“Mbak, kita nonton Foo Fighters, yuk!” Ajak saya ke Fara, suatu hari di bulan Juli, beberapa hari setelah kami menonton Coldplay di Paris bersama. “Si Wandy kayaknya lagi ada tiket gratisan nih.”. Sebuah ajakan yang sangat menggiurkan karena beberapa alasan, yang pertama adalah karena Foo Fighters, kedua karena gratis, dan yang ketiga adalah karena kami akan melakukan perjalanan bersama lagi setelah berbulan-bulan tidak melakukannya.

Perjalanan pertama kami secara tidak sengaja dilakukan pada tahun 2011, di mana pada saat itu saya bersama Wandy mengikuti sebuah open trip ke Cagar Alam Krakatau (iya, I know, wisata ini tidak seharusnya dilakukan tanpa izin pihak terkait) dan bertemu dengan Fara yang juga tergabung dalam rombongan.

Dari situ, bibit pertemanan kami tumbuh, dan kami yang sama-sama penyuka jalan-jalan ini menjadi sering mengagendakan perjalanan bersama. Mulai dari berwisata ke Dieng (dan mendapati salah seorang teman kesurupan), menjajal cliff jumping di Nusa Lembongan (Ini saya doang yang lompat, karena Wandy tidak bisa berenang, dan Fara masih sayang nyawa), melakukan weekend trip ke Puncak (sambil mencoba kamera baru) juga road trip ke Cirebon, hingga mengunjungi situs Gunung Padang yang misterius.

Gunung Padang

Coba tebak, apa yang misterius dari foto ini?

Sering bepergian bersama ke dalam negeri, membuat kami berencana untuk melakukan perjalanan bersama ke luar negeri suatu hari nanti. Saya dan Fara, sebelumnya pernah melakukan perjalanan bersama ke Puerto Princessa, Filipina di tahun 2013, di mana kami terjebak di penginapan karena Badai Yolanda melanda Filipina. Saat itu, Wandy tidak ikut serta karena sebuah alasan klasik, yaitu belum punya paspor.

Hadeeeh, makanya elu bikin paspor dong, biar bisa ke luar negeri.” Pinta Fara, yang dijawab dengan keraguan oleh Wandy, ragu apakah bisa meninggalkan pacarnya di Indonesia tanpa ada drama. Setelah bertahun-tahun saya dan Fara membujuk tanpa henti, akhirnya Wandy mau juga membuat paspor pertamanya di bulan April 2017.

Sebuah bulan bersejarah yang harus dirayakan dengan bepergian bersama ke luar negeri, tepatnya ke Singapura, untuk menonton Foo Fighters.

Persiapan Sebelum ke Luar Negeri

Sebelum berangkat, kami hanya sempat bertemu sekali, itupun pada jam pulang kantor, di mana tidak tersedia cukup banyak waktu untuk berdiskusi mengenai perjalanan. Malam itu, kami malah lebih banyak bergosip, dan diskusi sebenarnya malah berlanjut ke grup WhatsApp. Bukan, bukan grup WhatsApp Saracen.

“Wah, sudah mahal nih tiket pesawatnya.” Saya mengeluh, walaupun sebenarnya saya tahu bahwa itu adalah hal yang sangat wajar, mengingat kami melakukan pencarian tersebut hanya berselang dua minggu sebelum keberangkatan.

“Bagaimana kalau kita tunggu beberapa hari lagi?” Fara mengusulkan, “biasanya harga malah bisa turun kalau sudah mendekati Hari H.”

“Baiklah.” Jawab saya tanpa sempat bertanya, bahwa sebenarnya Hari H itu hari apa. “Nanti, elu yang booking tiket pesawat ya Mbak. Biar gue yang cari penginapan. Si Wandy kan sudah dapat tiket konsernya. Pokoknya sebisa mungkin kita harus hemat!”

“Oke siap!”

Mencari Penginapan

Sebagai pengguna Traveloka, saya memulai pencarian akan penginapan di Singapura dengan mengurutkan penginapan dari harga yang termurah, maklum, sedang krisis moneter karena tanggal tua.

Ketika sedang asyik scrolling dan membandingkan beberapa penginapan di sana, saya menemukan adanya fitur baru berupa Traveloka Loyalty Points. Poin tersebut nantinya bisa menjadi alat pembayaran kita sebagai potongan harga, atau bahkan full payment untuk membeli produk Traveloka. Senangnya lagi, ternyata poin saya sudah cukup banyak dan dapat di-redeem, akibat seringnya ‘jajan’ di Traveloka.

Traveloka Points adalah sebuah program loyalti bagi para member Traveloka, yang mana kamu akan mendapatkan poin setiap kali kamu melakukan transaksi pembelian tiket penerbangan maupun penginapan di Traveloka. Nantinya poin tersebut dapat kamu tukar menjadi diskon untuk transaksi berikutnya.

“Asyik juga kalau punya saldo 5000 poin, penginapan harga sejuta bisa dipotong lima ratus ribu. Kalau penginapan harga lima ratus ribu, berarti bisa gratis dong?” Saya bergumam sambil terus browsing pilihan penginapan yang tersedia di Traveloka. “Habis itu, masih bisa patungan bagi tiga lagi sama Wandy dan Fara. Ehehe.

Berikutnya, mata saya tertumbuk pada sebuah penginapan yang memiliki triple room dengan harga yang cukup miring, mengingat lokasinya yang strategis, di Chinatown, yang dekat dengan pusat kota dan dikenal sebagai surga kuliner Singapura.

“5footway.inn kayaknya lucu nih, bagaimana guys?” Saya mengirimkan pesan ke grup, yang dibalas dengan kata terserah oleh Fara. Terserah dari seorang wanita, yang bisa bermakna macam-macam.

Traveloka Points

Bermodalkan kata terserah, saya langsung melakukan transaksi di Traveloka, dengan memesan triple room di 5footway.inn untuk tanggal kedatangan kami di Singapura. Transaksinya termasuk penukaran Traveloka Points cukup mudah, di mana saya cukup mencentang ‘Redeem Points’ pada halaman pembayaran, dan voila! harga yang harus saya bayarkan langsung berkurang sesuai dengan diskon poin tersebut.

Lumayan, jadi bisa lebih hemat!

Untuk bisa mendapatkan Traveloka Points, caranya cukup mudah. Kamu tinggal mendaftar sebagai member Traveloka, lalu lakukan transaksi pembelian tiket pesawat dan hotel di Traveloka. As easy as 1-2-3.

Intinya sih, semakin sering kamu transaksi, maka akan semakin banyak poin yang dapat kamu kumpulkan. Satu hal yang perlu diingat, jangan sampai lupa untuk sign in terlebih dahulu pada setiap transaksi supaya kamu gak kehilangan poin!

Informasi lebih lanjut mengenai Traveloka Points dapat kamu cek di sini

Setelah tiket konser dan penginapan beres, sebuah kabar muncul dari Fara yang menyatakan bahwa harga tiket direct penerbangan Jakarta – Singapura bukannya semakin turun, malahan semakin mahal. Sebuah kabar buruk bagi dompet di tanggal tua.

“Bagaimana kalau kita lewat Batam saja supaya lebih hemat?” Fara bertanya, “harganya beda sejutaan, nanti dari Batam kita tinggal menyeberang dengan feri.”

Menyeberang dari Batam ke Singapura

Menyeberang dari Batam ke Singapura dan sebaliknya, sebenarnya bukan barang baru, karena pernah dulu ketika saya bingung mau ngapain selepas menghadiri undangan di Singapura, maka saya menyeberang ke Batam di pagi hari dan kembali ke Singapura di sore hari untuk kemudian terbang ke Jakarta.

Namun kali ini berbeda, karena saya tidak melakukannya sendirian, dan ada teman saya di Batam, Arel, yang berbaik hari untuk menjemput dan mengantarkan kami dari bandara ke pelabuhan feri. Kapal feri, bukan feri AFI.

“Nanti beli tiketnya di Indomaret saja.” Kata Arel, “ini sedang ada promo tiket feri, dari Rp320.000,- pulang pergi, jadi cuma Rp275.000,-.”.

“Wah, hemat juga ya, pantas saja Sevel tidak laku di sini.” Batin saya, sambil menumpang mobil Arel dari bandara, menuju Indomaret, menuju Mie Tarempa, menuju Batam Center tempat pelabuhan feri, sambil tidak lupa berpose di landmark khas Batam yang tidak mengingatkan saya terhadap Hollywood ini.

Welcome to Batam

Wandy, Fara, Hamish, Arel.

Mie Tarempa

Mie Tarempa & friends

Menyeberang dari Batam ke Singapura sebenarnya sangat mudah, check in dapat dilakukan dengan menunjukkan nota pembelian tiket feri dari Indomaret beserta paspor sebagai identitas diri, loket imigrasi keluar dari Batam cukup lengang, dan perjalanan dengan kapal feri juga sangat nyaman dan hanya menempuh waktu kurang lebih satu jam perjalanan menuju pelabuhan Harbourfront.

Satu-satunya hambatan yang terjadi adalah ketika kapal feri tiba-tiba berhenti di tengah perjalanan yang kemudian membuat saya heran, “INI SUDAH BUKAN DI JAKARTA, DAN DI LAUT PULA, MASA MASIH KENA MACET?”. Usut punya usut, ternyata penyebabnya adalah sampah yang masuk ke baling-baling kapal, di mana saat itu kami masih berada di wilayah perairan Indonesia (yang ditandai dengan masih adanya sinyal operator).

Duh, shame on you Indonesians.

Sore Hari bersama Tanya Gromenko

Dari Harbourfront, kami beralih menggunakan kereta bawah tanah menuju 5footway.inn di Chinatown, penginapan yang telah saya pesan sebelumnya melalui Traveloka. Satu hal yang menjadi daya tarik Singapura bagi wisatawan adalah adanya transportasi umum yang nyaman dan murah, yang mungkin baru akan ada di Jakarta dalam 1-2 tahun ini.

“Guys, nanti ikut ketemu teman gue yuk!” Saya mengajak Fara dan Wandy yang baru saja meletakkan barang bawaannya di penginapan. “Namanya Tanya, orang Rusia.”

“Wih, orangnya cakep, Mish?” Tanya Wandy, penasaran. Maklum saja, namanya juga cowok yang sedang jauh dari pasangannya, sama seperti saya.

“Cakep sih, tapi sudah nikah.”.

Huvvttt. Ya sudah lah, yuk!”.

Saya mengenal Tanya Gromenko melalui Instagram, di mana saat itu Tanya –yang mengelola akun Instagram Singapura Unik, mengajukan sebuah penawaran kolaborasi untuk saling mempromosikan akun masing-masing. Saya mengajukan permintaan kepada Tanya untuk menunjukkan kepada saya tempat-tempat unik apabila saya berkunjung ke Singapura, sebelum saya menuliskan sesuatu untuknya.

Sebuah permintaan yang kemudian dijawabnya dengan mengantar kami … makan Nasi Padang di Singapura.

Nasi Padang Singapore

Selepas kenyang di restoran Nasi Padang yang bernama Yanti (bukan, bukan milik Kris Dayanti, ataupun Yanti Pesek), kami berjalan kaki ke The Pinnacle@Duxton, yang merupakan bangunan tempat tinggal unik setinggi 50 lantai yang terletak di pusat kota dan dekat dengan pusat bisnis Singapura. Yang membuatnya unik adalah, bangunan ini memiliki ‘The world’s two longest sky gardens’ yang terletak di lantai 26 dan 50 dengan panjang masing-masing 500 meter.

Dengan membayar biaya enam Dollar, kami dapat mengakses lantai 50 The Pinnacle@Duxton ini dan menikmati taman di puncaknya bersama warga setempat. Ada yang pacaran, ada yang berlatih breakdance, ada yang bersenda gurau, dan ada yang reunian di Singapura. Saya, Fara, dan Wandy.

Kami menghabiskan waktu lebih dari satu jam di sini, mengobrol dengan Tanya, tentang apa saja. Dia bercerita awal mula ketertarikannya dengan Indonesia (termasuk rencana menjelajahi Indonesia), tentang bagaimana dia bisa berbahasa Indonesia dengan baik, tentang cerita ketika magang di NET TV (bukan sebagai driver OK-JEK tentunya), dan tentang perjalanan hidupnya hingga bisa menetap di Singapura.

Tanya juga bertanya tentang pekerjaan saya di Indonesia, dan bercerita kembali mengenai rencana kunjungannya ke Indonesia “Saya juga mau mengenal para travel blogger lain di Indonesia. Bisakah?” Tanyanya.

“Umm, bisa tidak ya?” Kemudian saya membiarkan Tanya bertanya-tanya.

Sore itu diakhiri dengan kami yang berpamitan dengan Tanya, karena harus mengejar konser Foo Fighters di National Stadium yang akan dimulai pukul delapan malam. Namun sebelum berpisah, tak lupa kami melakukan Boomerang bersama.

Konser Foo Fighters

Selain transportasi umum berupa bus dan kereta bawah tanah, ternyata ada moda transportasi lain yang sangat nyaman di Singapura, yaitu taksi online. Kami baru kepikiran untuk menggunakan moda transportasi ini setelah Tanya menyarankan “Kalau pergi bertiga akan lebih hemat kalau naik taksi online.”, sebuah saran yang memang benar adanya.

Alhamdulillah, berkat saran tersebut, kami dapat tiba di National Stadium tepat waktu (walaupun sudah kehabisan merchandise resmi yang menarik), tanpa perlu terkena aroma rokok dan asap Kopaja. Ya iyalah, kan di Singapura.

Foo Fighters, here we come!

Foo Fighters Singapore

Sebenarnya, saya agak sedikit trauma menonton konser Foo Fighters ini, karena pada tahun 2012 saya pernah dikecewakan oleh mereka. Kala itu, mereka yang berencana untuk mengadakan konser di Singapura tiba-tiba membatalkan konsernya dengan alasan bahwa sang vokalis, Dave Grohl, sedang memiliki masalah (sakit) dengan tenggorokannya, padahal saat itu saya sudah memiliki tiket konsernya, yang saya dapatkan secara gratis akibat menang kuis.

Andaikan saja waktu itu Dave Grohl mengisap FG Troches, pasti saya tidak akan dikecewakan. Andaikan saja saat itu Dave Grohl sehat, pasti saya tidak akan menonton konser Duran Duran sebagai gantinya. Andaikan saja saat itu saya menonton Foo Fighters di Singapura, belum tentu saya kembali lagi ke Singapura untuk menonton konsernya bersama para sahabat. Sahabat saya, bukan Sahabat Peterpan.

Lalu, bagaimana konser malam itu? Luar biasa adalah jawabannya.

Kali ini Dave Grohl tampil prima, mungkin karena sudah banyak minum air putih dan tidak makan gorengan, sehingga performanya di atas panggung sangatlah menakjubkan. Sekitar dua jam, Beliau membawakan 19 lagu, hampir tanpa jeda, dengan teriakan-teriakannya yang lantang mengalahkan orasi Habib Rizieq.

Yang membuat saya luar biasa senang malam itu adalah banyaknya lagu-lagu lama yang dibawakan oleh Dave Grohl & Friends, yang kebanyakan merupakan lagu yang membuat masa muda saya bersemangat, mulai dari Learn to Fly, Monkey Wrench, Breakout, My Hero, hingga Big Me yang merupakan lagu wajib untuk dinyanyikan di tempat karaoke syariah.

Saya yang semula duduk di tribun sambil sesekali menonton siaran langsung sepakbola Tim Nasional Indonesia, kemudian bergeser mencari tempat kosong supaya dapat bergoyang dan berteriak mengikuti lagu-lagu yang dimainkan Foo Fighters malam itu. Sungguh sebuah konser paling menggairahkan yang pernah saya datangi.

Apabila konser Coldplay di Paris menghibur penontonnya dengan tata panggung dan efek hiburan yang luar biasa, Foo Fighters justru tampil sangat sederhana di Singapura, hanya bermodalkan tata lampu yang seadanya dan skill bermusik yang tiada duanya. Skill bermusik yang mungkin tidak akan saya temukan pada band-band masa kini, seperti Armada dan Kangen Band.

Malam itu, saya pulang ke penginapan dengan hati riang, walaupun taksi online yang ditunggu tak kunjung datang.

“Omong-omong, besok mau ke mana lagi kita?”

“Universal Studios, yuk!”