“Tahu sih tahu, cuma saya belum pernah ke sana.” Hendrik menjawab pertanyaan saya mengenai Curug Kalimata, sebuah curug, atau air terjun dalam bahasa Sunda, yang saya temukan berdasarkan penelusuran di internet. Konon dikatakan, lokasinya tak jauh dari Curug Leuwi Asih, Sentul, yang merupakan daerah tempat tinggal Hendrik, si pemandu trekking, atau biasa kami sebut di Whatravel Trekking Club sebagai local trekking buddy. “Eh tapi, kayaknya saya pernah ke sana ding, tapi ya dulu, sekarang sudah lupa tepatnya.”.

Seorang teman yang lain, Nenny, sempat mengunggah foto-foto ketika dia berkunjung ke Curug Kalimata di Instagram, namun ketika saya bertanya tentang bagaimana cara menuju curug tersebut, jawabannya hanya “Entah, kemarin ikut teman yang ke sana, jadi gak tahu lewat mana rutenya.”. Sebuah jawaban yang makin membuat curug tersebut terasa makin misterius, senada dengan foto-foto sebuah curug tinggi menjulang dengan bebatuan besar dan pepohonan rimbun di kanan-kiri curug yang diunggah oleh Nenny.

Pada foto tersebut, tidak tampak adanya keramaian lain selain Nenny dan grup trekking-nya. Tapi entah juga kalau banyak yang tak kasat mata.

Curug Kalimata

Ide tentang mengunjungi Curug Kalimata kembali terpikir lagi setelah saya melewati Bukit Paniisan beberapa waktu kemarin. Pada penanda arah yang terpasang di seberang warung Haji Jajang, terdapat sebuah panah yang menunjukkan lokasi Curug Kalimata. “Itu tinggal turun saja dari sini.” Ucap Pak Haji, “Paling setengah jam.”.

Beberapa bulan sebelumnya, tak ada penanda arah tersebut, hanya ada sebuah peta The Paniisan Trail yang sama sekali tidak menunjukkan adanya lokasi dari Curug Kalimata. Sayangnya, saat itu saya sudah memiliki rencana untuk trekking ke jalur lain, sehingga kata-kata mutiara “paling setengah jam” yang saya dapatkan, hanya saya anggap sebagai angin lalu.

Selain itu, sebagai seorang Aquarius, pantang hukumnya untuk merusak rencana yang sudah ditentukan sebelumnya.


Satu minggu kemudian, saya kembali lagi ke daerah Leuwi Asih, kali ini bersama teman-teman Local Trekking Buddy dari Whatravel Trekking Club, dengan sebuah misi untuk menemukan kembali Curug Kalimata yang hilang. “Pokoknya harus ketemu ya!” Adalah brief awal yang saya sampaikan ke mereka, dengan harapan bahwa dengan ditemukannya curug ini maka kami di Whatravel dapat mempunyai tambahan rute trekking baru untuk ditawarkan kepada para pencandu petualangan.

Dengan didampingi Pak Danu dari Selaras Adventure, selaku partner bisnis dan juga rekan petualangan, kami memulai agenda pagi itu dengan … pemanasan, tentu saja. Sekaligus briefing dan penyegaran SOP yang diberikan kepada para local trekking buddy. Tujuannya supaya servis yang kami berikan dapat seragam, dan terdapat peningkatan serta perbaikan layanan yang dapat kami berikan di lapangan.

Dari meeting point, kami bergerak menuju starting point dengan sepeda motor milik para local trekking buddy, yang tidak terlalu jauh dari gerbang Leuwi Asih. Starting point kali ini, terletak di halaman rumah warga, dengan jalan setapak yang mengarah ke Bukit Paniisan di halaman belakang rumahnya. Jalan setapak menanjak yang setelah didaki selama lima menit membuat saya menyesal, KENAPA TADI GAK BAWA MOTOR SEKALIAN UNTUK NAIK KE SINI!

Tanjakan curam dengan pepohonan pinus di kanan dan kiri jalan, membuat saya bersenandung lagu Naik Naik ke Puncak Gunung di dalam hati sembari membatin ini benar-benar tinggi tinggi sekali atau tubuh om-om ini yang mulai lemah? Pada sekitar pepohonan pinus, banyak ditemukan beberapa tumbuhan lain seperti cengkeh, sereh, juga sesekali pandan. Melihatnya, saya jadi teringat pelajaran sejarah semasa SD di mana diceritakan banyak penduduk Indonesia yang dipaksa untuk bercocok tanam oleh penjajah.

“Ini sisa-sisa perkebunan palawija di zaman dulu.” Ukas, local trekking buddy yang lain bercerita. Palawija, yang kosakatanya diambil dari bahasa Sanskerta, secara harafiah dapat diartikan sebagai tanaman kedua, atau tanaman-tanaman yang ditanam di sekitar perkebunan utama. Karena dahulu biasanya tumbuhan ini ditanam di samping padi, maka istilah palawija kemudian berkembang sebagai hasil pertanian selain padi. Iya, padi yang tanpa Piyu dan Fadly.

Walaupun di sini ditemukan banyak tanaman kedua, akan tetapi saya tetap tidak mau menjadi yang kedua.

Satu jam, atau dua kilometer kemudian, kami tiba di Warung Kopi Haji Jajang pada Bukit Paniisan, untuk beristirahat dan menikmati kudapan ringan sebelum melanjutkan perjalanan lagi. Warung ini mem-branding dirinya sebagai tempat penitipan para pelari yang tidak kuat nanjak, bukan, ini bukan saya yang dimaksud. Karena saya saat itu adalah seorang trekker bukan pelari. Sebelum tiba di TKP, tim kami sempat menemui warga lokal yang sedang membawa dua karung nangka hasil kebunnya, dan alhamdulillah, kami kebagian sebutir besar nangka.

Seperti yang sudah dapat kamu tebak, pemilik warung ini adalah Haji Jajang, yang bukan bernama lengkap Jajang Miharjang, yang mengelola warung ini bersama dengan istrinya, yang bernama Bu Jajang, ya siapa lagi. Keramahan dan kesederhanaan mereka tetaplah sama seperti pertama kali saya mengunjungi warung ini di bulan Oktober 2020.

Ini adalah kali kesekian saya mampir ke warung yang terletak di ketinggian 846 di atas permukaan laut dengan pemandangan Gunung Salak dalam empat bulan terakhir ini, dari yang hanya sebuah warung kecil tanpa gorengan, kini warung ini telah berkembang menjadi sebuah warung dengan beberapa bangku dan meja yang dipasang di halaman warungnya. Gorengan, kalau beruntung maka kamu akan mendapatkannya di sini. Namun, yang membuat warung ini dikenal adalah bukan karena sajian gorengannya, melainkan karena sajian beraneka rebusan yang dapat kamu temukan secara musiman di sini, mulai dari pisang, ubi, hingga sukun pernah disajikan di sini. Untuk kali ini, ada sajian apa ya?

“Singkong rebus pakai sambal hijau, mau?” Sebuah tawaran unik yang didapat begitu saya dan Pak Danu duduk lesehan di atas sebuah dipan panjang pada sisi kiri warung. Pada sebuah piring kecil, diletakkan pula beberapa potong nangka yang kami dapat tadi, tentu masih segar karena baru saja dipetik di kebun. Nangka sih saya suka, namun singkong rebus dengan cocolan sambal cabai hijau, itu makanan jenis apa pula?

Tak disangka, makanan yang saya pikir aneh seperti pada awal mula menyantap Sate Padang tahun 2003 silam, ternyata begitu enaknya. Lembut dan manisnya singkong rebus, beradu dengan rasa pedas menggigit lidah dari tumbukan cabai hijau, yang masih berpadu dengan asamnya jeruk purut yang diperas hingga menggenangi sambal tersebut. Sajian makanan simpel yang membuat saya makan lagi dan lagi dan lagi. ANJIR, WHAT KIND OF SORCERY IS THIS HAJI JAJAAAANG?

Sebagai pelengkap, disajikan pula sebuah minuman fusion yang tak kalah nikmat dari mocktail kafe-kafe ternama di Jakarta, sebuah minuman yang bernama teh sereh panas, dengan potongan gula merah sebagai pelengkapnya. Minuman ini dijual seharga Rp5.000,- saja per gelasnya, karena belum masuk restoran, apabila sudah masuk, maka dapat dijual hingga 20x lipat dengan nama ‘Artisan Lemon Grass Tea with Traditional Brown Sugar by Chef Jajang’.

Setelah beristirahat untuk mengatur heart-rate dan mengembalikan stamina pria dewasa, kami menuruni bukit untuk kembali ke arah sebenarnya, yaitu menuju jalur Curug Kalimata, yang menjadi tujuan utama kami hari itu. 

Bukit Paniisan

Saya termasuk orang yang meremehkan perjalanan kali ini, karena menganggap bahwa jalur trek ke Curug Kalimata sudah rapi dan baik, karena sudah ada papan petunjuk ke curug tersebut. Karena meremehkan, saya pun berpakaian seperti trekker pemula, dengan mengenakan pakaian seadanya dan sepatu lari biasa, dengan membawa tas punggung yang ukurannya cukup besar, yaitu 30 liter, atau yang dimensinya setara dengan 1,5 x galon air mineral.

Namun ternyata saya salah, sama seperti kebanyakan pria di muka bumi, yang selalu salah. Rute ke Curug Kalimata via Bukit Paniisan sedikit banyak mengingatkan saya dengan rute menuju Curug Cibingbin, di mana kita harus menuruni bukit terjal dengan sudut kemiringan yang membuat saya banyak menyebut nama Allah. Tipe-tipe trek yang tidak cukup hanya mengenakan sepatu Asics Gel Lyte si sepatu lari kasual, namun perlu mengenakan sepatu Asics Gel Fujitrabuco yang merupakan sepatu trail.

Sedikit bedanya, apabila rute ke Curug Cibingbin dipenuhi dengan pemandangan perkebunan kopi warga lokal, maka pemandangan di sini dapat diibaratkan seperti Jurassic Park dengan pemandangan tumbuhan pakis raksasanya dan pepohonan hijau di pinggiran jurang pada sejauh mata memandang. Jurassic Park, jujur asyik, pak!

BRUG!

Saya kembali terjatuh untuk ke sekian kalinya, kali ini celana krem saya yang menjadi korban setelah kotor dengan tanah hitam gembur, sementara telapak tangan kiri saya lecet karena tergores tumbuhan berduri ketika terjatuh. Sial, ini akibat sepatu jalanan yang dipaksa untuk bekerja di pegunungan, yang membuat saya beberapa kali terpeleset ketika menuruni bukit.

Tapi tak mengapa, karena kalau tidak kotor, maka tidak belajar.

Trek menuju Curug Kalimata ini ternyata adalah trek yang masih cukup jarang dilewati umat manusia, yang ditandai dengan masih banyaknya semak belukar dan tumbuhan yang tumbuh berantakan sepanjang jalan sehingga tim kami perlu mengeluarkan sabit untuk merapikannya, juga beberapa kali ditemukannya jejak-jejak haram, milik babi hutan. Pada tengah perjalanan, terdapat sebuah pohon jambu biji yang ranum, pohon yang membuat beberapa local trekking buddy lapar mata dan tak segan untuk segera memanjat dan memakan buah-buahnya. Beberapa papan penanda arah curug sudah terpasang pada beberapa ruas trek, namun memang treknya sendiri yang belum rapi, yang membuat saya berpikir untuk membawa tim pangkas rambut Asgar untuk merapikannya nanti.

Setelah menuruni bukit yang licin, mendaki perkebunan lokal, memanjat pohon jambu, menyeberangi sungai kecil, melompati batu-batuan pada satu jam perjalanan, iya bukan setengah jam seperti kata-kata mutiara Haji Jajang, kami tiba pada sebuah persimpangan jalan, yang membagi jalur utama yang telah kami lewati menjadi dua buah jalan setapak kecil di pinggiran kebun kopi, atas dan bawah.

“Ini lewat atas atau lewat bawah, Kang?”

Ukas mengarahkan kami untuk menempuh jalan setapak yang berada di atas, karena menurut ingatan masa kecilnya, rute inilah yang benar untuk menuju Curug Kalimata yang hilang. Saya sebagai seorang pria, ya senang-senang saja kalau diminta di atas, walaupun kadang kalau capek ya lebih suka di bawah.

Jalan setapak ini membawa kami ke sebuah curug kecil pada sisi kanan jalan, dengan batu-batuan yang tersusun ibarat tangga ke curug yang berada di atasnya lagi. Suara aliran air semakin nyaring terdengar begitu kami melanjutkan perjalanan dengan meniti jalan setapak menuju curug yang di atasnya lagi, sebuah curug yang disebut sebagai Curug Kalimata.

Well, sebenarnya kalau gak mau melewati jalan setapak, kamu juga bisa kok memanjat batu-batuan dari curug bawah ke curug atas, namun pastikan safety first ya! Tetap hati-hati ketika melangkah, jangan sampai salah pilih pijakan, karena bukan dapat curug, kamu malah bisa kejlungup.

Sebuah parit lebar menyambut kami tepat beberapa meter sebelum curug, yang mana kami harus menyeberanginya dengan hati-hati, dengan cara berjalan sambil menempel pada tebing di sisi kiri kami. Sebenarnya terdapat sebuah jembatan yang menjadi penghubung antar tepian parit ini, namun melihat kondisinya yang rapuh seperti kondisi keuangan di tanggal tua, kami pun urung menggunakannya.

Setelah memanjat beberapa buah batu, akhirnya kami tiba di Curug Kalimata yang hilang.

“Curug ini sebenarnya seumuran dengan Leuwi Asih.” Rudhy, local trekking buddy yang lain mulai bercerita “Dulu dibukanya hampir bersamaan. Namun, mungkin karena aksesnya yang susah, maka curug ini menjadi ditinggalkan.”

Saya mengamati keadaan di sekitar, di sana terdapat bekas-bekas bangunan yang saya taksir sebagai bekas warung Indomie pada masa jaya curug ini, namun sekarang hanya tinggal sisa-sisa abunya saja. Tak ada pula loket tiket masuk di sana, sementara pengunjung pun hanya ada kami saja, yang kelihatan. Yang tak kasat mata, entahlah.

Menurut saya, selain aksesnya susah, karakteristik curug ini jugalah yang membuat orang-orang enggan mendatanginya. Curug setinggi belasan meter ini mempunyai warna air yang apabila berpadu dengan kolam di bawahnya menjadi berwarna kecoklatan, bukan biru seperti curug-curug cantik di Kawasan Wisata Leuwi Hejo ataupun Curug Kencana. Kolam, atau leuwi yang terletak di bawahnya pun tidak dalam, paling-paling hanya setinggi kurang dari satu meter, yang membuatnya tidak dapat digunakan sebagai tempat berenang. Mau cliff jumping? Ya silakan saja, kalau sudah tidak sayang nyawa. Intinya, tidak bisa juga, beb!

Secara penampilan, curug ini cukup unik karena tidak seperti curug lainnya yang alirannya nampak smooth mengalir dari sungai di atasnya, di sini aliran airnya seperti disiram dari atas, hingga menerpa tebing di bawahnya, sebelum terpecah lagi ke kolam dangkal di bawahnya, yang kemudian mengalir juga ke curug kecil yang telah kami lewati sebelumnya. Lokasinya yang seperti berada di dalam sebuah gelas dengan dinding pepohonan yang mengelilinginya, telah menambah kesan misterius Curug Kalimata.

Berikutnya, secara pengalaman, hmm, tidak banyak sih yang dapat kamu lakukan di sini, selain berpose manis dan rock climbing tipis-tipis, kalau kamu bisa.

Hari itu, saya bersama tim telah berhasil menemukan Curug Kalimata yang hilang, sebuah curug yang mungkin biasa saja bagi kebanyakan orang, namun rangkaian perjalanan menuju curug inilah yang membuat curug ini menjadi istimewa. Bukan begitu, Kisanak?

Oh iya, kalau kamu tertarik untuk mengunjungi Curug Kalimata, kamu bisa langsung menghubungi Whatravel Trekking Club untuk informasi lengkap mengenai paket trekking menuju curug yang hilang ini.

Klik untuk membaca daftar lengkap objek wisata alam di Sentul dan sekitarnya yang bisa kamu kunjungi dengan trekking