“Nanti di Tanzania, kalian mau safari ke mana saja?” Tanya Bu Anita, pada malam perjumpaan kami di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) wilayah Nairobi, Kenya. Pertemuan demi pertemuan dengan orang Indonesia dalam perjalanan, berujung membawa kami ke sebuah acara random yang tak pernah kami bayangkan sebelumnya, yaitu Sosialiasi Pemilu 2019 di KBRI. Bu Anita, adalah satu dari puluhan tamu undangan KBRI, yang telah tinggal cukup lama di wilayah Afrika Timur bersama keluarganya.

“Paling cuma ke Tarangire dan Ngorongoro, Bu.” Jawab saya setelah berdalih bahwa kami memang hanya mempunyai waktu terbatas di Tanzania. Padahal alasan utamanya, adalah biaya safari yang mahal, sehingga kami hanya mampu mengikuti paket safari dua hari satu malam, dengan tujuan utama Tarangire National Park dan Ngorongoro Crater.

“Eh jangan salah, kalau Tarangire dan Ngorongoro sih bukan cuma namanya.” Ibu Anita mengibaskan lengannya ke arah kami, menampik jawaban saya. “Tarangire itu sudah bagus, Ngorongoro apalagi. Itu tempat safari yang paling bagus di Tanzania.”

“Oh, begitu ya, Bu.” Dari obrolan singkat di penghujung malam tersebut, saya mendapat sebuah pencerahan mengenai Ngorongoro, yaitu bahwa “There is no other place in the world, like Ngorongoro.”.

Berbekal obrolan singkat dengan Bu Anita dua hari sebelumnya, saya berangkat ke Ngorongoro pagi itu dengan sebuah ekspektasi yang sangat tinggi supaya dapat menikmati safari dan berjumpa dengan satwa-satwa unik di savana. Benar saja, begitu tiba di pintu masuk Ngorongoro Conservation Area, kami langsung disambut oleh pemandangan menakjubkan yaitu…

Ngorongoro

Baboon kawin!” Teriak saya dalam hati, ke arah sepasang baboon yang bersenggama pada tembok pembatas parkir. Beberapa detik sebelumnya, baboon pria yang bertubuh lebih besar tiba-tiba melompat ke arah betinanya yang sedang berjalan santai sambil memamerkan pantatnya, dan langsung menusuknya dari belakang sambil memanjatnya sedikit. Baboon style.

Tanpa sempat melakukan kultwit tentang pelecehan seksual, saya pun membiarkan mereka melakukan hal tidak senonoh tersebut. Ya namanya juga binatang, bebas. Tidak perlu berperikemanusiaan, walaupun kebalikannya, banyak manusia yang sekarang suka melakukan hal-hal seperti binatang.

“Please wait here.” Pinta Alpha, driver sekaligus guide safari kami usai dia memarkirkan mobil safarinya di pintu masuk Ngorongoro Conservation Area, yang juga masuk ke dalam daftar UNESCO World Heritage Site sejak 1979. “I will take care of the permits first.”

Akhirnya, setelah perjalanan dua jam dari Panorama Camp Site dekat Lake Manyara, kami tiba di Ngorongoro, tempat yang disebutkan oleh Ibu Anita sebagai lokasi safari terbaik di Tanzania. Saya, saat itu bersama dengan Nugie (tanpa Adis yang pulang lebih dahulu karena ayahnya meninggal dunia) mewakili Indonesia, sementara peserta lainnya ada Trevor dari Amerika Serikat, Makoto dari Jepang, juga duo Kristina dan Jenny dari Jerman.

Ngorongoro Safari

Hamba Allah – Nugie – Trevor – Kristina – Alpha – Jenny – Makoto

Tak berselang lama, Alpha sudah kembali dengan beberapa lembar dokumen di tangan, dan meminta kami untuk masuk kembali ke dalam mobil, karena sebentar lagi safari yang sesungguhnya akan segera dimulai.

“Let’s go!” Panggilnya.

“Let’s go lah, masa gak go!”

Di dalam mobil berkapasitas tujuh penumpang dengan tiga pasang jok menghadap depan itu, Jenny dan Kristina duduk pada barisan paling belakang bersama cooler box, sementara di depannya terdapat Trevor bersama bangku kosong yang seharusnya menjadi tempat duduk Adis, kemudian di depannya lagi terdapat saya dan Nugie, yang mendapat hot seat karena dekat dengan colokan. Tepat di depan saya, ada Makoto yang duduk di samping Alpha yang giat bekerja mengendali mobil supaya baik jalannya.

Sekadar informasi, mobil safari yang digunakan di sini adalah sebuah Land Cruiser yang mungkin sudah berumur belasan tahun, dengan sistem transmisi 4×4 dan atap mobil customised yang dapat dibuka untuk mengamati satwa nanti. Ya kira-kira seperti ini penampakannya.

Ngorongoro Safari
Land Cruiser, bukanlah sebuah jeep, melainkan mobil produksi Toyota yang dibuat menyerupai Jeep, yang sekarang justru lebih populer dari Jeep itu sendiri. Sama seperti orang Jawa yang suka melabeli sepeda motor jenis apapun dengan Honda, maka kitapun sering salah kaprah dengan melabeli mobil 4x4 seperti gambar di atas dengan jeep.

“Can we open the top now?”  Tanya saya begitu mobil mulai melaju naik ke dalam Ngorongoro Conservation Area. Ya, untuk menuju Ngorongoro Crater (crater = kawah) yang merupakan sajian utama dalam perjalanan ini, kami harus naik dulu ke tepian kawah, sebelum turun ke dalam kawah yang sudah tidak aktif sejak tiga juta tahun lalu.

“Not now.” Jawabnya. “It’s too cold now.”

Bagi yang beranggapan bahwa Afrika itu panas, terik, membuat kulit gosong, dan dapat menggagalkan 7 Steps Korean Skin Care yang dilakukan setiap hari, maka itu adalah anggapan yang salah, karena Tanzania –khususnya kawasan Ngorongoro ini adalah kawasan yang dingin dengan suhu yang bisa lebih rendah dari belasan derajat pada pagi hari.

Semilir angin dingin yang mengingatkan saya akan hawa di Ungaran pada tahun 90-an awal berhembus melalui sela-sela jendela mobil yang belum dilengkapi fitur Power Window tersebut. Tak lama, Alpha menghentikan mobilnya pada sebuah viewpoint dengan pemandangan kawah di bawahnya.

Ngorongoro Crater

Inilah Ngorongoro Crater, The World’s Largest Inactive, Intact, and Unfilled Volcanic Caldera, atau (bekas) kawah gunung berapi tidak aktif yang terbesar di dunia. Kawah yang terbentuk ketika gunung berapi besar yang diestimasi berada di ketinggian 4.500-5.800 meter meletus jutaan tahun lalu ini memiliki dalam 610 meter, melingkupi wilayah seluas 260 meter persegi, dan berada pada ketinggian 1.800 meter di atas permukaan laut.

Saat ini, Ngorongoro Crater merupakan rumah bagi lebih dari 25.000 binatang, yang kalau kamu tidak percaya bisa dihitung sendiri. Yang dapat kamu bayangkan adalah sebuah mangkuk sop, dengan sajian lengkap sayuran dan lauk-pauk di dalamnya, maka itulah Ngorongoro Crater dengan binatang-binatang di dalamnya. Sekadar informasi lain, Ngorongoro di sini tidak berafiliasi secara langsung dengan Ngoro Ngoro Ombo, ya.

Karena keunikannya tersebut, kawah ini dinobatkan sebagai salah satu dari Seven Natural Wonders of Africa pada tahun 2013.

Source

“Do you see black dots below?” Trevor menunjuk sekumpulan titik-titik yang berada pada savana di bawah. “What are those?”

“Umm, I am not sure.” Saya menggeleng, sebelum bergerak kembali mobil dan mengambil kamera Fujifilm X-T2 dengan lensa XF 100-400mm yang sudah saya siapkan untuk keperluan safari ini. “I think it’s like … buffaloes.”

“It’s Wildebeest.” Alpha menegaskan, sambil menyebutkan sebuah nama hewan yang tidak akan ditemukan ketika Idul Adha di Indonesia. Wildebeest adalah herbivora berkaki empat, dengan perawakan mirip kerbau, namun memiliki wajah yang menyebalkan. “Let’s see them closer!” Ajak Alpha, sambil meminta kami kembali ke dalam mobil, dan bersiap turun ke dasar kawah.

Perjalanan menuju dasar kawah, adalah sebuah kesenangan tersendiri. Selama kurang lebih satu jam perjalanan menuruni kawah, kami disajikan pemandangan alam yang mungkin belum pernah kami lihat sebelumnya –kami di sini berarti semua, kecuali Apha, tentu saja. Tumbuhan perdu hijau dengan pepohonan tua tinggi menjulang seakan membawa pemikiran saya bahwa Jurassic World atau bahkan Wakanda, mungkin saja memang ada dan terletak tersembunyi di Afrika, sementara kawanan Thomson’s Gazelle dan zebra yang berkumpul di pinggiran jalan kamudian membuyarkan impian saya, karena kalau dinosaurus masih ada, tidak mungkin mereka masih hidup.

Sesekali kami melewati desa-desa Maasai yang terletak dekat dengan danau alam di tengah savana, hidup berdampingan damai di antara riuhnya binatang di sekelilingnya. Tidak salah rasanya kalau dahulu, wilayah ini disebut sebagai “The unparalleled beauty of one of the world’s most unchanged wildlife sanctuaries”.

Wuopooo kuiii?

Ngorongoro Crater

Nama Ngorongoro sendiri, konon berasal dari suara yang terdengar dari lonceng sapi yang digunakan penduduk Maasai untuk memanggil ternaknya, yaitu “Ngoro Ngoro! Ngoro Ngoro!” Bayangkan apabila Ngorongoro ini terletak di Indonesia, mungkin namanya akan menjadi Klonengkloneng.

Sebelum Maasai datang, telah ada suku Mbulu yang menempati area ini sekitar 2000 tahun lalu, yang dilanjutkan oleh suku Datooga sekitar tahun 1700. Pada tahun 1800-an, suku Maasai datang dan membuat kedua suku sebelumnya meninggalkan Ngorongoro, terlebih setelah pertempuran suku antara Datooga dan Maasai di Lerai Forest sekitar tahun 1840 yang membuat pemimpin Datooga gugur, dan menjadikan suku Maasai sebagai Black Panther di sini.

Area ini mungkin akan tetap tak tersentuh oleh dunia, seandainya bangsa Eropa tidak menginjakkan kaki di sini pada tahun 1892, tahun yang juga menjadi tahun kelahiran Newcastle United. Dimulai oleh Oscar Baumann, penjelajah asal Austria, lalu dilanjutkan oleh kakak beradik Adolph (bukan Hitler) dan Friedrich Siedentoph asal Jerman yang bercocok tanam di sini sekaligus membuka acara berburu bagi orang-orang Jerman di Tanzania selama kurun waktu Perang Dunia Pertama.

Ngorongoro Crater

Berikutnya, tempat ini mengalami alih fungsi dan sengketa beberapa kali hingga pada tahun 1959, Tanzania National Parks Authority (TANAPA) didirikan dan mulai mengelola Ngorongoro Conservation Area seluas lebih dari 8000 meter persegi, yang mampu mendatangkan sedikitnya 500.000 pengunjung setiap tahunnya. Termasuk saya.

Perjalanan di dasar kawah yang kerap disebut sebagai “Safari Game Drive” karena menyajikan pemandangan alam liar dari dalam mobil ini langsung diawali sejak kami menemukan kawanan zebra pada sisi kanan jalan. Jenny dan Kristina langsung bersorak dari arah jok belakang, Trevor memasang muka tetap cool-nya, dan Makoto bersiap mengabadikan dengan kamera ponselnya. Saya, yang merupakan penggemar Newcastle United tentu saja merasa senang karena berhasil menemukan My Spirit Animal.

Selain zebra, binatang-binatang besar yang hidup di dalam kawah ini juga meliputi Black Rhinoceros (Badak Hitam) yang jumlahnya terus mengalami penurunan dari 108 pada tahun 1964-1966 ke 11-14 pada tahun 1995 dan menjadi susah ditemukan pada tahun ini –walaupun kami sempat menemukan seekor yang berada sangat jauh dan tidak masuk ke dalam jangkauan kamera. Kemudian ada juga African Buffalo (Kerbau Afrika yang belum tentu enak dijadikan Soto Kudus), Hippopotamus (kuda nil), Gajah (Gajah beneran, bukan Tulus), Eland dan Waterbuck (yang masuk ke jenis antelope), hingga para karnivora seperti singa, cheetah, dan leopard, di mana dua jenis terakhir sangat susah untuk dilihat, walaupun sebenarnya ada, seperti niat baik.

Binatang besar terbanyak di Ngorongoro Crater adalah Blue Wildebeest dengan jumlah sekitar 7.000 ekor (1994), Zebra 4.000 ekor, Thomson’s Gazelle (yang susah dibedakan dengan impala, bagi saya) 3.000 ekor, semuanya belum termasuk kutu-kutu yang mendiami tubuh mereka.

Sementara itu, binatang kesukaan yang tidak dapat ditemukan di sini, meliputi impala (karena tidak terdapat hutan di sini), jerapah (karena kurangnya pohon-pohon kesukaannya), juga buaya (karena mungkin sudah pada pindah ke Indonesia). Berada di Ngorongoro Crater membuat saya serasa berada di alam lain, dengan binatang-binatang yang bermain di rerumputan hijau dan danau biru yang berlatarkan tebing-tebing indah.

Sejak 1986, dikatakan bahwa populasi wildebeest menurun dari 14.677 ke 7.250 pada kurun waktu 2003-2005, demikian juga dengan eland dan Thomson’s Gazelle. Sementara justru populasi kerbau yang meningkat drastis. Kemungkinan karena jenis makanan yang cocok.

“Mr. Alpha.” Saya memberanikan diri untuk bertanya lagi, supaya akur. “Can we see flamingo here?”

“I hope so.” Jawabnya, sedikit tidak yakin. “I hope we can meet them in Lake Magadi.”

Lake Magadi, adalah salah satu sumber air utama Ngorongoro, yang terletak di sebelah barat daya kawah, yang disebutkan juga kalau sekawanan flamingo sering berkumpul di sana, apabila sedang arisan. Tak berapa lama, Alpha memelankan laju mobilnya, dan menunjuk sebuah titik jauh di samping kanan kami.

“Look, a lion.” Telunjuknya yang hitam mengarah ke titik berwarna kuning di dekat sebuah danau. “She is sleeping.”

Di kejauhan, saya melihat seekor singa yang sedang bersantai dengan pose pura-pura mati. Namun yang lebih menarik perhatian saya adalah sekumpulan titik-titik berwarna putih yang terletak di pinggiran danau. Dengan lensa 400mm, saya mengarahkan kamera X-T2 ke sana, dan menemukan…

Ngorongoro Crater

“Flamingos!” Saya berseru, sementara teman-teman seperjalanan yang lain sibuk memicingkan matanya ke arah danau, sambil sesekali mereka bergantian memakai teropong milik Alpha untuk melihat si burung cantik tersebut.

“Yes, they are flamingos.” Alpha menegaskan. Sekadar informasi, di bumi ini cuma ada enam jenis flamingo, di mana empat di antaranya berdomisili di wilayah Amerika, sementara sisanya berada di wilayah Asia dan Afrika, termasuk Tanzania. Ini belum menghitung Donquixote Doflamingo, ya.

“Can we see more lions?” Kami yang belum puas hanya dengan menemukan satu singa yang nun jauh di sana, semakin demanding. “I want to see male lions!” 

Berikutnya, kami mendengar mesin mobil dinyalakan, pertanda Alpha akan melanjutkan game drive-nya, semoga dia tidak kesal karena kami terlalu banyak meminta, seperti netizen Indonesia. Perjalanan berlanjut selama beberapa puluh menit, melewati kawanan gajah, kerbau, zebra lagi, hingga pada satu titik di tengah jalan, kami mendapati jalanan tanah yang sedikit macet karena mobil-mobil safari yang berhenti di tengahnya.

“Wah, pasti ada apa-apa nih.” Saya membatin. “Semoga bukan begal, atau geng motor.”

Ngorongoro Crater

Seekor singa, nampak sedang bersantai di tengah jalan, pandangannya kosong, mungkin menatap masa depan atau sedang memikirkan mobil-mobil yang mengerumuninya. Sesekali dia menguap lebar, lalu memejamkan matanya lagi, sebelum berpindah ke savana.

Savana, tempatnya berkumpul bersama keluarga, untuk tidur lagi.

Alhamdulillah, doa kami semua terkabul di Ngorongoro, ketika menemukan sekumpulan singa –termasuk singa jantan yang jarang terlihat.

Sekumpulan singa, biasa disebut sebagai Pride of Lion, yang mungkin dinamakan demikian karena harga diri dan kebanggaan (pride) sebagai sang raja hutan, eh savana, akan selalu melekat ke manapun mereka pergi. Alpha menyebutkan bahwa singa adalah salah satu hewan terkuat di savana, selain gajah, kerbau, dan badak.

“But how about cheetah?” Saya bertanya.

“Well, cheetah is fast.” Jawabnya “But they are weak at fighting. Even hyena is stronger.”

“What, hyena?” Hyena yang memakan sisa makanan singa tersebut dikatakan lebih kuat dari cheetah? Sedikit menyesal, karena saya pernah mengagungkan cheetah sebagai hewan paling keren di muka bumi, yang juga merupakan simbol grup pramuka saya ketika SMP.

Dalam keluarga singa yang hidup berkelompok, tugas berburu adalah tugas untuk singa betina, sementara singa jantan –si family man, memiliki tugas melindungi kawanan dari mara bahaya, walaupun mungkin dia lebih banyak menganggur jadinya. Well helloooowww, siapa sih yang mau cari gara-gara dengan singa? ISIS? Kelompok Santoso? Atau begal APBN tanah air? Singa jantan baru akan berburu apabila memang buruannya tersebut memang sepadan untuk diburu, seperti misalnya Cape Buffalo, Wildebeest, atau mungkin pelaku penyiraman air keras ke wajah Novel Baswedan.

Lalu apa yang dilakukan para singa kalau sedang tidak berburu? Ya tidur-tiduran saja, sambil bersantai, bergosip tentang manusia.

Setelah puas mengamati tingkah polah para singa, tanpa berpikir untuk menjadi raja singa, kami meneruskan perjalanan safari di Ngorongoro Crater ini melalui jalan dan rute yang sudah disediakan. Kami sempat berhenti sejenak untuk melihat para hyena dan burung bangkai berebut jatah makanan sisa buruan para singa yang tidak dihabiskan, mendapati seekor singa terkapar di jalan entah karena kalah bertarung atau karena penyakit, juga berhenti sejenak di Hippo Pool, sebuah tempat istirahat indah yang terletak di pinggiran danau. Di sana kami bisa turun dari mobil dan menghirup udara segar tanpa perlu khawatir menjadi mangsa singa.

Pada suatu titik, saya salut dengan siapakah orang pertama yang membuat jalanan di Ngorongoro Crater ini, apakah dia tidak takut mati dimakan singa, dicabik-cabik hyena, dan dikoyak-koyak rindu?

Kemudian pertanyaan berikutnya, sama seperti beberapa proyek pembuatan jalan tol di Indonesia, sudah berapakah orang yang menjadi tumbal ketika membuat taman safari alam ini? Merapikan jalan, membuka rute, melewati sekumpulan singa yang sedang duduk santai, rasanya sungguh tidak mungkin apabila kita bisa lewat di depan mereka hanya dengan membungkukkan badan dan berkata lirih “Permisi, Bang.”.

Angkat topi untuk Tanzania dan semua kekayaan alamnya. Termasuk kekayaan turisnya.

Ngorongoro Crater

Sungguhlah bersafari di Ngorongoro Crater ini adalah sebuah pengalaman yang harus kamu rasakan setidaknya sekali seumur hidup. Sebuah pengalaman yang akan membuat Taman Safari Indonesia dan Baluran seperti Taman Kanak-kanak dan Kidzania.

Terima kasih khusus kepada Fujifilm Indonesia untuk Kamera X-T2 dan Lensa XF100-400mm yang super keren ini.

Bingung bagaimana mengatur perjalanan safari ke Afrika, khususnya Kenya dan Tanzania? Silakan hubungi Whatravel Indonesia melalui email di info@whatravel.com.