pelepasan balon-balon bahagia.

11.30

Kami berjalan ke atas panggung pelaminan dengan diiringi lantunan lagu yang manis dari Gail Satiawaki, seperti Yovie & Nuno, ternyata Gail juga memiliki bandnya sendiri yang menghibur teman-teman pada hari itu. Walaupun lagu request saya yaitu ‘God Only Knows‘ tidak dinyanyikan pada hari itu, namun saya tetap bahagia dengan adanya Neng di samping saya.

Selain alunan musik yang merdu, kemeriahan hari itu juga tidak lepas dari bantuan teman kami, yaitu Steny Agustaf yang meluangkan waktunya untuk bertugas sebagai Master of Ceremony pada acara kecil ini. We owe you a lot, bro! Juga terima kasih Mbak Fara yang telah menghubungkan kami, jasa-jasa lu kayak Nokia Mbak, connecting people!

12.01

Setelah kami siap untuk dipajang di panggung pelaminan, teman-teman yang hadir pun siap untuk menikmati aneka hidangan yang disajikan pada hari itu, termasuk salah satunya Brownies Dapur Gladies yang fenomenal itu.

*kirim invoice ke istri*

Yang membuat momen hari itu lebih bahagia adalah ketika kami mendapati teman-teman naik ke atas panggung pelaminan, untuk menyalami kami, mengucapkan selamat dan mengiringkan doa-doa baik, juga untuk menyelipkan bingkisan serta amplop!

Alhamdulillah.

This slideshow requires JavaScript.

Siapa sangka, berawal dari menulis buku cinta-cintaan yang merupakan awal perjumpaan saya dan Neng, kini kami dapat menulis buku berdua, yaitu buku pernikahan.

Yeah, my life just begins at 30. Literally.

Just Married

Life begins at 30

Marriage, is a journey without turning back point, and I am glad that, I do it together.

15.30

Sebuah Mazda 2 berwarna abu-abu tua dengan hiasan bunga, yang berisikan sepasang suami istri nampak melaju meninggalkan Hotel Wirton, menuju ke sebuah tempat rahasia. Mereka berencana untuk menikmati malam pertama sebagai suami istri.

Bersambung…