
Perjalanan Berliku Mencari Hunian Idaman (2) — Hal-hal yang Harus Diperhatikan Ketika Memilih Hunian Idaman
arievrahman
Posted on August 20, 2021
Beberapa bulan lalu, saya baru saja memperpanjang masa sewa rumah kontrakan saya untuk dua tahun ke depan lagi. Bagi saya, saat ini mengontrak adalah pilihan yang paling logis dibandingkan dengan membeli rumah idaman yang masih terlalu mahal harganya. Mengontrak memberikan saya pilihan untuk mencicipi hunian idaman, tanpa perlu memilikinya. Oleh karena itu, seperti halnya PPKM, masa tinggal di hunian idaman juga harus diperpanjang durasinya.
Seperti yang sudah saya ceritakan pada artikel sebelumnya, ternyata perjalanan dalam mencari hunian idaman —mulai dari indekos, membeli apartemen, hingga menyewa rumah, penuh dengan lika-likunya sendiri, juga dengan segala kendala dan pertimbangan yang ditemui di lapangan, eh, di perumahan.
Saat mencari lokasi indekos, saya tidak terlalu repot, cukup dengan mengikuti peribahasa ‘Birds With The Same Feathers Flock Together’, atau tepatnya ikut saja dengan teman satu kantor yang sama-sama berbulu, kakinya, saya sudah mendapatkan tempat yang dicari. Sebuah kamar berukuran 3×3 pada rumah indekos murah meriah dengan tarif 500 ribuan per bulan, termasuk listrik, dengan kamar tidur yang berada di luar kamar mandi.
Mudah memilih lokasi indekos, bukan berarti gampang ketika memutuskan untuk membeli apartemen. Membeli, memerlukan komitmen yang lebih tinggi, dibandingkan menyewa yang bisa dengan seenaknya berganti pilihan tanpa harus ‘dipaksa’ mencintai pilihannya. Saya memerlukan waktu berbulan-bulan untuk riset, baik secara online melalui rumah.com hingga secara door-to-door mendatangi beberapa apartemen yang masuk ke dalam daftar incaran saya.

Hampir sama seperti saat membeli apartemen, ketika memutuskan mencari rumah kontrakan akibat apartemen yang dirasa terlalu sempit untuk anggota keluarga yang bertambah, juga tidaklah mudah. Pada titik ini saya merasa, bahwa semakin besar hunian yang akan dicari, maka akan semakin banyak kendala yang ditemui dan pertimbangan yang akan diambil.
Beberapa kendala dan pertimbangan yang dimaksud, antara lain adalah sebagai berikut:
Yang Pertama Tentu Saja Adalah Lokasi
Tanyakan kepada semua orang yang sedang mencari hunian, maka kebanyakan dari mereka akan menjawab bahwa lokasi adalah pertimbangan utama mereka dalam memilih hunian. 4L, kalau kata property guru, yaitu lokasi, lokasi, lokasi, dan lokasi. Mengapa demikian? Ya karena lokasi yang bagus, akan menentukan kenyamanan hunianmu, sekaligus menjadi penentu naiknya nilai investasimu di masa depan.
Benarkah demikian? Mari kita simak cerita dari teman saya, yang sebut saja bernama Mawar.
Mawar membeli rumah pada sebuah cluster di daerah Pamulang pada tahun 2010, dengan harapan bahwa rumah tersebut akan ditempati sendiri ketika sudah selesai dibangun atau bisa dijual lagi dengan mengharap keuntungan di masa depan. Mawar yang saat itu masih single dan belum merilis album, tinggal indekos di dekat kantor pada bilangan Jakarta Pusat, sembari menunggu proses pembangunan rumahnya. Setiap bulannya, Mawar menyisihkan pendapatannya, untuk membayar indekos, juga untuk mencicil KPR rumahnya.
Beberapa bulan kemudian, rumah Mawar selesai dibangun, namun anehnya Mawar justru tidak mau tinggal di rumahnya. Alasannya adalah selain karena takut tinggal sendiri, Mawar juga merasa bahwa rumah yang dibelinya kejauhan dari kantor.
“Kamu gak mau beli rumahku, Mas?” Tanya Mawar kepada saya, yang tentu saja saya jawab dengan ‘maaf gx dlu‘. Bagaimana mungkin rumah yang tidak mau ditinggali oleh pemiliknya sendiri, malah ditawarkan ke orang lain. “Nanti oper kredit saja, ganti DP dan cicilan berjalan.” Bujuknya, sembari menjual rumahnya dengan harga pembelian, tanpa mengambil keuntungan atas ‘investasi’ yang dilakukannya.
Kasus Mawar di atas, berkebalikan dengan kasus Budi, yang membeli rumah di wilayah Bintaro pada tahun 2007 di mana saat ini harga rumah yang dibelinya sudah naik hampir 3x lipat. Properti, bisa menjadi investasi, atau justru menjadi beban, karena lokasi. Oleh karena itu, kita harus pintar-pintar untuk mencari lokasi hunian idaman, dan jangan terburu-buru demi masa depan yang lebih baik.
Sedikit panduan dan kiat-kiat dalam investasi properti, kamu bisa baca di sini.
Bagaimana dengan saya sendiri?
Tentu saja saya sangat memperhatikan lokasi sebagai faktor utama dalam mancari hunian. Apartemen yang saya miliki, berada di Jakarta Selatan dengan lokasi yang bisa saya katakan cukup strategis, karena dekat dengan pasar (3 menit ke Pasar Cipulir), dekat dengan pusat perbelanjaan (10 menit ke Gandaria City dan 15 menit ke Senayan City), terkoneksi dengan Halte TransJakarta serta Stasiun Kebayoran, juga dekat dengan pintu tol menuju bandara.
Tentu saja tidak heran kalau harga properti tersebut sekarang naik sekitar 1,5x lipat dari harga pembelian, dan cukup laku untuk disewakan dengan harga yang lumayan. Tambah sedikit, bisa untuk mengontrak rumah di Bintaro, xixixi.
Menarik, Lalu Bagaimana dengan Sarana dan Prasarana Yang Ada di Sana? Jangan Lupakan Juga Perihal Spesifikasi dan Karakteristik Huniannya.
Lokasi, selain diukur dengan jarak ke suatu tempat (misalnya ke kantor atau ke rumah mantan) juga berhubungan dengan sarana dan prasarana yang tersedia di sekitar hunian tersebut. Daripada tinggal pada sebuah hunian sumpek yang berada di dekat kantor, saya lebih memilih tinggal di pinggiran kota, asalkan banyak ruang terbuka hijau yang memberikan kenyamanan dan ketenangan hidup. Toh, akses ke kantor bisa saya dapatkan melalui pintu tol yang dekat dengan rumah.
Itulah sedikit alasan mengapa saat ini saya memilih tinggal di Bintaro. Selain sudah familiar dengan wilayahnya karena dulu dekat dengan kampus tempat kuliah, Bintaro juga menyediakan banyak sekali sarana dan prasarana penunjang kehidupan, seperti misalnya akses ke sarana olahraga seperti di bawah ini.
Iya, walaupun cuma trotoar, namun trotoar yang lebar dan tidak ada pedagang yang mangkal di sekitar bulevar Bintaro adalah nilai tambah bagi saya yang sedang menekuni olahraga lari selama setahun belakangan.

Tinggal di Bintaro, walaupun masih mengontrak, cukup memberikan gambaran dan bayangan kepada saya akan definisi sebuah hunian idaman, yang mungkin saat ini saya belum mampu membelinya. Rumah dua lantai di dalam sebuah kluster yang lapang, memberikan rasa nyaman dan aman kepada saya dan keluarga. Cukup luas untuk tumbuh kembang anak, dan cukup bebas untuk beraktivitas di sekitar rumah.
Kemudian terkait sarana dan prasarana, apa sih yang tidak dapat dicari di sini? Paling agak susah cari Mendoan Banyumas saja, sisanya hampir semua ada di Bintaro. Rumah sakit dan sarana kesehatan banyak, sekolah anak mulai dari yang lokal sampai yang internasional ada, tempat ibadah apalagi tersedia di mana-mana.
Belum lagi pembangunan infrastruktur seperti tol baru menuju bandara yang membuat saya dapat mencapai bandara hanya dalam 15 menit saja, ya walaupun belum terbang, namun saya sudah cukup puas melihat kemajuan dan perkembangan Bintaro dalam dua tahun belakangan ini.
Ini sedikit cerita saya tentang Bintaro, lalu bagaimana dengan daerah hunian incaranmu? Coba cek di Area Insider Rumahcom ini.
Kemudian, Bagaimana dengan Lingkungan dan Penduduk di Sekitarnya?
Salah seorang sahabat yang bukan Sahabat Peterpan pernah berkata “Sebelum beli rumah, coba ngontrak dulu, biar tahu rasanya tinggal di sana’. Kami yang saat itu sedang nongkrong di warung kopi belakang kantor terdiam, obrolan yang membahas pilihan hunian untuk bapak-bapak memang terdengar seksi seperti obrolan perihal skandal artis atau gosip-gosip di kantor. “Kalau lu sudah terlanjur beli rumah, bagaimana kalau ternyata daerah itu rawan banjir, banyak begal, atau misal ada tetangga yang resek?”
Saya yang saat itu masih tinggal di apartemen sedikit tak acuh atas obrolan tersebut, dan waktu berjalan, hingga akhirnya saya memiliki anak baru obrolan tersebut menjadi lebih make sense. Tinggal di apartemen, adalah surga bagi saya yang introvert dan suka menghabiskan waktu berdiam diri di kamar tanpa harus memedulikan lingkungan sekitar, namun ketika harus berpindah ke rumah dan hidup bertetangga, beberapa pertanyaan kembali muncul dalam sanubari.
“Bagaimana kalau ternyata lingkungan yang saya huni kelak tidak nyaman bagi keluarga? Bagaimana kalau ternyata tetangganya lebih resek dari Mpok Hindun di serial Bajaj Bajuri? Bagaimana kalau ternyata daerah tersebut banjir?”
Pertanyaan seputar lingkungan mungkin bisa kita temukan jawabannya dari hasil browsing secara online atau bertanya kepada agen properti yang kompeten dan menguasai wilayahnya, namun pertanyaan seputar tetangga ini adalah pertanyaan yang tricky, di mana jawabannya baru akan ketahuan setelah kita benar-benar tinggal pada sebuah wilayah.
Seorang kawan yang tinggal di Depok pernah curhat ke saya, perihal tetangga-tetangganya yang suka ingin tahu lebih dalam perihal kehidupannya. “Lelah aku bro, suka jadi bahan obrolan kalau gak pernah nongkrong dengan orang-orang komplek.” gerutunya. Sebuah hal yang saya syukuri tidak pernah terjadi di lingkungan komplek ini, karena mempunyai tetangga yang tidak suka mencampuri hidup orang lain adalah sebuah privilege di masa sekarang.
Neighbor, like life, is like a box of chocolate, you’re never know what you’re gonna get. Kamu tidak akan pernah tahu akan dapat yang seperti apa, dan menurut saya, mengontrak dapat mengantisipasi mendapatkan tetangga yang menyebalkan dalam jangka waktu panjang.
Semua Cocok Nih, Tapi Harganya?
Ah, kesehatanmu kan lebih penting. Begitu bukan, jargonnya? Dalam hal hunian idaman, biasanya harga akan mengikuti keinginan kita. Makin tinggi keinginan hunian idaman kita, maka biasanya akan semakin mahal harga huniannya. Ya walaupun ada juga orang-orang beruntung, seperti misalnya Okamura yang mendapatkan rumah keren dari take-over rumah seken, dengan harga yang bersahabat.
Idealnya, besar cicilan rumah maksimal adalah 1/3 dari penghasilan bulanan. Namun, dengan kondisi pandemi yang membuat penghasilan saya lebih fluktuatif, saya masih belum berani untuk berkomitmen jangka panjang dengan mengambil Kredit Pemilikan Rumah, yang lebih umum untuk disingkat sebagai KPR.
Supaya mendapat gambaran kemampuan mencicil KPR, kamu dapat menggunakan Kalkulator KPR berikut ini:
Sedikit kembali ke mengontrak vs membeli, saya pernah membuat semacam ilustrasi biaya apabila saya memutuskan untuk membeli rumah yang saya kontrak saat ini. Kurang lebih seperti ini perhitungannya:
Rumah yang dikontrak sekarang, kalau dijual harganya sekitar 2,8 M, semisal DP 20% maka itu sudah 500 jutaan.
Dengan DP segitu, potensi cicilan bisa di 15 jutaan per bulan, selama 15-20 tahun.
Sementara kalau ngontrak, biayanya sekitar 5 jutaan per bulan.
Pilih mana? The choice is yours.
Lantas bagaimana solusinya supaya cicilan KPR bisa tetap rendah dan gak bikin pusing? Gampang, besarkan saja DP-nya. Solusi mudah yang susah untuk dilakukan, karena membutuhkan kesabaran untuk menabung lebih lama.
Harga Oke Sih, Tapi Siapa Pengembangnya?
Sebuah pertanyaan yang menarik, karena tidak sedikit orang yang terkecoh harga oke, namun tidak melihat lebih dahulu siapa pengembang, atau developer yang berada di balik pembangunan properti yang sedang diliriknya.
Satu cerita lain saya dapat dari teman kerja di kantor lama dahulu yang sama-sama membeli apartemen pada tahun yang sama dengan saya, sekitar tahun 2012. Harga apartemen mirip-mirip, hanya berbeda lokasi dan pengembangnya. Kalau apartemen saya di Jakarta Selatan, teman saya membeli di Jakarta Barat. Apabila apartemen saya sudah ditempati dengan lancar, cerita sedih datang dari teman saya yang hingga saat tulisan ini tayang, unit apartemennya belum juga selesai dibangun. Bahkan proyek apartemennya sekarang mangkrak, dan gagal untuk direstrukturisasi kembali.
Cerita lain juga saya dapatkan dari Cerita Rumah pada situs rumah.com, dari Dea dan Fikri yang sempat mengalami musibah terganjal tanah sengketa dan terkecoh brosur properti, sebelum akhirnya mendapatkan hunian idamannya.

Saya sebenarnya termasuk beruntung karena apartemen yang saya beli saat itu bisa selesai dibangun, walaupun memang sedikit molor dari waktu yang dijanjikan, namun pada akhirnya dapat diselesaikan dengan baik dan siap untuk dihuni. Alhamdulillah, walaupun hanya apartemen mungil yang sekarang disewakan, namun senang rasanya ketika pada tahun lalu saya dapat melunasi KPR-nya di tengah-tengah pandemi.
Akhir kata, saya cuma ingin mengatakan bahwa memiliki hunian, bukanlah sebuah kompetisi, yang harus dulu-duluan untuk dilakukan. Kamu yang lebih tahu dengan kemampuan dan batasan kamu. Apabila masih mampunya mengontrak, ya jangan malu. Daripada memaksakan untuk membeli, namun malah bikin pusing dengan cicilan tiap bulannya.
Bukankah begitu, wahai para pencari hunian idaman?
4 Comments
Post a comment
saya selalu memastikan satu hal dulu saat akan membeli rumah. saya tidak membeli rumah. saya tidak membeli tanah.
yang saya beli adalah lingkungan sosialnya.
karena ini akan berdampak terhadap lingkungan saya istri saya bahkan tumbuh kembang anak saya.
beruntungnya saya saat ini meski cuma rumah subsidi, namun punya lingkungan dengan kehidupan sosial yang baik. orang rese pasti ada tapi tidak sampai destruktif. tetep semangat!
LikeLiked by 1 person
Wah mantap nih insightnya!
Tapi memang betul karena dalam mencari hunian, kita pasti akan mencari kenyamanan, yang mana akan didapat dengan baik apabila kita mendapatkan lingkungan sosial yang mendukung.
Terima kasih sudah mampir ke sini mas, sehat dan semangat selalu! 😀
LikeLiked by 1 person
Terima kasih mas Arif untuk paragraphnya. Saya sudah setahun masih mengalami pergejolakan dalam mencari tempat tinggal (di sini maksudnya rumah). Sebagai single yang penghasilannya hanya dari gaji bulanan dan sedikit tambahan usaha, ternyata mencari rumah bukan sekedar mampu atau tidak dalam hal keuangan. Satu sisi kita mampu, tapi lingkukan ga cocok. Bahkan sudah cocok dengan lingkungan, lokasi dan developernya, eh keuangan ga cukup ;)). Tapi harus tetap semangat!
LikeLiked by 1 person
Sama-sama mas semoga bermanfaat ya. Nah itu dia, emang cari rumah ini gampang-gampang susah hahaha, banyak banget faktornya.
Kalau mau enak emang banyak duit dulu, jadi bisa milih tinggal di mana :))))
Yes ayo semangat bareng kita!
LikeLike