
Laut biru yang berpadu dengan kerumunan nyiur hijau menyambut dari kejauhan, saat mobil kami memasuki wilayah Tanjung Bira yang membuat saya sontak menurunkan kaca jendela di samping kiri untuk menikmati udaranya. Setelah kurang lebih dua jam perjalanan dari Jeneponto, termasuk mengunjungi perkampungan pinisi di Bulukumba, akhirnya tibalah kami pada destinasi utama kami yang terletak di ujung paling selatan pulau Sulawesi. Tanjung Bira.
Pasir Putih Sehalus Bedak
Mas Wahyu —driver kami– membelokkan mobilnya menuju jalanan menurun ke arah pantai yang kami lihat dari kejauhan tadi, tak ada aspal pada jalan tersebut, hanya jalan setapak yang terbentuk dari pasir yang mengeras karena sering dilalui. Di sekitarnya terdapat beberapa penginapan yang menghadap laut, bercampur dengan permukiman penduduk.
Kami segera menghambur keluar setelah Mas Wahyu memarkir mobil di pinggiran pantai, pantainya yang putih dan halus bagai bedak anti jamur membuat kami tak sabar untuk merasakannya dengan telanjang kaki. Dan kalau boleh jujur, inilah pantai terindah yang saya temukan selama perjalanan saya di Tanjung Bira.
Phinisi Raksasa di Pantai Panrang Luhu
Selama perjalanan, Mas Wahyu telah menginformasikan bahwa ada beberapa pinisi yang juga dibuat di Panrang Luhu. Menariknya, kapal pinisi yang dibuat di sini –pesanan dari warga Eropa– berukuran raksasa, berkali lipat dari yang saya lihat di Bulukumba sebelumnya.
“Sayang, ini sedang libur Idul Adha.” Jelas pria kecil itu. “Kalau gak libur, kamu bisa lihat para pekerja pinisi bergelantungan mengerjakan tugasnya.” Tambah Mas Wahyu ketika kami naik ke salah satu kapal (yang nantinya akan bernilai miliaran Rupiah) yang belum jadi tersebut.
“Psst, sisipkan uang seikhlasnya untuk yang jaga kapal.” Imbuhnya lagi.
Penginapan yang Tak Siap
Sebenarnya, kami berencana menginap di Sunshine Guesthouse yang tersohor, namun saking tersohornya, semua kamar tak ada yang kosong saat itu. Dan kami pun mengalihkan pilihan ke Salassa Guesthouse yang terletak tak jauh dari situ. Kamar telah dipesan sebelumnya oleh Nindya seharga Rp. 120.000,- per malam termasuk makan pagi, dan kami tiba di sana pukul 15:00.
Asumsi saya, waktu check out sebuah penginapan adalah pukul 12:00 – 13:00, sehingga pukul 15:00, semestinya penginapan sudah siap. Namun ketika saya tiba di penginapan yang mendapatkan review positif di Trip Advisor dan bahkan masuk Lonely Planet ini (source), kamar yang seharusnya saya tempati masih berantakan dan belum dibereskan. Mbak Shanty, pemiliknya, mengatakan bahwa belum sempat membereskan karena kekurangan tenaga kerja, dan menyarankan kami untuk pergi jalan-jalan terlebih dahulu dengan janji suci akan beres ketika kami kembali.
Ketika kami akan meninggalkan penginapan, kamar Nindya ternyata bermasalah dengan pintu yang tak bisa dikunci, dan ketika dia meminta untuk dibetulkan, Mbak Shanty mengatakan belum bisa membetulkan segera karena dia tak tahu caranya sehingga harus menunggu suaminya pulang.
…dan Ibu Kartini pun menangis di makamnya.
Pantai Bira yang Kotor
Sebelum tiba di Pantai Bira, bayangan saya akan pantai ini adalah pantai yang sepi, dengan pasir putih yang mulus layaknya wajah hasil Camera360 . Namun semuanya berubah 360 derajat dibagi dua ketika saya menginjakkan kaki di sini. Pantainya memang tidak terlalu ramai dengan pasir yang memang juga putih, namun tidak mulus, karena banyak sampah berserakan di sana-sini. Bahkan Pantai Sanur yang dijadikan pelabuhan kapal ke Nusa Penida dan sekitarnya pun masih lebih bersih dari ini.
Satu hal yang bisa ditonjolkan di pantai ini adalah air lautnya yang masih jernih dengan gradasi biru-toska yang menawan. Andai saja sampah-sampah, atau timbunan rumput laut yang hanyut ke daratan dapat dibersihkan, pasti pantai ini akan semakin menawan.
Pulau Liukang Loe yang Mungkin Biasa Saja
Kami berenam memutuskan untuk pergi ke Pulau Liu Kang Loe untuk snorkeling dan menikmati sajian ikan bakar khas-nya dengan men-carter sebuah perahu kayu yang dikomandoi seorang pria murah senyum (yang saya taksir) berumur 40-an bersama asistennya. Saya yang membawa masker dan snorkel sendiri langsung menceburkan diri ke salah satu spot yang ditunjukkan oleh Si Bapak, namun tidak menemukan pemandangan yang menarik. “Masih lebih bagus snorkeling di Bunaken.” Batin saya, walaupun di Bunaken banyak terumbu karang yang telah mati, atau bisa saja saat itu saya tidak snorkeling di tempat yang tepat.
Setelah perahu menepi di pulau, Si Bapak mengarahkan kami ke arah salah satu restoran di sana. Masing-masing memesan satu paket ikan bakar lengkap dengan nasi, sayur, piring, dan sambal seharga Rp. 30.000,- per porsi, di restoran yang ternyata merupakan kepunyaan dari famili Si Bapak pemilik perahu.
Sewa Perahu yang Tak Transparan
Berdasarkan negosiasi awal di Tanjung Bira, kami mendapatkan harga Rp200.000,- setelah menawar dari harga awal seharga Rp300.000,-. Toh kami cuma menyewa selama 3-4 jam karena keterbatasan waktu yang kami punyai, begitu kata-kata yang kami utarakan ke bapak pemilik perahu yang mengiyakan angka itu sambil terkekeh.
“Berapa orang yang mau snorkeling?” Tanya Si Bapak. “Nanti kita ukur alatnya dulu.”
“Semuanya, Pak.” Jawab saya. “Tapi saya sudah membawa peralatan sendiri.”
Ketika kami bermaksud membayar sewa perahu di pulau Liukang Loe, Si Bapak dengan santainya menagihkan biaya “meminjam” peralatan snorkeling tadi kepada kami.
“Dua puluh ribu dikali lima. Berarti totalnya tiga ratus ribu sama perahu.” Jelasnya.
Yeee, oncom! Sama saja kayak harga awal dong. Kalau tahu begitu, saya seharusnya bertanya dulu, apakah tarif sewa kapal tersebut sudah sepaket dengan peralatan snorkeling.
Sunset yang Menawan di Pantai Bara
Sebelum kembali ke Tanjung Bira, kami mampir ke satu spot lagi yaitu Pantai Bara yang terkenal lebih sepi dan eksklusif. Yang agak ganjil dari perjalanan ini adalah, ketika Si Bapak pemilik perahu tidak ikut serta dengan kami. Beliau memilih tinggal di rumahnya yang terletak di Pulau Liukang Loe, dan meminta asistennya untuk mengantarkan kami kembali.
Yowes, aku rapopo, Mas.
Beruntung, Pantai Bara memiliki sunset yang menawan sehingga membuat kami betah menikmati pergantian hari menjadi malam di situ.
d’Perahu Resto yang Mengecewakan
Malam harinya, Mas Wahyu mengantarkan kami bertualang di sekitar Tanjung Bira. Dari beberapa artikel yang saya baca, terdapat beberapa tempat hiburan malam di daerah tersebut, tepatnya di sepanjang jalan menuju Bara Beach Hotel. Namun ketika kami menuju lokasi tersebut, tidak tampak hingar bingar yang kami cari, tempat karaoke dan hiburan pun semua tutup, juga tidak ditemukan adanya penampakan wanita-wanita penghibur di sini. Mungkin dikarenakan besok adalah Hari Raya Idul Adha, sehingga mereka semua bertobat selama satu malam.
“Tobat satu malam, oh indahnyaaa.”
Tujuan pun dialihkan ke d’Perahu Resto yang melekat pada Anda Beach Hotel. Sepanjang pengamatan saya, restoran berbentuk pinisi ini merupakan yang terbesar dan termegah di Tanjung Bira, sehingga ekspektasi saya pun tumbuh tinggi seperti ketika Pemilu 2004 ketika mencoblos SBY.
d’Perahu Resto malam itu penuh sesak dengan pengunjung yang mencari penerangan dan kehangatan, karena malam itu, Tanjung Bira sedang dilanda mati listrik total dan hanya menyisakan beberapa penerangan dari lokasi-lokasi yang ber-genset, di mana salah satunya adalah d’Perahu Resto.
Kami bermaksud untuk makan malam di sana sambil menikmati debur ombak, namun ketika memesan, si pelayan yang berpenampilan layaknya anak hip-hop cuma berkata “Maaf, sudah tak bisa melayani pemesanan makanan, karena kekurangan tenaga kerja.”. Ya, dengan jumlah tamu yang mencapai puluhan orang dengan tenaga kerja yang (saya lihat) hanya tiga orang termasuk kasir, memang tidak mungkin untuk memuaskan semuanya. Entah memang restoran yang tak siap, atau memang sedang terjadi masalah internal rumah tanggga sehingga tak cukup orang untuk melayani.
Alhasil, kami hanya memesan beberapa minuman kaleng bersoda dan mengobrol di meja bekas pelanggan sebelumnya yang belum dirapikan, sambil tetap mendengarkan debur ombak hingga mengantuk.
Warung Lokal yang Tak Ramah
Dengan perut yang masih kosong dan listrik yang tak kunjung menyala, kami pindah lagi ke sebuah warung lokal untuk bersantap malam. Beruntung masih ada warung yang buka dengan penerangan yang cukup dan makanan yang masih tersedia. Ada beberapa pelayan yang ada dalam rumah makan tersebut, termasuk si bocah yang menunggu di kasir dengan acuh, dan seorang remaja putri yang terlihat cemberut. Kami memesan beberapa porsi nasi goreng dan beberapa botol minuman kepada seorang gadis kecil yang melayani dengan muka masam.
Setelah makanan tersebut habis, kami lanjut bermain kartu sambil menunggu listrik menyala kembali. Si gadis kecil masih bermuka masam padahal Indro telah menunjukkan beberapa trik sulapnya dan saya telah menggodanya beberapa kali dengan muka mesum. Anehnya, ketika menyambangi meja lain yang dipenuhi bule-bule yang memesan bir, entah mengapa si gadis kecil tersenyum lebar.
Perbedaan Perlakuan dengan Turis Asing
Setelah menunaikan ibadah Salat Idul Adha (Ya, saya merasa beruntung menemukan satu lapangan yang bisa dipakai salat berjamaah, sehingga tidak menggugurkan kewajiban tahunan saya menunaikan salat Idul Adha), kami kembali ke hotel untuk check out dan sarapan. Dari papan informasi di Salassa Guesthouse yang menyebutkan “We make our food with love & love needs time. Please be patient.” kami menyimpulkan bahwa makanan yang dihidangkan akan lama datangnya, sehingga kami memesan makanan terlebih dahulu, sebelum berkemas, dan kembali lagi ke lobby untuk sarapan.
Pak Erik –suami dari Mbak Shanty– menghidangkan sepasang toast yang gosong dengan telur mata sapi yang tak beraturan di sampingnya, lengkap dengan selai nanas dan mentega dalam sebuah piring. “Mau minum apa?” Ujarnya ramah. Saya memesan teh panas, dan Indro memesan es teh. Namun Pak Erik mengatakan sedang tidak ada es, sehingga tidak dapat memenuhi keinginan Indro.
Tak berapa lama, datang sepasang bule yang langsung duduk di belakang kami. Dengan ramah, Pak Erik melayani mereka dalam Bahasa Inggris yang fasih. Selain menu default yang dihidangkan, mereka juga memesan es teh sama seperti Indro. Namun anehnya, beberapa saat kemudian segelas es teh tersaji manis di atas meja mereka.
Mungkin lain kali saya akan memesan “ice tea” ke Pak Erik, alih-alih es teh. Itu juga kalau saya masih punya lain kali, mengunjungi Tanjung Bira yang saat itu tidak terlalu spesial bagi saya. Besar harapan saya, supaya Tanjung Bira dapat terus berbenah, mengoptimalkan potensi yang dimilikinya, sehingga dapat menjadi salah satu lokasi wisata unggulan di Indonesia.
fak, lu terlalu jujur baaang :)))
LikeLike
HAHAHA! SEMOGA GUE MASUK SURGA!
LikeLike
Hi Bang….
Saya ketawa dan sedih lihat postingan anda yg begitu membuat saya terharu…
Mungkin waktu datangnya kurang tepat dan kurang beruntung karena pas waktu libur, dibira masyarakatnya mayoritas islam jadi klw hari besar islam pasti pelayanan tidak maksimal.
Saya mungundang lagi datang dibira mas dan melihat keadaan yg sekarang karena beberapa bagian yg anda posting sudah ada perubahan namun blom maksimal tapi sudah ada usaha dari masyarakat untuk membenahi kebersihan dibira.
Klw Mas datang dibira saya bisa pastikan akan ada kesan khusu yg pasti anda dapat.
Terima kasih postingan mas dan itu adalah bagian dari usaha kami untuk memperbaiki tempat wisata yg kami miliki.
Hubungi saya mas klw kebira soga kami bisa memberikan pelayanan terbaik buat mas.
Thanks mas
LikeLike
Halo Bang, salam kenal.
Iya betul, mungkin saja saya yang pas sedang sial di hari itu.
Siap, saya akan kembali di Bira suatu saat nanti. Semoga Bira yang saya lihat saat itu adalah Bira yang sudah memberikan yang terbaik untuk para pengunjungnya.
Sukses terus Bang!
LikeLike
Cukup kaget membaca ending postingan ini. Gw juga nginep di Salassa pas ke Tanjung Bira, mesen ice tea, eh es the juga, dan dilayani dengan OK tuh mas, sampe ditelponin angkot segala pas check out. Tapi gw sendiri sih mas, eh enggak juga ding, waktu itu bareng cewek Swiss :P. Apa mungkin faktor bareng bulenya itu ya? Semoga enggak ya. Tp emang standar penginepannya biasa banget rata2 di Tanjung Bira.
*komentar orang galau*
*akurapopo* 😥
LikeLike
ES THE! Pasti anak Blackberry nih, hahaha.
Iya, mungkin pas itu moodnya si Pak Erik lagi bagus kali ya. Tapi ya ini emang ugly truth apa yang gue alamin di sana, semoga gak kejadian ke yang lain juga hihi.
LikeLike
Biar pak Eriknya rada rasis sama masyarakat bangsa sendiri, tapi semoga senjanya tetp spesial. 😀
LikeLike
Aamiin! Senja di sana emang keren, berpadu sama awan-awannya.
LikeLike
Nglamin hampir semua kejadian yang sama kayak di postingan ini, kak. Cuman ada satu warung yang buka untuk makan malem, dan itu rasis ke penduduk lokal. *cries*. rata-rata pelayanannya lama. Oh, saya juga ngalamin yang soal perahu nan tidak transparan itu.
Bira ini bagus, cuman IMO budaya setempat belum siap untuk kedatangan wisatawan sebanyak sekarang gara-gara jadi terkenal dalam sekejap. Sayang banget, emang.
LikeLike
Huwoh! Berarti gak cuma aku dkk aja yah?
Umm, jangan-jangan warung yang kita datengin sama? 😀
Yap, menurutku keindahannya justru dirusak oleh kelakuan warga lokalnya sendiri. Sayang sekali.
LikeLike
Tanjung bira oh tanjung bira …. Banyak banget kekecewaan, seperti yg kualami kapan lalu waktu datang kesini.
Hanya amatoa resort pelipur lara ku 😉
LikeLike
Wah, kecewa juga Mascum? kayaknya ndak baca di blognya.
Aku malah gak di Amatoa nginapnya, hiks.
LikeLike
Yah, jadi males kesini sih baca postingan lu om haha. Kecuali dibayarin sik :p
LikeLike
Hahaha, iya, kecuali dibayarin.
Tapi kalau mau ke Selayar (Takabonerate) berangkatnya dari sini sih, hihi.
LikeLike
harus waspada deh kalau ke tanjung bira 😐 ini kok membedakan bule sama lokal gitu banget ya? Di bali pernah juga ngalamin gitu, mereka lupa harus ramah sama sodara sendiri kali yak 😐
LikeLike
Ho’oh, sedikit mirip Bali. Tapi sekarang aku rasa Bali lebih friendly ke turis lokal ya, broh?
LikeLike
tergantung lokasinya 😀 kalau yang banyak bulenya, orang lokal dipandang sebelah mata *pernah ngalamin sekali* -.-
LikeLike
belajar dan kuasai bahasa makassar bro…!!! dan kamu akan dipandang tiga mata oleh pemilik warung …. mata yg dikepalanya dan MATA HATINYA …..hehehe
LikeLike
Hahaha ajarin dong daeng 😀
LikeLike
*Brarti nyari kamu aja kak 🙂 …Brarti ntar kalau dapat tiket ke makassar, mending ngublek2 toraja saja, gak usah mampir ke Bira
LikeLike
Hihihi, kalau mau dapat pengalaman kayak aku ya monggo ke Bira.
Toraja asik sih, tapi banyak driver yang gak tau informasi wisata. Cuma nyetir, diam, sambil muterin lagu rohani.
LikeLike
“pria murah
senyum (yang saya taksir) berumur
40-an”
ternyata mas ariev naksir bapak2 umur 40-an! 😮
*salah fokus
LikeLike
HUWOOOYYY!
*tinggalin di Pulau Liukang Loe* *yang banyak kuburannya*
LikeLike
kalau ada kuburan mas mas ganteng n jadi vampir kaya edward cullen sih mau mau aja :3 *jones
LikeLike
*memandang nanar tiket promo ke Makassar.
Jadi….. mending aku ke toraja aja nih mas?
LikeLike
Toraja unik loh, kalau kamu suka wisata cultural. Pantai sih banyak yang lebih bagus, di Bali misalnya.
LikeLike
wahhhh,
tanjung bira aja, kerennnn.
alhamdulillah gw kesana aman, nyaman, dan tentram.
LikeLike
Wah, alhamdulillah kalau pas lu ke sana aman, nyaman, tentram, haha!
LikeLike
Nagih, nyandu bgt bro.
LikeLike
Klo mau liburan ke tanjung bira hub aja aku siapa tau butuh penginapan.
Nih nopeq 082 394 576 628
terimakasih sebelum.
LikeLike
Ya awoooh… gw geregetan baca blog ini.. masih ada ya orang2 Indonesia yang kayak mereka…
Maret ini mungkin saya mau kesana, tapi baca blog ini… saya kok rasanya pengen jadi Kartini yg menangis di makamnya juga. 🙂
LikeLike
Eh, jangan geregetan Mas, kan siapa tahu gak semua orang bernasib sama, hihi.
Semoga trip Maretnye menyenangkan ya! *taruh samping Ibu Kita Kartini*
LikeLike
Ini salah satu destinasi lokal impianku deh, Mas. Tapi baru tau dari blognya mas Ariev ini kalo ternyata kurang greget ya liburan di sana..
LikeLike
Umm, greget(an) banget malah, abisan dikerjain gitu, hahaha!
Ayo ke sana dooong.
LikeLike
Bayarin (tiketnya) ke sana doooooong..
LikeLike
Trus bagusnya kalo di tanjung bira ngapain nginep dimana makan dimana trus sama siapa donk (kalo siapa ni mgkni bisa cari bule ya)
LikeLike
AHAHA BULE!
Iya bisa sih, kaau hoki. Coba di Sunshine Guesthouse kak, reviewnya bagus sih. Atau kalau ada uang lebih bisa di Amatoa Resort.
LikeLike
Underwater viewnya mengecewakan. Huks.
LikeLike
EMANG SIH! BIASA AJA YAH. HUGS.
LikeLike
Memang yang anda tuliskan diatas hampir semuanya benar.dan bukan anda saja yang mengeluhkan tentang hal tersebut..maka dari itu kami dari PERSATUAN PEMUDA BIRA berusaha membenahi tempat kami.dan telah melakukan sebuah kegiatan seperti jumat bersih,mengajarkan kapada penduduk bagaimana berinteraksi kepada pengunjung..
LikeLike
Siap! Semoga ke depannya Tanjung Bira semakin maju dan semakin ramah terhadap wisatawan.
LikeLike
Terima kasih Vebry. Semoga next time bisa ke Bira lagi dan ada perbaikan. ^^
LikeLike
EH KAK SHELLA! APA KABARNYAAAA?
LikeLike
Eh baikkkk!! Masih di pedalaman terpencil di Kepulauan Aru Maluku. Sini yok!
LikeLike
Akkk! Kamu lagi KKN di sana? 😀
LikeLike
PTT alias Pegawai Tidak Tetap Riev hehe…
LikeLike
Wah, sampai kapaaan?
LikeLike
I went there last year! Soal pemandangan atas laut gue suka kok Bira dan Bara ini hihi, terlebih lagi pasirnya yang luar biasa kayak bedak itu. Terbaik di antara beberapa pantai yang sebelumnya pernah gue kunjungi, lebih halus dari Dreamland di Bali pun.
Kalau pemandangan bawah laut… Gue no komen soalnya disitu arus kenceng banget dan gue gak bisa renang =))
Ini review gue pas ke Tanjung Bira: http://subtersidera.blogspot.com/2013/09/tanjung-bira-terselatan-dari-sulawesi.html
nitip link ya 😉
LikeLike
Eh, halo Lynn!
Ah aku belum balas komen ini ternyata, hahaha. Iyap, pasirnya keren banget kaaan, gak kayak pantai-pantai di Jawa. Iya arusnya lumayan sih, atau jangan-jangan kamu pas jam-jam arus kencang ya? 😀
*mampir ke linknya*
LikeLike
baru tau begitu bira ya ternyata. padahal gemes bgt pgn kesana. untung tiket april ini ke makasar dibatalin sama maskapainya.. hehe..
LikeLike
Iya, Bira kayak begitu yang aku alami. Tapi ada beberapa orang yang ke Bira dan fine-fine aja sih, ehehe.
Eh, kok dibatalin kenapa?
LikeLike
pengurangan frekuensi penerbangan dari jakarta-makasar dan sebaliknya, jadi cuman sekali sehari. waktunya jadi mefet bgt dan ga oceh.. mending refund aja :p
LikeLike
Duh, semoga bisa ke sana lain waktu yaaa (dan semoga semuanya sudah membaik).
LikeLike
senang banget membaca artikelnya mas, masukan bagi kami, guide di Bira, tapi selama saya membawa tamu ke Bira, Alhamdulillah semua Puas dengan Perjalanan Wisata yang kami buat. memang saya akui Bira memang banyak kekurangannya, karena pengelolaan dari Dinas Pariwisata yang tidak Maksimal, di tambah banyaknya pengunjung lokal yang tidak mencintai daerahnya sendiri dengan membuang sampah sembarangan. kebetulan saya orang asli kabupaten bulukumba beda kecamatan, di Bira kami punya organisasi Sukarelawan, yang setiap bulan secara sukarela membersihkan pantai dan memberikan pengarahan kepada para Tukang Perahu, Penjaga Warung akan pentingnya kebersihan dan bagaimana berkomunikasi baik dengan pengunjung agar pengunjung di Bira Makin bertambah. saya sendiri amat menyangkan perlakukan orang yang di bira terhadap mas arievrahman, dan ini akan jadi catatan buat teman2 guide di Bira.
sedikit pembelaan hehehehe…… di Bira, tidak semua tukang perahu dan penjaga warung yang tidak ramah, dan di Bira kita harus Pandai-pandai memilih hotel ( Usahakan yang Punya hotel Bukan orang asli Bira), soal makanan yang murah ada di Bira Beach Resto Pelayanannya Memuaskan dan Murah,
oh ya ada beberapa spot snorkling yang bagus di pulau liukang krn sy sudah ratusan kali snorkling di spot itu menemani tamu, mungkin tukang perahunya tidak pandai memilih lokasi dan paling bagus snorkling jam 7 pagi dan jam 4 sore hari,,,
apabila mas arievrahman akan ke Bira lagi, saya akan menemani mas, melihat sudut-sudut indah yang tersembunyi di Bira
Hormat saya
Bugis Makassar Trip
LikeLike
oh ya baru saya perhatikan kotoran di pantainya, itu rumput laut yang terbawa arus kepantai 🙂
LikeLike
Ah, sepertinya iya! Tapi mungkin tidak segera ditangani jadinya menumpuk dan mengurangi keindahan pantainya.
LikeLike
Salam kenal Bugis Makassar Trip,
Wah saya merasa senang membaca respon dari Mas mengenai Bira. Iya, saya yakin tidak semua orang di Bira seperti itu, dan mungkin waktu itu sayanya yang lagi apes. Hehehe. Driver saya, waktu itu juga berkata hal serupa mengenai sifat penduduk asli Bira, juga mengenai hotelnya, dan kurang lebih sama dengan yang Mas utarakan.
Kalau dari saya, mungkin Bira belum teredukasi secara merata, dan belum semuanya mengetahui pentingnya pariwisata bagi pertumbuhan ekonomi lokal, jadinya ya terkesan acuh dengan hal itu. Yang penting uang masuk, selesai. Bukan memperhatikan faktor yang lain. Oleh karena itu, acara seperti yang diadakan oleh organisasi sukarelawan sangatlah penting untuk memajukan pariwisata Bira.
Oh iya? Yang di Pulau Liukang saya waktu itu sekitar pukul 3-4 sore padahal, tapi mungkin salah spot ya? Hehehe.
Wah, saya jadi menantikan kunjungan saya ke depannya bersama Bugis Makassar Trip, Mas.
Salam hormat 🙂
LikeLike
Fiuh.
Pertama kali kesana, syukurlah semuanya memuaskan.
Malah mbak- mbak di warung dan pemilik kapalnya ramah sekali.
Dan pas kedua kalinya, duh……
Mirip- mirip sama pengalaman yang diatas.
Hanya Amatoa dan Bara beach yang akhirnya sebagai pelipur lara.
LikeLike
Ah, berarti bukan saya sendiri yang mengalami pengalaman kurang enak, hehehe.
Tapi gak sempat nyobain Amatoa nih, karena budget mepet. LOL!
LikeLike
Iya haha :))
Wah amatoa keren banget kak :))
Damai :))
LikeLike
Saya ke bira tahun bulan September 2013. Saya menemukan spot yang indah banget dan sepi di pantai bara, kalo terpatok hanya di pantai bira memang agak kurang. Tapi kalo mas jalan sekitar 2 atau 3 Km, mas akan menemukan spot yang indah banget pantainya.
Soal perlakuan orang lokal, saya gak kecewa yah mas. Saya dengan teman saya orang lokal, tp diperlakukan sangat baik. Kami menginap di sunshine guest house. Diperlakukan sama dengan bule bule yang nginep di situ, malahan cuma kami orang lokalnya. Dan kami malah sering ngobrol sama ownernya yaitu mbak nini dan gavin. Jadi kalau dengar-dengar kenapa terkadang orang lokal dibedakan perlakuannya dengan orang bule itu karena ada alasannya, yaitu masalah attitude. Saya mengalami sendiri, ada satu hari 2 wisatawan lokal datang, cuma menginap semalam, ya ampun berisiknya. Menghina ownernya dengan mengatakan penginapan jelek. Kebanyakan bule yang datang memiliki manner yang bagus, tapi gak semua wisatawan lokal memiliki manner yang ga bagus. So it’s all about attitude kali yah mas. Mau bule or lokal sama ajah, saya percaya kalau kita baik dan menghormati orang lokal di suatu tempat wisata, kita akan di treat sama. Nah mungkin mas lagi apes ajah. Hehehehe. Saya aja mau balik tahun ini ke tanjung bira. Next time coba menginap di sunshine guest house. Oh iyah makanan di salassa guest house luar biasa enak, terenak di bira 😀
Jangan pada takut yah ke Bira, asalkan nemu spot yang benar, pasti gak kecewa
LikeLike
Hai!
Mengenai pantai, memang kalau di Biranya sendiri agak kurang, tapi saya terkesan dengan Panrang Luhu yang tempat membuat pinisi itu, itu saya akui keren banget kok, pasir halusnya, waw 😀
Rencananya memang kemarin saya mau menginap di Sunshine namun penuh, jadi dialihkan ke Salassa, namun malah agak kecewa hehe. Kalau saya sendiri, Insha Allah dapat ber-attitude yang baik selama perjalanan jadi gak mengganggu pihak lain, semoga waktu itu bukan karena attitude terus perlakuannya dibedakan ya.
Siap, semoga kunjungan saya ke Tanjung Bira berikutnya dapat lebih baik! Terima kasih info dan masukannya 😀
LikeLike
saya dan suami (bule) akan k sulsel dec yad dan rencana menginap di bira. setelah membaca postingan ini jadi ragu, apa sbaiknya saya menginap di pantai bara saja ya ? jauh2 ke sulsel kalo dijutekin, kan bikin hati sedih 😦
btw, slm keanl dr bld, saya suka membaca blog ini
LikeLike
Hi Mbak Widiya,
Kalau di Pantai Bara kelebihannya, dia tergabung dengan resort sehingga kenyamanan lebih terjamin, cuma kelemahannya dia jauh dan aksesnya melewati jalanan yang gelap dengan hutan dan beberapa kafe dangdut di kanan kirinya (tahun 2013).
Kalau di Bira, ada yang bilang tidak mengalami hal yang saya alami kok, mungkin saya yang lagi gak hoki, hehehe. Kalau mau coba reservasi di Nini/Sunshine Guesthouse, karena so far saya sih belum baca review negatif tentang itu, hehe.
Wah, dari Belanda! Salam kenal, Mbak. Terima kasih sudah mampir di sini, saya jadi pengin mampir di Belanda juga. 😀
LikeLike
pagi2 sambil ngeteh saya buka lagi blog ini, ternyata langsung direspon. top dech 🙂
iya, saya tinggal di bld dan bln dec rencana ke sulsel. bantuin saya buat itinerary nya dong ?.. ngarep.com 🙂
kalau ke bld or belgia, silahkan hub saya loh. kalau saya bisa Insya Allah saya ajak jln2 disini..
LikeLike
Ehehe, iya kebetulan pas buka laptop tadi ya sekalian bales-balesin kalau pas ada komen, hehe.
Siap, penginnya sih tahun depan ke Eropa. Teman juga ada yang lagi kuliah di Amsterdam & Delft jadi pengin nyamperin.
PS: Itinerary sudah aku kirim ya 🙂
LikeLike
Emang gitu orangnya mas
LikeLike
Iya ya? 😦
LikeLike
Tdk semua orang bira gitukok sy asli bira punya penginapan .
Salassa mah itu pemiliknya bukan asli bira jd masih banyak kok penginapan di bira lebih siap apa lg udah di resevasi .
Maksud warung lokal itu warung bambu toh itu mah anaknya gitu memang sifatnya .trus masalah pantai klo mau liat bersih datang aja antara bulan 5,6,7,8.pasti memuaskan.
BAGI TEMAN2 MAU LIBURAN KE TANJUNG BIRA HUB AJA NOPEQ DI 085 299 980 675.siapa tau aja ada yg bisa di bantu.
Atau bisa jgk di pin bbq 29302DC1.
Terimah kasih all
LikeLike
Siap Mas! Makasih masukannya. Mungkin saya yang lagi apes.
LikeLike
Mas boleh g’ bikinkan aq blog buat penginapan aq.
Jasanya g gratis kok.
Klo bs infoin aq yeach.
085299980675
LikeLike
Halo Mas, kalau untuk masalah itu saya kurang kompeten, Mas.
Mungkin bisa kontak @wpkami di Twitter, mereka yang bisa membantu. Terima kasih.
LikeLike
Hmmm.. Pelayanan turis dinilai dari bayarannya kah di sini? Tapi buat saya sih yang penting pemandangannya oke hehehe..
LikeLike
Umm harusnya enggak sih, soalnya tarifnya sama aja lokal sama asing. Kalau pemandangan mah oke banget!
LikeLike
iaa juga si bang… orang2 bira sendiri lebih senang sama turis asing, mungkin karna banya duitnya yahh ??!!! hahaha
LikeLike
Bisa jadi bisa jadi, atau dikira kalau bule bawa duit banyak, dan mau kasih-kasih.
LikeLike
udah pengen banget ke bira nih mas. masa’ iya pelayanannya kaya gitu bang??
LikeLike
Itu based on pengalaman pribadi, semua orang beda-beda sih pengalamannya, cuma mungkin aku pas lagi sial aja.
LikeLike
Klo mau liburan ke tanjung bira hub aja aku siapa tau butuh penginapan.
Nih nopeq 082 394 576 628
terimakasih sebelum.
LikeLike
saya juga nginep di guest house ini mas waktu ke Tanjung Biar, lucky me kamar nya bersih karena waktu itu yg nginep cuma kami.. waktu sarapan pun bapak nya ramah.. mungkin karena cuma kami yg nginep disini 😐
btw, sempat ke desa nelayannya?
LikeLike
Ah iya, lucky you! Atau memang saya yang lagi apes, hehe.
Belum sempat ke desa nelayan sih, itu di sebelah mananya kah?
LikeLike
deket yang bikin kapal Pinisi itu mas.. dipinggir pantai persis, rumahnya dari terpal+daun daun kelapa gitu. dari Tanjung Bira buat saya yg paling berkesan yaa waktu ke desa nelayan itu, soalnya pertama kali liat orang main judi bandarnya perempuan, taruhannya permen relaxa :)))))
LikeLike
Huahaha (((JUDI))) eh tapi emang orang sana sering main kartu ya? Soalnya lihat pada main kartu di kafe setempat.
Next time main ah ke desa nelayan.
LikeLike
hehe waktu pak Arief Rahman kesini bu Yohana kampung Nelayan kembali ke asal daerah masing2 karena mereka membuat tenda darurat bila musim angin barat di desa mereka dan memilih tempat yg teduh dan tenang di Panrang luhu sambil nunggu musim angin barat reda
LikeLike
Siap, terima kasih infonya. Omong-omong Bu Yohana itu siapakah Bang? 😀
LikeLike
Hay apa kabar
LikeLike
Butuh penginapan di kawasan wisata tanjung bira.
Yuk reservasi di wismaku.
nih nopeku. 082 394 576 618
email. Wismajabir@gmail.com
fb. Tanjung bira
LikeLike
kunjungi kami di tanjungbirawismamurah.blogspot.com
LikeLike
duh riv, udah semangat banget pengen ke tanjung bira trus ngeliat postingan lo yang ini langsung lantah semangat gue 😦
selama setahun ini mudah mudahan ada perbaikan ya? pengen kesana tp maunya ga weekend biar ga rame, tp susah kalau rame rame sama orang pasti pada mau weekend
LikeLike
Tenang, ini kan pengalaman pribadi, bisa saja pas aku yang lagi apes, ehehehe.
Dengar-dengar sih, gara-gara postingan ini, aku jadi most wanted person di Bira, pada kesal orang sananya. Namun semoga bisa jadi masukan untuk mereka ke depannya.
LikeLike
Tenang aja mas..disini aman kok
LikeLike
Siap, semoga saya bisa berkunjung ke sana lagi.
LikeLike
setuju mas bro… ane juga 2 bulan lalu kecewa berat dengan penyedia tour ke bira. pelayanannya kyk tempe basi. pesen penginapan sebulan sebelumnya, pas smp d lokasi ternyata penginapannya belum d booking sama skali. alhasil kami harus ke penginapan lain d luar bira (sebelumnya kami pesen penginapan / loudge yang ada di dalam pulau…. ane orang sulawesi juga (toraja) tapi sejauh ini belum nemu penyedia jasa yang memuaskan.
LikeLike
Noted masbro, berarti yang apes bukan saya saja ya hehehe.
Yang penginapan juga senasib ya, sudah booking pas sampai belum siap. Punya masbro malah lebih apes, karena penginapan benar-benar belum siap dan mungkin sudah dialihkan ke orang lain. Duh.
Semoga ke depannya Tanjung Bira ini bisa semakin maju, sayang banget potensi wisata yang besar tapi tidak dikelola dengan baik.
LikeLike
Standard orang indonesia, yang nggak sadar akan keindahan negeri tercinta.
Semua biasa aja, heheheheeee
LikeLike
Hehehe, ada yang gak biasa kok 😛
LikeLike
Waktu di Bira nginap di Bukit Sawerigading, dan emang gak bisa lihat pemandangan pantai dari sini. Tapi tempatnya bersih, nyaman juga. Gak ada sih ngalamin hal-hal yang gak menyenangkan di sana, mungkin beda orang beda hoki haha
Oh yah waktu itu gua sama temen, bertiga jalan dari pantai Bira ke Pantai Bara, dan itu jelas banget perbedaannya di sepanjang garis pantai, dari yang ramai dan agak kotor menjadi lebih sepi dan bersih.
Cukup menyenangkan sih pengalaman di sana, walaupun gua setuju masih banyak nih yang harus dibenahin.
LikeLike
Wah ada bukitnya ya di Bira? Aku soalnya gak sempat eksplor lama waktu itu mas hehe.
Iya mungkin juga waktu itu saya pas apes aja pas ke sana kok dapat yang kurang menyenangkan.
Semoga ke depannya Bira bisa makin kece, dan gak ada lagi hal tidak mengenakkan yang terjadi di sana.
LikeLike
Halo, saya sama bbrapa temen mau mampir di akhir April ke makassar kyknya cuma untuk sehari aja dari jakarta sebelum lanjut ke labuan bajo, masih kotor gitu gak ya?
Sayang banget wisatawan dan penduduk setempat masih kurang peduli lingkungan.. Saya browsing-browsing kabar terbaru 2016 januari memang tetap kotor… gak sebersih bira tempo doeloe
LikeLike
mas ada no telp wisma atau losmen yang budget backpacker di tanjung bira?
trima kasih mas
LikeLike
Halo mas, wah kalau penginapan yang saya tempati dulu not recommended soalnya hehe. Coba dibrowsing sunshine guesthouse deh 😀
LikeLike
Semoga kunjungan anda berikutnya ke tanjung bira dapat memberikan kesan yang lebih baik…
LikeLike
Aamiin! Semoga makin baik ke depannya 😀
LikeLike
wah mas Ariev Destinasi selanjutnya Mas TANA TORAJA hehehe
LikeLike
Sudah pernah sih haha tapi belum ditulis di sini 😛
LikeLike
oh iyah mas baru ingat kalo tempo hari ternyata saya jemput dr tana toraja
LikeLike
Wah iyaaa! Ternyata Mas Wahyu yang sama hehe. Apa kabar nih mas? Kapan-kapan saya pengin ke Tana Toraja lagi hehe.
LikeLike
gak sekalian langsung ke Selayar mas; main ke Taman Nasional Taka Bonerate, atol terbesar ketiga di dunia
LikeLike
Nah itu pengin banget mas, tapi dulu mepet euy liburannya jadi gak sempat ke sana.
Cakep banget ya? Aku malah penasaran dengan urban legend orang bawah laut yang hidup di Selayar hahaha.
LikeLike
he..heee… kalau soal cakep tentu relatif; tergantung kita melihat dari sisi mana dan membandingkan dengan daerah yg mana, ya kan. Orang Bajo kah yg dimaksud..?
LikeLike
Hehe iya setuju tentang cakep itu relatif. Yang aku maksud sebenarnya lebih ke “penampakan” bawah air hehe. Jadi waktu itu ada yang cerita kalau di underwater selayar sering terlihat penampakan manusia yang tinggal di sana.
Kira-kiranya begitu haha.
LikeLike