
Saya benci hujan, hujan selalu mengganggu acara liburan saya. Ketika saya mengunjungi Melaka, hujan turun dari pagi hingga siang dan membuat jadwal city tour saya berantakan. Pada saat saya pergi ke Osaka, hujan membuat langit menjadi kelabu dan mengurangi kecantikannya ketika diabadikan dengan kamera. Sewaktu ke Derawan, hujan turun mulai pagi dan membuat jadwal hoping islands menjadi molor. Saya benci hujan.
Saya benci hujan, hujan yang paling saya ingat adalah ketika saya kecil menemukan kucing kesayangan saya dengan perut yang menggelembung tewas di bawah derasnya hujan, yang kemudian membuat air mata saya mengalir lebih deras dari hujan yang paling deras.
Saya benci hujan, dan tatkala matahari menyinari seorang perempuan –yang saya prediksi berusia 30-an– yang membawa tulisan “Welcome to Puerto Princesa Mr. Arif” menyambut kedatangan kami di Puerto Princesa International Airport, saya dan Fara girang bukan kepalang, karena saya benci hujan.
“Filipina kan lagi ada typhoon!” Demikian komentar teman saya, ketika mengetahui saya akan berangkat ke Filipina beberapa waktu lalu. Belum lagi Fara yang mengirimkan potongan artikel tentang musibah taifun, di mana pada artikel tersebut terdapat cerita tentang kerusakan kota dan ribuan korban jiwa melayang karena angin siklon tropis yang mengguncang Filipina. Sekadar informasi, Filipina adalah negara yang paling banyak dilalui taifun tiap tahunnya, dengan rata-rata 24 buah taifun per tahun. Fakta yang membuat saya membenci taifun, karena bisa mengganggu liburan. Sama seperti alasan saya membenci hujan.
Matahari Puerto Princesa siang itu, membuat saya menjadi orang yang religius. Tak henti-hentinya saya mengucap Alhamdullilah kepada Tuhan karena diberikan cuaca yang sangat tepat untuk traveling. Terang namun tak menyilaukan, terik namun tak membakar kulit. Hangatnya matahari Puerto Princesa, membuat saya lupa bahwa saya membenci hujan.
“Do you have motorbike for rent?” Tanya saya kepada Ace, caretaker di Dallas Inn, tempat kami menginap.
“Yes, sure.” Pria itu mengangguk. “What kind of motorbike do you want to rent? Automatic, semi automatic?”
Saya yang macho pun memilih, “Give me the automatic one, please.”
Dan tak berapa lama, sebuah sepeda motor Honda Beat berwarna merah muda telah siap di depan penginapan.
Dengan 500 Peso, kami mendapatkan sebuah sepeda motor, lengkap dengan dua buah helm, sebuah setang, dan dua buah roda. Ace mengatakan, tak perlu membawa STNK ketika mengendarai sepeda motor di Puerto Princesa yang merupakan ibukota dan pintu masuk turis di Pulau Palawan, karena aman. Dia menambahkan bahwa driving license (baca: SIM C) Indonesia, juga dapat digunakan di sini. “Just don’t crash the bike.” Pesannya.
Di tikungan pertama, saya hampir ditabrak sebuah tricycle karena berjalan di jalur kiri. Near death experience tersebut mengingatkan saya bahwa saya harus lebih banyak beribadah di Filipina, lalu lintas berjalan di sebelah kanan. Sebelum berangkat, saya sudah menanyakan rute kepada Ace, bagaimana cara menuju Honda Bay, yang merupakan salah satu objek wisata unggulan Palawan, selain Underground River dan El Nido. “Just go straight to the north around 11 kilometres.” Ucap Ace sambil meminjamkan sebuah peta usang kepada kami “Turn right in the sixth intersection, and you will get Honda Bay.”
You’re welcome.
Saya mempercepat laju sepeda motor ketika barisan awan hitam muncul di langit. Sepeda motor yang tampak kurang perawatan dan kasih sayang tersebut ternyata memiliki masalah dengan mesin, karena dia tersendat ketika gas digeber lebih dari setengah tarikan. Belum lagi masalah rem yang tak pakem. Awan hitam tersebut kembali mengingatkan saya, mengapa saya membenci hujan.
Setelah menebak-nebak di manakah tikungan kanan ke enam yang dimaksud oleh Ace, kami tiba di pelabuhan Honda Bay, ketika hujan turun dengan derasnya. Dan saya pun semakin membenci hujan.
Kami berlari ke arah ticketing office yang terletak di seberang tempat parkir sepeda motor, untuk berteduh, sebelum mencari informasi bagaimana cara untuk menikmati Honda Bay, yang terkenal dengan islands hoping-nya.
“Kalian terlambat.” Ucap ibu penjaga tiket, dalam Bahasa Inggris, setelah kami menjelaskan bahwa kami bukanlah Pinoy (sebutan untuk orang Filipina, -red), “Ini sudah terlalu siang, untuk islands hoping ke beberapa pulau.”
Kami menjawabnya dengan memasang tampang sedih.
“Tapi…” Wanita itu menghela napasnya. “…kalian masih bisa kalau cuma pergi ke salah satu pulau saja.”
Nampak wajah girang diantara kami yang kemudian memutuskan untuk menyewa kapal seharga 700 Peso untuk mengunjungi Luli Island, yang menurut sang ibu bisa untuk snorkeling dan fish feeding. Tak berapa lama, hujan yang saya benci pun reda, berganti dengan matahari yang hangat.
Setelah rintik terakhir menghunjam, kapal tiga mesin tersebut berangkat dengan tiga orang kru, dan dua orang penumpang. Dan salah seorang kru meminta saya –dengan setengah memaksa– untuk memakai life vest. “JHi&r83 sW*^*di$^*ih fsa657RS6$??!” Serunya dalam Bahasa Tagalog, karena mengira kami adalah Pinoy.
Dari kejauhan, Luli Island nampak seperti pulau kecil dan sepi yang hanya terdiri dari gundukan pasir di tengah laut, yang di atasnya dibangun beberapa buah pondok, sementara di ujung pulau terdapat rimbunan pohon bakau. Menurut keterangan Ace yang saya dapatkan setelahnya, Luli dalam bahasa setempat berarti “up and down” atau pulau yang hanya muncul ketika laut surut, dan hilang ketika air laut naik.
Ada beberapa atraksi yang bisa dilakukan di Luli Island, selain bengong dan menatap laut. Di antaranya adalah snorkeling, fish feeding, hingga pre wedding. Untuk snorkeling-nya, tidak banyak yang bisa dilihat, karena air laut yang cukup keruh, dan terumbu yang sebagian besar sudah mati. Namun, ikan-ikan yang berenang di sini ternyata jumlahnya banyak, dan mereka akan mendekat apabila kita membawa segenggam makanan di tangan. Puas bermain di dalam air, saya berjalan-jalan menyusuri pantainya yang hanya sepanjang kurang lebih dua ratus meter, sebelum kembali ke kapal untuk meneruskan perjalanan berikutnya.
Pada perjalanan menuju kota, kami sempat mengunjungi Puerto Princessa Memorial Park, yang terletak searah dengan rute kami. Tempat ini merupakan komplek pemakaman paling megah di sana, di mana terdapat beberapa makam yang dibangun sangat megah, dan menyerupai rumah manusia yang masih bernyawa. Tepat di tengah komplek ini, terdapat Patung Yesus yang berdiri tinggi menjulang, dengan warna putih yang nampak berkilat ketika tertimpa cahaya matahari.
Tujuan akhir kami hari itu adalah mengunjungi Baywalk, yang dikatakan sebagai tempat rekreasinya penduduk setempat, juga tempat paling tepat untuk bercengkerama sambil duduk santai menikmati matahari terbenam. Saat kami tiba di sana, sudah nampak beberapa Pinoy yang bersepeda santai sambil mengobrol, jalan santai sepanjang Baywalk, dan pacaran santai sambil menatap laut. Saya yang kecapekan setelah aktivitas hari itu, memilih beristirahat sejenak, sambil santai memainkan laptop. Untungnya, hujan yang saya benci tidak menampakkan lagi rinainya.
Ketika saya sedang asyik memainkan laptop, seorang bapak tua muncul sambil menjinjing barang dagangannya. “Balut, Balut, Balut.” Serunya. Kami yang penasaran tentang makanan khas Filipina bernama balut, memanggilnya, dan membeli makanan yang dijajakannya.
“Abang tukang balut, mari-mari sini, aku mau beli.” Senandung saya dalam hati.
Balut, merupakan embrio ayam atau bebek yang hampir menetas –dan sudah terbentuk tulang, kulit, dan bulunya– yang direbus, dan disajikan panas di dalam kulit telurnya. Penduduk lokal biasa menambahkan garam, sambal, dan cuka ketika menyantap balut tersebut. “It’s very delicious.” Dia memberikan kantung plastik untuk membuang sisa-sisa kulit telur tersebut. “So you’re not a Pinoy?” Ucap si bapak, yang masih menyangka kami adalah Pinoy. Fara menggeleng dan memberikan uang kepada si Bapak. Pria itu memasukkan uang ke dalam celananya (yes, literally inside his pants, –or a place between his pants and his eggs– not his pocket.) dan berlalu setelah memberikan kembalian yang diambil dari dalam celananya. “Enjoy!” Serunya.
Sekadar informasi, Puerto Princesa merupakan salah satu kota terbersih di Filipina, yang telah sering memenangkan penghargaan atas kebersihannya tersebut. Di Baywalk, saya tidak mendapati sampah-sampah berserakan dan menemukan banyak sekali tempat sampah yang disediakan untuk para pengunjung. Kondisi yang sangat mirip dengan objek wisata di Indonesia, namun bedanya, di Indonesia, pengunjung lebih suka membuang sampah (terutama puntung rokok) tidak pada tempatnya.
Lampu-lampu mulai dinyalakan, ketika Tuhan menyalakan gelap. Hangat matahari yang sedari tadi menyinari Puerto Princesa pun perlahan menghilang seiring dengan semilir angin malam. Kami menikmati pergantian siang menjadi malam tersebut dengan syukur, karena hujan yang dibenci tidak muncul lagi hari itu. Saya berharap, cuaca akan tetap bersahabat hingga akhir liburan, karena esok harinya, saya dijadwalkan untuk mengikuti Underground River Tour, yang masuk sebagai The New Natural Seven Wonders bersama Pulau Komodo, Indonesia.
“Mr. Arif!” Seru Ace, ketika kami kembali ke penginapan malam harinya. “Your tour will pick you up tomorrow at seven. Well, maybe around 6:45 to 7:00, the tolerance is approximately 15 minutes.“
“So how about the typhoon?” Saya memastikan bahwa kabar mengenai Typhoon Haiyan –yang merupakan taifun terbesar selama beberapa tahun– yang santer terdengar beberapa hari itu, tidak akan menjadi masalah. “Is it safe to go to underground river tomorrow?“
“Yes, sure. As long as there’s no cancellation, it’s safe to go.” kata Ace meyakinkan kami. “Typhoon doesn’t pass here, they just bring rains in Puerto Princesa.“
Yeah, rain. But too bad, I hate rain.
Pagi harinya, kami telah siap sejak pukul 6:45, dan kemudian mendapati seorang Pinoy tergesa-gesa masuk ke penginapan dengan nafasnya yang tersengal. “Bro.” Ucapnya, yang dilanjutkan dalam Bahasa Tagalog setelah melihat wajah saya.
“Sorry, but I’m not a Pinoy.“
“You are? But you look like a Pinoy.“
“No, I’m not.” Saya menegaskan jawaban. “So, what happened?“
“Well, bro. I’m from the travel agent.” Pria itu menghentikan kalimatnya, dan memelankan intonasinya. “The underground river tour today, is cancelled, because of the typhoon.”
Kemudian saya menjadi benci kepada pria yang baru saja saya temui tersebut. If you believe love at first sight, I just experienced hate at first sight.
Hari itu, Puerto Princesa dilanda hujan deras seharian, dan saya benci hujan.
Tagged: Balut, Baywalk, Dallas Inn, Honda Bay, Luli Island, Palawan, Philippines, Puerto Princesa
Pertamax, Gan!
*halah*
*dijejelin cendol*
LikeLike
Hahaha!
10.500 seliter ya! Thanks for coming, Driv!
LikeLike
sepertinya dirimu kalau jalan selalu kena hujan ya
LikeLike
Huhuhu, apes yah.
LikeLike
gk juga sih tapi jd unik ada cerita tersendiri jdnya
LikeLike
penasaran, kenapa dilewat adegan makan balut-nya? 😉 #curiga
LikeLike
Karena mau disimpan buat postingan tersendiri, hahaha. Stay tuned 😀
LikeLike
Pengen ke Filipin juga belum keturutan. Hmpph.
LikeLike
KE GUNUNG GEDE AJA GAK JADI-JADI, HIH!
LikeLike
HAHAHAHAHA JANUARI YA BISA GAK?
LikeLike
BISA DIATUR! AWAL JANUARI BOLEH JUGAK!
LikeLike
menantikan adegan makan balut 😀
LikeLike
Itu ada di postingan terpisah, yang entah kapan dipost! 😀
LikeLike
BISA DIATUR! GUE SEKALIAN PROMO TRIP GUNUNG! *capek ya capslokan~
LikeLike
jalanan di sana pake beton semua? btw, baywalk-nya persis ancol tapi lebih bersih kelihatannya
LikeLike
Itu jalan luar kota yang pakai beton, kalau yang di kotanya mirip-mirip Indonesia kok, ada lubang juga hehe.
Baywalknya bersih banget, padahal masuknya gratis. Bandingin sama Ancol yang bayar, tapi masih kotor 😀
LikeLike
iya di Indonesia yg bagus2 kebanyakan bayar –“
LikeLike
Dan yang bayar belum tentu bagus, ehehehe.
LikeLike
Aku malah ga sempat singgah ke Puerto Princesa. Hiks. Cuma lewat doang dari bandara ke San Jose Terminal dan lewatnya malem kemudian subuh.
Kotanya asri banget ya. Dan paling suka taman kota yg banyak lampu2 unik depan Coliseum. Pengen singgah tapi batal juga…gara2 hujan.
LikeLike
*salahin hujan dulu*
Iya, aku malah gak bisa kemana-mana kemarin cuma dapat Honda Bay doang, sisanya kuliner, haha. Terus nextnya pengin semingguan di Palawan, sepertinya banyak objek yang menarik deh 😀 Thanks udah mampir, Koh.
LikeLike
Kalau ke Palawan lagi, singgah ke Coron & El Nido, riev. Dan jangan musim taifun lagi ya, hahahaha.
LikeLike
Hahaha, kemarin gak tahu kalau pas taifun. Soalnya beli tiket gak lihat musim. Kayaknya emang harus ke utara Palawan biar maksimal 😀
LikeLike
Lah podo. Tahun kemarin pergi Oktober ga ada apa2, tahun ini kena Taifun Santi. Labil.
LikeLike
Ow… Sebaliknya. Saya sangat suka hujan.
Hehe. I’m sorry about the rain and the cancellation but I love rain.
Love. Love. Love.
Haha. Komen gak penting.
LikeLike
Hahaha. Beda-beda sih kalau tentang hujan, tapi kalau liburan sebaiknya jangan hujan 😀
Katanya musim hujan di Kerala India juga bisa jadi objek wisata, menyusuri sungai-sungainya di tengah hujan.
LikeLike
Sekali ini gw ninggalin jejak disini, agak bahaya sebenernya tapi yasudahlah ya..
LikeLike
*pura-pura matik*
LikeLike
gw kan silent reader nya udah lamaa bung, tapi yasudahlah yaa *bulu kuduk meremang*
LikeLike
Asalkan bos gak ikutan, aman deh. *ikutan merinding*
LikeLike
Tips tentang jalanan di sebelah kanan itu berguna banget! Hhaaa 😀 . Jadi kita lebih hati-hati buat jalan kaki/berkendara di jalan raya luar negeri 😀
LikeLike
Hihi, mentang-mentang anak BlueBird yang dikomen tentang lalu lintasnya 😀
Makasih udah mampir kak!
LikeLike
Lah tinggal pake jaket hujan deh ah :)))
LikeLike
Aahaha, kemarin udah pakai, tapi yang jaket aja gak sama celana. Pengalaman kalau pakai jas hujan sambil naik motor, pasti selangkangan basah 😐
LikeLike
kalo lagi jalan emang gak suka hujan..tpi klo lgi di rumah suka liat rintik-rintik hujan yang turun…
LikeLike
Ohiya, bener juga tuh. Enakan di rumah, terus selimutan sama … *sinyal ilang*
LikeLike
kak, aku ikut kak kalau mau ke Palawan. ;P
LikeLike
Yuk, kayaknya aku mau ke sana lagi, yang kemarin belum puassss!
LikeLike
Saya suka HUjAN!!! Haha
LikeLike
Saya suka hujaaan
LikeLike
iye Rid, iyaaaa!
LikeLike
kok aku blm pengen ke filipina ya? lebih tertarik ke kamboja, india, atau london sekalian. *digaplok*
LikeLike
Nah, ini baru masuk, hahaha.
Aku mau namatin ASEAN dulu, mbok, baru pindah ke region lain, ehehe.
Kamboja udah, India udah, London mau nabung atau cari sponsor dulu. *gaplok pake duit*
LikeLike
gua juga ngak suka ujan bikin make up gua luntur hahahahhaa
anyway truly enjoy reading your story 😉
LikeLike
Hahaha iya kalau di aku bikin minyak rambut luntur kalau pas pakai, ah, terima kasih mbak turis cantik yang baru saja menikah.
Turut berbahagia 😀
LikeLike
Aku mau komen, tapi kayaknya udah banyak yang komen. Lain kali aja ah kalo gitu. Daaaah~
LikeLike
HIH! Akhirnya bisa komen juga Do :’)
LikeLike
jadi kalo gitu mending besok bawa pawang aja pas traveling
atoo…
belajar jadi pawang biar setiap kota yg dikunjungi cerah ceria
*dikeplak*
LikeLike
*keplak*
Apa perlu bawa kolor buat dilempar di atap hostel?
LikeLike
blognya seru bgt plus bikin ngakak! kalo dibikin novel pasti byk yg beli 😀 saingan sm raditya dika
LikeLike
Ah, masaaaa :’)
Thanks udah baca yaaa ~
LikeLike
Penasaran sama bentuknya balut…posting donk
LikeLike
Anu, kayaknya pernah posting di instagram deh.
http://www.instagram.com/arievrahman 😀
LikeLike