Selama 30 tahun lebih hidup, saya sudah berpindah hunian kurang lebih sebanyak tujuh kali. Diawali dengan rumah kontrakan orang tua di Kota Semarang sebelum akhirnya berpindah ke rumah dinas yang kemudian menjadi hak milik setelah dicicil puluhan tahun di Kabupaten Semarang, yang berlanjut indekos di Bintaro semasa kuliah dan dua kali berpindah kostan di Slipi ketika awal-awal bekerja di Jakarta, sebelum akhirnya tinggal pada sebuah apartemen di pinggiran Jakarta Selatan dan sekarang menempati rumah kontrakan di daerah Bintaro.

Bagi saya, menemukan hunian idaman, atau hunian yang cocok untuk ditempati adalah sebuah perjalanan yang berliku. Hunian tersebut harus menyesuaikan kebutuhan aktual saya, harus dekat dengan lokasi tempat belajar atau kerja, serta nyaman untuk ditinggali setidaknya selama beberapa tahun. Bukankah begitu definisi hunian idaman?

Dalam perjalanan mencari hunian idaman, saya juga telah melakukan banyak sekali riset dan survei, baik secara daring melalui situs jual beli properti, bertanya ke pada sahabat dan khalayak, hingga datang langsung ke lokasi properti yang sedang saya incar untuk ditempati.

DUO Balaraja

Sejak dulu, manusia dikenal sebagai bangsa yang nomaden, yang selalu berpindah tempat tinggal dengan menyesuaikan musim dan kebutuhan hidup, yang mungkin baru akan berdiam di suatu tempat setelah mendapatkan kenyamanan atau hal-hal baru yang menguntungkan. Dimulai dari para pengembara di gurun Afrika dan Timur Tengah, lalu berlanjut ke pedagang lintas benua dari keturunan Cina dan Arab, sebelum bangsa Eropa memulai ekspedisinya untuk mencari daerah-daerah yang lebih hangat dan kaya akan sumber daya yang tidak dimiliki di negaranya yang dingin.

Selayaknya Christopher Colombus yang berlayar ke perairan Amerika untuk menemukan dunia baru pada 1492, Cornelis de Houtman yang datang ke Indonesia untuk mencari rempah-rempah pada 1596, hingga James Cook yang tiba di Australia pada 1770 untuk mencari tanah yang subur, perjalanan saya mencari hunian idaman juga penuh liku-likunya sendiri.

Untungnya, saya adalah seorang Aquarius yang setia, di mana saya tidak berpindah-pindah banyak lokasi hunian, kecuali hunian tersebut sudah tidak dapat memenuhi kebutuhan saya. Untungnya pula, kemampuan adaptasi saya juga sudah cukup baik, hasil dari traveling bertahun-tahun, sehingga dapat dikatakan bahwa saya mampu untuk tinggal di mana saja, asalkan bagus. Eh.

Berikut ini adalah beberapa fase perjalanan saya dalam menemukan hunian idaman, selepas hidup mandiri, jauh dari orang tua.

A. Indekos untuk Anak Kuliah dan First Jobber adalah Pilihan yang Tepat

Saya sudah tiga kali berpindah indekos, sekali semasa kuliah,sekali semasa menunggu kerja, dan sekali semasa kerja. Masing-masing selama tiga tahun, tiga bulan, dan lima tahun. Semasa kuliah dan menunggu bekerja, hidup saya masih dibiayai oleh orang tua, maka tidak sopan rasanya kalau minta tempat tinggal yang nyaman, karena Papa saya bukanlah Halilintar Anofial Asmid. Solusinya, tentu saja adalah indekos, atau tinggal di rumah orang lain dengan membayar setiap bulan, atau setiap tahun, tergantung kesepakatan.

Tahun pertama di Bintaro, saya tinggal bersama kawan (bukan, ini bukan kisah bromance) dalam sebuah kamar berukuran 3×3 dengan kamar mandi dalam dengan air keran yang menggunakan air tanah dengan kualitas Insha Allah. Alhasil, saya mengalami iritasi pada kulit semasa adaptasi, dan membuat saya lebih rajin menguras bak mandi karena endapan airnya akan membuat bak mandi menjadi berbekas warna cokelat dan beraroma campuran tanah dan seng.

Baru tahun berikutnya dan seterusnya, saya pisah ranjang dengan si kawan. Tentunya karena berbagai pertimbangan, dengan privasi sebagai alasan utama. Di sini saya merasakan nikmat indekos yang sesungguhnya, sendiri di dalam kamar pribadi, bisa bebas ngapain saja (secara baik-baik, karena kostan saya termasuk kostan syariah), ya walaupun masih sering bertemu dengan para penghuni lain di ruang tamu.

Kostan Slipi rumah.com

Semasa bekerja, saya berpindah indekos ke Slipi, pada sebuah rumah lama yang sepertinya tidak pernah mengalami renovasi besar-besaran selama puluhan tahun, yang ditandai dari fasad bangunan yang terlihat jadul serta saluran septic tank yang sering macet. Anjir. Seorang kawan kantor merekomendasikan tempat ini karena murah (tentu saja), syariah (alhamdulillah), dan kekeluargaan (karena banyak diisi oleh teman-teman satu almamater ketika kuliah).

Selama kurang lebih lima tahun, saya indekos di sini, dengan biaya bulanan sekitar lima ratus ribuan sudah termasuk listrik, walaupun tanpa cuci gosok dan pijat shiatsu seminggu sekali. Pertimbangan lainnya adalah lokasi Slipi Jakarta Barat ini masih dekat dengan tempat kerja saya di bilangan Tanah Abang Jakarta Pusat, yang mana dapat ditempuh dengan cepat menggunakan sepeda motor. Selain itu, ada beberapa pertimbangan lain mengapa Jakarta Barat cukup menarik untuk dihuni selain karena wilayah ini diproyeksikan untuk menjadi Central Business District baru setelah Jakarta Selatan dan berbagai alasan lainnya yang dapat kamu baca di sini.

Alhamdulillah, biaya bulanan indekos saat itu masih sangat terjangkau, sehingga saya juga bisa menabung untuk fase berikutnya. Bukan, bukan membeli rumah kostan tak terlupakan itu.

B. Apartemen Di Kota Cocok Untuk Single yang Mulai Mapan atau Untuk Pengantin Baru yang Belum Memiliki Anak

Beberapa tahun indekos dan senantiasa membayarkan uang sewa bulanan ke ibu kos membuat saya kerap berpikir, mengapa kok tidak membeli properti saja, daripada senantiasa memberikan uang ke orang lain, mengapa tidak mengalihkannya ke aset milik sendiri, mungkin sebagai cicilan bulanan.

Saat itu –atau hingga saat ini, tentu saja saya belum mampu untuk membeli hunian idaman yang diinginkan, yaitu sebuah rumah nyaman, yang berada dekat dengan tempat kerja atau tempat bergaul mingguan. Pilihannya adalah, membeli apartemen di pinggiran Jakarta, atau membeli rumah di pinggiran luar Jakarta, yang juga bukan merupakan lokasi-lokasi idaman.

Okay, karena belum mampu membeli rumah di Pondok Indah, dan saat itu belum memiliki Pondok Mertua Indah, maka saya memutuskan untuk mencari apartemen di pinggiran Jakarta yang masih masuk akal harganya. Bagaimana cara tahu kemampuan atau keterjangkauan saya? Well, saya menggunakan yang namanya Kalkulator Keterjangkauan seperti di bawah ini. Angka hanya sebagai ilustrasi.

Kalkulator Keterjangkauan rumah.com

Setelah browsing-browsing, baik di Google, media sosial, maupun di situs jual beli properti lainnya, saya mendapatkan sebuah apartemen di Jakarta Selatan (iya, bukan di selatan Jakarta) yang masih terjangkau saat itu, harganya sekitar 400 jutaan, dengan termin pembayaran berupa uang muka sebesar 30% yang dapat dicicil hingga 10x, sebelum dilanjutkan dengan KPR, eh KPA untuk apartemen.

Lalu, apakah saat itu saya ada dana sebesar 120 juta untuk uang muka? Oh tentu tidak, namanya juga generasi yang belum melek keuangan di tahun 2012, mana ada akun-akun bisnis, saham, dan financial planner di Instagram saat itu? Uang tabungan juga tinggal sedikit, sementara gaji habis untuk biaya hedonisme.

Solusinya adalah, saya meminjam ‘nama’ Mama, yang saat itu masih bekerja kantoran, untuk meminjam dana ke bank, yang kemudian akan saya gunakan sebagai uang muka. Setelahnya, saya membayar tagihan tersebut setiap bulannya dengan melakukan transfer dana ke rekening Mama. Kok tidak pakai pinjaman pribadi? Mungkin kamu bertanya. Ya tidak dong, karena saya akan melakukan KPA setelah pembayaran uang muka selesai, di mana apabila saya ada pinjaman berjalan maka proses BI Checking akan menjadi lebih rumit dan dapat berpotensi tidak disetujuinya KPA saya.

Secara singkat, BI Checking merupakan riwayat pinjaman seorang nasabah sehingga dapat diketahui apakah ia pernah menunggak kredit atau tidak. Dalam BI Checking terdapat informasi mengenai identitas debitur, besar agunan, pemilik, pengurus, penjamin, fasilitas penyediaan dana, juga kolektibilitas yang ada di dalamnya.

Kini, BI Checking telah beralih menjadi Sistem Layanan Informasi Keuangan atau SLIK. SLIK sendiri merupakan sistem informasi yang pengelolaannya di bawah tanggung jawab OJK. Sistem ini sebagai bentuk OJK untuk untuk melaksanakan tugas pengawasan dan pelayanan informasi keuangan. Salah satunya adalah informasi debitur (iDeb).

Source: Rumah.com

Iya betul, ada masa di mana saya harus melakukan pembayaran 2x, yang pertama untuk melunasi uang muka lewat pinjaman Mama, yang kedua untuk membayar cicilan setelah KPA disetujui. Saat itu, saya memilih untuk melakukan KPA selama 14 tahun, yang mana angka ini dipilih karena sama dengan tanggal lahir saya. Ehehe, shallow ya.

Sebagai Aquarius yang besar gengsi dan ingin terlihat berprestise, saya sengaja memilih unit yang berada pada lantai 28, dari total 29 lantai yang ada pada bangunan apartemen Pakubuwono Terrace yang saya beli. Kemudian untuk view, saya juga memilih yang pemandangan ke Jakarta Selatan, yang tidak terhalang oleh bangunan lain di depan kamar saya.

Pada unit apartemen ini, empat lantai teratas dapat dikatakan sebagai lantai-lantai yang prestisius karena memiliki fasad berupa rangkaian kaca luas, bukan tembok, sehingga terlihat menarik apabila dilihat dari luar –ya walaupun ketika sudah didiami, tetap akan ditutup dari dalam supaya tidak terlalu silau dan privasi tetap terjaga.

Kemudian yang saya sukai dari unit yang menghadap Senayan ini adalah saya bagaikan melihat mimpi yang ingin diraih di kemudian hari, yaitu tinggal di hunian impian nan bergengsi di Jakarta Selatan.

apartemen pakubuwono terrace rumah.com

Tinggal di apartemen, adalah salah satu kemewahan bagi kaum-kaum single yang mulai merasa mapan dan nyaman dalam hidupnya. Kamu tidak akan terganggu dengan tetangga sebelah, tidak akan direcokin ibu kos yang menagih uang bulanan, dan akan merasa bagaikan tinggal di hotel setiap harinya –tergantung dari pilihan interior yang kamu pilih.

Selain itu, sebagai single, apartemen ini adalah sebuah leverage dalam mencari pasangan dan cocok sebagai bahan sepikan ke gebetan. “Come over to my place, babe, you will like the night view.” dapat kamu ucapkan sembari menunjukkan pemandangan lampu-lampu kota yang berpendar di Jakarta Selatan. Iya, ini contoh saja, bukan dari pengalaman pribadi.

Sembari mengangsur KPA, alhamdulillahnya lagi, berkat kerja keras bagai kuda rodi dan romusha, tahun lalu saya berhasil melunasi apartemen ini. Tepatnya dengan gabungan antara proses restrukturisasi hutang dan mengumpulkan pundi-pundi melalui berbagai pekerjaan yang saya lakukan selama 10 tahun belakangan.

C. Sepertinya Lebih Nyaman Tinggal di Rumah Ketika Sudah Memiliki Anak

Ketika sudah berkeluarga dan akan memiliki keturunan, saya kembali merasa bahwa hunian yang saat itu saya tinggali, yaitu apartemen, sudah tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan saya. Ruangan kurang dari 40 meter persegi, saya rasa tidak cukup luas untuk tempat bermain anak pada fase tumbuh kembang, belum lagi adanya risiko keamanan untuk anak-anak ketika tinggal di lantai yang tinggi, adalah beberapa alasan untuk mencari hunian lain, yaitu rumah tapak.

Pilihannya adalah beli, atau sewa, sebuah kebimbangan yang akan panjang ceritanya apabila saya ceritakan pada artikel ini. Singkatnya, saya harus realistis, bahwa dengan penghasilan dan kebutuhan saat ini, akan lebih bijak kalau saya tidak memaksakan untuk membeli rumah dan juga Dogecoins.

Berbekal beberapa pertimbangan, seperti yang terdapat di sini, saya akhirnya memutuskan untuk menyewa rumah di area Bintaro.

Proses mencari rumah kontrakan yang cocok tidak dapat terbilang mudah dan mulus seperti layaknya jalanan di Bintaro, melainkan juga melalui perjalanan yang berliku, mulai dari bolak-balik ke Bintaro untuk melihat beberapa alternatif lokasi, bertemu dengan agen properti yang memegang Bintaro sebagai daerah jajahannya, hingga riset daring melalui situs persewaaan properti.

Ada beberapa alasan mengapa saya memilih Bintaro sebagai lokasi hunian idaman, setidaknya untuk saat ini, yaitu:

  • Sudah familiar dengan wilayah Bintaro, karena saya banyak menghabiskan waktu ketika kuliah di sini.
  • Dekat dengan rumah sakit yang akan digunakan untuk persalinan, yaitu Rumah Sakit Pondok Indah Bintaro, walaupun bingung juga, ini Pondok Indah atau Bintaro sih, sebenarnya?
  • Bintaro memilik banyak sekali sarana dan prasarana pendukung kegiatan sehari-hari, mulai dari pasar dan pertokoan, sekolah dan tempat ibadah, hingga fasilitas untuk berolahraga.
  • Adanya akses tol baru, yang memudahkan saya untuk bepergian ke kantor ketika hari kerja, hanya 30 menit sudah sampai di Tomang, dan tinggal beberapa menit untuk tiba di Harmoni, lokasi kantor saat ini.
  • Dan beberapa pertimbangan lain perihal tinggal di wilayah Tangerang Selatan, yang dapat kamu baca di sini.

Apabila zaman orang tua saya dulu memiliki rumah masih cukup mudah karena masih banyak lahan dan juga difasilitasi oleh negara (baca: sebagai PNS) yang kemudian dapat dicicil selama mengabdi, sekarang sepertinya lebih tricky lagi, karena sudah langka ditemukan cerita bahwa PNS masa kini masih mendapat jatah rumah dari negara yang dapat dijadikan hak milik.

Walaupun belum mampu membeli rumah sendiri karena harga hunian idaman yang saya tempati saat ini semakin tinggi, namun saya masih bisa mengontrak rumah yang saya idamkan dengan baik, karena ada penghasilan sampingan yang saya dapatkan dari menyewakan apartemen yang sudah menjadi milik pribadi.

Dan hey, bukankah mengontrak ini adalah cara mencicipi tanpa harus memiliki?

D. Kalau Hunian Idaman Ketika Working From Home, Bagaimana?

Satu fase kehidupan baru dalam diri saya dimulai ketika pandemi corona melanda, di mana kehidupan saya sebagai seorang pekerja kantoran yang juga seorang traveler berubah drastis. Dari yang biasa pergi ke kantor setiap hari dan dapat traveling ke mana saja, kini menjadi lebih banyak di rumah saja, atau sekarang beken disebut sebagai ‘Working From Home’ atau disingkat WFH, bukan WWF atau WCW.

Survei yang dilakukan oleh Rumah.com kepada para konsumen properti di Jabodetabek pada awal 2021 mengenai dampak lebih banyak menghabiskan waktu di rumah saja selama pandemi, menyebutkan bahwa banyak di antara mereka yang menjadi ingin punya rumah sendiri, karena saat ini mereka beranggapan bahwa rumah bukan sekadar tempat untuk beristirahat dari aktivitas kantoran, melainkan sebagai tempat tinggal sehari-hari. Mereka semakin sadar akan pentingnya memiliki tempat tinggal yang lebih berkualitas, yang juga terbukti dengan banyaknya responden yang mengaku ingin merenovasi rumahnya serta ingin pindah rumah selama masa pandemi ini.

Memangnya kalau pindah rumah dan keluar dari Jabodetabek ingin ke mana sih? Tiga besar jawaban terbanyak pada survei tersebut menyebutkan Jawa Barat, DI Yogyakarta, dan Jawa Tengah sebagai wilayah yang diminati untuk pindah semasa pandemi. Tapi menurut saya itu mah bukan pindah namanya, melainkan mudik alias pulang kampung. Tapi sebentar, bukankah mudik atau pulang kampung itu dilarang?

Nah itu kan orang-orang, kalau saya sendiri bagaimana? Pada saat artikel ini tayang, saya baru saja memperpanjang kontrak rumah di Bintaro ini untuk dua tahun ke depan. Sebuah hal yang menguras tabungan, namun mampu memberikan kenyamanan. Rumah yang saya tempati saat ini, sudah cukup nyaman untuk ditinggali selama masa WFH, dan lingkungan Bintaro juga merupakan salah satu lingkungan terbaik yang saya dapatkan untuk keluarga kecil ini.

Lalu kapan beli rumahnya? Kalau itu pertanyaannya, eits, tunggu dulu. Saat ini saya masih memantau cerita-cerita dari mereka yang sudah memiliki rumah sendiri serta rutin memantau Rumah.com Indonesia Properti Market Index Q2 2021 dengan salah satu kesimpulan yang disebutkan di bawah ini.

“Data Rumah.com Indonesia Property Market Index pada kuartal pertama 2021 menunjukkan terjadinya penurunan harga properti. Namun, pasar properti nasional diperkirakan masih akan tetap stabil mengingat penurunan harga properti lebih dipengaruhi oleh turunnya harga apartemen. Sebaliknya, harga properti untuk segmen rumah tapak masih meningkat.”

Sembari menikmati dua tahun masa kontrak yang diperpanjang, saya juga sambil tetap mencari hunian idaman yang paling cocok untuk saya dan keluarga di masa depan. Karena bukankah mencari hunian idaman ini juga bagian dari perjalanan hidup yang harus dijalani dan dinikmati dengan segala lika-likunya?

Bersambung…