
Legenda mengatakan, ada sepasang tugu kembar di ujung-ujung Indonesia, yang satu di Sabang; satunya di Merauke, yang mana keduanya dipisahkan oleh ribuan pulau-pulau yang menyambung menjadi satu, Indonesia. Sabang terletak di ujung barat Indonesia pada provinsi Daerah Istimewa Aceh, sementara Merauke terletak di ujung timur Indonesia pada provinsi Daerah Khusus Papua. Dua daerah yang mengapit 32 provinsi lainnya di Indonesia.
Namun tak ada yang mengatakan, bahwa perjuangan untuk menemukan kedua tugu itu tak sesingkat lagu yang digubah oleh R. Suharjo, sebuah lagu perjuangan berjudul Dari Sabang sampai Merauke.
Dari Sabang sampai Merauke
Berjajar pulau-pulau
Sambung menyambung menjadi satu
Itulah Indonesia
Sabang, 11 Oktober 2014
Saya memacu sepeda motor sewaan dengan cepat, terlalu lama bermain-main di Iboih Inn sepertinya telah membuat saya terlena dengan waktu. Padahal empat puluh menit lagi, matahari diperkirakan akan tenggelam di titik paling barat Indonesia tersebut.
“Sekitar setengah tujuh, lah.” Saya mengingat pesan Ibu Liza, si pemilik Iboih Inn, menjawab pertanyaan saya mengenai kapan matahari akan tenggelam di Kilometer Nol.
Sebelumnya, saya memang telah mendapatkan informasi bahwa tempat paling tepat untuk menikmati sunset di Pulau Weh adalah di titik kilometer nol, yang merupakan ujungnya Pulau Weh, “Dari sini ke Kilometer Nol, berapa lama, Bu?”
“Jaraknya sih sekitar delapan kilometer.” Ucapnya “Ya kira-kira setengah jam, lah, kalau pakai motor.”
Ya, delapan kilometer. Ya, setengah jam. Tapi Bu Liza tidak menyebutkan apabila perjalanan ke Kilometer Nol menempuh jalan yang berliku, sepi, –tanpa ada petunjuk kapan jalan beraspal tersebut akan berujung– dan membutuhkan ketangkasan berkendara sepeda motor, terlebih dengan gas di tangan kanan, dan tongsis di tangan kiri.
Dua puluh lima menit pertama, mungkin saja menjadi pengalaman saya dengan sepeda motor yang paling mendebarkan saat itu.
“Jalannya hanya satu kok, jadi kamu gak akan nyasar.” Demikianlah nasihat terakhir yang saya dapatkan dari Ibu Liza. Setelah sempat takut dipalak di tengah jalan oleh segerombolan siswa STM yang cabut, sampailah saya di sebuah keramaian seusai menembus hutan gelap di kanan termasuk melewati sebuah tugu dan beberapa penanda jalan yang tampak tak menarik.
Saya memarkir motor pada sebuah lahan kosong setelah warung di pinggiran tebing yang telah dibangun pagar yang memisahkannya dengan laut di bawahnya, dan sempat sedikit kecewa bahwa ternyata keramaian yang saya lihat di situ adalah kumpulan manusia yang menanti matahari tenggelam, bukan menanti saya.
Di seberang saya, terdapat sebuah bangunan tinggi menjulang, dengan cat berwarna biru dan putih yang usang, dan beberapa perbaikan di sana sini. Nampak sebuah poster di samping tulisan “KILOMETER 0 INDONESIA” yang menyebutkan bahwa bangunan tersebut sedang direnovasi untuk nantinya akan dibangun Monumen Titik Nol Indonesia.

Kilometer 0 Indonesia (tas selempang oleh Fossil Urban Icon)
Penasaran akan apa yang ada pada bangunan tersebut, saya mulai mendaki anak tangganya dan menemukan sebuah prasasti kecil di sana. Sebuah prasasti yang bertuliskan “Penentuan posisi geografis tugu kilometer 0 Indonesia di Sabang ini diukur oleh para pakar BPP Teknologi dengan menerapkan teknologi satelit Global Positioning System (GPS)”. Di bawahnya, tertera tanda tangan Menristek legendaris Indonesia Prof. Dr. Ing. B.J. Habibie (B.J. stands for Bacharuddin Jusuf, just in case you have dirty mind) sementara di baliknya memaparkan posisi geografis Kilometer Nol Indonesia tersebut.
Berikutnya, saya bergabung bersama para manusia tadi, menantikan sunset. Secara sekilas, terdapat dua jenis manusia di sana, yaitu yang berpasangan dan saya. Sedari SD saya mendapat pelajaran bahwa matahari selalu terbit dari timur dan tenggelam di barat, kecuali Matahari Department Store. Dan menyaksikan matahari tenggelam di titik paling barat Indonesia, adalah sebuah keindahan sendiri yang tak dapat diungkapkan dengan bahkan dengan kata-kata Mario Teguh sekalipun.
Bulatan sempurna sang surya, perlahan turun dengan menyisakan pendar keemasan di langit. Sunset yang membuat saya tak mau beranjak dari situ, namun gigitan seekor nyamuk yang datang bersama segerombolan kawannya menyadarkan saya untuk segera kembali ke penginapan.
Brown, sang babi hutan penunggu kilometer Nol sempat muncul ketika saya hendak pergi. Untuk saat itu, terjawab sudah separuh rasa penasaran saya tentang adanya tugu kembar di ujung Indonesia. Berikutnya, tinggal pergi ke Merauke.
Tentunya setelah saya berhasil kabur dari gigitan nyamuk-nyamuk buas di Kilometer Nol Sabang ini, dan sukses mengendarai motor seorang diri menembus gelapnya malam tanpa lampu jalan di Pulau Weh.
Merauke, 18 Oktober 2014
Saya yang seorang karyawan, praktis hanya mempunyai waktu akhir pekan untuk berlibur karena cuti saya yang sudah menipis. Dan tepat satu minggu setelah berhasil lolos dari siswa STM dan gigitan nyamuk di Sabang, saya kembali pada perjalanan menuju sebuah daerah di ujung timur Indonesia bernama Merauke. Masih dengan misi yang sama, membuktikan keberadaan legenda tugu kembar yang berada di Sabang dan Merauke.
Beruntungnya saya, karena memiliki kawan sekampung yang saat ini tinggal di Merauke, bernama Mas Wiwid. Dan lebih beruntung lagi karena kebetulan dia sedang LDR dengan anak dan istrinya tidak ada acara pada hari Sabtu yang terik tersebut, maka jadilah saya diantarkan Mas Wiwid menuju Sota, titik perbatasan antara Indonesia dan Papua New Guinea, yang diyakini merupakan titik nol Indonesia di ujung timur.
“Langsung ke Sota kah?” Tanya Mas Wiwid ketika menjemput saya di bandar udara Mopah. “Gak capek kah?”
“Enggak Mas.” Jawab saya, yang memang sudah tidur pulas sepanjang perjalanan enam jam lebih dari Jakarta. “Tadi sudah tidur lama di pesawat.”
“Oke, kalau begitu langsung saja ya!”
Yang menarik dari perjalanan menuju Sota, selain jalannya yang sudah mulus, adalah jalur yang sekaligus melewati Taman Nasional Wasur, yang menyajikan pemandangan-pemandangan menarik sepanjang perjalanan, yang membuat saya tidak jemu memandang ke luar jendela. Yang paling spektakuler tentu saja adalah musamus, atau rumah semut raksasa yang banyak terdapat di kanan kiri jalan. Selain itu juga ada beraneka flora dan fauna, serta danau-danau cantik yang turut menghiasi perjalanan.
“Ini jalannya sudah bagus.” Ucap Mas Wiwid beberapa kilometer sebelum tiba di Sota “Dulu, ke Sota bisa dua jam lebih.”
“Wah, keren juga ya.” Gumam saya, sambil berharap bahwa Kementerian Pariwisata Indonesia dapat lebih memajukan wisata Indonesia khususnya di wilayah Indonesia timur.
“Nah ini kita sebentar lagi sampai.” Mas Wiwid berkata sambil membelokkan mobilnya ke arah kanan pertigaan di mana di tengahnya terdapat sebuah tugu yang tampak tidak menarik, dengan beberapa orang berfoto di depannya. “Saya juga tidak tahu tugu apa itu, tapi banyak yang foto-foto di situ. Saya pun belum pernah foto di situ.”
“Oh.” Sahut saya singkat. “Langsung ke border saja kalau begitu, Mas.”
Untuk mencapai perbatasan, kami harus melapor terlebih dahulu ke pos perbatasan yang dijaga oleh Tentara Nasional Indonesia. Lantunan lagu dangdut terdengar membahana ketika kami mendekati pos tersebut, kemudian salah seorang tentara meminta kami untuk meninggalkan KTP sebelum masuk ke perbatasan.
Mas Wiwid menyerahkan KTP-nya kepada tentara tersebut sambil mengutarakan maksud berkunjung adalah untuk melihat perbatasan, “Dua KTP, Mas?” Saya bertanya, sambil mengeluarkan KTP dari dompet. Iya, saya sudah berusia lebih dari 17 tahun.
Mas-mas tentara tersebut menggeleng “Gak usah, satu saja cukup.” Oh, saya pikir sama prosedurnya ketika saya mengunjungi kantor Google Indonesia di Sentral Senayan, di mana tiap pengunjung harus meninggalkan KTP-nya masing-masing.
Usut punya usut, para tentara yang bertugas menjaga perbatasan ini bukanlah warga lokal, melainkan tentara yang berasal dari Kodam Siliwangi, Jawa Barat. Mereka nantinya akan dirotasi tiap beberapa bulan untuk bertugas lagi di tempat yang baru. Semua demi kesatuan Indonesia, tanah air kita, yang harus dijunjung tinggi.
Indonesia tanah airku
Aku berjanji padamu
Menjunjung tanah airku
Tanah airku Indonesia
Lepas dari pos perbatasan resmi, kami kembali menjumpai sebuah pos kecil, yang dijaga oleh seorang wanita setempat yang dari perawakannya saya menduga sudah berusia 70 tahun-an.
“Itu si Mama, kamu kasih sumbangan, seikhlasnya.” Pinta Mas Wiwid, yang saya ikuti dengan turun dari mobil, membuka dompet, dan meletakkan selembar uang (nominal tidak disebutkan, untuk menghindari riya. Naudzubillah min dzalik, padahal cuma ceban.) pada kotak yang tersedia.
Berikutna, Mama mengangkat palang yang menghalangi jalan, dan menyilakan kami masuk.
“Terima kasih, Mama!” Seru Mas Wiwid dari balik kemudi, sembari menyetir memasuki zona perbatasan. Di sini tak ada petugas perbatasan yang memeriksa paspor, karena memang kota terdekat di Papua New Guinea berada sekitar 20 kilometer jauhnya, di mana untuk mencapainya harus melewati hutan yang penuh binatang liar dari kumpulan yang terbuang.
Kemudian tepat di tempat yang dikatakan sebagai titik nol Merauke, saya terkesiap. Harapan yang saya bawa dari Sabang, seketika runtuh.
Tak ada tulisan Kilometer Nol Indonesia, tak ada tugu yang tinggi menjulang, tak ada prasasti yang ditandatangani B.J. Habibie, dan juga tak ada poster penanda bahwa tugu kembar Merauke sedang direnovasi.
Sejauh mata memandang, hanya ada tugu kecil penanda perbatasan Indonesia dengan Papua New Guinea, hanya tembok semen bertuliskan “Bahasa Indonesia Penjaga Persatuan dan Kesatuan NKRI” dan hanya ada rumah semut yang tinggi menjulang, alih-alih tugu kilometer nol seperti di Sabang.
Lalu apanya yang kembar? Apakah legenda sepasang tugu kembar di ujung-ujung Indonesia hanyalah sebuah dongeng pengantar tidur? Dengan langkah gontai, saya bertanya ke Mas Wiwid “Cuma ini saja Mas, tugunya?”
“Iya.” Jawabnya singkat.
Saya mengeluarkan handphone dari saku, dan menunjukkan beberapa foto yang telah saya unggah dengan simpelnya ke Google+ menggunakan tagar #WonderfulIndonesia dan #IndonesiaOnly. Foto-foto yang menunjukkan keperkasaan tugu kilometer nol yang terletak di Sabang, ujung barat Indonesia.
“Di sini tak ada yang seperti itu. Paling ada seperti itu.” Jawab Mas Wiwid sambil menunjuk sebuah bangunan berwujud salib raksasa, yang adalah sebuah kuburan.
Maksud hati menepuk jidat. Jidat Mas Wiwid. Tapi saya urungkan, karena takut kualat dan dikutuk menjadi tugu kilometer nol.
Dengan perasaan yang belum lega dan masih penuh tanda tanya, kami beranjak meninggalkan perbatasan, –setelah sebelumnya mengucapkan terima kasih pada Mama penjaga batas, mengambil KTP di pos resmi perbatasan, dan salat di masjid setempat– menuju restoran yang berada beberapa meter di dekat pertigaan sebelum perbatasan.
“Mangan opo Mas?” Tanya si pemilik warung pada saya yang nampak lapar dan gelisah. “Njupuk dewe segano yo.“
(Terjemahan: “Mau makan apa Mas yang ganteng? Silakan ambil sendiri ya nasinya, ganteng.”)
Saya meraup beberapa centong nasi, memadukannya dengan sayur bayam dan ikan mujair setempat. Di Merauke dan sekitarnya, memang banyak sekali transmigran asal Pulau Jawa, sehingga bahasa Jawa merupakan bahasa yang sering terdengar di sini. Ah, the good point is, I don’t feel like an Englishman in New York.
“Nanti sehabis makan, aku mau motret tugu yang di pertigaan ya, Mas.” Pinta saya ke Mas Wiwid, yang kemudian pasrah mengiyakan.
Dengan perut penuh dan kamera yang dikalungkan, saya bergerak menuju tugu yang tegap berdiri di bawah sang burung garuda, dengan Mas Wiwid berada di belakang saya. Sungguh nampak tak menarik tugunya. Bangunannya kotor penuh bercak tanah di sana sini, sementara coretan ikut menghiasi pualam yang ditempelkan simetris di tugu tersebut. Benar juga keheranan Mas Wiwid bahwa mengapa banyak orang yang berfoto di sini. Aneh.
Saya mendekatinya, dan mencoba membaca tulisan yang terpatri pada pualamnya. Cat warna emas yang hampir pudar, ditambah coretan cat biru membuat saya harus membelalakkan mata untuk membaca tulisannya lebih jelas. Bunyinya: “Dengan Rahmat Tuhan YME, Tugu Kembaran Sabang Merauke, diresmikan oleh Bupati KDH TK II Merauke, R Soekardjo.”.
Seketika saya lemas. Ternyata tugu megah yang saya lihat di Sabang, bukanlah tugu kembar yang saya cari. Pikiran saya kemudian membawa saya kembali ke Sabang seminggu yang lalu, ketika saya sedang berkendara dengan sepeda motor menuju titik kilometer nol, dan melewati sebuah tugu yang nampak tak menarik.
Bagus amat sih postingannyaaaa ❤
LikeLike
Rahneeee ~ ❤
LikeLike
udah dapet sertifikat pernah ke tugu kilometer nol gak bang? Lumayan ada bukti kesana. Ngurusnya cuma 15-ribuan lagi. Hehehe
LikeLike
Waini yang ketinggalan juga, haha. Waktu itu fokusnya ke hal yang lain jadi malah lupa. Harus ke Sabang lagi sih emang.
LikeLike
Wajib bang. Ditunggu kisah ke Sabang yang selanjutnya. Saya aja yang udah tiga kali masih kepingin main kesana. Hahaha
LikeLike
Tiga kali???
Ya ampun saya aja belum pernah 😥
LikeLike
Saya lahir dan besar di Medan, jadi dekat deh ke Sabangnya. Hahaha
LikeLike
Kalau ke Merauke udah pernah, belum? 😉
Saya tinggalnya pas di tengah2 Indonesia nih haha
LikeLike
Lho, Gege tinggal di mana sih? 😀
LikeLike
Nang Bali, massss 🙂
LikeLike
Wahahaha, I wish bisa balik lagi ke sana, kurang puas emang kalau wiken doang haha.
LikeLike
Kayak ke tembok cina aja ada sertifikatnya 🙂
LikeLike
Iya tapi kemarin belum dapet, hiks.
Terakhir dapat sertifikat kalau gak salah pas paralayang di Batu.
LikeLike
jadi foto tugu kembaran yang di Sabang belum ada dong kak?
LikeLike
Syalalala ~
🙊 🙊 🙊
LikeLike
Oke. Jadi intinya pas di Sabang kemarin mas salah tugu ya *mencobamemahami*
Btw, sekarang Aceh kembali kepada nama Daerah Istimewa Aceh ya? Papua juga Daerah Istimewa?
LikeLike
Iya tugu tu bi tru.
Kayaknya begitu deh namanya, sesuai di Wikipedia tentang provinsi-provinsi di Indonesia.
LikeLike
Mas tolong ya mas, itu terjemahannya jangan ditambahin ganteng tho mas!
LikeLike
Lhooo? Harusnya super duper ganteng ya?
LikeLike
-___-“
LikeLike
Oh jadi ada tugu yang lain… *ngangguk-ngangguk
LikeLike
iya mun, tugu tu bitru.
LikeLike
Sabang merauke mengingatkanku saat SD dulu.. dari sabang hingga merauke
LikeLike
Kalau mas pas SD, berarti aku masih dalam masa reproduksi ya, ehehehe.
LikeLike
Pas lu kasih lirik lagunya gua langsung nyanyi2, bang. Jadi kangen masa SD~
Wah sayang bener bisa salah tugu begitu, pertanda harus kesana lagi :p
LikeLike
Iyaaa yuk ke sana lagi yuk!
LikeLiked by 1 person
Jadi terdapat sesuatu yang menarik di balik ketidak menarikan tugu tersebut. Intine ngono toh, mas ganteng?
LikeLike
Insha Allah begitu, mb. Tapi intine aku ganteng ora sih? Kok dadi bimbang ya.
LikeLike
Memang harus ke Sabang kali nampaknya, ya Riev? Nanti ajak-ajak aku dong 😀 😀 😀 *hahahaha
LikeLike
IYAAA HARUS KE SANA LAGI KAK!
Yuk ke sana yuk, ntar kamu beli lensa wide ya 😀 😀 😀
LikeLike
Ah kak, aku beli batere aja belum hahahha
LikeLike
cuma sela seminggu udah pergi dari pucuk ke pucuk
salut mz :3
balik lagi ke sabang sana mz biar afdol ketemu tugu kembarnya 😀
LikeLike
Makasih mz, iya nih pengin balik lagi jadinya 😉
LikeLike
Aku blm perna ke sabang dan marauke ihik ihik ihik, btw rumah semut itu knp bisa sampai setinggi itu yaaa #MasihTakjub
LikeLike
*buka celana biar makin takjub*
LikeLike
Aku sudah tobat kak, jadi sekarang edisi tertutup 🙂
LikeLike
Arif, mau koreksi dikit ya. Nama Daerah Istimewa Aceh itu dipakai sejak tahun 1959-2001. Habis itu pake Nanggroe Aceh Darussalam. Lah, pas 2009, hanya disebut sebagai Provinsi Aceh saja. Waktu itu pernah aku tanyain pas kunjungan ke Aceh tahun 2012.
Untuk Papua, sampai saat ini belum pernah menyandang status Daerah Khusus. Yang aku tahu, nama Papua dipakai sejak berlakunya UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Tahun 2003 itulah muncul dua provinsi di Papua, yaitu Papua Barat dan Papua saja. Hal ini juga sering disebut kok, kalau kamu misal ikut acara pawai kebudayaan, atau acara apalah gitu yang ada perwakilannya dari masing-masing provinsi, disebutnya juga Provinsi Papua untuk merujuk wilayah yang meliputi Merauke.
Tentang Tugu Kembar, yang di Sabang letaknya ada di depan Walikota Sabang. Harusnya kamu lewat sih kalau mau ke Titik 0 karena jalan di depannya itu searah. Memang gak kelihatan kok, supir yang nganter aku juga gak ngeh waktu itu kalau itu namanya Tugu Kembar. Lah kalau yang di Merauke, tulisan ini udah bener. Banyak yang foto2 di situ. Memang sih, Monumen 0 Km yang di Merauke tidak semegah yang di Sabang.
Oiya, btw, aku kan benci banget baca terjemahan ya, itu yang kalimat terjemahan ngambil dari google translate ya? Pantesan acak2an wkwkwk *dipentunggoogle* 😀
LikeLike
BEB ADIE MAKASIH YA KOREKSINYA!
Okesip, jadi Aceh namanya Aceh aja ya sekarang, bukan Aceh banget. Noted.
Terus, yang Papua ada Meraukenya itu Papua aja, kalau yang ada Raja Ampatnya itu Papua Barat, bukan Papua banget. Noted.
Nah, yang di depan walikota Sabang aku missed kayaknya, missed her so much 😦
Semoga lain kali bisa ke sana sama her.
Itu terjemahannya bener, mz. Googlenya kan jujur 😦
LikeLike
Woooo.. sayang ya mas ariev gak nemu tugu kembarnya. Padahal kalau lihat gambar tugu kembar yang di Merauke ya gak kembar juga sama yang di Sabang. Persamaannya cuma sama-sama ada garudanya di atasnya.
Btw aku ngakak pas baca ini -> (B.J. stands for Bacharuddin Jusuf, just in case you have dirty mind). Seumur2 baru kepikiran sekarang kalau bisa juga bikin dirty mind. Berarti selama ini otakku bersih. Dirty gara2 baca postingan ini malah! 😛
LikeLike
Ahaha iya mz, kemarin ke-skip kayaknya. Kalau dilihat dari fotonya si Adie Riyanto sih gak kembar banget memang, letak burung garudanya juga gak sama. Satu di pucuk, satu di tugunya.
Hahaha, maafkan aku yang telah membuatmu dirty, mz.
LikeLike
Katanya Riya bang kalo nyebutin nominalnya. Lha itu Ceban disebut, sama aja kali bang hihhihihihi.
Perjuangannya kerenn…
LikeLike
Maaf aku khilaf mz. Ampuni aku ya Tuhan.
Thanks sudah bacaaaa ~
LikeLike
Hahahahaha…. Sama-sama mas 😀
LikeLike
ARIEV, MANA FOTO KAMU MAKAN RUMAH SEMUTNYA? *proteskeras *padahalberhatilembut
LikeLike
GAK ADAAAA! ADANYA YANG KERAS-KERAS NIH! *padahal lagi lembut*
LikeLike
setau sya tugu kembar sabang merauke yg ϑi sabang dpn kantor walikota sabang..
LikeLike
Iyak! Makasih masukannya, nanti ke sana lagi ah!
LikeLike
Selalu tersenyum kalo baca postingan Mas Ariev yang ganteng…
LikeLike
Makasih teteh nu geulis.
Nah, senyum lagi dong!
LikeLike
Jadi sebuah tugu yang nampak tak menarik.itu kembaran tugu yang di Merauke ya Mas?
LikeLike
Ya kurang lebih seperti itu, Mb.
LikeLike
Cerita ini bikin sedih… Ikut ngelangut begitu nyadar kalo di Sabang ternyata melewatkan tugu kembar yang sebenarnya 😥
LikeLike
Lah, kelewatan juga tugunya dan ndak nyadar? 😦
LikeLike
Hahahaha ini apa-apaan. Ceban. Ganteng. Dasar kau tukang riya. \:p/
Wah, jadi kelewat banyak ya. yang di sabang salah tugu, dan kurang dapet sertifikat?
Balik lagi lah riiif!
LikeLike
Hahaha, riya enez ya?
Iya lah pasti balik brooo *makin riya*
Eh, elu di mana sih tinggalnya?
LikeLike
Jadi pengen kesabar setelah liat sunsetnya itu. keren banget ya mas.
btw itu rumah semut kok bisa tinggi banget gitu? merinding menggelinjang gimana gitu ya liatnya. ditungguu cerita kesabang selanjutnya.. dan nunggu foto tugu kembar yang tak menarik yang disabang. biar afdhol 😀
LikeLike
Iyaaa sunsetnya emang tsakep banget di sana, di garis batas paling barat Indonesia.
Hahaha, kamu ih lihat yang tinggi besar keras gitu menggelinjang ya 😀 Nanti nunggu aku ke Sabang lagi baru aku fotoin, hahaha.
LikeLike
jalan – jalan muluuk ;( mauuukkk!
LikeLike
Kamu makan muluuukkkkk :~
LikeLike
Wah tempatnya enak buat rute gowes 🙂
LikeLike
Iya, jalannya mulus banget kalau di Merauke sana. Enak lah gowes, bisa berpuluh-puluh kilometer.
LikeLike
1. aku jadi bingung, jadi sebenarnya tugunya kembar atau gimana sih? tolong gelaskan rudolfo.
atau mungkin aku harus ke dua tempat itu sendiri biar paham ya. hmmm
2. sepertinya mas arif harus banyak olahraga ya? *liat perut*
3. kui gak ono ganteng e buooss, -___________-“
LikeLike
1. Kalau bingung, coba baca lagi artikelnya, sampai hitsnya nembus sejuta, dan sembari membaca pergilah ke Sabang lalu Merauke, pasti nanti kamu akan tercerahkan, anakku.
2. Selama ini olahraganya jari mulu nih.
3. Jadi aku gak ganteng gitu, mz? 😦
LikeLike
kamu gantengan dikit kok mz sekarang :3
LikeLike
makaci :*
LikeLike
Wah serunya jelajah negeri ini… 😀
LikeLike
Iyaaa seru yah, dan ternyata luas Indonesia 😀
LikeLike
Iya kak. Saya sekarang malam lagi di Jayawijaya. Ternyata Indonesia sesuatu sekali 😀
LikeLike
Hahaha menghibur banget Mas bacanya. Jadi, yg di Sabang ga dipoto yo tugu kembarnya? Hahaha
LikeLike
Ahahaa thanks sudah terhibur. Yang di Sabang, motonya tugu yang 0 kilometer itu.
*menangis di dada Raul Lemos*
LikeLike
Maaf mas saya ngakak pas endingnya.. tapi makasih loh jadi nanyi kalo saya mau ke sabang dan merauke jadi tau tugunya yang mana 🙂
LikeLike
Hahahasialhahaha!
Semoga ketemu ya tugu yang benerannya, kalau ke sana!
LikeLike
Terakhir saya kesan Tugunya lagi diperbaiki, semoga makin banyak orang yang ke sabang dan membuat para pedagang makin sejahtera.
enjoybackpacker.blogspot.com
LikeLike
Iya, waktu itu juga belum jadi renovasinya, hehe. Semoga kondisinya makin keren sekarang.
LikeLike
Yuk mas, balik lagi ke Sabang Agustus besok… 😀
LikeLike
Hahaha, pergi gak yaaaa? 😛
LikeLike
tugu kembaran merauke disabang nya gak di kunjungi ya mas.. sebelum nol kilometer tugunya… dlu mungkin ketutup semak2. skarang sudah dibersihkan
http://apps.lexion.co.id/sitr/merauke/v.01/ab/index.php/potensi/view/4
LikeLike
Nah! Iya belum ketemu tugunya waktu itu, malah salah tugu nol kilometer hahaha. Bakal ke sana lagi buat nyari tugunya ah.
LikeLike
postingan nya keren.. cukup buat saya cekikikan di kantor dengan sudut mata elang teman sekantor hihi.
LikeLike
Ahahaha, thanks sudah baca! Semoga suka juga dengan postingan yang lain 😀
LikeLike
saya jadi kangen makan mie aceh deh heheh
LikeLike
Kalau itu mah di Benhil juga ada hahaha.
LikeLike
Selamat ya mas udah nyampe ujung ke ujung. Sekilas maasih keren Pos Perbatasan Indonesia – PNG dibanding Pos Perbatasan Indonesia – Malaysia yang di Temajuk. hehehe
LikeLike
Terima kasih mas! Wah aku belum pernah sampai Temajuk, kira-kira gimanakah kondisinya? Hehehe.
LikeLike
sunsetnya keren ditambah lagi artikelnya menarik, mantap
LikeLike
Terima kasih banyak 😀
LikeLike
Destinasi Ache luar biasa
LikeLike
iya betul, kedua destinasi tersebut memang luar biasa
LikeLike
Sangat Membantu Sekali !
Terima Kasih
LikeLike
sama samaaa, semoga bermanfaat ya!
LikeLike