Peristiwa sial akibat gagal menonton sepakbola langsung di Old Trafford karena ‘ditipu’ oleh scam dari Football Ticket Net tersebut tentu saja masih membekas dalam ingatan saya yang memang berencana bepergian selama kurang lebih sepuluh hari di Inggris dan Skotlandia. Baru hari ketiga, saya sudah ketiban sial. Bagaimana dengan sisa-sisa hari berikutnya, terutama pada hari Sabtu depan di mana saya dijadwalkan utnuk menonton pertandingan Newcastle United menghadapi Arsenal di St. James’ Park, kandang dari Newcastle United si klub bodoh yang saya bela sejak kecil?

Perjalanan ini adalah sebuah perjalanan untuk mewujudkan mimpi masa kecil, atau ‘naik haji kecil’ saya, yaitu menonton sepakbola langsung di negaranya, Inggris, The Home of Football, yang walaupun dalam helatan Euro 2020 kemarin, sepakbola malah menjadi “It’s going Rome” karena Inggris ditekuk oleh Italia melalui adu penalti pada partai final. Sialan kau, Bukayo Saka!

Baca artikel sebelumnya di sini

Itinerary perjalanan yang saya buat menjadwalkan saya tiba ke Newcastle pada tiga hari akhir perjalanan, di mana di antara perjalanan tersebut, saya juga menghabiskan waktu untuk mewujudkan mimpi masa remaja saya –menyambangi Liverpool untuk napak tilas perjalanan band idola saya sewaktu SMA (bukan, bukan Atomic Kitten, melainkan) The Beatles yang fenomenal. Selain itu, saya juga menyempatkan diri untuk mengeksplorasi Edinburgh di Skotlandia, salah satu kota tercantik yang pernah saya kunjungi hingga saat ini.

See, cantik kan?

Edinburgh Royal Mile

Close your eyes, give me your hand, darling.

Dari Edinburgh di utara Inggris, saya menaiki kereta untuk turun ke selatan, atau tepatnya ke arah timur laut Inggris, ke kota yang menjadi tujuan utama perjalanan saya kala itu. Kota impian masa kecil saya, kota yang juga menjadi destinasi ‘naik haji’ kecil saya. Sebuah kota yang dilindungi si malaikat pelindung bernama Angel from The North, sebuah kota tersibuk dengan penduduknya yang suka mengumpat dan berlogat aneh dibandingkan penduduk London.

Sebuah kota bernama Newcastle.

Teruslah Bermimpi dan Mendekatlah ke Kenyataan

Hari pertama di Newcastle, saya habiskan untuk orientasi kota, ditemani oleh kakak senior, Mas Danang yang saat itu kebetulan sedang melanjutkan kuliah di Inggris. “Wah, aku belum pernah eksplor Newcastle.” Ujarnya ketika saya mengabarkan bahwa saya akan berada di Inggris dan Newcastle selama beberapa hari. “Boleh tuh nanti kita jalan-jalan bareng.”

“SIAP!” Berada di tempat asing, akan menyenangkan rasanya apabila ada teman yang menemani, walaupun hanya sesaat. Karena kalau terlalu lama nanti takut berisiko terbawa perasaan. Bertemu sesama orang Indonesia di perantauan, juga sama menyenangkannya karena kita bisa berbagi bahasa yang sama.

Termasuk juga bisa tanpa sungkan meminta tolong, “MAS TOLONG FOTOIN DONG!”

Ariev Rahman Newcastle

KLIK! Foto pertama di ‘Mekahnya pendukung Newcastle United’ St. James’ Park, adalah foto saya mencium tanah yang sama yang diinjak oleh para ‘nabi’ Alan Shearer dan Shola Ameobi. Foto sujud syukur ke Allah karena telah membawa saya sejauh ini, dari yang hanya sekadar mimpi menjadi kenyataan, yang membutuhkan waktu hampir 20 tahun untuk mewujudkannya.

Ada perasaan lega dan senang yang berpadu dalam dada, seakan sebuah embusan hawa dingin menerjang, lega, seperti menghisap sekotak penuh Ricola. Sebuah perasaan yang membuat saya tersenyum-senyum kecil sendiri, sedikit menangis. Agak lebay, tapi memang seperti itulah perasaannya. Hebat ya Allah, bisa membuat orang melakukan hal yang sama atas dua perasaan yang berbeda. Beberapa hari yang lalu, saya menangis sedih karena kena tipu calo tiket, sementara hari ini saya menangis bahagia karena bisa sampai di Newcastle dan mendekat ke St. James’ Park secara langsung.

Ya namanya mau ‘ibadah’ pasti akan ada cobaannya. Harus diterima dan disyukuri, karena cobaan itulah yang akan semakin mendekatkan kita kepada-Nya. Bukan, itu bukan perkataan saya, namun sebuah kalimat yang dilontarkan oleh Pak Ustadz Syam, pemimpin rombongan umrah yang saya ikuti beberapa tahun silam.

Sebuah kalimat yang mungkin ada benarnya juga, walaupun tentu saja tidak dapat diterapkan kepada ribuan jamaah yang terkena penipuan kasus First Travel dan Abu Tours.

Hari berikutnya, saya sudah tidak bersama Mas Danang yang pulang ke London kemarin malam. Hari itu, saya mempunyai jadwal untuk mengikuti stadium tour ke St. James’ Park setelah membeli tiketnya secara daring sejak dari Indonesia. Sebelum masuk ke stadion St. James’ Park, saya sudah mengunjungi stadion Anfield di Liverpool, dan berencana mengunjungi stadion Old Trafford di Manchester pada hari terakhir saya di Inggris.

Baca: Membandingkan tur stadion Liverpool FC dan Manchester United

Apabila dibandingkan dengan tur di Liverpool, durasi tur stadion di Newcastle ini berasa lebih lama, lebih lengkap penjelasannya, dan lebih puas karena kami diajak untuk masuk-masuk ke ruangan yang lebih banyak dibanding di Anfield. Mungkin karena saat itu (2015) Anfield sedang direnovasi sehingga aksesnya tidak maksimal, atau mungkin juga karena di Liverpool lebih laku turnya, sehingga waktu kunjung peserta tur menjadi lebih dibatasi.

Ya walupun tidak sesingkat yang di Old Trafford Manchester, sih. Uhuk. Dasar klub sepakbola kapitalis.

Pada agenda tur stadion tersebut, saya juga bertemu salah seorang Toon Army (sebutan untuk pendukung Newcastle United) yang juga bepergian sendiri, bernama Junwoo Son, orang Bangladesh, eh Korea Selatan. Ada sebuah ungkapan juga yang menyatakan, orang yang sama-sama bepergian sendiri, ketika bertemu di sebuah tempat, biasanya akan memiliki keterikatan emosional yang sama.

Benar saja, ternyata saya dan Junwoo seperti ditakdirkan untuk bertemu, karena kalau tidak bertemu dengannya, siapa yang mau memotretkan saya. Kan lumayan bisa dipotret oleh oppa-oppa, pokonya kamsahamnida oppa.

“So, since when do you support Newcastle?” Saya bertanya kepada Junwoo pada suatu kesempatan, dan mendapatkan jawaban yang lumayan mengejutkan ketika dia menjawab “Since Cabaye era”.

Whoa! Ada ya yang mendukung Newcastle United dari zaman Cabaye, padahal saat itu Newcastle United sedang minim prestasi, dan tidak sebeken era Alan Shearer. Mengapa tidak menjawab dari zaman Lomana Lualua, sih?

Ketika Mimpi Menjadi Kenyataan

Junwoo ternyata menginap pada penginapan yang sama dengan saya, sebuah hostel di pusat kota Newcastle yang dekat dengan stasiun kereta bernama Albatross Hostel. Ya, sebagai traveler solo, akan lebih simpel (baca: irit) untuk menginap di hostel beramai-ramai dengan orang asing dibandingkan menyewa kamar di hotel untuk dipakai sendiri.

Setelah bertukar kontak melalui LINE (iya, kamu tidak salah membaca, mungkin saat itu LINE lebih familiar untuk digunakan warga Korea), kami berpisah di pintu keluar St. James Park, dengan sebuah janji bahwa besok kami bisa berangkat bersama dari hostel ke stadion. Kalau saya tidak tertipu lagi.

Untungnya, sepertinya kali itu saya bernasib lebih baik dibandingkan seminggu sebelumnya. Tiket berhasil saya peroleh berkat pertolongan mahasiswa Indonesia yang kuliah di Newcastle University. Jadi alurnya adalah saya membeli di situs resmi klub (ini tidak berhasil saya lakukan untuk pertandingan away) setelah sebelumnya mendaftar sebagai member fansclub, lalu mengirimkan tiketnya ke alamat yang berada di Inggris.

Alhamdulillah. Kira-kira seperti ini tiketnya, semoga saja tidak hilang.

Ariev Rahman Newcastle

Malam itu, saya tidak dapat tidur dengan nyenyak. Selain karena tidur sekamar beramai-ramai dengan sekelompok turis wanita asal Eropa dan saya satu-satunya pria, juga karena memikirkan bagaimana nasib saya besok, apakah prosesi ‘naik haji’ saya dapat berjalan dengan lancar, atau malah diiringi dengan cobaan-cobaan lain lagi. Ruangan kamar yang dingin juga membuat saya ingin tidur sambil diselimuti kekayaan, namun ternyata mustahil.

Yang bisa saya lakukan malam itu adalah, menghubungi Junwoo yang berada di kamar lain melalui LINE, untuk menjadwalkan agenda esok hari. Malam sudah cukup larut tanpa ada yang mengaduk, dan ternyata kami sama-sama susah tidur malam itu.


Esok harinya, kami bertemu di ruang makan mungil hostel tersebut, sambil sarapan dan berbincang mengenai prediksi pertandingan Newcastle United melawan Arsenal  yang akan berlangsung pada tengah hari Sabtu tersebut. Konon katanya, pertandingan sepakbola di Inggris ini sengaja dilakukan pada siang hari supaya lebih mudah dinikmati para penonton Liga Inggris di seluruh dunia karena akan disiarkan pada jam-jam primetime tiap-tiap negara.

Misal, untuk pertandingan pukul 12.00 di Inggris, berarti akan disiarkan secara langsung pada pukul 19.00 malam di Indonesia, sebuah tayangan yang cukup nyaman ditonton dibandingkan harus begadang untuk menonton Liga Malam Jumat, bukan?

Sambil berbincang mengenai potensi keseruan acara hari itu, sesekali pula kami melihat pendukung Arsenal keluar masuk ruang makan hostel dengan atribut merah-putih tanpa bendera Slank dan OI. Bagi saya para pendukung away ini adalah sesungguh-sungguhnya pendukung sepakbola sejati yang ‘berani mati’ untuk datang ke kota lain demi mendukung klub sepakbolanya bertanding. But hey, apa kabar saya dan Junwoo yang sudah terbang ribuan mil guna mendukung si klub bodoh yang saat itu masih dikuasai oleh Mike Ashley si pemilik paling bisnis.

Tak lama berselang, kami berjalan kaki ke St. James’ Park yang memang terletak di pusat kota dan tak jauh dari hostel tempat kami menginap. Kira-kira setengah jam berjalan santai, melalui medan perkotaan datar, kami sudah tiba di stadion yang saat itu sudah ramai dipadati suporter Newcastle United. Padahal pertandingan masih akan berlangsung dua jam lagi, namun antusiasme mereka patut diacungi jempol. Empat jempol untuk kalian semua!

Ariev Rahman Newcastle

Selepas menanti iring-iringan bus pemain, saya dan Junwoo berpisah di teras St. James’ Park di hadapan patung Yang Mulia Sir Bobby Robson yang megah. Kami mendapat baris tempat duduk yang berbeda, Junwoo di baris tengah, sementara saya yang introvert lebih memilih baris pojok, namun di depan, tepat di depan bendera corner kick.

Musim ini, sebenarnya adalah musim dengan harapan baru bagi Newcastle United. Masuknya Steve McLaren menggantikan John Carver yang merupakan caretaker setelah Alan Pardew didepak seperti memberikan angin surga, terlebih dengan prestasi gemilangnya bersama Derby County yang membukukan lebih dari 50% win percentage. Belum lagi masuknya pemain-pemain muda potensial yang saat itu digadang-gadang mampu membawa Newcastle United bangkit dari keterpurukannya.

Sebut saja si gahar Aleksandar Mitrovic yang gahar, si tangguh Chancel Mbemba, si kreatif Giorginio Wijnaldum, hingga si flamboyan Florian Thauvin. Sembari membaca-baca buku saku yang saya dapat menjelang pertandingan mengenai komposisi tim dan prediksi Newcastle United di Liga Inggris musim itu, saya mendengar peluit kick off ditiup yang menandakan pertandingan ini dimulai.

Wah, jadi juga saya naik haji!

Walaupun sudah berhasil ‘naik haji’ namun ternyata kenyataan masih tak seindah harapan. Komposisi pemain muda Newcastle United plus adanya si Ginger Pirlo, Jack Colback, nampak tak berdaya di hadapan Arsenal yang sebenarnya tampil biasa saja siang hari itu.

Dibantu dukungan wasit Andre Marriner yang kerap tidak menguntungkan Newcastle United, Arsenal mendapatkan keuntungan tatkala Francis Coquelin mampu memancing amarah Mitrovic dengan aksi ‘diving’ yang dilakukannya. Akibatnya, Newcastle United harus bermain dengan 10 orang karena Mitrovic mendapat kartu merah pada pertandingan siang itu.

Kesialan bagi Newcastle United makin nampak ketika pada menit ke-52, sang kapten kesebelasan Fabricio Coloccini justru melesakkan bola ke gawangnya sendiri. 1-0 bagi Arsenal!

WASSYUUUUUUUU!” Saya mengumpat, yang tentu saja tidak elok dilakukan ketika ‘beribadah’, namun hampir semua orang di sana juga ikut mengumpat dengan bahasanya sendiri, kecuali para pendukung Arsenal, tentu saja. Seorang wanita di samping saya, yang akhirnya saya ketahui bernama Linda juga tak kalah geram dengan perlakuan wasit dan performa Newcastle United siang itu “THE REFEREE IS A JOKE, SHYTE!” Gerutunya.

“Bu, istighfar, bu.” Saya membatin, tak berani mengingatkan karena takut kualat. Linda adalah sebuah potret pendukung Newcastle United sejati, yang senantiasa membeli tiket terusan setiap tahunnya, dan yang walaupun tidak mengenakan jersey Newcastle United ketika menonton, namun saya tahu bahwa hatinya selalu hitam putih. “You can always find me in this seat.” Ucapnya, pada waktu jeda waktu istirahat pertandingan.

Pada pertandingan tersebut, saya beberapa kali menitikkan air mata, mencelos, memikirkan bahwa akhirnya saya berhasil mewujudkan impian masa kecil saya, untuk menonton langsung Newcastle United bertanding di rumahnya, St. James’ Park. Sungguh tidak manly rasanya.

Arsenal, dapat dikatakan beruntung pada hari itu, karena mereka sebenarnya tidak mampu melakukan tembakan ke arah gawang Tim Krul, tapi masih bisa diberikan kemenangan, akibat gol bunuh diri dan dukungan pemain ke-12 mereka yang bernama wasit. Pertandingan berakhir dengan kedudukan 0-1 untuk Arsenal, namun anehnya tidak ada suporter yang rusuh, yang berseteru seperti suporter Persija Jakarta ketika menjamu Persib Bandung ataupun sebaliknya.

Pada tengah-tengah pertandingan, saya sempat mengikuti para pendukung Newcastle United di stadion yang menyanyikan chant dukungan untuk tim yang sedang bertanding. “Wow, you know this song.” puji Linda. “The Blaydon Races.” Saya hanya tersenyum, sembari bersyukur bahwa tak percuma saya kerap ikut nobar Indonesian Toon Army (ITA) saat itu, yang kemudian mengajarkan saya menyanyikan chant-chant wajib untuk mendukung Newcastle United.

Walaupun hasil pertandingan tidak seperti yang saya harapkan, namun siang itu, saya berhasil menunaikan ibadah ‘naik haji’ kecil saya. Sebuah peristiwa yang akan saya kenang sampai kapanpun, melebihi ingatan tentangg wacana Presiden Jokowi 3 Periode.

Kenyataan yang Lebih Indah dari Sekadar Mimpi

Do you know how to go to Sunderland?” Saya bertanya kepada Linda sebelum berpisah, “I think I want to go to Stadium of Light.

“FROM ALL THE PLACES IN THE WORLD WHY DO YOU WANT TO GO THERE? SUNDERLAND IS SHYTE!”. Ya, Sunderland AFC adalah rival bebuyutan Newcastle United, dan Linda wajar heran mengapa saya ingin mengunjungi markas mereka. Ya jawaban saya tentu saja untuk ‘lempar jumroh’, secara simbolis tentu saja. “YOU BETTER GO TO THE BEACH.

Perseteruan antara Newcastle dan Sunderland yang bertetangga, dikatakan terjadi sejak perang sipil tahun 1600-an, yang berawal dari perbedaan pandangan politik antara kedua kota di timur laut Inggris ini. Walaupun tidak saling memanggil dengan cebong dan kampret, namun perseteruan ini berlanjut hingga ke lapangan hijau, sampai sekarang. Ya mirip seperti Liverpool dengan Everton, Arsenal dengan Tottenham Hotspurs, Manchester United dengan Persita Tangerang, atau saya dengan Raffi Ahmad.

Berdasar alasan di atas, maka sah rasanya saya memilih Stadium of Light untuk menunaikan ‘rukun haji’ saya yaitu untuk melempar jumroh secara simbolis. Ha’way Lads! 

Ariev Rahman Newcastle

Sepuluh hari di Inggris adalah sebuah kenyataan yang lebih indah daripada sekadar mimpi. Sungguh benar rasanya bahwa lebih baik melihat satu kali dengan mata kepala sendiri daripada memimpikan atau mendengarnya ribuan kali. Itu baru melihat, bagaimana kalau hingga meraba?

Walaupun saya mengalami beberapa kejadian kurang mengenakkan sepanjang perjalanan, namun saya cukup lega karena dapat melalui ibadah ‘naik haji’ kecil saya secara lancar dan dapat pulang kembali dengan selamat. Walaupun setelah tiba di Indonesia, dan musim 2015/2016 berakhir, Newcastle United harus terdegradasi ke divisi championship. Qodarullah.

Ya paling tidak kedatangan saya di Newcastle saat itu sempat terekam kamera BeIN TV yang saya saksikan dalam siaran ulang di bawah ini. Coba cari di mana saya. MAH ARIF MASUK TIVI MAH!

Ariev Rahman Newcastle

Berawal dari mimpi masa kecil, menjadi sebuah kenyataan yang membanggakan dan tidak terlupakan. Sebuah perjalanan hidup yang akan saya kenang hingga kapan pun. Siapa yang menyangka bahwa mimpi dapat diwujudkan dengan melakukan hal yang saya sukai, yaitu menulis? Sebuah hal yang ternyata tidak mustahil untuk diwujudkan, dan apabila saya bisa, harusnya kamu juga bisa melakukannya. Asalkan berani terbangun dari tidur, bukan malah bermimpi terus.

Seperti yang dibilang oleh Nidji bahwa mimpi adalah kunci untuk menaklukkan dunia, atau seperti kata Dr. Strange bahwa mimpi adalah kunci untuk menaklukkan multiverse, saya juga berpendapat bahwa mimpi adalah kunci untuk melakukan hal-hal yang sepertinya tidak mungkin untuk dilakukan. Menjadi sekaya Raffi Ahmad, misalnya.

Artikel ini ditulis sebagai bentuk nadzar, karena Newcastle United Football Club berhasil diakuisisi oleh Saudi Arabia dan lepas dari jeratan Mike Ashley yang hanya mementingkan bisnis semata daripada pengembangan klub sepakbola bodoh yang saya cintai ini. Takbir!