
Mungkin kamu bertanya, “Perasaan tahun 2020 sudah lewat berbulan-bulan, tapi mengapa artikel ini masih berjudul Kaleidoskop 2020?”. Sebuah pertanyaan yang sebenarnya wajar ditanyakan kepada saya yang vakum menulis panjang selama beberapa saat, sebuah pertanyaan yang juga mungkin bisa saya tanyakan kepada diri sendiri, kepada komitmen yang disepakati di awal membangun blog perjalanan ini. Dari yang awalnya menulis minimal seminggu sekali, menjadi setidaknya sebulan sekali, hingga saat ini menjadi sempat menulis saja sudah alhamdulillah.
Bukan, bukan karena tidak bisa move on dari 2020. Jawabannya, tentu saja adalah kesibukan, klise memang, tapi memang begitu adanya. Beberapa jenis pekerjaan sedang saya lakukan bersama, baik pekerjaan kantor, urusan bisnis, hingga serba-serbi hal rumah tangga yang menyita banyak waktu. Apapun alasannya, semoga dapat dimaafkan, karena sejatinya bangsa kita adalah bangsa yang pemaaf, kecuali yang tidak.
So, minal aidin wal faidzin, mohon maaf lahir batin, ygy!

Pada akhir 2019, saya sempat memprediksikan bahwa 2020 akan menjadi tahun yang menyenangkan, karena secara perhitungan finansial tahun tersebut akan menjadi tahun ‘balik modal’ bagi Whatravel yang dimulai tahun 2017, namun ternyata pandemi covid berkata lain. Bangsat memang, gara gara covid setitik, rusaklah bisnis pariwisata sedunia.
Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, di mana saya bisa pergi ke luar negeri beberapa kali dalam satu tahun, pada tahun 2020 ini saya hanya sempat bepergian jauh sebanyak satu kali, tepat sebelum pandemi merebak.
Dan inilah dia catatan kaleidoskop saya sepanjang tahun 2020 yang saya sebut sebagai, well, hello sh*tty year!
Januari: Tiba-tiba Banjir Bintaro
Baru berjalan beberapa jam, tahun ini sudah menunjukkan ‘musibah’-nya, dengan mendatangkan banjir di Bintaro, tempat saya tinggal selama tiga tahun berakhir. Mengontrak rumah di permukiman yang lumayan elit, menurut saya, ternyata tidak menjamin bebas banjir. Hujan yang turun dari semalam, membuat danau tempat penampungan air di lingkungan kami meluap, dan karena waktunya yang cukup cepat, petugas tidak sempat membuka tanggul yang dapat mendistribusikan airnya melalui pipa-pipa ke sungai-sungai kecilnya.
Akhirnya, voila, banjir Bintaro! Welcome to the sh*tty year!

Setelah air mengering, saya mulai memikirkan hal-hal baik yang dapat dilakukan untuk tahun 2020. Untungnya banjir tidak sampai masuk ke dalam rumah kontrakan yang kami tempati. Saat itu saya masih tidak tahu apa saja yang akan melanda di tahun 2020 ini. Saya menyiapkan rencana-rencana perjalanan di Whatravel seperti sebelumnya, juga menjajaki kemungkinan kolaborasi dengan teman-teman keren seperti berikut ini.
“Pokoknya kita kolaborasi ya, bikin open trip bersama!”
“RCTI!”
Sebuah akhir yang cukup mulus untuk bulan Januari, yang saya tutup dengan menyantap seporsi tomahawk steak di Steak Industry Bintaro, warung steak langganan yang menyajikan steak nikmat dengan harga bersahabat favorit saya. So, 2020, bring them on!
Februari: Trip Luar Negeri Pertama dan Terakhir
Masih tak tahu apa yang akan menanti di 2020, saya membuka bulan penuh cinta ini dengan mengunjungi Jogja bersama keluarga dan membuat rangkaian video kulineran di Jogja, masih dalam rangkaian Datang Senang Pulang Kenyang Video Project tentunya. Sebuah proyek dokumentasi pribadi yang bertujuan untuk melestarikan kuliner legendaris tanah air.
Bersama Rafly dan Ardian, saya mengelilingi Jogja selama tiga hari dan menikmati beragam sajian kuliner di Jogja.
Bulan ini, berita mengenai virus corona yang melanda dunia sudah mulai merebak di berbagai kanal berita, yang mengakibatkan beberapa proyek besar di Whatravel pun dibatalkan. Ratusan peserta yang sejatinya akan mengikuti perjalanan luar negeri, baik open trip maupun corporate trip dari Whatravel pun tidak jadi berangkat demi keamanan dan keselamatan bersama.
Beruntungnya, sebelum corona datang ke Indonesia, saya sempat terbang ke luar negeri untuk membawa dua orang teman berjalan-jalan mengikuti paket private trip Whatravel ke Spanyol dan Portugal, termasuk menyantap salah satu steak terenak di Eropa yang masuk ke dalam Top 10 Best Steak in Europe. Blessing in disguise.
Maret: Hello Sh*tty Corona!
Kami mendarat di bandara Soekarno-Hatta dengan perasaan agak cemas, karena pemberitaan mengenai menyebarnya virus corona sudah makin meluas di Indonesia, walaupun belum diumumkan secara resmi akan masuknya virus tersebut. Belasan missed calls masuk ke handphone ketika saya transit di Turki, yang ternyata dari orang kantor, mengirimkan pemberitahuan akan bahaya virus corona.
“Kamu gak apa apa?” Tanya seorang kawan, sedikit gelisah. “Kan sudah mulai lockdown di luar negeri.”
“Aman, kok, belum ada info apa-apa.” Saya menjawab, sembari menyiapkan paspor di gerbang imigrasi. “Di Eropa belum pada pakai masker pula.”
Biasanya, kalau di luar negeri, apalagi Eropa belum ada kebijakan apa-apa terkait wabah penyakit, maka apalagi di Indonesia. Karena belum ada kebijakan resmi terkait corona, saat itu, saya masih sempat membawa rombongan Whatravel dalam trip Bali Indigo bersama Billy Christian dan Om Hao.

Sekembalinya dari Bali, saya masih sempat mengisi podcast untuk salah satu perusahaan perjalanan Indonesia, yang berwarna oranye –bukan, bukan Persija Jakarta, bercerita mengenai perjalanan saya ke Bali dalam trip horor mengunjungi tempat-tempat tak biasa kemarin. Setelahnya, baru diumumkan adanya kasus corona pertama di Indonesia. Dari Depok.
Respect to Depok, in a bad way.

Pada bulan yang cukup padat ini, saya juga sempat pulang kampung ke Ungaran, raincheck, melihat situasi apa yang terjadi di sana, dan tak disangka, itu menjadi perjalanan udara saya terakhir di tahun itu dan juga di tahun berikutnya. Karena setelahnya, pemerintah mengumumkan situasi wabah corona ini menjadi pandemi.
Dari yang awalnya bisa bebas ke mana-mana, bisa bekerja dari kantor dan dari kafe, menjadi Work from Home. Hello Macaulay Culkin, I feel you now.
April: Work from Home
Sh*t.
What should I do now? Bingung, pasti. Saya adalah seorang pekerja kantoran yang sudah belasan tahun bekerja dan mengabdi dengan rutin masuk kantor setiap Senin-Jumat, bekerja paruh waktu di kafe pada siang hari dan akhir pekan, juga bertemu klien dan relasi pada malam hari. Mendadak diminta untuk di rumah saja, bagaimana caranya?
Caranya adalah dengan Work from Home, mengandalkan internet.

Karena pandemi, kebiasaan semua orang berubah, pekerja kantoran bekerja di rumah, pedagang offline (luring: luar jaringan) berubah menjadi online (daring: dalam jaringan), walaupun ada pihak-pihak yang kurang beruntung karena pekerjaannya tidak bisa dilakukan secara online. Salah satunya adalah Whatravel, yang kegiatan utamanya adalah mengumpulkan orang untuk senang liburan bersama.
Lantas bagaimana?
Saya yang saat itu berpikir bahwa Whatravel tidak bisa membawa orang untuk melihat dunia, membuat salah satu terobosan dengan membuat program bernama #KabarDuniaWhatravel, yang bertujuan membawa dunia mendekat ke Indonesia “Bring The World Closer to You” adalah tagline kami saat itu.

Saya mengumpulkan teman-teman warga Indonesia di luar negeri, mengajak mereka berbagi mengenai kondisi di negaranya masing-masing. Mulai dari mahasiswa, pekerja, hingga ibu rumah tangga saya ajak untuk berbagi melalui Instagram Live karena saya ingin menunjukkan kepada teman-teman di Indonesia bahwa pandemi ini tidak hanya dirasakan di Indonesia, melainkan juga melanda seluruh dunia.
Alhamdulillah, saya juga jadi belajar skill baru yaitu menjadi host acara daring melalui Instagram. Selama kurang lebih tiga bulan, saya berhasil mengajak teman-teman dari lima benua dan puluhan negara untuk berbagi secara daring, di rumah saja.
Mei: Lebaran di Rumah Saja
Berada di rumah saja, ternyata membuat pikiran butek. Dengan *say the magic words* protokol kesehatan yang ketat, saya mulai berani keluar rumah, sesekali, yang dekat-dekat, untuk berolahraga sejenak. Tidak pakai nongkrong, tidak pakai ngopi-ngopi cantik, tidak pakai staycation dan menonton netflix bersama ayang.
Setelah lima tahun lebih tidak berlari, saya memulai latihan lari lagi. Sungguh berasa berat, lari tiga kilometer dengan pace tujuh-delapan rasanya sungguh engap seperti berdesak-desakan di Padang Mahsyar, dengan jarak matahari hanya sejauh satu mil, berkeringat deras, hingga keringat tersebut menenggelamkan sesuai amalan dosa-dosa kita. (Hadis sahih. Diriwayatkan oleh Muslim, no. 2864).
Selain berlari, saya juga membeli sebuah sepeda pada bulan ini, lumayan dapat harga diskon dari teman yang berencana meng-upgrade sepedanya.
Makin rutin berolahraga, saya merasakan bahwa tubuh saya mulai mengurus kembali. Secara fisik, saya merasa inilah kondisi terbaik saya dalam sepuluh tahun terakhir. Walaupuns secara pikiran juga keuangan, YA TENTU TIDAK HAHAHA.
Menjalankan anjuran pemerintah, saya tidak mudik, atau pulang kampung pada tahun ini, melainkan mendatangkan Mama untuk berlebaran di Bintaro. Inilah kali pertama kami merayakan lebaran di rumah saja, tidak ke masjid atau tanah lapang untuk salat berjamaah, tidak pula ke tetangga untuk silaturahmi dan bersalam-salaman.

Ya ada untungnya juga salat di rumah, karena jadi tidak mendengarkan pidato sambutan bupati sebelum memulai salat ied seperti biasanya. Aneh-aneh saja, agama kok dicampur dengan politik.
Juni: Work from Office
Selain rutin berolahraga, ada dua hal baru yang saya lakukan di tahun ini, yaitu belajar menggunakan skincare yang sampai TUJUH TAHAP, juga mengenal sebuah istilah yang dinamakan dengan webinar, web seminar, atau mengikuti sebuah acara secara online bermodalkan internet dan teknologi, yang biasanya menggunakan aplikasi Zoom.
Iya, di-zoom biar gede.
Pada bulan ini saya mulai memberanikan diri untuk bertemu orang-orang, yang tentunya tetap dengan *say the magic words* protokol kesehatan yang ketat, termasuk mengumpulkan teman-teman di Whatravel yang tersisa, untuk Work from Office sesekali.

Di Whatravel, saya membagi timeline bisnis ketika pandemi ini menjadi empat fase, yaitu:
- Going Home. Fase di mana kita semua berada di rumah saja, termasuk untuk karyawan juga konsumen. Fase berpikir dan menerima apa yang sedang terjadi saat ini.
- Going Online. Fase di mana kita mulai beraktivitas secara terbatas, di rumah saja, menggunakan internet. Pada fase ini, produk jualan berubah dari luring menjadi daring.
- Going Local. Fase di mana kita mulai nyaman untuk ke luar rumah, mulai dari berolahraga di sekitar rumah, hingga berwisata ke dekat-dekat rumah sembari menunggu saatnya tiba, yaitu ketika border antar negara sudah mulai dibuka, dan kita dapat bebas berwisata ke mana saja seperti dahulu. Pada fase ini, kami dapat berjualan paket-paket wisata lokal, yang dekat dengan rumah.
- Going Further. Fase menuju normal, di mana semua negara perlahan membuka batas-batas wilayahnya untuk siapa saja, dengan persyaratan tertentu yang ditentukan tiap-tiap negara. Fase ini adalah fase di mana kami mulai dapat menjual paket-paket perjalanan seperti dahulu kala, semoga.
Juli: Mulai Nyaman Keluar di Luar
Dari yang awalnya cuma berolahraga di sekitar rumah, kini saya mulai nyaman untuk keluar di luar rumah, termasuk salah satunya adalah menghadiri undangan sebagai pembicara Kawal Covid, walaupun tidak berduet dengan dr. Reisa Broto Asmoro pada acara tersebut. Saat ini, Indonesia sudah memasuki fase new normal, yaitu terdapat pembatasan kegiatan sosial yang tentu saja tetap dilakukan dengan *say the magic words* protokol kesehatan yang ketat.
Apabila ditanya, apa kata-kata mutiara yang berlaku ketika pandemi, saya biasanya menjawab, “Sehat dulu, jalan-jalan kemudian”.

Pada bulan ini, saya juga memulai lagi aktivitas jalan-jalan saya. Walaupun tidak naik pesawat, walaupun tidak ke luar negeri, namun saya tetap menyukai aktivitas jalan-jalan sambil kulineran ini. Road trip dengan mobil pribadi bersama keluarga dan teman-teman dekat yang histori perjalanan dan kesehatannya sudah diketahui, menurut saya adalah salah satu solusi dan alternatif wisata yang dapat dilakukan kala pandemi.
Pada bulan tersebut, saya menyempatkan diri untuk berwisata mulai dari Purwakarta, Bogor, Bandung, hingga Garut. Ya walaupun belum sempat meng-edit footage video yang diambil sepanjang perjalanan. Mohon dimaafkan kembali.

Selain road trip, hal lain yang dapat dijadikan solusi dan alternatif wisata di kala pandemi adalah staycation, atau menginap di hotel/resort yang sudah tersertifikasi dengan baik melalui sertifikasi CHSE yang meliputi Cleanliness (kebersihan), Health (kesehatan), Safety (keamanan), dan Environment Sustainability (kelestarian lingkungan) yang diberikan oleh pemerintah. Hal ini penting diperhatikan terutama di masa-masa pandemi ini, supaya kita semua dapat mengurangi dampak terpapar virus corona.
Salah satu yang pernah saya cicipi fasilitas staycation-nya adalah GH Universal Hotel di Bandung.
Agustus: Belajar Trail Run
Selain masih tetap sepedaan dan lari di sekitar Bintaro, ada olahraga lain yang saya pelajari di bulan ini, sebuah olahraga yang menjadi salah satu olahraga yang saya sukai hingga saat ini, yang memadukan kekuatan dengkul dan ketahanan paru-paru sembari menikmati keindahan alam, sebuah olahraga yang bernama Trail Run.
Rute awal yang saya coba saat itu adalah Rute Cisauk, yang dilakukan untuk memeringati kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-75, yang berarti saya harus menyelesaikan rute lari sejauh 17 kilometer (karena pasti tidak kuat apabila harus memilih antara 45 kilometer, 75 kilometer, atau 1945 kilometer yang lebih panjang daripada Jalur Anyer-Panarukan yang dibangun oleh Daendels).
Sebuah pengalaman trail run awal, yang membuat saya kelelahan dahsyat juga cidera engkel dan lutut.

Menurut saya, ada beberapa hal yang membuat saya mengalami cidera saat itu, di antaranya adalah:
- Kurang berlatih, apalagi untuk trek panjang di atas 10 kilometer, yang bukan jalanan aspal dengan elevasi naik turun.
- Salah memakai sepatu. Yang saya gunakan adalah sepatu lari road, bukan trail, yang mengakibatkan saya menjadi sering terpeleset, yang sayangnya bukan ke pelukanmu.
- Kurang membawa perbekalan. Ternyata trail run membutuhkan konsumsi energi lebih banyak daripada road run, DAN TIDAK ADA WARUNG DI SEKITAR TREK! Gak mungkin kan, kita meminta jatah bekal petani yang ditemui di perjalanan, bisa-bisa dijawab “Wah, saya buat makan saja sulit, Mas.”
- Fisik yang belum terbentuk. Trail run membutuhkan fisik yang lebih terasah dibanding lari di jalan dengan trek yang landai. Lutut yang kuat, perut yang lebih ramping, napas yang lebih panjang, dibutuhkan di sini.
September: Introducing Whatravel Trekking Club
Karena mulai nyaman untuk beraktivitas sedikit agak jauh di luar rumah, saya juga mengajak tim di Whatravel untuk ikut serta beraktivitas di luar ruangan. Dari rencana awal outing di Singapura, kami berubah rencana menjadi trekking di Sentul. Ya beda-beda tipis lah, walaupun tipisnya ini seperti tipisnya kekayaan Pablo Escobar.
Sentul kami pilih, karena menyajikan banyak sekali objek wisata alam super kece yang mungkin sebelumnya kamu tidak sadar kalau pemandangan seperti itu ada di sekitar Jakarta. Berwisata di alam terbuka di bawah sinar matahari yang cukup dan sirkulasi udara yang baik, menurut beberapa penelitian, dapat mengurangi risiko terpapar corona, apabila dibandingkan di dalam ruangan kantor yang ber-AC dan tertutup dengan ventilasi buruk ataupun di dalam metromini yang penuh sesak dengan manusia. Kemudian, banyak objek wisata alam di Sentul yang dapat dicapai dengan aktivitas trekking sebelumnya, sehingga memungkinkan pengunjung untuk dapat berolahraga sambil berwisata, atau istilah kerennya Sport Tourism.
Dari yang awalnya outing kantor, aktivitas ini berkembang menjadi lini bisnis baru dengan hadirnya Whatravel Trekking Club sebagai penyedia jasa pemandu perjalanan berupa trekking di Sentul.
Dari internal, saya mengembangkan bisnis ini dengan mengajak keluarga dan lingkar pertemanan terdekat dahulu, sebelum kemudian mengadakan open trip untuk menguji produknya. Setelah dirasa berhasil, saya mengembangkannya lagi menjadi private trip seperti yang kamu lihat sekarang.
Alhamdulillah, produk trekking ini berhasil menjadi produk hero sekaligus penyambung nyawa kami selama pandemi, walaupun dari omzet milyaran kemudian harus mengais recehan. Hingga artikel ini ditulis, sudah lebih dari seribu orang trekking bersama kami.
Oktober: TREKKING TEROSSSS!
Ada yang bilang bahwa orang yang trekking terus, atau sering ke luar rumah tepatnya, adalah orang-orang yang tidak ada masalah di rumah, atau justru kebanyakan masalah di rumah. Apakah benar demikian? Ya ada benarnya juga, kalau melihat pengalaman pribadi saya di rumah, yang tidak akan saya ceritakan di sini.
Yang jelas, dalam dua-tiga bulan ini, saya sedang banyak keluar rumah untuk membuka rute trekking baru di Whatravel Trekking Club. Mungkin kamu bertanya, mengapa harus saya, yang lain ke mana?
Jawabannya, yang lain mungkin sedang tidak ada masalah atau justru kebanyakan masalah di rumah, juga belum mempunyai fisik yang mumpuni akibat kebanyakan di rumah saja dan kurang olahraga, maupun ‘olahraga’.
Dari Leuwi Asih, ke Leuwi Hejo, sebelum ke Curug Cisarua, Curug Kalimata, atau Curug Ciburial. Dari main air, bertambah ke menaklukkan ketinggian di Puncak Kuta pada ketinggian 1.050 Meter Di atas Permukaan Laut, yang merupakan titik tertinggi di Sentul. Dari yang tidak terbiasa menempa fisik, menjadi lama-lama terbiasa menjadi masokis.

Menurut saya hidup akan semakin menyenangkan kalau kita dapat mengatasi sesuatu, dan dapat menyelesaikan tantangan yang lebih berat daripada sebelumnya. Sebuah pendapat yang mungkin juga dirasakan banyak konsumen Whatravel, yang senantiasa bertanya “Kalau habis dari sini, ke mana lagi enaknya?” “Kalau sudah selesai rute pemula, ada rute yang lebih berat lagi gak?”.
Yes, kita semua suka naik kelas, dan oleh karena itu, saya menyajikan paket trekking Whatravel dalam berbagai kategori, mulai dari pemula, menengah, menantang, hingga ultimate.
Pada bulan ini juga, kami di Whatravel mengadakan kolaborasi dengan Billy Christian & Friends untuk membuat acara daring spesial halloween, di mana selama sebulan penuh kami mengadakan webinar bertemakan supranatural, yang alhamdulillah berhasil mencatat rekor omzet tertinggi selama pandemi dengan mengukir pendapatan sebanyak tiga digit.
November: New Opportunity
Bulan ini saya menjual sepeda yang saya beli beberapa bulan sebelumnya, beberapa alasannya adalah karena saya sudah tidak kuat mengikuti gaya hidup para pesepeda di Bintaro, malu difoto kalau sepeda saya “biasa-biasa saja”, dan ada yang mau membayar tinggi untuk sepeda saya. Dari yang beli seharga tujuh juta Rupiah, sepeda tersebut laku terjual di angka dua belas juta Rupiah.
Sungguh, saat itu saya merasa bahwa sepeda adalah salah satu aset investasi yang melebihi investasi NFT. Pffttt.
Selain tetap rajin ke Sentul, bulan ini saya juga main-main ke Balaraja dan Cisoka, yang dapat dibilang adalah daerah (((hidden gem))) yang terletak tak jauh dari Jakarta. Di sana ada Talaga Biru, juga beberapa pembangunan perumahan kece yang menyasar (((kaum millennial))) seperti misalnya DUO by Talaga Bestari ini.
Salah satu hal yang menggembirakan dan membuat saya tersanjung pada bulan ini adalah adanya ajakan untuk menjadi salah satu dari beberapa talent yang diajak Kementerian Pariwisata Republik Indonesia untuk berkolaborasi dalam membuat video promosi pariwisata Wonderful Indonesia #DiIndonesiaAja yang bertujuan untuk mengajak orang-orang berwisata di Indonesia saja, tak perlu jauh-jauh ke luar negeri karena Indonesia memiliki banyak sekali atraksi wisata yang dapat dieksplorasi.
Sebuah ajakan yang langsung saya iyakan, walaupun ketika videonya jadi, saya hanya muncul sekelebat saja, seperti ketika menjadi cameo dalam Film Trinity Traveler: Nekad Traveler The Movie.
Desember: Alhamdulillah, Survived?
Dari tiga-empat bulan memulai Whatravel Trekking Club, selain berhasil menambahkan rute-rute baru, kami juga berhasil menambahkan servis-servis baru seperti makan siang, jasa fotografer, hingga jemputan ke rumah. Selain itu, saya juga mendapatkan beberapa klien-klien baru untuk di-maintain supaya tetap setia dengan Whatravel, terutama ketika kami sudah kembali ke bisnis normal lagi.
Ya siapa tahu kan, berawal dari trekking bareng di Sentul, nantinya bisa jalan-jalan bareng di Seoul, atau malah bisa hiking bareng mendaki Puncak Everest di Nepal? We never know.
Yes, in business we never know what happens next, because all we can do is trial and error.
We never know what we will get, but we always know that we can try. Again and again.
Unlike business, saya tidak punya full power untuk mengendalikan corona yang masih belum ketahuan akan sampai kapan berlangsung di Indonesia. Berbeda dengan Tersanjung yang pasti jelas akan berakhir setelah beberapa season, pandemi corona ini belum terlihat titik terangnya di penghujung 2020. Yang bisa saya lakukan hanyalah berusaha sekuat diri untuk menjaga diri supaya selalu sehat, dan senantiasa menerapkan *say the magic words once again* protokol kesehatan yang ketat untuk sementara waktu.
Alhamdulillah, saya berhasil survive di tahun 2020, setelah sempat menutup tahun dengan menjadi salah satu talent dari OCBC NISP, saya berharap supaya tahun 2021 dapat berjalan lebih baik lagi dibanding this sh*tty year.
Because we never know, right?
Tagged: Kaleidoskop