Saya sedang berjuang untuk menghabiskan sepiring buah segar ketika petugas The Secret Garden Hotel mendatangi restoran pagi itu, “Your walking tour guide is here.” Ucapnya, yang membuat saya dan Nugie segera bergegas untuk menyantap apa saja yang disajikan di atas meja makan, kecuali taplak meja dan piring kotor, tentu saja. Ini adalah hari terakhir kami di Tanzania, dan saat itu kami berpikir bahwa mengikuti walking tour seharga $25 untuk full day tour adalah sebuah pilihan yang tepat untuk menghabiskan hari di Moshi –kota yang juga menjadi rumah dari gunung tertinggi di Afrika, Kilimanjaro.

Hello, Arif.” Sosok hitam, besar, gagah, panjang, dan tidak berbulu, datang menyapa. “My name is Abubakar, your walking tour guide for today.Widih, sahabat nabi nih, batin saya. Saya menyambut genggaman tangannya untuk kemudian bersalaman, yang berlanjut menjadi sebuah remasan ke jari-jari saya yang terlihat mungil dibandingkan milik Abubakar –selanjutnya akan ditulis sebagai Abu saja, bukan Abu Jahal atau Abu Lahab. Memang, apabila dibandingkan dengan orang-orang Afrika, orang-orang Indonesia pada umumnya akan terlihat seperti Daus Mini di hadapan Ade Rai. Ya walaupun, ukuran tidak dapat menjadi patokan karena yang penting adalah stamina dan variasi gaya, namun minder juga beb!

Berbeda dengan tourist guide lain yang pernah saya temui –seperti misalnya ketika mengikuti Ghost Hunt Tour di York, atau Stadium Tour di Anfield dan Old Trafford, di mana para guide selalu berpakaian rapi dan necis, penampilan Abu tidak seperti mereka. Kaos hitam lusuh dengan sablon logo 6RAFIKI Walking Tours yang sudah pecah-pecah tanda terlalu sering dipakai, dijemur, dan mungkin disetrika; celana jeans hitam ukuran 3/4 yang sudah mengkerut di bagian lutut dan betisnya, pertanda mungkin celana itu sebenarnya sudah tidak muat lagi menampung pertumbuhan betisnya; dan bagian paling menariknya adalah sandal jepit yang dikenakannya, iya ini adalah pertama kalinya saya mengikuti tur dengan pemandu yang mengenakan sandal jepit. Bukan Havaianas, bukan Swallow, bukan pula Miniso, melainkan sandal jepit kesempitan tanpa merek berwarna oranye Persija dengan sol yang sudah menipis dan meninggalkan bentuk kaki Abu pada permukaan sandalnya. Lah kok malah kayak Olinga Atangana.

Walking Tour Moshi Tanzania

Dengan tinggi badan yang hampir dua meter dan kakinya yang jenjang, sepertinya Abu lebih cocok menjadi atlet lari marathon, bodyguard, maupun tiang gawang dibandingkan menjadi guide, namun ya c’est la vie. Inilah hidup, kamu tidak akan pernah menyangka apa yang akan terjadi pada hidupmu, sebelum kamu menjalaninya.

Bagaimanakah Walking Tour di Moshi Tanzania?

Menurut saya, walking tour atau apapun jenis tur yang dilakukan pada sebuah kota bersama warga lokal, adalah cara yang paling tepat untuk dapat mengenal lebih dekat destinasi yang kamu kunjungi. Tidak ada yang paling mengenal sebuah lokasi, selain warga lokalnya sendiri. Selain itu, dengan bersama warga lokal, maka keamanan kamu ketika jalan-jalan juga akan dijamin, Insha Allah tapi, karena yang namanya nasib tidak ada yang tahu, selain Allah dan malaikat Izrail.

Dengan pertimbangan seperti itu, dan sisa waktu yang kami miliki, maka saya dan Nugie memutuskan untuk mengikuti walking tour pada hari itu, selain memang karena penasaran ada apa saja di Moshi, selain starting point untuk mendaki Kilimanjaro.

Dari hotel, kami bergerak menyeberangi lahan luas yang dikatakan Abu sebagai bekas lahan bandara lama yang kini dialih fungsikan sebagai … kebun kacang. YHA! Dari bandara ke kebun kacang, luar biasa sekali pivot yang dilakukan orang Moshi ya! Kalah ini pivot Tony Fernandes dan Air Asia ketika pandemi. Setelah menyeberangi lahan luas tersebut, kami mulai memasuki downtown Moshi dan pemandangan pertama yang saya lihat adalah …

Walking Tour Moshi Tanzania

MBAK-MBAK LOKAL PAKAI SARUNG SEDANG MENYAPU SAMPAH DI SELOKAN. NGAPAIN?

Are you moslem, too?” Abu bertanya kepada saya, setelah sebelumnya saya banyak bertanya seputar kehidupan warga muslim di sana. Saya mengangguk, yang kemudian dibalasnya dengan ucapan standar ketika sesama muslim saling bertemu di luar negeri, selain di Eropa tentunya. “I am moslem, you are moslem, so we are friend.” YA BOLEHLAH BROTHER!

Abu, yang saat itu masih berusia 23 tahun pada 2018, cukup terkejut ketika mengetahui bahwa di Indonesia mayoritas penduduknya beragama Islam. Mungkin saja di benaknya, Indonesia adalah salah satu negara terbelakang dengan penduduknya yang masih menyembah matahari dan belalang. Oh, tentu tidak seperti itu, brother. Di Indonesia, kami menyembah uang, ormas, dan partai politik.

Perihal warga muslim, Abu juga bercerita bahwa di Tanzania, cukup mudah untuk menikah dengan sesama muslim, karena masjid banyak membantu proses pernikahan tersebut, bahkan cuma butuh Al-Quran sebagai syarat pernikahan, entah sebagai mas kawin, atau sebagai pelengkap pernikahan di sana. Berbeda jauh dengan di Indonesia, di mana untuk dapat melangsungkan pernikahan kita harus izin dahulu dari level RT sampai level KUA, itupun juga kalau orang tua dan mertua merestui. Belum kalau beda agama, belum kalau sesama jenis.

Pada satu sisi jalan, kami melewati sebuah masjid mungil, pada sebuah wilayah yang dikatakan Abu sebagai Moslem District di Moshi. Setelahnya, kami mulai memasuki keramaian, di mana mulai banyak toko-toko bermunculan, dan Abu mengajak kami untuk berhenti di … TOKO UNDERWEAR dengan belasan bra dan cawat renda beraneka warna yang digantungkan di pintunya.

Astaghfirullah Abuuuuu…

Di kejauhan, terlihat seorang lelaki kurus berkemeja kotak-kotak kuning lengan panjang, bercelana blue jeans biru (ya iyalah, memang dikira P Project, blue jeans kok hitam) datang menghampiri kami. Sebuah tas punggung abu-abu beraksen oranye dikenakan sang pria, nampak senada dengan sandal jepit milik Abu. Tak berapa lama, Abu mengenalkan sang pria sebagai temannya, yang juga akan menemani kami selama walking tour kali ini.

My name is Prosper.” Ucap sang pria necis sambil mengulurkan tangannya kepada kami, mengajak bersalaman. Apabila nama adalah sebuah doa, maka sedikit banyak doa orang tua Prosper sudah cukup dikabulkan, nampaknya.

Main-main ke Mbuyuni Market

Lepas dari toko pakaian dalam, kami menyeberang jalan untuk menjelajah sebuah pasar lokal yang bernama Mbuyuni Market “This market is open everyday.” Abu menjelaskan, ya buka setiap hari kecuali hari kiamat, batin saya “From five in the morning to eight in the evening.” Tambahnya. “In here, we can buy clothes, shoes, and … banana.”.

Okay, nice information, Abu. Sebuah ungkapan yang entah milik siapa, berkata bahwa apabila kamu ingin mengenal jatidiri sebuah kota, maka datangilah pasar tradisionalnya, di situ kamu akan menemukan aktivitas asli yang dilakukan para penduduk kota tersebut. Tapi sebaiknya, ya datanglah dengan mereka yang benar-benar mengenal kota tersebut, alias bersama warga lokalnya, supaya aman, dan tahu seluk beluk wilayah tersebut.

Kalau tidak bersama Abu, mungkin saya dan Nugie tidak akan berani datang ke Mbuyuni Market ini. Terlalu ramai, dan saya membawa kamera mirrorless berukuran lumayan besar, terlalu berisiko rasanya.

Setelah melewati penjual sayuran beserta penjual peralatan plastik yang bukan Lion Star ataupun Tupperware di depan pasar, kami bergerak meringsek masuk lebih dalam lagi ke dalam pasar, lagi-lagi melewati penjual pakaian dalam yang kali ini dijajarkan rapi di atas gerobak miliknya, sebelum Abu berhenti di satu sisi pasar.

I have to buy something.” Ucapnya “Mswaki? You know?

Saya dan Nugie menggeleng, apalagi itu mswaki something, kalau Swarovski tentu kami tahu, tapi mswaki adalah kata-kata yang asing bagi kami. Abu membuka mulutnya, menunjukkan deretan giginya yang besar dan rapi, sambil menggerakkan jari-jarinya di depan mulutnya, layaknya orang sedang menggosok gigi. “Toothbrush.

HEUUU? TOOTHBRUSH? MSWAKI? “SIWAK?” Saya menebak dengan cekatan, selayaknya peserta kuis Tak Tik Boom di hadapan Dede Yusuf. Abu kemudian mengangguk, mengedipkan mata genitnya ke saya. “Ah, yes yes yes, siwak! You wanna try?” Sedetik kemudian saya sudah memegang sebatang kayu yang dikatakan sebagai siwak, bersiap untuk menggosok gigi. Tanpa Pepsodent, tanpa Ciptadent, tanpa Oral-B, apalagi Oral Me.

Walking Tour Moshi Tanzania

Ternyata menggosok gigi dengan siwak pun tidak bisa sembarangan gosok, karena kita harus menggigit dan mengunyah dahulu ujung kayu siwak tersebut sehingga kayunya merekah dan mengubah bentuknya seperti sikat, atau kuas lukis kasar kalau saya boleh katakan. Baru setelahnya, kita baru bisa menggosok gigi menggunakan sikat gigi alami nan syariah sesuai sunnah Rasul ini. Masha Allah Tabarakallah, ternyata menggosok gigi dengan siwak selain membuat gigi bersih juga bisa membuat gusi berdarah ya, Bun.

Mbuyuni Market di Moshi ini sudah seperti Hari-Hari Swalayan di Bintaro, apa saja ada di sana, mulai dari bahan makanan, buah-buahan, pakaian jadi, perabot dapur, peralatan berkebun, hingga beberapa macam benda elektronik pun ada di sana. Baru, bukan curian. Mungkin yang tidak ada di sana hanyalah jodoh dunia akhirat saja.

Setelah menjajal siwak yang membuat gigi saya berwarna merah, Abu mengajak saya untuk mencicipi sajian kuliner lokal sana, yaitu TEBU! YHAAAA DI INDONESIA JUGA ADA TEBU, malah lebih hitam dan besar batangnya. Berikutnya, kami bergerak ke bagian belakang pasar, yang ternyata adalah tempat warga lokal berjualan buah yang dikumpulkan dari kota-kota di sekitar Moshi. Banyak terlihat truk-truk pengangkut buah datang ke Moshi dan langsung diproses di TKP oleh ibu-ibu setempat, yang berbusana etnik, dengan beberapa emak-emak mengenakan hijab di kepalanya.

Berbagai buah-buahan tropis saya temukan di sana, seperti nanas, pisang, semangka tanpa tarik sis, dan sebagainya. Abu sempat membelikan saya seiris nanas sebelum kami bergerak lagi ke lokasi selanjutnya.

Tidak Ada Lagi Kereta yang ke Moshi

Seorang anak kecil yang sebelumnya sempat saya ajak untuk foto bersama di belakang pasar masih saja mengikuti kami walaupun sudah berpindah lokasi. Mungkin menunggu saweran dari saya yang sebelumnya mengajak foto bersama. Kali ini, perjalanan berlanjut menyusuri jalanan tanah yang diapit rel kereta pada kanan-kiri jalan. Sayangnya, tidak ada tanda-tanda bahwa rel kereta tersebut masih digunakan, karena di atas rel sudah ditumbuhi berbagai macam tumbuhan dan semak belukar, walaupun memang tidak ditemukan adanya monstera dan keladi di sana.

Walking Tour Moshi Tanzania

Setelah ‘mengusir’ anak kecil tersebut dengan bahasa setempat dan tanpa gratifikasi maupun ancaman benda tumpul, Abu mulai bercerita mengenai sejarah tempat yang kami datangi siang itu. “It was a railway station.” Tuturnya, yang kemudian dilanjutkan oleh Prosper yang juga menceritakan beberapa serba-serbi mengenai mantan stasiun kereta api ini.

Alkisah, dahulu kala, Moshi adalah sebuah kota penghubung yang cukup besar di Tanzania, namun sekarang berubah, di mana Moshi mulai kehilangan pamornya. Dahulu, terdapat jalur kereta aktif yang menghubungkan Moshi dengan kota-kota besar di Tanzania seperti Arusha dan Dar Es Salaam, ibu kota negara, juga ke bandara terdekat. “But now, train in Moshi is dead. No more train from here. The government said that they are working on it. But we don’t know much.

Ya, apabila dilihat sekilas, memang tidak ada tanda-tanda adanya pembangunan di stasiun tua itu, bangunanya seperti dibiarkan menua dan rapuh begitu saja, tidak ada renovasi, tidak ada pengecatan, hanya ada sebuah bangku panjang di depan bangunan utama, dengan seorang bapak tua duduk sambil mengangkat sebelah kakinya di atas bangku.

“LAGI SANTAI NIH OM?”

Walking Tour Moshi Tanzania

My grandparents said that this train station used to transport many people in the past.” Prosper melanjutkan ceritanya. “Now, we are hoping to open it again, so that more people can get more job.

When was it?

I think it was more than twenty years ago.” Hening sejenak, sebelum Abu menimpali cerita tersebut. “But the best part from this station was, the alarm here is still on, despite that the train station is closed.

Whoa, lumayan juga buat bangunin sahur. “Some people use another part of this building as a bar, and in the past they used this building to train martial art.” Bukan, maksudnya bukan Martial pemain Manchester United, ya. “By the way, let’s have a photo session here, under the sign MOSHI.

If the weather are clear, you can see Mount Kilimanjaro from afar.” Abu mulai menceritakan gunung kebanggaan Tanzania, dan juga Afrika. “If you want, I can guide you to climb Kilimanjaro too.

Well, maybe later. We have to go back to Kenya tomorrow.” Saya mengikuti langkah Abu dengan tergesa, wajar, karena sekali langkah dia sama dengan dua kali langkah saya. Kami meninggalkan stasiun ketika seorang penggembala memasuki kawasan stasiun untuk menggembalakan ternaknya. “Do you have animal like that in Indonesia, Arif?

HUH? Which one?

Those ones, their name is goat and sheep.

OWALAH WEDHUS!

Mari Mampir Sebentar untuk Menikmati Buah-buahan Lokal 

Berikutnya, perjalanan berlanjut menyusuri jalanan kampung dan rumah-rumah warga yang ada di sana. Sekilas rumah-rumah yang ada mengingatkan saya kepada permukiman di wilayah Kabupaten Indonesia, dengan rumah-rumah satu lantai dan halamannya yang luas.

Are you tired?” Saat itu sudah lebih dari tiga jam kami berjalan, dan pertanyaan dari Abu adalah pertanyaan yang wajar, sepanjang tidak dilanjutkan dengan “Kostan aku dekat sini, AC baru diservis, seprai baru diganti, Wi-Fi kencang, dan ada air panas.” Saya menoleh kepada Nugie, dan Nugie menoleh kepada Prosper, ciye ciye.

“Now, we will take a rest for a while.” Kami muncul dari halaman belakang rumah orang menuju sebuah kios kecil dengan payung di pinggir jalan raya. “I will treat you with some local tropical fruits. Have you tasted it before?”

Saya melongok sekilas ke bawah payung yang saat itu kosong, tanpa ada tanda-tanda kehidupan dari si penjual, dan melihat apa saja isi produk yang diperdagangkannya. “SIANJIR, INI MAH RUJAK ANZEEENG! PAKAI BILANG LOCAL TROPICAL FRUITS.” Nugie kemudian misuh-misuh.

Sepuluh menit kemudian, si penjual buah muncul. Seorang wanita berusia 30-40 tahunan dengan pinggul yang bahenol –iya, tanpa bermaksud body shaming, di Afrika memang kebanyakan wanita lokalnya memiliki badan seperti bass betot, yaitu dada menonjol dengan pinggul melebar juga membulat. Konon, makin bulat dan lebar pinggulnya, maka makin seksi dan makin digemari pula sang wanita tersebut– muncul dengan sebilah pisau di tangan, yang tentunya bukan untuk sunat, melainkan untuk memotong-motong buah supaya rapi hasilnya, dibandingkan menggunakan benang gelasan.

Do you want to try all?” Abu bertanya kepada kami, yang kami balas dengan anggukan. “Make it mix!” Pintanya kepada si wanita bahenol.

Tak berselang lama, sepiring buah-buahan segar sudah ada di tangan saya, isinya campur-campur. Mulai dari pisang, pepaya, mangga, hingga timun juga disajikan di dalam piring plastik berwarna hijau toska tersebut. Tinggal ditambah sambal gula merah dengan ulekan kacang tanah, maka ini sudah menjadi Rujak Natsepa. Namun, karena kami tidak mau mencederai local prideso we eat it raw. Fearless banget deh pokoknya, bisa makan makanan lokal tanpa perlu dibumbui atau ditambah kecap.

Have you tried watermelon before?” Prosper bertanya, apakah saya sudah pernah makan semangka sebelumnya, tarik sis! Berikutnya, kami menjelaskan bahwa buah-buahan seperti ini banyak juga terdapat di Indonesia, sehingga untuk rasa tidak begitu banyak berbeda, cuma yang di Moshi ini buahnya terasa lebih manis dan nikmat, karena gratis. Diceritakan pula bahwa buah-buahan yang dijual di sini, dibeli dari Mbuyuni Market, dan berasal dari beberapa lokasi  di Tanzania seperti Dar Es Salaam, Arusha, hingga Ngorongoro.

Perjamuan singkat tersebut ditutup dengan kami belajar beberapa bahasa lokal untuk menyebut buah, yang kalau tidak salah ingat dan catat, kurang lebih seperti ini: Mangga = Embe; Pepaya = Papay; Pisang = Ndizi, Alpukat = Paracici; Pear = Peas; Timub = Danglo; Semangka = Tikitimaji; Apel = Tufe; Cantik = Kamu.

Walking Tour Hari Itu Ditutup dengan *drum roll* Toko Suvenir *tentu saja*

Setelah puas menyantap rujak yang juga ada di Indonesia, Abu dan Prosper membawa saya keliling jalan perkampungan, sambil sesekali berbincang mengenai politik, juga sosial budaya di sana. Sebuah bangunan tua di tengah kebun yang disebutkan sebagai Former Police Cottage juga kami lalui dengan perlahan, sembari mendengarkan cerita Abu bahwa bangunan ini pernah dikuasai Jerman sebelum akhirnya berpindah ke tangan Inggris.

Berikutnya, kami juga melewati sebuah lahan luas, penuh dengan kebun berbagai macam tumbuh-tumbuhan, yang dirawat oleh warga lokal. Inilah Kiviwama Conservation Center, sebuah lahan seluas lebih dari lima hektar yang disediakan oleh pemerintahan setempat untuk kemudian dikelola oleh warga lokal yang kemudian mengisi lahan tersebut dengan membudidayakan berbagai macam pohon dan tanaman hias lainnya, untuk kemudian dijual kembali ke pemerintah tanpa pajak. Dengan cara ini, warga mendapatkan penghasilan, dan pemerintah juga mendapatkan keuntungan.

Dari kebun-kebun, kami bergeser menyeberangi jembatan kayu yang berada di sebuah parit kecil, untuk menuju ke sebuah komplek yang berisi pondokan-pondokan tempat seniman lokal berkumpul dan berkarya. Inilah dia, ya tentu saja, toko suvenir.

Sepertinya salah rasanya mengajak orang seperti saya dan Nugie untuk mampir ke toko-toko suvenir, karena selain kami adalah backpacker yang tidak memiliki budget lebih untuk membeli suvenir dan kerajinan lokal, saya juga tidak memiliki keinginan untuk menambah barang-barang lagi di rumah. Marie Kondo serta Fumio Sasaki pasti bangga dengan saya.

Lalu, bagaimana cara kami tetap memberikan support untuk warga lokal Moshi? Ya, alih-alih membeli lukisan maupun patung, saya mengalihkan dananya untuk membeli gelang khas Tanzania, ada yang berwarna hijau-kuning-hitam-biru seperti bendera Tanzania, ada juga yang bertuliskan “Pole Pole” yang berarti slowly –sebuah ungkapan yang memberikan arti bahwa dalam hidup, kita tidak perlu selalu terburu-buru dalam mengambil keputusan dan bertindak, just pole pole. Pole pole waton kelakon.

Memangnya berapakah harga gelangnya, mungkin kamu bertanya. Saya membeli tiga buah gelang tersebut dengan harga 12.000 Shiling, atau sekitar 70.000 Rupiah. Masih agak mahal, tapi tidak apa-apa, kan demi empowering locals.

Walking Tour Moshi Tanzania

Agenda walking tour kami sebenarnya sudah berakhir di pondokan-pondokan toko suvenir tersebut, namun saya masih meminta tolong kepada Abu untuk mengantarkan saya ke kota guna membeli tiket bus untuk menyeberang ke Kenya keesokan harinya. Tak lupa juga saya diajaknya mencicipi makanan khas warga setempat, yang hanya habis 9.000 Shiling untuk berempat, atau 50.000 Rupiah saja! Sungguh, kalau kamu anak kostan di Moshi pasti bahagia, karena makanan di sana cukup murah.

Namun memangnya seperti apakah makanannya?

Cek foto di bawah ini, sepiring nasi goreng dengan isian daging di dalamnya, ditaburi sup pisang dengan ati ampela ayam, lengkap dengan kondimen sayur bayam dan irisan tomat di pinggir piring. Rasanya jangan ditanya, hambar dan asin.

Kami berpisah dengan Abu pada siang hari itu dengan sebuah janji, janji untuk kembali guna mendaki Kilimanjaro, yang semoga dapat saya wujudkan dalam waktu dekat ini. “Come back in February, June, or December. Those are the best season to climb Mount Kilimanjaro!“.

Insha Allah!

Dalam perjalanan pulang ke hotel, saya menyempatkan juga untuk membeli gorengan khas Tanzania, yang ternyata tidak lebih enak daripada bala bala milik Ceu Ikin. Sejauh ini, saya merasa kalau gorengan asal indonesia masih yang terbaik di dunia, apalagi kalau digoreng dengan menggunakan minyak curah.

Kamu dapat menghubungi Abubakar Lyimo melalui Facebook: Abubakarlyimo ataupun email: Abubakarylyimo@gmail.com dan juga di nomor WhatsApp: +255 656 080 088