
Sebulan yang lalu, saya bukanlah siapa-siapa. Saya bukan artis yang kabar perceraiannya selalu dinanti, bukan pula pujangga yang pandai merangkai kata. Saya hanyalah seseorang yang kebetulan suka jalan-jalan, dan sedang ada rezeki untuk mengajak kencan si seksi Fujifilm X-T1 (selanjutnya akan disebut sebagai X-T1). Sebelumnya, saya pernah menggunakan Nikon P-7000, Pentax Q-10 (hasil fotonya dapat dilihat di sini), juga Panasonic Lumix GF6 sebagai kamera utama.
Bukan, bukan saya tak setia, atau karena saya terlalu baik. Namun saya merasa bahwa ini waktu yang tepat untuk naik kelas, setelah berkutat dengan kamera selama beberapa tahun, ini saatnya saya melakukan sesuatu yang lebih serius.
Pada paket pembeliannya yang terlihat sangat classy, X-T1 hadir dengan lensa kit 18-55mm dengan diafragma (F) 2.8, sebuah hal yang cukup keren untuk ukuran lensa kit. Kesan pertama yang saya dapatkan setelah melihat, meraba, dan menerawang kamera ini adalah it’s big, black, and complicated. Bagaimana tidak? Alih-alih memiliki mode Manual, Aperture Priority, Shooting Priority, Program, maupun Auto sebagaimana kamera sebelumnya, X-T1 malah menyematkan dial-dial rumit yang belum pernah saya gagahi sebelumnya.
Dalam waktu sebulan menjamah X-T1, saya mulai merasakan perubahan pada diri saya (bukan, bukan perubahan yang ditandai dengan jakun membesar, suara parau, atau tumbuhnya bulu dada, kok), melalui beberapa peristiwa-peristiwa berikut.
Kencan Pertama pada Museum di Tengah Kebun
Sehari setelah mendapatkan X-T1, dengan undangan dari Yuli, saya langsung mengajaknya kencan bersama pacar ke Museum di Tengah Kebun yang terletak di Jalan Kemang Timur 66 Jakarta Selatan. Di Jakarta, mungkin tidak banyak yang tahu keberadaan museum ini, karena plangnya yang cukup kecil, dan terletak di dalam sebuah rumah. Namun, siapa sangka bahwa museum yang menempati lahan seluas 4.200 m² (terdiri dari kebun seluas 3.500 m² dan bangunan seluas 700 m²) ini, memiliki koleksi ribuan barang-barang fantastis?
Semua bermula pada tahun 1976, ketika seorang bisnisman nyentrik di bidang periklanan, Syafril Djalil yang menyukai sejarah ingin memiliki rumah dengan halaman yang luas sebagai tempat tinggal sekaligus untuk menyimpan barang-barang yang ditemukannya dalam 26 kali perjalanannya mengelilingi bumi. Dan itulah awal mula terbentuknya museum ini, kata Mirza Djalil, keponakan sekaligus pengelola museum ini.
Teman saya, Alex –yang juga pengguna Fujifilm, menyarankan untuk mengeset Film Simulation X-T1 pada mode Velvia (vivid) “Pakai ini deh, lu gak bakalan menyesal.” Ujarnya. Dan saya pun mengikutinya dengan sedikit utak-utik dial –guna mengeset aperture, shutter speed, dan ISO–, walaupun dalam hati saya sedikit menyesal karena merasa bahwa hasil foto pada mode Velvia terlalu vibrant dan mencolok mata.
Sekadar informasi, untuk memasuki museum ini tidak bisa sembarang waktu, karena museum hanya buka hari Rabu, Kamis, Sabtu dan Minggu dengan dua kloter kunjungan yaitu 09.45 – 12.00 dan 12.45 – 14.30. Untuk reservasi berkunjung Museum di Tengah Kebun, kamu dapat menghubungi: 021-7196907 / 0877-8238-7666. Informasi dan cerita lain, dapat dibaca di blog Satya Winnie.
Wah, Foto Kamu Bagus!
Berikutnya, saya membawa X-T1 ke kantor, bertepatan dengan adanya acara 17 Agustus di kantor, selain untuk mengenal kamera ini dengan lebih jauh. Dan saya pun semakin intim dengannya. Kini saya telah bisa mengatur diafragma (aperture) dengan cara memutar ring pada lensa, rana (shutter speed) dengan cara memutar dial pada sebelah kanan jendela bidik (viewfinder), sensitivitas kepekaan cahaya (ISO) dengan cara memutar dial pada sebelah kiri jendela bidik, juga kompensasi eksposur (exposure compensation) dengan cara memutar dial di samping dial rana.
Rumit? Memang pada awalnya terkesan rumit. Namun, setelah terbiasa cara ini ternyata lebih cepat daripada harus masuk ke menu terlebih dahulu untuk mengatur semuanya.
Walaupun saya kalah dalam perlombaan balap karung, namun saya mendengar kabar bahwa bos memuji hasil foto saya dengan “Wah, si Arif hasil fotonya bagus-bagus.” Alhamdulillah. “Bisa nih kita karyakan kalau ada acara-acara kantor.”
EH GIMANA GIMANA?
Selanjutnya, saya diminta menjadi fotografer kantor ketika ada acara, dengan bayaran sekotak Nasi Padang Rumah Makan Sederhana.
Masalah Pertama
Dalam sebuah hubungan, masalah bisa saja muncul. Entah dari pihak ketiga, maupun dari perasaan pribadi yang sudah tak cinta lagi. Pada hubungan saya dengan X-T1, masalah tersebut muncul ketika secara tiba-tiba –dengan lensa yang masih terpasang, indikator diafragma di layar berubah menjadi F0. Saya mematikan dan menghidupkannya kembali, masalah itu hilang. Kemudian saya membawa X-T1 liburan keluarga di Umbul Sido Mukti Bandungan, Kabupaten Semarang.
Saya semula berpikir, mungkin ada salah pencet tombol atau apa. Namun masalah tersebut muncul kembali, dan terkadang, perlu cabut baterai (sebenarnya ini kamera atau Blackberry, sih?) hingga lepas pasang lensa untuk membuatnya bekerja kembali.
Pada liburan tersebut, saya sempat meminjamkan X-T1 ke sepupu saya yang baru berusia tujuh tahun dan tidak mengerti apapun tentang teori kamera, dan ternyata hasil foto dia pun tampak istimewa, ketika berhasil memfoto ibunya dengan latar belakang yang bokeh (blur). Masih percaya dengan quote “It’s not the camera, but the man behind the gun.”?
Mengenai masalah yang muncul, saya telah membawa X-T1 ke tempat servis resmi Fujifilm di Wisma KEIAI lantai 2 Jalan Jendral Sudirman Kavling 3 Jakarta Pusat, dan mereka mengganti connector pada body kamera. Hasilnya? Masalah tetap muncul di hari berikutnya, sehingga saya memutuskan untuk meretur kamera tersebut dengan harapan tidak akan muncul masalah serupa di kemudian hari.
Mencoba Long Exposure Photography
Pada suatu malam, ketika sedang asyik membantu persiapan acara TravelSale pada sebuah kamar yang berisi empat orang perempuan molek di Apartemen Taman Rasuna, saya melongok ke luar jendela kamar dan menemukan pemandangan yang menggoda. Sebuah bangunan yang belum jadi, dengan crane melintang, dan dua lajur jalan yang dilewati kendaraan dengan lampu-lampu berkelip di bawahnya.
Saat itu saya berpikir “Wah, nyobain slow speed di X-T1 kayaknya asyik nih.” sebelum kemudian mengeluarkan si seksi dan meletakkannya dengan hati-hati pada pagar di balkon kamar, karena saat itu saya belum membeli tripod untuk kamera ini.
Beberapa foto tersebut saya ambil dengan diafragma sempit (F14) dan rana yang agak lama (13-20 detik). Sensitivitas saya set pada 800 untuk mengurangi noise yang mungkin timbul karena night photography, sementara selebihnya saya hanya mengutak-atik White Balance dan Film Simulation untuk melihat hasil-hasil ajaib yang mungkin timbul.
Mengikuti Workshop Fotografi
Layaknya memperjuangkan cinta, mempelajari kamera juga membutuhkan keseriusan, dan hal itulah yang membuat saya mendaftar untuk mengikuti kelas workshop digital photography yang diampu oleh Gathot Subroto, seorang senior yang telah memiliki jam terbang di dunia fotografi selama umur saya.
Mengambil tempat di Focus Nusantara Panglima Polim, workshop yang berlangsung selama dua hari ini mengajarkan pesertanya untuk lebih mengenal kamera. Bahwa mempelajari kamera adalah seni untuk melatih otak kiri yang penuh perhitungan dengan belajar eksposur yang merupakan sisi teori fotografi, juga otak kanan yang penuh kreativitas dengan mempelajari komposisi yang merupakan sisi aplikatifnya.
Hadir dengan membawa X-T1, saya berhasil mendapatkan banyak hal pada workshop ini, tentunya hal-hal selain CD dasar-dasar fotografi, kaus, ID card, snack, dan makan siang yang berlimpah. Yang utama, saya mendapat pengetahuan tentang fotografi, juga teman-teman baru yang sama antusiasnya dengan saya.
Salah satu peristiwa penting yang terjadi di sini, adalah ketika saya berhasil membujuk salah seorang peserta untuk pindah agama, dari Canon (60D) ke Fujifilm (X-T1). Ahamdulillah.
Travel Sale
Sepulangnya dari workshop, saya menyempatkan diri untuk memantau helatan Travel Sale yang berlangsung di Pasar Santa, tak jauh dari Panglima Polim. Pada event yang diprakarsai oleh Mumun, Uci, Vindhya, dan Vira ini, diadakan penjualan besar-besaran perlengkapan traveling, baru dan layak pakai, dengan harga yang sangat miring. Dan akibatnya, pengunjung memadati kios mungil milik Teddy dan Maesy tersebut.
Pada event yang berlangsung dengan kondisi cahaya yang tidak jelas tersebut, saya mulai mempraktikkan teori yang saya dapat pada workshop, yaitu bagaimana cara mengeset White Balance yang tepat pada kamera. Untungnya, X-T1 dapat menyesuaikan dengan mudah, dan bahkan ada shortcut khusus yang disiapkan untuk mengeset White Balance.
Tes Lensa Fujinon XF 35 mm/F 1.4
Membeli kamera mirrorless, berarti harus siap tergoda dengan pilihan-pilihan lensa yang tersedia. Apalagi Fujifilm, yang memiliki koleksi-koleksi lensa keren dan berkelas premium. Sebut saja salah satunya adalah lensa Fujinon XF dengan focal length 35mm dan diafragma 1.4, yang berhasil merayu saya untuk memoligaminya dengan lensa kit 18-55mm yang telah saya punya sebelumnya.
Thanks to Kaskus, yang membuat saya bertemu Pak Gelar, yang melego lensa kesayangannya tersebut dengan harga miring. Dan setelah mengetesnya dengan X-T1, berikut ini adalah hasil yang saya dapat dengan fixed lens tersebut. Sangat tajam, jelas, dan bokeh-nya luar biasa.
Tak cukup dengan lensa, akibat perkenalan singkat tersebut, Pak Gelar masih berusaha menggoda saya dengan koleksi tas ONA dan Wotancraft yang dipunyainya. Aduh, kuatkan iman hambamu ini ya, Allah.
Outbound di Pulau Bidadari
Kedekatan saya yang kian intim dengan X-T1, telah membuat saya semakin jatuh cinta dengan kamera ini. Electronic Viewfinder yang dipunyainya terkadang membuat saya melupakan 3.0 LCD (1,040K-dot) yang dibenamkan padanya. Jendela bidik paling nyaman yang pernah saya pakai, karena what you see there is what you get here. Sebuah fitur yang sangat membantu ketika cahaya siang hari terkadang menyilaukan LCD kamera.
Fitur yang sangat membantu, ketika saya ditunjuk sebagai seksi dokumentasi kantor pada acara outbound di Pulau Bidadari.
Menjadi seksi dokumentasi kantor, mempunyai dua sisi bagi saya. Sisi positifnya, saya bisa bebas mengeksplorasi kamera dan bebas dari kegiatan outbound yang melibatkan pasir, tepung terigu, dan air laut; sementara sisi negatifnya adalah, tak ada yang memfoto saya. Hiks.
Dan acara tersebut adalah acara penutup sebulan kedekatan saya dengan Fujifilm X-T1.
***
Sebulan yang lalu, saya bukanlah siapa-siapa. Namun kini, lihatlah saya, masih bukan siapa-siapa juga. Hanya seseorang yang kebetulan suka jalan-jalan dan ingin memaksimalkan fitur-fitur yang dipunyai si seksi Fujifilm X-T1. Kamera terbaik yang pernah saya pakai. Because someone deserves to have a thing that combines beauty, power, and speed.
So I picked this one,
and named her, Fujita.
Mari buang DSLR yang bikin pegel karena berat kalau udah bawa minimal 3 lensa :)) Btw mantanmu banyak kak. Aku malah belum pernah punya mantan Nikon atau Pentax.
LikeLike
Hahaha, bener bangeeet, ini aku udah punya 2 lensa dalam sebulan. Pengin cari lensa zoom malah.
Tapi kamu punya Canon sama Sony kaaaak.
LikeLike
Hmm..
Mestinya fotonya Kania yang itu tuh, kan bisa jadi “tagline” bahwa itu bisa menangkap momen dengan baik, kayak…….
LikeLike
Hahahaha, itu epic banget! X))))
LikeLike
*merasa terpanggil*
LikeLike
Hai Kanizoo ~
LikeLike
Wah kak aku ingin ganti kamera juga deh, mantanku cuma satu doang, prosumer fujifilm s3300. Sekarang malah pengen ganti DSRL ehehehe *nunggu celengan babik yg gak penuh-penuh*
LikeLike
Kak, kalau ada mirrorless yang lebih ringan dan kecil dari SLR, kenapa harus pengin SLR?
Ihik.
LikeLike
Kak foto kamu bagus-bagus ih kak 😀 😀 Jadi inget dengan kamera sendiri, yang harus lebih sering diajak jalan-jalan, kasihan dia nganggur di tas melulu *puk puk kamera GF6 ^^
LikeLike
Hahaha, masa sih kak? Iya banyak-banyak motret aja kak. Aku juga masih harus belajar banyak banget nih.
Salam buat GF6 nya! 😀
LikeLike
Mas, ikut acara fotografi tanggal 13 ga?
LikeLike
Enggak mbak, capalah akuh inih.
LikeLike
Kamera baru jadi tulisan baruuuuu.. Bagus deh foto pas lomba makan kerupuknya.
LikeLike
Penginnya sih tulisan baru jadi kamera baru *eh*
Makasih kaak F!
LikeLike
jadi beli lensa yang kemarin rif?
duhh NY trip bakalan jadi EPIC TRIP
LikeLike
JADI BAHAHAHAK.
Sumbangin yang 23 mm juga dong biar lebih epic X)))
LikeLike
Tulisan yang begitu mencerahkan, Kakak! Menambah keteguhan hati untuk pake mirrorless nih….
LikeLike
JANGAN DITUNDA, AYO BERALIH KE MIRRORLESS!
LikeLike
Keren banget mas foto-fotonya!
LikeLike
Ah masa!
LikeLike
bagus juga ya hasil photo dari fujifilm
LikeLike
iya bagus ya,.
LikeLike
Keren ya hasilnya, jadi pengen banget punya mirrorless ..harganya berapa sekarang ya kak?
LikeLike
Yuk beralih, banyak kok fotografer pro yang beralih. Hihi.
Kalau mirrorless Fujifilm dari 5 juta juga ada kak.
LikeLike
Fujita….Fujita… kalau mau selingkuh coba hubungi awak ya *ngacir* 😀
Problem pihak ketiga nya cuma terjadi pas di Sidomukti aja atau di tempat lain juga Riv? Curiga Sidomukti menyimpan aura yang nggak biasa trus nempel di Fujita 🙂
LikeLike
Hahaha, sini kamuh selingkuh sama Om aja!
Problemnya berlanjut sampai Jakarta, Lim. Jangan-jangan diikutin! :O
LikeLike
Kemaren-kemaren udah semangat belajar prosumernya Fuji, eeeh rusak dan belom ada duit buat benerin. Mahal euy, pengin ngumpulin langsung buat mirrorless aja. Semoga cepet ada duitnya \:p/
LikeLike
Aamiin, ayuk beralih ke mirrorless!
Bukunya dijualin tuh, siapa tahu penjualannya sukses kan? 😀
LikeLike
Wooohhh pantesan fotonya bagus-bagus rif, masih untung jadi fotografer kantor dibayar nasi kotak daripada dibayar pake senyum dowang 😀
LikeLike
Hahaha, ada foto elu kan ya kemarin? Dibayarnya pakai SP ntar 😛
LikeLike
Hasil fotonya kece badai… udah ga musim pake dslr ya Kak Ariev?
*banting dslr*
LikeLike
Masih musim kok, yang 5D Mark II. *eh gimana gimana*
Makin ke sini, banyak orang beralih ke mirrorless sih, lebih praktis, dan hasil gak kalah sama DSLR.
LikeLike
I think fuji is the new canon/nikon..haha
LikeLike
So..sell your Olympus and buy Fuji? Hahaha.
LikeLike
Eh itu kok boleh moto2 koleksi di Museum di Tengah Kebun? Aku gak boleh moto koleksi sama sekali, cuma boleh foto diri sendiri di tengah-tengah kebunnya 😦
LikeLike
Eits, boleh dong, itu buktinya ada fotonya. Hihihi. Mungkin rules udah berubah, aku juga gak nyangka boleh moto-moto.
LikeLike
Lucky you. I have to go back then.
LikeLike
Salam kenal mas…Tulisannya lucu dan khas, saya suka cara Anda bertutur. Kebetulan lagi cari review kamera fujifilm, eh nyangkut disini….
LikeLike
Hai mbak, salam kenal juga. Terima kasih sudah mampir di sini, hihi.
Terus jadinya beli kamera apaaa? 😀
LikeLike
postingannya keren gan,
pengin rasanya belajar moto bareng, tp ane minder cuma modal kamera prosumer fuji hs35erx
LikeLike
Makasih gan, ane juga baru belajar nih gan.
Semangat!
LikeLike
Pernah makai fuji xt1 buat kerja ngejob. Motret produk & interior….. EeEeEe kena komplain sm klien.
Akhirnya balik lg pakai nikon d810.
Kesimpulanya :
Ukuran sensor & kwalitas sensor tidak bohong. Image quality sebuah kamera berbanding lurus dg sensor.
Kalo ada yg bilang kamera dg sensor kecil lebih baik dr full frame…brati dia udah tertipu. Huhuhu..
LikeLike
Noted untuk catatannya, Mas.
Aku malah belum pernah pakai full frame, ini malah tergoda Sony gara-gara banyak teman yang pakai haha. Waktu itu kena komplainnya gimana Mas? Hihi.
LikeLike
Orang yg udah pakai full frame susah balik lagi ke sensor dibawahnya… Gak tau knp tapi emang hasilnya beda.
LikeLike
Wah! Apa ini pertanda saya harus beralih ke full frame? 😀
LikeLike