Dieng, Minggu pukul 00:00

“AAAARRRGGGGGHHHHH!!!!”

“TOLOOONNGGGGGG!!! TOLOOOONGGGGGGGG!!!”

“IBUUUUUU AMBILKAN BULAN BUUUU!!”

Jeritan Bombom sontak membuat kami yang sedang tidur di ruang tengah tersadar, tak ada angin tak ada hujan tak ada ojek tiba-tiba dia menjerit bak orang kesurupan di Dunia Lain. Sayang waktu itu tak ada kamera di ruangan berukuran 5x3meter tersebut, sehingga kami tak dapat melambaikan tangan ke kamera.


Dieng, Sabtu pukul 22:00

“Tadi katanya ada orang kesurupan setelah sembahyang di Candi.”

Kalimat saya sekaligus mengganti topik obrolan 3 orang remaja yang sudah memasuki bab wanita dan semua (hal yang selalu dan pasti dijadikan) permasalahannya.

“Ah, serius lu?”

“Iya, ngapain juga gue bohong. Ga bakal bikin barang (hidung, bukan barang yang lain. -red) panjang juga.”

“Kok bisa kesurupan sih?”

“Ya mungkin gara-gara ga sopan di tempat-tempat suci mungkin. Kayak candi dan gua keramat itu kan tempat-tempat yang ga boleh diperlakukan sembarangan. Oiya, tadi kayaknya gue lihat lu foto-foto di candi sama di deket pohon dengan pose aneh-aneh ya Bom?”

“…”

Bombom terdiam.

***


Jakarta, Jumat pukul 21:00

Rombongan @Tukang_Jalan berangkat menuju Dieng dari Plaza Semanggi, dengan menunggangi beberapa ELF yang pasrah ditunggangi. #halah *semoga tak ada fans Suju yang baca* Perjalanan yang diperkirakan menempuh waktu sekitar 10 jam ini berhenti di beberapa rest area dan pee stop, tentunya untuk beristirahat dan berpipis ria. 

Berdasarkan hasil googling, nama Dieng berasal dari gabungan dua kata bahasa Sunda Kuna: “di” yang berarti “tempat” atau “gunung” dan “Hyang” yang bermakna “Dewa”. Dengan demikian, Dieng berarti daerah pegunungan tempat para dewa dan dewi bersemayam. Kenapa bahasa Sunda, padahal Dieng ada di Jawa Tengah? Karena diperkirakan pada masa pra-Medang 600, daerah itu berada dalam pengaruh politik Kerajaan Galuh. Hmm.. #okesip


Dieng, Sabtu pukul 10:00

Setelah sarapan di By New Must (Baca: Banyumas), rombongan pun tiba di Dieng dengan selamat dan langsung menuju gardu pandang untuk menikmati keindahan alam dari ketinggian. Gunung (baik yang alami maupun “yang lain”), sawah, hingga  rumah-rumah penduduk yang membentang di kejauhan menghasilkan suatu komposisi yang indah. Jauh lebih indah daripada senyum bapak kamu, ketika saya ngapel untuk pertama kalinya. Setelah saya hitung-hitung sambil tengok kanan-kiri, ternyata Gardu Pandang ini berada di ketinggian ± 1.789 meter di atas permukaan laut.

View dari gardu pandang, sekitar 1.789 meter di atas permukaan laut.

Pekerja di ketinggian

Cheese!

Selepas check-in dan makan siang di homestay yang telah dipersiapkan oleh tim @Tukang_Jalan, kami pun mengunjungi beberapa objek wisata yang berada di Dataran Tinggi Dieng, di antaranya adalah:

1. Komplek Candi Arjuna

Komplek Candi Hindu ini adalah yang terluas di Dieng, yang terdiri dari beberapa candi. Sayangnya hanya beberapa candi yang masih utuh, sementara lainnya sudah rapuh terkena cuaca dan osteoporosis. Hal positif dari komplek candi ini adalah lingkungannya yang bersih dan asri.  Menurut saya, Komplek Candi Arjuna ini merupakan komplek candi paling rapi di Indonesia (walaupun tak pakai behel).

Saat kami berkunjung ke sana, sedang berlangsung ibadah bagi para penganut agama Hindu.  Hal tersebut tentunya tak luput dari jepretan kamera beberapa pengunjung yang berprinsip “Jangan sampai ibadah mengganggu kesenangan memotret”. Ups. Yang perlu diingat dari Komplek Candi Arjuna adalah, walaupun menggunakan nama-nama Pandawa Lima sebagai nama candi namun tidak ditemukan nama Candi Ahmad Dhani atau Candi Ari Lasso di sana.

Satu hal lain yang menarik perhatian saya, hari itu saya bertemu dengan beberapa pengunjung yang ingin melakukan ritual pertapaan sekaligus uji nyali di candi ini pada malam harinya. Huwow!

Komplek Candi Arjuna

Candi Arjuna

Sembahyang

2. Kawah Sikidang

“Dimohon tidak terlalu dekat dengan bibir kawah.” Itulah peringatan yang kami dapat ketika memasuki halaman kawah Sikidang. Bau belerang dan asap tebal menyambut kehadiran kami di sana. Kawah Sikidang ini merupakan sebuah kolam belerang yang mungkin hanya berdiameter sekitar 20 meter, dan selalu menyembulkan asap seperti perokok akut. Di sini, saya berpikiran bahwa peribahasa “Di mana ada asap, di situ ada api.” adalah salah.

Di dekat kolam belerang, ada bukit kecil yang bisa dipanjat dan katanya view dari atas bukit lebih bagus daripada di dalam bukit. #yaiyalah Dengan semangat 69, beberapa orang mencoba menaiki bukit tersebut dan ternyata memang benar bahwa view di atas bukit tersebut Subhanallah indahnya. Di jalan keluar setelah kolam belerang, saya menemukan penjual bijih belerang yang berkata bahwa belerang bisa menyembuhkan beberapa penyakit kulit. Sayang dia tak menyebutkan kalau belerang bisa membuat enteng jodoh, sehingga saya pun hanya berlalu.

FYI, di kawah ini kamu bisa kentut sembarangan dan tak akan ada orang yang menyadarinya. Menarik, bukan?

Dimohon tidak terlalu dekat dengan bibir!

View from the top

Gadis penjual belerang

3. Dieng Plateau Theater dan Telaga Warna

Kalau Jakarta punya IMAX, maka Dieng punya apa yang dinamakan “Dieng Plateau Theater”. Sebuah tempat menonton film, dengan kualitas Cinema 21 rayon Jawa Tengah. Hari itu, film yang diputar adalah “Asal-usul dan Sejarah Terbentuknya Dieng”. Kurang lebih ceritanya adalah seperti ini: Dahulu kala, terjadi gempa vulkanik di sebuah gunung lalu … saya tertidur.

Cinema 21-nya penduduk Dieng

Tak jauh dari Dieng Plateau Theater, terdapat sebuah telaga yang katanya merupakan tempat wisata terpopuler di Dieng versi On The Spot. Namanya adalah Telaga Warna, dinamakan demikian karena warna airnya dapat berubah sesuai dengan pantulan cahaya matahari. Di kawasan Telaga Warna ini juga terdapat beberapa spot turisme lain seperti Telaga Pengilon, yang bisa digunakan untuk bercermin dan Gua Semar, yang konon pernah digunakan sebagai tempat pertapaan Mantan Presiden Soeharto dan Mantan Wakil Presiden Tri Sutrisno. Lalu SBY mana? Mungkin sedang bertapa karaoke di Inul Vizta. Oh iya, untuk memasuki Gua Semar tidak dapat dilakukan sembarangan karena ada syarat dan ketentuan yang berlaku. Di antaranya adalah harus didampingi juru kunci, dan sepeda motor dilarang masuk.

Tebak ada berapa warna di sini? Ya benar, banyak.

Persembahan di telaga

Don’t try this at home, try it here!

Mari-mari sini *a la boneka kucing Cina*

4. Kedai Makanan Khas Dieng

Seperti halnya Arab Saudi dan Afghanistan, Dieng juga memiliki beberapa makanan dan minuman khas. Diantaranya adalah:

  • Carica, merupakan buah yang pohonnya mirip pepaya namun dengan ukuran buah yang lebih kecil. Pohonnya mirip lidah playboy, yaitu bercabang. Carica biasa disajikan dalam bentuk manisan dalam botol. Harga sebotol kurang lebih Rp. 10.000,- Uniknya, di Indonesia sebagian besar pohon Carica hanya tumbuh di dataran tinggi Dieng.
  • Kentang Goreng, yang oleh orang Jawa disebut juga French Fries. Disajikan dengan taburan keju, bubuk cabai, atau bubuk barbecue sehingga menambah citarasanya. Nyam! Harga mulai Rp. 5.000,- per porsinya.
  • Jamur Krispy (orang Dieng suka typo kalau nulis), jamur yang digoreng lalu disajikan dengan berbagai rasa. Sama seperti kentang goreng, harga per porsi mulai dari Rp. 5.000,- juga.
  • Purwaceng, inilah minuman khas yang dijual di Dieng yang dipercaya sebagai viagra tradisional yang dapat meningkatkan stamina pria. Purwaceng berasal dari tumbuhan herbal dari genus Apiaceae, yang dapat disajikan dalam bentuk kopi atau susu. Saat itu, saya tak sempat membeli ataupun bertanya tentang harganya karena saya justru membutuhkan obat lemas, bukan obat kuat.

Belum ke Dieng, kalau belum makan Carica, he he.

Purwaceng (dijual di dalam botol dan kardus di atas Mie Gelas)

Mushroom, but won’t make you fly.

Setelah lelah berjalan-jalan seharian, kami menunggangi ELF  (karena tak ada naga terbang) lagi untuk kembali ke home stay  guna makan malam lalu beristirahat. Dan karena suhu yang lumayan dingin (mencapai belasan derajat celsius), kami pun memakai baju hangat seperti jaket dan sweater, mandi dengan air hangat, juga berpelukan dengan … api unggun. Hal yang patut diperhatikan, di sini hampir semua home stay menggunakan bukan nama yang sebenarnya seperti Mawar, Melati, semuanya indah.

Mawar Merah (bukan nama sebenarnya)

Jalan menuju Mawar Merah


Dieng, Minggu pukul 00:05

Tepat di puncak teriakan Bombom, saya yang tertidur di dekatnya mulai membuka mata. Mencoba memahami tempatku berlabuh, terdampar di keruhnya satu sisi dunia. Lampu sudah menyala, siapa yang menyalakan lampu ruang tengah? Siapa yang menumbuhkan rindu dalam dada? Samar terlihat, salah seorang peserta trip (sebut saja namanya Mr. X) sedang memegangi kaki Bombom yang merintih kesakitan.

“ADUUHHH SAKIITTTT!!!”

“Udah tenang saja, ini cuma kram karena kedinginan.”

“SAKIITTTTT!!!”

Mr. X mulai memijat kaki Bombom yang mengeras, (kaki kanan, bukan kaki tengah. -red) lalu mengoleskan balsem untuk melunakkan otot yang mengeras. Dalam pikiran innocent saya, kok Purwaceng malah bikin keras bagian lain?

“Udah gapapa kok, lanjutin aja tidurnya.”

Bombom pun terlelap.


Dieng, Minggu pukul 04:00

Pagi-pagi buta, kami sudah dibangunkan oleh sang pemandu yang akan mengantar melihat sunrise di Puncak Sikunir. Perjalanan menuju lembah Sikunir ditempuh dengan menunggangi ELF selama sekitar 30 menit. *maaf ya Fans Suju* Dari dasar Sikunir, kita harus menempuh jalan setapak yang naik sepanjang 800 meter (kata Pemandu) untuk menuju puncaknya. Bagi yang tak biasa berolahraga malam, mungkin perjalanan ini akan terasa cukup berat karena medan yang menanjak dan gelap sepanjang jalan. Setelah kurang lebih mendaki selama 30 menit, sampailah kami di puncaknya. Dan yang bikin kami terkejut adalah: ADA PENJUAL POP MIE DI PUNCAKNYA!

Anyway, matahari terbit di puncak Sikunir sangatlah indah. Kalau kata orang, mirip telur mata sapi walaupun kita tahu sapi itu tak bertelur. Enjoy it!

Sunrise!

Amazingly beautiful!

Bombom (baju putih di bawah, wajah sengaja disamarkan dari lahir)


Wonosobo, Minggu pukul 12:00

Dalam perjalanan pulang menuju Jakarta, rombongan mampir sejenak di Wonosobo untuk menikmati makanan khas Wonosobo yaitu Mie Ongklok. Kebetulan kali itu, Kios Mie Ongklok Pak Muhadi yang mendapatkan durian runtuh. Mie Ongklok ini seperti Mie Koclok Cirebon, tapi disajikan dengan bumbu kacang. Paduannya adalah sate sapi, yang dimasak dengan cara didendeng mirip-mirip seperti Sate Kalong Cirebon. Rasanya? Jangan ditanya. Bikin kangen!

Mie Ongklok, makanan khas Wonosobo

Penampakan Mie Ongklok

Karena lalu lintas yang padat, kami baru tiba di Jakarta pada tengah malam. Perjalanan ke barat sendiri berlangsung menyenangkan, banyak pengalaman baru bersama teman-teman baru. Untuk biaya, trip yang berlangsung dari tanggal 11-13 Mei 2012 dan difasilitasi oleh @Tukang_Jalan ini biayanya sekitar lima ratus ribuan all in per kepala atas. Info lengkap mengenai trip mereka, bisa dicek di www.tukangjalan.com

(Sebagai bacaan tambahan, @FaraFaya juga menulis mengenai #DiengTrip ini di sini)

***


Dieng, Minggu pukul 01:00

Karena tak bisa tidur lagi, saya pun berbincang dengan pemandu kami mengenai peristiwa mistis yang terjadi di Dieng dan dia bercerita bahwa memang sudah banyak hal-hal aneh yang terjadi di sini.

“Namanya juga tempat wingit*, ga boleh bersikap sembarangan di sini.”

Saat itu tiba-tiba Bombom terbangun, sambil merintih kesakitan.

“Aduuuhhh.. Sakiit.. Kaki gue kram.”

Pemandu kami langsung mengambil posisi untuk memijat dan mengurut kaki Bombom.

“Tenang Bom, rileks aja kayak di tripleks.” ucapnya.

Saya yang penasaran, menanyai Bombom yang sudah sadar.

“Tadi belum sembuh Bom? Yang diurut sama Mr.X?”

Bombom cuma bisa bengong.

“Tadi loh, yang elu teriak kesakitan pas jam 12 malam.”

“Hah, apaan ya?”

“Lah, jadi lu ga inget apa-apa tentang kejadian tadi?”

“Eng…ga.”

Entah kejadian apa yang menimpa Bombom waktu itu, hanya Tuhan yang tahu. Wallahualam bi shawab.

*) wingit: keramat; tempat yang dikeramatkan seperti kuburan, tempat ibadah, atau pohon besar.