“Kamu diikutin barong, tuh.” Si mbok yang saya temui secara tidak sengaja malam itu berkata, ujug-ujug, tidak ada angin tidak ada hujan dan tidak ada Pandji yang bersembuyi sambil menunggu untuk berseru ‘Kena deh!’. Hanya ada kita berdua malam itu, remang-remang, ditemani lantunan musik jazz yang mengalun perlahan. “Iya, barong yang ada jubah emasnya itu.” “Hah, barong?” Saya yang sedang melamun santai sambil membayangkan dipijat di pinggir pantai oleh wanita berbikini sambil diiringi lagu Sway dengan irama marimba tiba-tiba membelalak. Barong, bukankah dia mahkluk menyerupai singa dengan kepala yang berwarna merah dan berbulu putih tebal, yang patung atau lukisannya kerap kita temukan di pura? Lantas, pertanda apakah ini? “Aduh…” “Tenang, diikuti barong itu pertanda baik.” Mbok mencoba menenangkan saya yang terlihat gusar. Memang, dalam…