Awan kelabu menggelayut di langit-langit Antwerp ketika kami melanjutkan perjalanan siang itu. Walaupun sudah di penghujung Februari yang berarti bahwa musim dingin akan segera berakhir, namun matahari sepertinya masih malu-malu menyapa. Suhu yang dingin –mungkin berkisar belasan derajat Celcius, membuat saya dan Neng tetap mengenakan jaket supaya tidak masuk angin dan biduran; sementara Mbak Fab yang sudah menjadi warga lokal sana, nampak biasa saja dengan stocking tipis yang dikenakannya.

Dari Meir, kami berbelok menyusuri gang demi gang di pusat kota Antwerp dengan berbagai macam toko di sisi kanan dan kirinya. Pada suatu titik, kami berhenti di belakang antrean panjang pada emperan sebuah toko bernama Goosens, yang ternyata menjual roti dan sejenisnya.

“Mau coba?” Mbak Feb menawarkan, sambil bercerita bahwa Goosens ini adalah toko roti yang cukup terkenal di Antwerp, sehingga seringkali dipenuhi pengunjung, walaupun saya tidak menemukan adanya abang Go-Jek yang ikut mengantre. Antrean panjang tersebut mungkin memang karena kualitas rotinya yang baik, bukan karena kasirnya cuma satu, seperti di BreadTalk.

“Nanti di Indonesia kita bikin Dapur Gladies seperti ini, ya Neng.”

Baca: Empat Jam Sightseeing di Antwerp (Bagian Pertama)

Menjelajah Gang-gang Kota Antwerp

Walaupun saya menyebutkannya sebagai gang, namun jangan kamu bayangkan kalau gang ini seperti yang kamu temui di  Mampang Prapatan atau Pecinan Glodok, karena di Antwerp gang tersebut sangat lebar –mungkin hingga lima meter, ter-paving dengan baik dan rapi –tidak berlubang seperti jalanan menuju Ujung Genteng dulu, dan tentu saja tidak ada pengendara motor yang melewati gang tersebut dengan zig-zag dan membunyikan klakson secara ugal-ugalan mirip voorijder pejabat yang meminta jalan.

Di Antwerp, gang seperti ini memang dikhususkan untuk pejalan kaki, juga untuk pesepeda, walaupun memang saya tidak melihat adanya jalur hijau khusus dengan obstacle berupa tiang listrik dan kontainer seperti di Jakarta.

Antwerp

Antrean Makaroni Ngehe?

Selain toko roti, ternyata gang-gang tersebut juga menjadi rumah untuk beberapa butik kelas dunia, bahkan toko kristal ternama –Swarovski juga memiliki gerainya di sini. Walaupun sedang berbulan madu, namun saya tidak mengajak Neng untuk masuk ke Swarovski, alasannya tentu saja adalah “Halah, yang begini di Indonesia juga ada.” walaupun tentu saja alasan sebenarnya adalah ketidakmampuan secara ekonomis.

Ya wajar saja, namanya juga baru menikah. Harta benda dan harga diri pun ikut ludes demi membiayai acara (dan ‘pencapaian’) paling prestisius menurut Warga Negara Indonesia itu.

Saat sedang bengong di depan sebuah toko, sepasang pemudi yang sepertinya baru berumur 20-an awal datang menghampiri Neng. Salah satu pemudi berwajah kearaban yang mengenakan kerudung menyapanya dengan “Assalamualaikum” (tanpa panggilan Bunda di belakangnya) yang kami balas dengan “Waalaikumsalam ya ukhti.”.

Sepasang pemudi yang awalnya diduga sebagai mbak-mbak kuliahan yang tertarik dengan turis berkulit sawo matang seperti saya, ternyata adalah peminta donasi sosial dengan gimmick menjajakan cookies buatan sendiri. “Wah, ini sih seperti mbak-mbak UNICEF di Senayan City, yang suka mengaku sebagai adik saya.” Untung saja cakep.

Pada kejauhan, saya melihat mobil-mobil dari berbagai negara –yang ditandai dengan perbedaan kode di plat nomornya, melaju di jalanan Antwerp. Melihat saya yang kagum, Mbak Fab menjelaskan bahwa Antwerp memang sering menjadi tujuan wisata penduduk negara sekitar, dan sebagai pemegang paspor Schengen, mereka bebas keluar masuk antar negara tanpa menjumpai kendala yang berarti.

Coba di Indonesia, mau naik mobil ke negara tetangga, Australia saja tidak bisa.

Kayang di Depan Cathedral of Our Lady

“Memangnya mau ke mana saja rute bulan madunya?” Tanya Mbak Fab yang mengetahui bahwa perjalanan kami ke Eropa adalah untuk berbulan madu secara halal, bukan untuk melarikan diri dari kejaran KPK. Dua malam sebelumnya, kami baru saja mendarat di Belanda, dan sempat menikmati wisata malam di Amsterdam, sementara siang ini kami sudah tiba di Antwerp, Belgia.

“Nanti sore, kami langsung ke Paris.” Saya bercerita sambil membayangkan bahwa Paris –ibukota Perancis just in case kalian belum tahu, adalah tempat yang romantis, padahal ya begitulah Paris ternyata. “Habis itu kami ke baru ke Italia, untuk ke Pisa, VeneziaSan Marino dan road trip menuju Roma, sebelum pulang ke Indonesia lima malam kemudian.”

“Wah, lumayan padat juga ya jadwalnya.” Komentar Mbak Fab setelah mendengar rencana perjalanan kami. “Sayang ya, cuma sempat sebentar di Belgia.”

“Iya, kami hanya punya waktu sekitar empat jam untuk sightseeing di Antwerp.”

“Kalian gak ada rencana ke Cinque Terre?” Saya menggeleng dan berkata tidak seperti halnya Ibas di iklan anti korupsi Partai Demokrat, karena memang jadwal kami sudah terlalu padat, dan sepertinya agak mustahil untuk memasukkan Cinque Terre ke dalam itinerary. “Wah, sayang banget, padahal sudah dekat kalau dari Pisa.”

“Emang kita gak ke sana, ya?” Neng bertanya kepada saya.

Umm, engga.” Saya merasa sedikit bersalah, sementara Mbak Fab terus bercerita tentang kecantikan Cinque Terre –dan perjalanan yang masih masuk akal apabila dilakukan dari Pisa, walaupun hanya one day trip. Saat itu, Neng terus merajuk kepada saya, sementara Mbak Fab terus meracun kepada kami. Ketika seorang wanita sudah meminta dengan wajah yang memelas ditambah dengan puppy eyes, maka tidak ada pilihan lain, kecuali berkata…

“Ya, nanti coba diusahakan ya.”

Onze Lieve Vrouwekathedraal

Raffi Ahmad dan Ayu Ting Ting, eh, Nagita Slavina.

Di depan Cathedral of Our Lady (yang dalam bahasa setempat disebut sebagai Onze Lieve Vrouwekathedraal), yang menjadi lambang kota Antwerp, saya berjanji dalam hati akan mengajak Neng ke Cinque Terre, sebuah janji yang saya berharap semoga dapat ditepati seperti halnya janji Oke-Oce dan DP 0%.

Seperti halnya kunjungan saya ke negara-negara lain, saya juga menyempatkan diri untuk kayang di depan katedral rancangan arsitek Jan and Pieter Appelmans yang dibangun pada 1352 dan selesai pada 1521 ini, sebelum berpisah dengan Mbak Fab yang akan berangkat arisan bersama teman-teman gaulnya sore itu.

“Nanti habis ini Yvan yang akan menemani kalian.” Pungkasnya. “Kalau sempat, nanti aku menyusul.”

Membeli Beberapa Suvenir khas Antwerp

Yvan (dibaca aivan, bukan yevan), adalah seorang bule lokal yang merupakan suami dari Mbak Fabiola. Mereka menikah pada 8 Desember 2007 dengan pernikahan yang sederhana, khusus untuk keluarga dan teman dekat, nan elegan di Bali, dan bersumpah setia untuk menjadi “Partner in Adventure” sejak saat itu. Saat ini, mereka sudah mengunjungi 78 negara bersama, lebih banyak daripada pasangan Andika Surachman dan Annisa Hasibuan yang kini menjadi partner in crime, literally.

“So, sekarang, where do you want to go?” Tanya Yvan, yang hanya mengerti sedikit bahasa Indonesia, dengan logat Rudy Wowor-nya. Saya yang merupakan orang Indonesia asli, tentu saja ingin mengunjungi tempat favorit turis Indonesia ketika berlibur.

“Do you know souvenir shops around here?” Ya kami ingin membeli oleh-oleh, supaya perjalanan kali ini tidak menjadi aib bagi keluarga dan teman-teman. Kami tidak ingin bahwa kami dikenang dengan kalimat ‘Jalan-jalan terus, tapi gak pernah beli oleh-oleh’. Sedih tauk!

“Yes, of course, it’s nearby Grote Markt.”

Antwerp Souvenir Shop

Toko oleh-oleh yang dimaksud Yvan, hanya berjarak sekitar lima menit berjalan kaki dari katedral, yang sudah merupakan langganannya. Pemiliknya adalah seorang pria yang saya taksir berumur 50-an, yang sepertinya sudah menikmati masa pensiunnya dengan berjualan suvenir. Entah betul-betul sudah pensiun, atau memang sudah bercita-cita menjadi penjual suvenir dari kecil.

Sebuah percakapan imajiner tersaji di imajinasi saya, ketika si pria masih duduk di bangku SD dan gurunya bertanya.

“Rudy, mau jadi apa kamu ketika besar nanti?”

“Jadi penjual suvenir, Bu!”

“Loh, kok gitu? Gak mau jadi presiden saja seperti Agus?”

“Enggak Bu, saya mau jualan suvenir saja biar dibeli orang Indonesia.”

Pria tersebut menyebutkan, dengan bahasa Inggrisnya yang patah-patah, bahwa ada banyak orang Indonesia yang juga singgah di tokonya, guna membeli oleh-oleh, seperti kami. Untungnya, saat itu kami jalan bersama Yvan, sehingga kami bisa mendapatkan diskon atas suvenir yang kami beli. Lumayan, 1-2 Euro kan bisa untuk jajan Makaroni Ngehe.

Siang itu, kami keluar dari toko setelah membeli beberapa buah magnet kulkas berbentuk tutup botol, yang bertuliskan Antwerp dengan latar belakang Grote Markt, sebuah tempat yang akan kami kunjungi selanjutnya. Sebuah tempat yang menjadi rumah dari Brabo Fountain, patung yang bercerita tentang asal-usul kota Antwerp.

“Well, do you want to know about the history of Antwerp?” Saya mengangguk, sambil menatap keanggunan kota Antwerp, yang merupakan salah satu kota tercantik yang pernah saya kunjungi, selain Edinburgh.

Bersambung…