“So, this will be your room, here.” Ucap Nico, host airbnb kami di Venezia, sambil menunjukkan sebuah kamar mungil nan rapi yang terletak di lantai tiga bangunan tersebut. “If you want some magic, just open the window.” Setelah dia membuat kami, atau saya tepatnya, menggotong koper seberat dua puluh kilo naik ke laantai tiga tanpa adanya lift, eskalator, maupun ojek gendong, kini apa lagi yang dia tawarkan?

Saya yang penasaran langsung bergegas membuka jendela kamar tersebut, dan menemukan pemandangan khas Venezia dalam satu bingkai. Gondola yang melaju melalui kanal-kanal sempit, dengan rumah-rumah beratap merah bata berjejer di sampingnya. Sepertinya pilihan saya untuk berbulan madu di Venezia cukup tepat dengan hadirnya pemandangan tersebut.

“The view is fantastic.” Puji saya, yang sesaat melupakan penat di bisep kekar yang kini bertelur “…and also romantic.”

Honeymoon in Venice

And now, I will show you some information in Venice.” Pria necis tersebut membuka peta lipat yang sudah disiapkannya, dan melingkari beberapa tempat-tempat menarik di Venezia. Mulai dari objek wisata, terminal gondola, hingga restoran-restoran lokal yang unik. “My favorite restaurant is La Zucca. They have specialization in cooking pumpkins.”

“What, pumpkins?”

Yes, pumpkins.” Nico menjelaskan dengan menggambar sebuah lingkaran imajiner dengan tangannya. “The owner is my friend. And if you want, I can make a reservation for you, because the place is always full.”

Saya melirik Gladies, istri saya, yang saat itu sedang melirik Nico yang lebih ganteng. “Neng!” Saya menyikut pinggangnya.

“Eh, iya Mas?” Kali ini Gladies, buru-buru memperhatikan saya.

Gimana mau makan malam di mana nanti?”

“Terserah.”

Terserah, adalah satu kata singkat dari seorang wanita, yang merupakan teka-teki tak berkesudahan bagi seorang pria. Salah mengartikan, bisa berabe, dan bisa mengakibatkan seorang pria kehilangan jatah kenikmatan duniawi.

Honeymoon in Venice

“Probably, we will think about it later.” Saya berkata kepada Nico.

“No problem.” Jawabnya. “My another friend also run a boat tour to Murano and Burano, every morning. There, you can see beautiful glass product in Murano, also many colorful houses in Burano.”

Dengan peta yang terhampar di meja, Nico menunjukkan di mana letak Murano dan Burano –yang ternyata adalah dua buah pulau di luar Venezia– kepada kami. Tidak jauh, hanya sekitar sejengkal di peta, namun bisa dua hari kalau harus berenang ke sana dengan risiko paru-paru basah dan bengek.

Gimana, Neng?”

“Terserah.”

Siang hari itu, saya dihadapkan oleh dua buah misteri terbesar dunia sekaligus. Dua buah kata terserah dari seorang wanita. Wanita yang telah menjadi istri saya beberapa minggu sebelumnya.


Saya sudah mengenal Gladies selama kurang lebih dua tahun, sebelum akhirnya memutuskan untuk mengajaknya berpacaran dan menikah di Hari Valentine tahun 2016. Namun, walaupun sudah dekat cukup lama, kami belum pernah melakukan perjalanan jauh bersama. Maklum, Gladies adalah tipe anak gadis rumahan, yang susah minta izin untuk keluar rumah. Sementara saya, sudah keluar rumah sejak lulus SMA; kalau kata Mama, namanya PLO, atau Pasukan Lali Omah.

Perjalanan bulan madu ini merupakan perjalanan terjauh yang pernah kami lakukan bersama, setelah perjalanan Dago-Margahayu dengan angkot yang kami lakukan ketika masih pacaran dahulu. Tentu saja, saya memasukkan beberapa kota-kota romantis dalam rencana perjalanan, seperti Amsterdam, Antwerp, Paris, dan Venezia.

Amsterdam karena kanal-kanalnya, Antwerp karena sejarah dan arsitekturnya, Paris karena Menara Eiffel-nya, dan Venezia karena keunikan lokasi dan budayanya.

Bagaimana tidak, Venezia dibangun di atas 117 pulau kecil yang dihubungkan oleh jembatan kayu dan dipisahkan oleh Grand Canal yang spektakuler dan 177 kanal kecil lainnya. Belum lagi adanya gondola (dan para gondolier-nya yang tampan) sebagai moda transportasi yang digunakan di sana, yang makin menambah keunikan Venezia.

Saat ini, Venezia merupakan rumah untuk bangunan-bangunan abad pertengahan, yang juga memiliki nilai sejarah penting seperti St Mark’s Basilica dan Piazza San Marco yang muncul dalam film Inferno yang diangkat dari buku best-seller karangan Dan Brown.

Dalam bahasa Inggris, Venezia dikenal sebagai Venice, walaupun saya tidak menyarankan Gladies untuk menyebutnya demikian, karena dia merupakan orang Sunda.


Perjalanan kami sore itu dimulai dari penginapan milik Nico di Calle San Pantalon, menyusuri kanal-kanal, menyeberangi berbagai bentuk jembatan yang menghubungkan kanal demi kanal, memasuki gang-gang kecil yang cantik, singgah di kafe yang menjual camilan dan es krim, memasuki toko suvenir yang menjual topeng-topeng yang kerap digunakan ketika Carnival of Venice, yang hingga entah bagaimana, membawa kami tiba di pelataran Piazza San Marco.

Honeymoon in Venice

Sebuah lapangan luas dikelilingi toko-toko suvenir dan kerajinan kaca terhampar di hadapan kami, dengan beberapa orang turis bergantian berfoto di sana. Saat itu sedang musim dingin, sehingga tempat tersebut tidak terlalu ramai. Kumpulan burung merpati yang beterbangan di sana pun masih nampak lebih banyak daripada pengunjung yang hadir.

Seorang pemuda berwajah gelap dengan jaket warna-warni maju mendekat ketika saya mendatangi kumpulan burung-burung yang bertebaran di pelataran. Dia merogoh saku celananya dan mengeluarkan segenggam biji-bijian untuk diberikan kepada burung-burung sebagai makanan. Burung merpati, bukan burung saya, atau burung dia sendiri.

Honeymoon in Venice

Saya yang menduga hal tersebut merupakan bentuk scam langsung menolak secara halus dengan isyarat tangan, seperti pada iklan anti korupsi, di mana ironisnya, beberapa bintang iklannya justru tertangkap karena korupsi.

No, thanks.” Seru saya, yang membuatnya mundur dan mencari calon korban lain. Berikutnya, saya dan Gladies duduk bersila di lantai piazza yang dingin, sambil memandangi keindahan tempat tersebut.

Di ujung lapangan, berdiri dengan anggun Saint Mark’s Bassilica yang merupakan gereja katedral dari kaum Katolik Romawi di Venezia yang juga menganut arsitektur gaya “Italo-Byzantine”; sementara di sampingnya, berdiri dengan gagah Saint Mark’s Campanile yang merupakan menara lonceng yang terbuat dari bata merah dan menjadi simbol kota Venezia dengan tinggi yang mencapai 98 meter.

Sebuah menara yang mengingatkan saya akan menara yang sama, namun dengan ukuran yang lebih kecil, dan Made in China, yang saya temui di Window of The World, Shenzen pada awal tahun 2012. Berbentuk sama, namun berbeda ukuran, citarasa, dan suasana. Ya, karena kali ini saya ditemani Gladies yang sabar dan setia mengambil foto saya dengan posisi yang aneh di piazza.

“Pokoknya, mau pose kayak yang di Shenzen dulu!”

“Oke, beb. You asked for it.”

KLIK!

Honeymoon in Venice

Atas: Shenzen (bajakan) – Bawah: Venice (ori)

Setelah puas berpose aneh di lapangan, kami pun bergerak kembali menyusuri kanal-kanal, dan sengaja menyesatkan diri supaya dapat lebih menikmati waktu bersama. Tapi, bukankah pernikahan itu sejatinya adalah sebuah perjalanan yang menyesatkan?

Pada sebuah kanal, kami berhenti, dan Gladies meminta orang yang lewat untuk mengambil foto kami berdua, dengan latar belakang kanal di Venezia.

KLIK! Shutter telah terpencet, dan kenangan kami pun telah terekam dalam sebuah foto yang garis horizonnya miring. Wah, bisa-bisa dimarahin Amrazing nanti. Tapi tidak mengapa, namanya juga minta tolong, sudah bagus ada yang mau menolong.

Honeymoon in Venice

“Makan di La Zucca yuk, Mas!” Ajak Gladies tiba-tiba, selepas matahari terbenam dengan anggun di Venice.

“Hah?” Tadi katanya terserah, tapi sekarang mau makan di sana. Girls! Namun, sebagai suami baru, saya hanya bisa membatin. “Sebentar ya, aku tanya ke Nico dulu.”

Dalam hitungan menit, pesan saya sudah dibalas Nico melalui WhatsApp, dan setelah menunggu selama beberapa menit lagi, sebuah pesan singkat datang darinya.

“Sorry, it’s full for tonight.” Sebuah pesan masuk yang ternyata menyedihkan.

Saya menatap Gladies sambil mengangkat kedua bahu, “Yah, malam ini penuh, Neng.”.

Yahhhh.”

Makanya, jangan terserah-terserah kalau ditanya.

Honeymoon in Venice

Raut kesedihan seketika terpancar di wajah Gladies, yang sepertinya sangat menginginkan makan malam di sana. “Ya sudah, kita ke sana yuk, kalau kamu gak percaya.”

“Terserah.”

Benar saja, ketika kami tiba di sana, restoran tersebut sudah penuh dengan tamu yang berniat sama dengan kami, menghabiskan malam romantis di Venezia, namun bedanya, mereka lebih beruntung. Saya sempat bertanya kepada petugas restoran, apakah masih ada meja yang kosong, namun hasilnya nihil.

Sorry, we are full for tonight.” Jawabnya, setelah sebelumnya saya menjelaskan bahwa kami memang belum sempat melakukan reservasi sebelumnya.

Honeymoon in Venice

Saya melirik kembali ke layar telepon genggam, dan mendapati sebuah notifikasi pertanda sebuah pesan masuk. Sebuah pesan singkat yang berasal dari Nico.

“Hey, I can make a reservation for tomorrow. How does it sound?”

Setelah membalas pesan Nico, saya menyeka sedikit air mata yang menempel di pelupuk mata Gladies, juga saya, dan membisikkan sesuatu kepadanya, “Neng, besok siang saja yuk ke La Zucca-nya. Tadi Nico sudah reservasi untuk kita.”

Gladies mengangguk, dan saya pun menggamit jemarinya, mencoba memberikan sedikit kehangatan di malam yang mulai dingin. Malam itu, kami berjalan di remangnya Venezia yang romantis, menuju restoran kebab untuk makan malam.

“Kalau habis dari La Zucca besok, terus ke Burano gimana, Neng?”

“Terserah.”

Artikel ini sudah ditayangkan di Majalah Panorama edisi Januari - Maret 2017, 

tentunya dengan sedikit modifikasi.