Kabar buruk tak pernah datang di saat yang tepat, dan tidak akan ada saat yang tepat untuk sebuah kabar buruk yang datang. Pagi itu, di penghujung Oktober 2021, saya sedang bersiap untuk berangkat ke kantor dari kamar indekos yang saya tempati di Ciamis, saat sebuah pesan masuk melalui aplikasi WhatsApp di handphone saya. “Innalillahi wa inalillahi rojiun, ibu meninggal pagi ini di Pati.”.

Ibu, adalah panggilan kami untuk nenek, atau ibu dari Mama. Mama yang terbiasa memanggil ibunya dengan ‘ibu’, membuat kami –cucu-cucu, juga mengikutinya. Usia ibu saat itu sudah lebih dari 80 tahun; Beliau meninggal setelah sempat dirawat sebelumnya di rumah sakit. Komplikasi beberapa penyakit karena usia ditambah adanya faktor psikosomatis karena banyak rekan-rekan sepantaran Ibu yang berpulang karena COVID-19, adalah faktor penyebab kepergiannya. Anak-anak Ibu yang bergantian menunggu di rumah sakit pun sudah siap seandainya kabar buruk tersebut tiba.

Saya, yang mendapat kabar buruk tersebut, segera mengajukan cuti ke atasan, dan langsung nekat berkendara sejauh 400 kilometer ke arah timur, melewati jalanan yang belum pernah saya lewati sebelumnya. Atau tepatnya, sedikit bertualang akibat Google Maps, yang iseng membawa saya melewati Gunung Lio sebelum masuk jalan tol pantura dari Brebes.

Beberapa jam kemudian, saya pun tiba di Pati, untuk berkumpul bersama keluarga besar, sambil mengantarkan Ibu ke tempat peristirahatannya yang terakhir, yang hanya terletak beberapa meter dari tempat Bapak (kakek saya) disemayamkan, belasan tahun sebelumnya. Malam itu, rumah Ibu kembali ramai, walau tanpa si empunya rumah, namun semua berkumpul di sini. Om dan Tante yang ada di Jawa Tengah, juga Pakde yang berdomisili di Sumatera ikut hadir di Pati. Ya, selain pernikahan, kematian adalah hal lain yang dapat menyatukan anggota keluarga dan saudara yang terpisahkan jarak. Baru setelah itu, biasanya disatukan lagi dengan yang namanya pembagian warisan.

Pati

Sebagai cucu, saya hanya bisa ikut menyimak perbincangan malam itu, mengenai rencana kehidupan anak-anak sepeninggal Ibu. Sambil menyimak, sebuah pertanyaan juga muncul di dalam benak saya “Mumpung mudik, mumpung cuti beberapa hari, enaknya sambil main ke mana ya?”


Arep ning ndi kowe?” Mau ke mana kamu, Pakde bertanya di keesokan hari berikutnya. Biasanya, apabila lebaran tiba, kami akan berkumpul di teras rumah Ibu sambil memesan bakso Pak Min yang lewat dengan gerobaknya. Namun, pagi itu sepertinya tidak ada gerobak bakso yang lewat, sementara kami masih memiliki jam kosong sebelum acara pengajian dimulai malam harinya.

Ketika bepergian, saya memang terbiasa menyelipkan beberapa setel pakaian olahraga dan membawa sepatu lari untuk berolahraga. Maka tak heran apabila pagi itu saya sudah siap dengan dandanan anak lari Bintaro Loop “Mau lari pagi, atau kita naik gunung yuk, Pakde.” Sahut saya serius bercampur iseng. Sebuah ajakan yang ternyata disambut dengan serius oleh Pakde.

Tenane kowe?” Yang benar, tanyanya kembali yang saya balas dengan anggukan dan sedikit alasan. Sejurus kemudian, Pakde meminta saya untuk menunggunya berganti pakaian “Aku ikut kalau naik gunung, beneran ya?”

“Iya, iya, ayo ke Gunung Muria.” Saya menjawabnya, dan beberapa menit setelahnya kami sudah berada dalam mobil dari Pati menuju Kudus, atau tepatnya menuju ke Desa Rahtawu, titik awal pendakian ke Puncak Gunung Muria. Karena tidak berencana naik gunung, praktis kami hanya membawa bekal seadanya, dengan membawa tas punggung yang juga seadanya, atau tepatnya tas punggung hasil suvenir acara rapat di hotel bertuliskan 76 tahun Indonesia Tangguh Indonesia Tumbuh yang ditemukan di rumah Ibu.


“Memang kamu pernah naik gunung?” Tanya Pakde, sambil bercerita bahwa di usianya yang kini sudah 50 tahun lebih, dia masih mampu mendaki Gunung Merapi beberapa tahun sebelumnya. “Nih lihat, bareng cewek-cewek cakep.” Ucapnya, sambil menunjukkan foto di handphone-nya. Cewek-cewek itu adalah para pendaki lain yang ditemuinya sepanjang perjalanan, bukan gebetannya.

“Pernah, De.” Saya menjawab. Ya memang walaupun dapat dibilang bahwa saya termasuk pendaki pemula, yang baru mulai trekking di Whatravel Trekking Club dan mendaki Gunung Ungaran ketika pandemi melanda. Namun, saya pernah, kok. “Beberapa bulan lalu habis turun dari Gunung Pangrango.”

Gunung Muria sendiri, adalah sebuah bentang pegunungan yang terletak di pantai utara Jawa Tengah, sekitar 60 kilometer di timur laut Kota Semarang, dan masuk ke dalam perbatasan tiga kabupaten, yaitu Jepara, Kudus, dan Pati. Sebuah hikayat lama menyebutkan bahwa dahulu, gunung ini adalah sebuah pulau tersendiri terlepas dari Pulau Jawa dan dipisahkan oleh Selat Muria. Namun karena pergeseran lempeng bumi dan aktivitas tektonik pada abad ke-17 hingga 18, selat ini tertutup dan Gunung Muria bergeser menjadi bagian dari Pulau Jawa.

Puncak 29 Rahtawu Gunung Muria

“Ibu, maaf, kalau mau ke Puncak Songolikur lewat mana, ya?” Kami berhenti pada sebuah warung yang terletak di Desa Rahtawu. Puncak 29 (atau dalam bahasa Jawa disebut dengan songolikur) adalah salah satu puncak yang terdapat pada Gunung Muria, yang merupakan salah satu puncak yang paling banyak dikunjungi orang. Saya sempat mengira bahwa Puncak 29 ini adalah puncak tertinggi di Gunung Muria, namun ternyata saya salah membaca artikel.

“Ini terus saja, naik, nanti sampai ada pertigaan dan tanjakan, belok kiri, mentok, ada warung.”

“Terus sudah sampai di situ, Bu?”

“Enggak, sampai di situ tanya lagi saja.”

Pukul delapan seperempat, kami resmi memulai pendakian ke Puncak 29 melalui sebuah jalan setapak kecil yang terletak di depan pos masuk pendakian. Tidak ada petugas yang meminta biaya masuk, entah karena masih pagi atau karena materi bukanlah segalanya untuk mereka. Yang jelas, ya, alhamdulillah. Setelah tuntas memarkir mobil pada pekarangan warga, saya bergegas menyusul Pakde yang sudah berjalan lebih dahulu di depan.

Alon-alon, le.” Pelan-pelan, tampan. Pakde berpesan ketika saya mulai meninggalkannya di sebuah tikungan dengan perangkap lebah madu terpasang di pucuk pohon tinggi pada sisi jalan. Dalam beberapa kesempatan, saya memang sengaja mengambil jarak di depan, dan menungu Pakde sambil mengambil footage video. Lumayan rasanya kalau perjalanan ini bisa jadi konten sendiri di kanal YouTube saya yang sepi dan terancam ditempati oleh Mixue apabila tidak ada konten baru lagi. “Aku wes tuwo hare.” Aku sudah tua, katanya.

Orang tua, kadang suka begitu. Batin saya. Tidak mau disebut tua ketika sedang baik-baik saja, namun selalu beralasan usia apabila fisiknya sedang terkendala. Semoga saja saya tidak begitu nanti ketika sudah tua.


Kami berhenti sejenak pada Pos 3 yang terletak di ketinggian 1014 MDPL (meter di atas permukaan laut) sambil menenangkan napas yang mulai terengah-engah. Napas Pakde, bukan saya. Pos 3 seharusnya memiliki warung yang menjual makanan dan minuman selayaknya Rumah Makan Padang Sederhana, namun entah mengapa tutup pada hari itu. Alhasil, kami hanya bisa mengemil Beng-Beng yang dibawa dari Pati.

Ngaso sek, le.” Istirahat dulu, tampan. Pakde menyalakan rokok di tangannya, dan mengembuskan napasnya yang mulai berasap. Bagi para perokok, ini adalah nyawa mereka, walaupun penelitian banyak yang menunjukkan bahwa rokok justru mempercepat pengurangan nyawa. “Buktine, aku wes 60 tahun yo sehat-sehat wae.” Adalah alasan yang digunakan Pakde, apabila ditanya kenapa tidak berhenti merokok. “Yang penting fisik sehat, tidak kegemukan, dan pikiran tidak stres. Bisa panjang umur.”

Sambil mengepulkan asap rokok yang berikutnya, Pakde bercerita bahwa dia sebenarnya sudah pernah mendaki Gunung Muria ini semasa dia kuliah … ya kira-kira 40 tahun yang lalu. “Tapi aku lupa ke puncak apa, dan lewat jalur yang mana.” Jelasnya. Satu lagi tanda-tanda penuaan, yaitu pikiran sudah mulai sering lupa. Lupa nama, ingat rasa.

Setelah beristirahat selama beberapa menit, kami mulai melanjutkan perjalanan lain. Satu jam lebih sejak kami memulai pendakian, dan belum ada tanda-tanda pendaki lain yang ikut naik, sementara jalanan masih tetap sama. Paving block sempit yang sepertinya bisa dilalui oleh sepeda motor matic yang bisa bernyanyi. Honda Beat G Ade.

Suara tonggeret kencang menemani perjalanan kami naik-naik ke puncak gunung yang tanpa pohon cemara ini, pada ketinggian sekitar 1100 MDPL, kebun kopi warga mulai menyapa. Dua setengah jam berjalan kaki, kok rasanya belum sampai-sampai, ya? Sementara jalur yang kami lalui kini menjadi seperti tangga-tangga landai dari tanah bercampur kerikil yang entah di mana ujungnya.

“Mengapa tidak nampak ada siapa-siapa di gunung ini?” Sekelebat perasaan merinding yang bercampur rasa penasaran menyapa.


Suara keresek terdengar pada sisi kiri jalan ketika kami sedang melintasi sebuah kebun, sempat berpikir apakah ada anak-anak FWBfess yang sedang membuat film dokumenter di sana, namun ternyata pikiran kami salah. Seorang wanita tua muncul dari balik pepohonan rendah dengan arit di tangan kirinya, dan kayu di tangan yang lain. Coba saja dia sedang membawa palu, pasti cerita ini akan menjadi kisah pemberontakan G30SPKI, namun ternyata tidak demikian.

Puncak 29 Rahtawu Gunung Muria

Ibu daleme ting mriki?” Ibu tinggalnya di sini? Saya bertanya ketika si ibu keluar dari kebun dan kembali ke jalan setapak yang ada. Sambil mengiyakan dan menunjukkan arah dengan ibu jarinya seperti orang Jawa pada umumnya, Pakde menimpali obrolan tersebut dengan, “Enten warung?

Ada warung, pertanyaan itu berbunyi. Mungkin Pakde sudah lelah dan perlu istirahat, atau memang perlu minum cairan yang lain dari air putih kemasan botol yang saya bawa dari bawah. “Loh, ya ada dong. Mampir warunge kulo, monggo kalih leren-leren.” Ayo mampir warung saya, silakan, sambil istirahat.

Warung yang dimaksud olehnya adalah sebuah pos peristirahatan, yang juga disebut sebagai Pos 4 – Sendang Bunton, yang merupakan komplek bangunan kecil yang terdiri dari rumah mungil, warung, musala, toilet dan kamar mandi, juga sebuah … petilasan, yang berarti tempat peninggalan sejarah atau bisa juga makam yang dikeramatkan oleh warga setempat. Sendang juga dapat berarti kolam pemandian kecil dalam bahasa Jawa.

Sejatinya, pendakian ke Puncak 29 memiliki dua jalur, yaitu melalui Desa Rahtawu di Kabupaten Kudus dan Desa Tempur di Kabupaten Jepara. Nantinya kedua jalur ini akan bertemu di Pos 4 – Sendang Buton ini. Sembari Pakde beristirahat dan menikmati minuman hangat di warung, saya bergegas menuju ke kamar mandi, setelah beberapa kali diingatkan oleh si ibu untuk setidaknya cuci muka, atau kalau bisa ya mandi sekalian di sini. Untung saja saya belum telanjur basah.

Terdapat beberapa buah bilik kecil pada pos ini, dengan sebuah jalan setapak kecil menuju ke bagian atas pos. Di dalam bilik, terdapat pancuran air tanah yang mengalir deras, yang bisa dimanfaatkan untuk mencuci muka, mandi, hingga mencuci mobil kalau kamu mau. Sementara, jalan setapak yang ada membawa saya ke bagian atas pos, dengan sebuah pohon besar dan tugu petilasan kecil yang didirikan di samping aliran sungai kecil. Di ujung aliran air, saya melihat dua orang pria sedang memasukkan air sungai tersebut ke beberapa botol dan jeriken yang dibawanya.

“Iya, mau dibawa pulang ke Demak.” Salah satu dari mereka menjawab ketika saya bertanya, sementara pria satunya nampak tak mengacuhkan saya, dan bahkan seperti tidak berani menatap mata saya. Sekilas sudah lebih dari lima liter mereka mengambil air dari Sendang Bunton ini, air yang mereka percayai membawa zat-zat baik di dalamnya. “Insha Allah kalau kita niatnya baik, pasti Gusti juga akan baik ke kita.”

Niat baik. Sebuah frasa yang saya tanamkan dalam-dalam ke dalam hati pada sisa perjalanan saya hari itu. Setelah hanya sempat membasuh muka dengan air Sendang Bunton, sementara Pakde sudah mengisi masa-masa istirahatnya untuk mengobrol dengan bapak ibu pemilik warung juga meminjam sandal jepit setelah mengeluh karena kakinya lecet akibat (tidak memakai kaus kaki namun menyalahkan) sepatu The North Face yang tidak nyaman, kami melanjutkan perjalanan menuju puncak, gemilang cahaya.

“Sekitar satu setengah jam lagi ke atas.” Si ibu menyemangati, sambil menerangkan bahwa terdapat tujuh buah pos pada rute pendakian ini, yang berarti adalah tiga pos lagi, maka kami akan tiba di puncak. “Semangat ya!”


Perjalanan kami sempat terhenti di sebuah persimpangan, dengan jalan bercabang ke kanan dan ke kiri. Sebuah papan penanda cuma tertulis ‘TEMPUR’ tanpa keterangan apapun. Saya berpikir, masa iya di atas gunung ada yang jual kasur latex? Karena bingung dan tidak ada siapapun yang bisa ditanya, tidak ada Tantowi Yahya ataupun audience di ketinggian 1300 MDPL, saya pun memutuskan untuk melakukan survei singkat ke cabang arah kanan dan meminta Pakde untuk menunggu.

Sesaat kemudian, survei membuktikan, bahwa yang benar adalah jalan ke arah kiri. Karena jalan setapak di arah kanan adalah untuk menuju Desa Tempur di Jepara. Padahal sebenarnya keren juga kalau bisa pergi sampai Jepara, bisa bawa pulang oleh-oleh mebel jati yang tidak ada di Fabelio. Karena Fabelionya bangkrut setelah ribuan konsumen menuntut ganti rugi, akibat pesanan yang gagal produksi.

Dari jalan setapak tanah, perjalanan berlanjut ke jalan paving yang lagi-lagi cukup untuk dilalui sepeda motor, yang bukan motor gede, karena motor gede tempatnya di jalan tol dan busway saja. Jalanan paving yang cukup panjang tersebut akhirnya berakhir pada pintu masuk Pos 6 – Petilasan Eyang Pandu yang merupakan sebuah komplek bangunan di sisi kanan kami. Terdapat beberapa lahan landai, dengan banyak petilasan, beberapa bangunan kecil menyerupai pondokan, dan satu dua area tanah lapang untuk mendirikan tenda di sana. Salah satu objek menarik perhatian kami di Pos 6, yang seketika membuat kami ingin mendatanginya. Nama objek tersebut adalah warung.

Dugi mriki saged numpak ojek.” Ke sini bisa kok naik ojek. Kata si bapak penunggu warung, yang juga merupakan tukang bangunan yang saat itu sedang memperbaiki rangka warung yang terlihat memprihatinkan seperti proyek Hambalang. “Niki berdua tok?

“Iya berdua saja, Pak.” Saya menjawab, sambil membatin ‘Ternyata bisa ya naik ke sini naik ojek, tahu gitu kan charter Harley dari bawah’. Di samping saya, Pakde yang kehabisan napas, mulai mengisi lagi napasnya, dengan rokok. Tak berapa lama, datang seorang pria berpakaian lusuh dengan tergesa, sementara tas punggung yang kumal dipanggulnya asal-asalan. “Indomie, Pak!”

Sambil menunggu si bapak membuatkan Indomie –saya dan Pakde hanya membeli camilan dan air mineral, kami mencoba mengajak bicara sang pria, namun sepertinya terdapat kendala komunikasi, karena pertanyaan kami tidak dapat ditangkapnya dengan baik. Jawaban yang lebih mirip dengan geraman dilontarkan sang pria, yang membuat kami lebih milih melanjutkan perjalanan daripada melanjutkan obrolan dengan pria tersebut. Yang jelas kami menangkap tanda bahwa sang pria berencana untuk menginap lama di puncak gunung.

Sesudah membayar biaya kerusakan ke warung, kami summit attack ke Puncak 29 Rahtawu Gunung Muria, meninggalkan petilasan-petilasan dan komplek pertapaan yang terdapat di Pos 6 – Petilasan Eyang Pandu.


Perasaan mendaki gunung yang sesungguhnya, baru kami temui lepas Pos 6, tidak ada lagi jalan paving yang lurus dan tidak ada lagi jalan tanah yang santai. Berganti dengan jalan menanjak, berkelok, kadang membentuk huruf S, hingga puncaknya terdapat tanjakan vertikal dengan batu-batu alam yang sedikit berlumut sebagai jalan. Seutas tambang besar kokoh namun tidak berwarna hitam hadir membantu kami untuk melewati jalan tersebut. Untung saja pas dan mantap, genggamannya.

Perlahan, kabut mulai turun menyapa kami. Kerap kali, saya menemukan sesajen berbentuk petikan bunga di batu-batu yang saya lewati, dengan beberapa diantara titik sesajen tersebut terlihat ada sisa-sisa arang bekas pembakaran api. Suasana yang tenang, sedikit berubah menjadi mencekam, tepat ketika kami melewati kebun pisang di lintasan. Sungguh, baru kali ini saya melihat kebun pisang di atas gunung, apakah ini pertanda di atas gunung nanti ada yang akan menjual Pisang Goreng Madu Bu Nanik?

Saya hampir mengeluhkan berat dan dimensi tas punggung murahan yang saya panggul dari bawah tanpa bisa bergantian membawa dengan Pakde yang kali ini sedang memanggul sepatunya, namun sesaat kemudian jalan sedikit landai dengan pepohonan yang rendah menyapa kami. Pertanda puncak sudah dekat. Dua buah bangunan merah nampak menyapa kami di kejauhan, sementara jurang mulai hadir di sisi kanan kiri kami. Satu tanjakan terjal dengan tanah licin menyambut sebelum akhirnya hadir jalanan landai sepanjang dua puluh meter.

Berikutnya sepasang gapura merah muncul di hadapan kami, tanpa adanya tanda-tanda dari kebaya merah. Gapura selamat datang di Puncak 29 Rahtawu Gunung Muria, tanpa adanya spanduk selamat datang H. Beckam.


Suasana di Puncak 29 Rahtawu Gunung Muria yang berada di ketinggian 1602 MDPL, ternyata berbeda dengan gunung-gunung yang pernah saya daki sebelumnya. Apabila di gunung-gunung yang lain saya menemukan banyak pendaki bercelana ketat dan seksi yang mendaki sambil trail run ataupun mereka dengan tenda dan backpack-nya yang berwarna-warni gonjreng, di sini tidak ada pemandangan seperti itu yang saya temukan.

Di balik gapura, terdapat sebuah petilasan berbentuk pondasi segi empat dengan sebuah pohon kering berdiri menjulang di tengahnya dengan batang-batangnya yang menyebar di angkasa, sementara pada tiap sudut pondasi terdapat patung penjaga yang diselimuti kain putih. Di bawah pohon terdapat petilasan yang disebut sebagai milik Sang Hyang Wenang Wening, yang ditandai dengan batu bulat dan beberapa sesajen yang diletakkan di bawahnya. Di belakang petilasan nampak beberapa buah warung berjejer.

“Nanti saja makannya, ya?” Saya berkata kepada Pakde, bergegas mengajaknya mencari tujuan utama kami pada hari itu. “Mau cari tugu puncaknya dahulu.” Iya dong, zaman teknologi seperti ini masa iya kita naik-naik ke puncak gunung dan tinggi tinggi sekali tapi tidak berfoto bersama tugu puncak yang ada tulisan MDPL-nya itu.

Sedikit berlari dengan Asics Gel Fuji Trabuco 8, saya meninggalkan Pakde untuk mengecek arah yang benar menuju ke tugu yang kami cari tersebut. Untung saja, di puncak Gunung Muria, treknya sudah cukup landai, jadi tidak perlu berlari vertikal, apalagi sambil bernyanyi vertical horizon. Saya melewati seseorang dengan kaos belel dan celana pendek yang lebih nampak sebagai orang kebingungan yang tersesat di puncak gunung, sementara di sisi kiri saya terdapat pondok, atau yang lebih mirip seperti tenda bernama Pertapaan Eyang Semar, dengan sisa-sisa sesajen di bawahnya. Pada bagian gunung yang lain, saya juga menemukan bangunan seperti candi dengan buah kelapa yang diletakkan di atasnya, dan bendera merah putih yang berkibar di sampingnya.

Sementara itu, tugu yang dicari ternyata tidak semegah tugu-tugu di gunung lainnya, melainkan hanya sebuah patok seperti penanda sisa kilometer di sisi kiri jalur pantura yang menyebutkan arah Semarang tinggal 70 Kilometer lagi. Sedikit tertutup pepohonan namun saya dapat menemukannya. Berikutnya, saya memanggil Pakde untuk berswafoto bersama. Klik!

Puncak 29 Rahtawu Gunung Muria

Kalau dibilang mendaki gunung, sebenarnya pendakian ke Puncak 29 Rahtawu Gunung Muria ini tidak seperti perjalanan naik gunung yang lain, malah lebih seperti ke perjalanan religi spiritual campur supranatural, dengan banyaknya pendaki yang memang mendaki untuk bertapa dan meminta pertolongan, daripada yang mencari tugu MDPL untuk berfoto bersama seperti kami. Salah seorang lain yang kami temui di puncak gunung bahkan mengaku sudah berbulan-bulan tinggal di sana dan tidak pulang karena sedang ‘kabur’, yang entah sedang kabur dari masalah atau dari debt collector Ada Kami.

Pukul setengah empat sore, atau setelah tujuh jam lebih mendaki naik turun dengan menempuh kurang lebih 13 kilometer pejalanan, kami tiba kembali di parkiran mobil dengan selamat. Saya sudah akan melakukan sujud syukur karena perjalanan sudah selesai dengan baik, sebelum saya mendapati Pakde yang tiba-tiba terdiam, seperti sedang memikirkan sesuatu. “Pakde, kenapa?” Semoga saja bukan kesurupan atau kenapa-kenapa lainnya.

Ada hening sejenak, sebelum Pakde kembali menatap saya, dalam, seraya berkata “AKU LUPA BALIKIN SANDAL JEPIT KE WARUNG!“.