Where is your yellow fever vaccination?” Seorang petugas bertanya di balik loket imigrasi ‘Arrival’ Kenya yang terletak di Namanga Border, kota kecil yang memisahkan Kenya dan Tanzania, tepat ketika saya menyelesaikan antrean dan tiba di hadapannya. “The yellow book.” Dua telunjuknya beraksi, membentuk sebuah bidang imajiner berbentuk persegi. Matanya tajam menatap saya, yang sudah menyerahkan paspor hijau kepadanya.

Saya menggeleng. “I don’t have it.”. Aneh, kenapa baru sekarang saya diminta buku kuning, ketika saya sudah hampir meninggalkan Tanzania dan kembali lagi ke Kenya, sementara lima hari sebelumnya, ketika memasuki Tanzania dari Kenya, saya tidak diminta apa-apa. “Kalau buku kuning meningitis yang untuk umrah sih saya ada, sis.”

“Go to that counter.” Ucapnya, pedas.

-Lima Hari Sebelumnya-

“Kalian memangnya punya buku kuning vaksin?” Dinka bertanya pada malam terakhir kami di Nairobi, sebelum berencana menyeberang ke Tanzania pada pagi harinya. Saya meletakkan botol minuman di meja, saling berpandangan dengan Adis dan Nugie, yang mungkin sama kagetnya dengan saya.

“Apa itu?” Kami bertanya hampir berbarengan “Memangnya perlu, ya? Perasaan kemarin waktu masuk ke Kenya dan mendapatkan Visa Kenya, kami tidak diminta.”

Kali ini Dinka yang sudah lama tinggal di Nairobi, menatap kekasihnya. “You won’t be allowed to cross the border without that book. The Yellow Fever Vaccination.” Pria berdarah Filipina ini menegaskan. Sebuah pernyataan yang membuat kami semakin terhenyak, karena kami tidak memiliki buku kuning, atau International Certificate of Vaccination for Yellow Fever yang dimaksud.

yellow_fever_map

Yellow Fever, atau demam kuning kalau diterjemahkan, pada dasarnya adalah sebuah gejala penyakit atau infeksi yang bukan disebabkan fanatisme berlebih terhadap partai Golkar, melainkan disebarkan akibat gigitan nyamuk betina. Penyakit yang dapat menyebabkan pendarahan viral akut yang berpotensi kepada kematian ini biasanya ditunjukkan oleh berbagai tanda-tanda seperti flu, demam, warna tubuh menjadi kuning (ini mengapa disebut yellow fever), nyeri sendi, hingga muntah-muntah walaupun sedang tidak hamil.

Penyakit endemik ini banyak ditemui pada wilayah-wilayah sub-Saharan Africa and tropical South America, seperti yang ditunjukkan pada peta di atas, yang juga meliputi wilayah Kenya dan Tanzania. Salah satu situs resmi pemerintahan Tanzania menyebutkan:

“Vaccination is an entry requirement for all travelers arriving (including airport transit) from countries where there is a risk of yellow fever transmission or any disembarkation to endemic areas after 24 hours.”

If you come from Indonesia, it’s okay if you didn’t take the vaccination.” Odin menambahkan “But, if you come from Kenya, so it’s an obligation to have it.”

“Sebenarnya bisa sih kalau mau diurus di Nairobi.” Dinka memberikan angin surga kepada kami. “Tapi sekarang sudah pukul sepuluh malam, dan dokter sudah pada tutup. Paling bisanya beli pil malaria nanti di apotek.” Ternyata surga gadungan. “Bus kalian jam berapa besok?”

“Jam enam pagi.” Kami pasrah, siap berserah diri kepada Allah atas apa yang akan terjadi besok. Sebuah sikap tawakal, tanpa sempat mengoreksi bahwa kata-kata yang benar adalah ‘pukul’ bukan ‘jam’.

-Hari Perjalanan ke Tanzania-

Pagi masih buta ketika kami meninggalkan hotel yang terletak pada salah satu daerah paling berbahaya di downtown Nairobi tersebut, resepsionis yang seharusnya bertugas melakukan wake-up call justru masih terlelap ketika kami membuka pintu depan hotel pada pukul lima pagi. Melewati jalanan kumuh yang masih tertidur lelap, kami tiba di pool bus DAR Express yang justru sudah mulai ramai pada pukul 05.20.

Just wait downstair.” Pinta petugas yang berjaga pagi itu. “Check-in time is 5.30.”

Gaya banget ini bus di negara dunia ketiga, pakai check-in segala, bro!

By the way, I did not have yellow fever vaccination.” Saya mengemukakan hal yang sudah bersemayam sejak tadi malam. “Is it okay in the border?

Yes, it’s okay to cross without that.” Jawabnya. “It won’t be a problem.”

Tenane massss?

DAR Express

Desk Counter DAR Express

Pada pukul 05.50, atau tepat pada waktu yang dijanjikan, DAR Express yang kami gunakan sudah bergerak meninggalkan Nairobi untuk langsung menuju Arusha, Tanzania, salah satu kota pintu masuk apabila kamu ingin mengikuti program safari di Tanzania, seperti misalnya safari yang kami lakukan di Ngorongoro Crater ini.

Kami duduk di belakang pasangan lokal, di mana lelakinya terlihat seperti Christian Karembeu, sementara wanitanya nampak seperti Rihanna, tanpa lebam-lebam di muka hasil penganiayaan Chris Brown. Perjalanan ke Namanga Border, memakan waktu sekitar dua jam dengan pemandangan yang sedikit membosankan, yaitu jalanan sepi dengan pepohonan di kiri-kanan jalan, tanpa pohon cemara, di mana sesekali terlihat orang masai mengembalakan ternaknya.

Bus yang dari awal memutar lagi hip-hop barat, seketika berganti menjadi lagu berbahasa Swahili ketika mendekati perbatasan, entah apakah ada tujuan lain di balik ini, atau hanya mengenalkan bahasa lokal kepada turis yang berkunjung, which is sepertinya cuma kamilah turis di dalam bus tersebut.

Pada sebuah komplek bangunan luas, kami berhenti. Gunung Kilimanjaro yang merupakan gunung tertinggi di Afrika, seperti menyapa kami di kejauhan. “Welcome to Tanzania. Kalau dapat visanya. Xixixi.”

Kenya - Tanzania Border

“We will meet in the Tanzania side.” Petugas bus mengingatkan kami, setelah meminta kami turun dengan membawa seluruh barang bawaan kami. Sebuah trauma kembali menyelimuti, akibat saya pernah ditolak masuk ke Georgia setelah perjalanan panjang dengan bus dari Azerbaijan. “Remember this bus.”

Beberapa pedagang asongan mendekati kami di perbatasan, ada yang menjual makanan dan minuman, menawarkan suvenir, menjajakan SIM Card, dan menyediakan jasa penukaran uang, tentunya dari Kenya Shilling ke Tanzania Shilling, atau sebaliknya. Sayang, tidak ada yang menjual/menyediakan jasa pembuatan buku kuning vaksin bajakan di sana.

Sesuai dengan peringatan yang kami dapatkan dari Ibu Anita, pada sebuah acara makan malam di KBRI Nairobi malam sebelumnya, kami berhati-hati terhadap orang-orang asing di perbatasan ini. “Pokoknya kalau ada yang mengajak salaman di border, jangan mau. Hati-hati.” Nasihatnya malam itu, yang kami turuti, karena tidak ada yang mengajak salam tempel.

Seller at Namanga Border

Setelah melalui mesin X-Ray untuk memeriksa barang bawaan, kami berhasil mendapatkan stempel keluar dari Kenya dengan mudahnya. Berikutnya adalah tinggal mendapatkan Visa On Arrival Tanzania, apakah bisa saya mendapatkannya tanpa mempunyai Yellow Fever Vaccination?

A. Mengisi Arrival Declaration Form Tanzania

Sebuah formulir hasil mesin fotokopi yang tidak bagus kualitasnya kini sudah berada di tangan saya, sebuah formulir bertuliskan “Entry/Arrival Declaration Form” yang diterbitkan oleh The United Republic of Tanzania yang harus saya lengkapi sebelum diserahkan ke bagian ‘Arrival’ di Namanga Border, untuk penerbitan Visa on Arrival Tanzania.

Arrival Declaration Form Tanzania

Arrival Declaration Form Tanzania

Pada selembar kertas yang diminta untuk dilengkapi dengan huruf kapital tersebut, terdapat beberapa isian yang harus diisi, isian-isian yang jumlahnya tentu tidak sebanyak isian dalam rangka pembuatan Visa Australia. Adapun isian-isian tersebut, meliputi:

Surname: Tulis nama belakang, nama keluarga, atau nama marga kamu, apabila ada, misal Willis. Kalau tidak ada, berarti kita sama.

Other Names: Tulis nama depan kamu, atau kata-kata sebelum nama belakang kamu. Misal, Thomas Na.

Date of Birth: Tulis tanggal lahir kamu, sesuai yang terdapat pada paspor, walaupun mungkin tanggal lahir kamu yang asli disembunyikan oleh orang tua kamu.

Place of Birth: Tulis kota tempat kelahiran kamu, kotanya saja, tidak perlu hingga kecamatan, kelurahan, ataupun RT/RW.

Gender/Sex: Pilihlah jenis kelamin yang tepat untukmu, tidak perlu ditulis atau digambar, melainkan hanya mencentang kolom yang sesuai. Yaitu Male/Masculine untuk pria dan Female/Feminine untuk wanita.

Nationality: Tulis kewarganegaraanmu di sini, apabila warna dan logo di paspor kita sama, maka kemungkinan kamu juga akan menulis ‘Indonesia’.

Country of Current Residence: Tulis negara tempat tinggalmu saat ini, apabila sama dengan paspor, mungkin kamu akan juga menulis ‘Indonesia’.

Occupation: Tulis jenis pekerjaan yang paling sesuai untukmu. Tenang, tidak diminta untuk menunjukkan surat pengantar dan slip gaji dari kantor, kok.

Passport No.: Tulis nomor paspormu di isian ini, biasanya diawali dengan huruf yang diikuti dengan deret angka, yang bukan merupakan bagian dari soal-soal psikotest.

Date of Issue of Passport: Tulis tanggal penerbitan paspor kamu di sini.

Place of Issue of Passport: Lalu, tulis tempat/nama kota di mana paspor kamu terbit.

Date of Expiry: Tulislah tanggal akhir berlakunya paspor kamu, yang biasanya adalah 5 (lima) tahun sejak paspormu terbit.

Physical Address in Tanzania: Masukkan alamat tempat tinggal yang akan kamu tempati di Tanzania. Apabila ada beberapa, pilih salah satu saja yang paling meyakinkan. Isian tersebut, meliputi:

i) Tel No.: Nomor telepon tempat tinggal tersebut.

ii) Hotel | Place: Nama hotel/penginapan, dan lokasi kotanya.

iii) Contact Person or Institution: Nama kontak yang dapat dihubungi, atau institusi yang mengundangmu datang ke Tanzania, apabila ada.

Purpose of Travel/Visit: Tulis tujuan kedatanganmu ke Tanzania secara singkat, apakah untuk keperluan wisata, safari, atau lain-lain. Janganlah bermaksud datang untuk hal-hal yang tercela, seperti membeli gading gajah, atau membuang sampah sembarangan di Kilimanjaro.

Any other (specify): Kamu bisa juga menambahkan hal-hal lain yang dapat mendukung perjalananmu di Tanzania pada isian ini.

Flight/Vessel No.: Apabila kamu datang ke Tanzania dengan menggunakan pesawat terbang/kapal laut, maka kamu dapat menuliskan nomor penerbangan/nomor kapal tersebut di sini.

Mode of Travel: Sekali lagi, tidak perlu digambar, kamu cukup mencentang jenis moda transportasi yang kamu gunakan untuk memasuki Tanzania, apakah melalui Air (udara) Water (laut) Rail (kereta api) Road (jalan raya), atau yang lain seperti misalnya teleport dan teletext.

Date: Tulis tanggal kedatangan kamu ke Tanzania di sini.

Signature: Kali ini benar, gambarlah tanda tanganmu di sini. Tanda tangan yang sesuai/mirip dengan tanda tangan yang tertera pada paspor kamu.

Setelah semua terisi, saya menyerahkan formulir tersebut kepada petugas di bagian ‘Arrival’ di mana dia kemudian menyerahkan selembar slip pembayaran yang harus saya lakukan pada loket bank yang berada pada sisi lain gedung perbatasan tersebut. Pada bagian bawah formulir, saya membaca sebuah kalimat sambutan yang ditujukan kepada saya “Welcome to Tanzania, The Land of Mount Kilimanjaro and Zanzibar.”

Yakin nih welcome, kan saya gak bawa buku kuning, dan belum dapat visa?

B. Melakukan Pembayaran Visa on Arrival

Dari loket ‘Arrival’ saya berpindah ke loket kecil National Microfinance Bank Plc (NMB) yang merupakan salah satu bank terbesar di Tanzania. Letaknya ada di sudut bangunan, dengan papan penanda arah yang minim, hanya menyisakan sebuah standing banner seharga Rp50.000,- kalau dibuat di Bekasi.

Di loket kecil inilah semua transaksi terjadi, di mana saya harus rela menyerahkan mahar sebesar US$50 yang merupakan biaya pembuatan Visa on Arrival Tanzania untuk Ordinary Visa, bukan Multiple Entry Visa. Satu set nota yang ditulis dengan tulisan tangan yang alhamdulillah-nya masih terbaca, diberikan kepada saya, sebagai bukti pembayaran.

“Sudah cuma begini doang?” Ternyata proses pembayaran cuma berlangsung singkat, tanpa perlu mengecek status pecahan Dollar Amerika Serikat yang saya bawa. Apakah sudah lecek atau masih rapi, apakah uang tersebut berasal dari tahun baru atau tahun lama, atau apakah posisi kepala Benjamin Franklin sudah pada best angle, atau harus berputar sedikit supaya lesung pipitnya terlihat.

“Go to the arrival counter again.” Pinta si petugas di dalam loket NMB. “Don’t forget to bring the payment slip.” 

Wah, apakah mungkin di sana, saya baru akan diminta buku kuning vaksin tersebut? Ataukah cukup hanya dengan menunjukkan sepuluh butir pil malaria yang saya beli seharga 1.000 Shilling Kenya (140.000 Rupiah) malam tadi.

C. Menunggu Panggilan Visa

Pada loket yang sudah ditentukan, saya menyerahkan bukti pembayaran dan meminta si petugas untuk menggabungkannya dengan paspor yang sudah diserahkan.

Please wait.” Pintanya sambil membereskan tumpukan paspor yang masih berada di tangannya . “I will call you later.“.

Tak berapa lama, saya mendengar nama saya dipanggil dengan pengejaan yang aneh, yang berarti memang ditujukan kepada saya. Saya mengira bahwa masih akan diminta si buku kuning sebagai kelengkapan tambahan visa, namun ternyata tidak. Petugas tersebut langsung mengembalikan paspor yang sudah distempel dan ditambah tulisan tangan seadanya beserta slip resmi pengganti slip sebelumnya, bukti saya telah membayar lunas Visa on Arrival Tanzania.

Lalu mana visanya? Ya, visanya adalah berupa tulisan tangan si petugas yang menyebutkan bahwa saya telah membayar biaya sebesar 50 USD, dan atas itu saya berhak untuk tinggal di Tanzania selama tiga bulan lamanya. Visa paling manual yang pernah saya dapatkan. Bahkan Timor Leste yang biaya visanya hanya separuh biaya Visa Tanzania, masih lebih keren karena menggunakan stiker. Huvt.

“Welcome to Tanzania!” Sambut si petugas. Kali ini beneran welcome, karena visa sudah didapat.

Visa on Arrival Tanzania

Tapi tak mengapa, yang penting visa berhasil didapat tanpa drama berlanjut-lanjut, dan hanya membutuhkan waktu sekitar setengah jam. Saya bergegas menuju pintu keluar dengan melewati standing banner NMB sekali lagi, mencari bus yang sebelumnya saya gunakan, dan langsung mendapati si Christian Karembeu dan Rihanna, sebagai pertanda bahwa saya sudah berada di bus yang benar.

Berikutnya, Arusha! Yang hanya tinggal 110 Kilometer saja dari perbatasan. Ya, walaupun saya mendapatkan visa untuk tiga bulan, namun sayang sekali karena saya hanya memiliki waktu sekitar empat hari di Tanzania.

-Empat Hari Kemudian-

Posisi loket ‘Arrival yang berdekatan dengan bagian ‘Departure’ Tanzania di Namanga Border, sebenarnya sangat memudahkan bagi pengunjung yang ingin keluar Tanzania dan masuk Kenya dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, hanya tinggal stempel keluar, bergeser sedikit, lalu stempel masuk, sudah.

Namun itu kan yang semuanya sudah oke, bukan seperti saya yang masih diminta menunjukkan buku kuning vaksin, ketika masuk Kenya kembali dari Tanzania. Saya teringat ucapan petugas bus DAR Express yang saya tumpangi empat hari sebelumnya yang berkata kalau memang tidak dibutuhkan buku kuning vaksin ketika bepergia dari Kenya ke Tanzania. TAPI LAU KAGAK BILANG KALAU AKAN DIMINTA WAKTU BALIK DARI TANZANIA KE KENYA, BANGSAT!

Namanga Border

Namanga Border

Menuruti permintaan petugas pada loket ‘Arrival’ Kenya, saya bergerak ke arah loket yang ditunjuk. Seorang petugas bermuka masam menyambut saya sementara setumpuk buku kuning vaksin menumpuk di dekatnya. “I don’t have the yellow book for vaccination.” Saya menjelaskan

“Passport!” Pintanya. “And 100 Shilling.”

“Kenya, or Tanzania?” Saat artikel ini ditulis, 100 Shilling Kenya bernilai 14.000 Rupiah, sementara 100 Shilling Tanzania bernilai 700 Rupiah, atau 20 kali lebih murah daripada Shilling Kenya. Jadi secara garis besar, akan lebih menguntungkan apabila yang dimaksud adalah Shilling Tanzania.

“Kenya.” Beruntung, saya masih mempunyai beberapa ratus Shilling Kenya di dompet, yang tidak khilaf digunakan untuk berpesta di Tanzania. Saya menyerahkan uang tersebut kepadanya, dan petugas tersebut mulai menulis sesuatu pada buku kuning sesuai dengan data-data yang terdapat pada paspor saya. Sesuatu yang berupa nama, nomor paspor, tahun kelahiran (padahal diminta ‘Date of Birth’), jenis kelamin, jenis vaksin ‘Yellow Fever’, tanggal vaksin, dan tanda tangan pihak yang berwenang.

Setelah selesai menulis, buku kuning beserta paspor saya dikembalikan, dan saya diminta untuk kembali menuju loket ‘Arrival’ Kenya, untuk proses imigrasi dan kembali ke Kenya. Pagi itu, saya berhasil mendapatkan buku kuning vaksin untuk yellow fever, tanpa perlu mendapatkan tusukan jarum vaksin ke dalam tubuh saya.

Ya sudahlah, yang penting bisa kembali ke Kenya lagi, karena tiket penerbangan kembali ke Indonesia, diberangkatkan dari Nairobi, Kenya, esok harinya.

Hakuna Matata, there are no worries.