“Sorry.” Ucap seorang pria yang berada di dalam loket imigrasi Azerbaijan pada hadapan saya. Dengan kumis tebal, mata belo, dan seragam militer yang berwarna hijau lumut siapa saja mungkin gentar apabila berhadapan dengannya. “Indonesian is not allowed to use e-Visa here.”

“What?” Saya menatap matanya sekilas, ganteng juga, tapi maaf, saya sudah beristri. “I am sorry?”

“Yes, Indonesian is not allowed to enter Georgia, using e-visa.” Ucapnya lagi, sambil mengembalikan paspor milik saya dan Adi, rekan seperjalanan saya kali ini. Dari Azerbaijan, kami berencana untuk meneruskan perjalanan ke Georgia selama dua hari satu malam, sebelum lanjut lagi ke Armenia selama empat hari tiga malam dan kembali ke Indonesia via Iran.

Setelah menempuh jalur darat selama sembilan jam dari Baku dan mengantre loket imigrasi sejak pukul lima pagi selama lebih dari setengah jam, kami sebenarnya tinggal selangkah lagi untuk memasuki Georgia dengan bermodalkan e-visa Georgia yang sudah kami peroleh sebelumnya, tapi keadaan ternyata berkata lain. “So, what should we do now?”

Sial.

Border Azerbaijan Georgia

Pria tersebut berdiri untuk keluar dari loketnya “Follow me!” dan meminta kami untuk mengikutinya ke pojok ruangan. Dengan wajah tampan yang mungkin dihasilkan dari percampuran Rusia – Turki, tubuh atletis semampai, dan kulit putih bersih berbulu lebat, petugas imigrasi di perbatasan Azerbaijan-Georgia ini sebenarnya bisa saja merantau ke Indonesia dan menjadi bintang iklan untuk menggantikan Hamish Daud; namun mungkin dia masih terlalu cinta dengan negaranya, atau belum bertemu dengan Raisa.

Di sudut ruangan, si pria yang berikutnya saya sebut sebagai Ahmed ini mengatakan sekali lagi bahwa memang pemegang paspor Indonesia tidak diizinkan untuk melintasi perbatasan dengan e-visa.

“Could you check to the Georgian officer?” Saya mencoba merajuk, siapa tahu memang ada kesalahan sistem pada komputer Ahmed. “Please. Because we have tour appointment in Tbilisi” Saya mengatupkan kedua telapak tangan, setengah menundukkan badan. Berikutnya, saya menceritakan sekilas mengenai rute perjalanan kami.

“Okay…okay.” Sahutnya “I will try.”

Sambil menunggu, saya mencoba tetap tenang, walaupun hati berkecamuk. Adi juga sama, dia asyik memainkan ponselnya seolah tidak ada tragedi yang terjadi. Thanks to internet, karena dapat membuat kami lari dari masalah, untuk sesaat.

Lima menit kemudian, Ahmed kembali dengan sebuah kabar buruk. “Sorry, you cannot cross the border by bus.”

“So?” Kali ini ganti Adi yang bertanya.

“The possible option is you enjoy the rest of your trip in Azerbaijan.” Jawabnya, sambil sedikit memalingkan muka. “Or maybe, you can go back to Baku, and fly to Tbilisi.”

Hening. Tidak ada suara atau alunan saxophone Kenny G selama beberapa detik. Saya menatap Adi, Adi menatap Ahmed, dan Ahmed menatap saya. Ingin rasanya memeluk Ahmed, namun saya sadar bahwa kami bukanlah muhrim yang halal. Saat itu, kami hanya berada beberapa puluh kilometer dari Tbilisi, atau hanya tinggal satu-dua jam perjalanan lagi, namun tidak dapat meraihnya.

“Well, if those are the only ways, sooo…” Saya menghentikan kalimat tersebut dengan menggantung, dan terdiam sejenak. “Thank you, Ahmed. Let us think for a while.”

“Okay then.” Ahmed menunjukkan senyumnya, yang entah senyum kasihan, atau kasihan banget, sebelum berbalik kembali ke arah loketnya. “Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam.” Kami kompak menjawab salamnya, karena itu adalah hal yang wajib, bahkan lebih wajib daripada belajar sembilan tahun. Detik berikutnya, giliran saya dan Adi terpaku di sudut ruangan imigrasi, terduduk di kursi yang lebih mirip dengan kursi di rumah sakit daripada di Rumah Uya –masih mencari solusi kelanjutan petualangan kami.

Border Azerbaijan Georgia

“Nug, lu bisa bantuin gue gak?” Saya mengontak Nugie, partner bisnis saya di Whatravel Indonesia, melalui WhatsApp dengan bantuan kartu perdana lokal yang saya beli ketika mendarat di Baku beberapa hari sebelumnya.

Apaan, Mas?” Sahutnya cepat. Mengingat waktu di Jakarta adalah tiga jam lebih cepat daripada di Azerbaijan, wajar rasanya kalau Nugie sudah bangun, secara ini adalah hari kerja, dan dia bukan pengangguran.

“Bisa tolong beliin gue tiket pesawat?” Pinta saya. “Dari Baku ke Tbilisi, untuk malam ini.”

“Buset, kenapa lagi lu, Mas?”

“Nanti saja deh ceritanya, pokoknya bantuin gue dulu, penting.” Berikutnya, saya mengirimkan data diri saya dan Adi ke Nugie, berupa foto paspor, bukan KTP.

“Oh, oke, oke.”

Pagi itu, kami kembali lagi ke Baku untuk terbang malam harinya, menuju Tbilisi. Sayangnya, Baku tidak dapat dicapai begitu saja, karena tidak ada bus yang menuju Baku pagi itu, sehingga kami harus menuju kota yang memiliki bandara dengan penerbangan langsung ke Baku.

Ganja.

Ya, kota terdekat yang memiliki akses penerbangan ke Baku, bernama Ganja, yang kalau di Indonesia mungkin kota tersebut sudah diamankan polisi, atau dibakar supaya bisa nge-fly bersama.

Saya sempat meminta bantuan Nugie juga untuk membelikan tiket penerbangan dari Ganja ke Baku, namun ternyata pembayaran tidak berhasil karena dilakukan pada hari-H penerbangan dengan menggunakan kartu kredit. Nekat, kami memutuskan untuk tetap berangkat ke Ganja, dan mencoba membeli tiket langsung di bandara.

Dengan menggunakan transportasi umum serupa travel Jakarta-Bandung yang menggunakan Mercedes-Benz Sprinter, kami menuju Ganja dengan biaya 7 Manat per orangnya dan menempuh perjalanan selama kurang lebih dua jam. Beruntungnya, kami masih mendapatkan tempat duduk pada pesawat tujuan Ganja – Baku siang itu, ya walaupun harus merogoh kocek sebesar 61 Manat per orangnya yang penting kami bisa segera keluar dari Azerbaijan dan segera menuju Georgia.

Di Bandara Ganja, kami sempat mengobrol dengan seorang ibu pemilik kedai makanan, tentunya dengan bahasa tubuh yang tidak dimengerti satu sama lain, di mana berujung dengan sang ibu memberikan saya lauk yang sangat banyak sebagai bonus, dan saya memintanya untuk berfoto bersama, sebagai pengingat kebaikan orang di tempat yang asing.

Saat artikel ini ditulis, 1 Azerbaijan Manat adalah setara dengan 8.500 Indonesian Rupiah.

“I think it’s the best option for us.” Saya membatin, dalam bahasa Inggris, supaya lebih gaya.


Perjalanan kembali ke Baku cukup lancar, tanpa adanya delay penerbangan maupun peristiwa kecopetan di pesawat. Satu-satunya kesialan siang itu adalah tas tenteng yang saya gunakan robek karena terlalu banyak membawa beban, dan titipan oleh-oleh, berupa puluhan magnet kulkas.

Heydar Aliyev Airport Baku

Di Baku, kami kembali bertemu dengan Mas Najib, orang Indonesia yang sempat menjadi host kami kemarin, yang juga orang yang mengucapkan sampai jumpa ketika kami berpamitan menuju Tbilisi menggunakan bus malam.

“Nah, aku bilang juga apa.” Ucapnya ketika melihat kami kembali di Baku. “Gak usah ke Tbilisi, stay di Baku saja, mumpung ada festival Indonesia di sini.”

“Hehehe.”

Festival Indonesia yang dimaksud Mas Najib adalah sebuah festival budaya yang digelar serentak oleh negara-negara yang memiliki hubungan diplomatik dengan Azerbaijan, di Baku, dengan tujuan untuk mempopulerkan budaya tiap-tiap negara.

Siang hari itu, kami tidak jadi ke Tbilisi, namun kami sempat menonton orang-orang Indonesia –yang kebanyakan bekerja di kedutaan, memainkan tarian dan kesenian khas Indonesia di panggung festival yang berada pada komplek Old Town, juga mengamati wanita-wanita Azerbaijan yang didandani dengan menggunakan kebaya khas Indonesia. Sayangnya, tidak bisa dibungkus dan dibawa pulang. Kebayanya.

Mungkin, memang kami ditakdirkan untuk menonton festival Indonesia dulu, ya?

Malamnya, di Bandar Udara Internasional Heydar Aliyev, Baku, saya sempat was-was ketika memasuki loket imigrasi malam itu. Bagaimana kalau kami tidak diizinkan lewat? Bagaimana kalau e-visa kami ditolak lagi? Bagaimana kalau kami tidak diizinkan terbang karena kami belum mandi seharian dan dikhawatirkan menjadi ancaman bagi para penumpang lain?

Tanda tanya tersebut akhirnya terjawab ketika petugas imigrasi memberikan stempel tanda keluar Azerbaijan, dan mengizinkan kami terbang menuju Tbilisi. Satu-satunya hambatan adalah ketika puluhan magnet kulkas yang saya bawa diminta untuk diperiksa lebih lanjut.

“It is fridge magnet.” Jelas saya. “For souvenir.” Well, yeah, magnet kulkas bukanlah benda yang berbahaya di tangan orang biasa yang bukan Magneto.

“Ha ha ha!” Sang petugas tertawa sambil memeriksa tas slempang yang baru saya beli sore tadi seharga 100 Manat. “Magnet, from Azerbaijan!” Ucapnya, sambil mengobrol dengan teman-temannya. Mungkin dipikirnya aneh untuk membawa magnet sebagai suvenir. But hey, tunggu sampai kamu mendapatkan teman sekantor dan sanak saudara yang orang Indonesia semua, yang akan menuntutmu membawakan oleh-oleh ketika kamu sedang bepergian, alih-alih mendoakanmu untuk selamat dalam perjalanan.

Baca juga: 10 Alasan Mengapa Sebaiknya Kamu Tidak Perlu Membelikan Oleh-oleh

Dua jam berikutnya, saya sudah berada dalam pesawat yang sedang membawa saya terbang ke Tbilisi. Semoga saja, kali ini saya dibolehkan masuk ke negara penghasil wine pertama di dunia, Georgia.