
Saya memulai 2021 dengan sebuah kepasrahan, bahwa apa yang terjadi di 2020 (baca: sh*tty pandemic) masih akan berlangsung sama seperti kesenjangan ekonomi di Indonesia, yaitu belum tahu kapan akan berakhir. Namun di antara kepasrahan bahwa waya tidak bisa ke mana-mana selama pandemi, still nowhere to go, saya juga memiliki sebuah harapan bahwa akan ada hal-hal lain yang dapat dimulai ketika pintu yang lain tertutup. So, saya mencari-cari apa saja yang bisa dilakukan untuk mengisi tahun 2021 dengan hal-hal yang bermanfaat.
Pada awal tahun 2020, saya sempat traveling ke luar negeri selama satu kali, namun kemudian berhenti karena pandemi. Di tengah tahun 2020, saya mulai rutin berolahraga, dan mampu menurunkan berat badan hingga belasan kilogram. Kemudian di penghujung 2020, saya berhasil membuka sebuah lini bisnis baru dengan meluncurkan Whatravel Trekking Club yang menjajakan paket trekking ke daerah Sentul. Lumayan lah ya, mengingat keterbatasan yang kita alami selama pandemi?

Tahun 2021, saya juga masih tidak bisa ke mana-mana (baca: belum bisa ke luar negeri lagi), dan masih harus melakukan banyak hal dari rumah saja. Di tahun yang sama, saya juga mendapat kejutan yang tidak terlupakan, yang mungkin akan mengubah perjalanan hidup saya selama beberapa tahun ke depan.
Apakah itu, mari kita simak kaleidoskop tahun 2021 yang saya sajikan setajam jempol tangan netizen anonim dengan avatar Korea.
Januari: The Burger Business
Dapat dikatakan bahwa saya itu seorang man with idea, yang mungkin tidak akan pernah berhenti berpikir kecuali ketika ketiduran waktu sedang menonton Netflix, di mana ide-ide liar sering kali melintas di kepala. Berteman dengan seorang chef spesialis steak sejak 2019, dan belajar bisnis sejak 2017 membuat saya berpikir untuk mengembangkan sebuah bisnis burger. Bisnis burger yang saat itu saya sebut sebagai Bueno Burger karena belum menemukan nama yang tepat untuknya.
Konsepnya simpel, mengembangkan sebuah burger dengan daging kualitas atas yang biasa digunakan untuk steak, dan memadukannya dengan konsep a la Amerika dengan sedikit sayuran dan banyak saus yang membuat burgernya belepotan. Nampak lezat bukan?

Sayangnya sama seperti banyak ide-ide lain yang belum berhasil diwujudkan, bisnis burger yang sudah berhasil sold out selama 3x trial order dengan omzet belasan juta ini pun kandas karena kami kehabisan modal untuk membuat sebuah burger bar yang diperkirakan akan menelan biaya hingga 200 juta ke atas. Masih pandemi, bos!
Di bulan yang sama, saya juga sempat blusukan ke Sentul untuk mencari Curug Kalimata yang terlupakan, dan tetap mendalami lari dengan rutin karena masih sering WFH hingga…
Februari: Berhasil Mendapat Rekor Turun Berat Badan
Saya lupa kapan terakhir kali berat badan saya ada di angka kurang dari 60 kilogram, sepertinya saat-saat kuliah belasan tahun silam, hingga akhirnya timbangan saya menunjukkan angka berikut ini setelah berbulan-bulan saya rutin olahraga dan berlari. 59,9 KILOGRAM! Sebuah pencapaian yang patut dirayakan dengan menyembelih ayam. Tapi ayam sorry karena tidak jadi dirayakan.
Dua kunci keberhasilan saya menurunkan berat badan adalah jaga pola makan dan rajin berolahraga (thanks WFH schedule!) selain karena tidak punya uang tentunya.

Selain banyak di Bintaro saja untuk berlari, saya juga menyempatkan diri untuk bermain ke Talaga Biru Cisoka dan Talaga Bestari Cikupa. Yang satu untuk melihat keindahan alam yang tak jauh dari Jakarta, atau Bintaro tepatnya. Sementara yang satunya lagi adalah untuk melihat-lihat perumahan baru, ya siapa tahu kan selepas pandemi diberikan rezeki untuk membeli rumah satu cluster.
Kalau Februari saya di rumah saja, maka pada bulan berikutnya saya meluangkan waktu untuk…
Maret: Kembali ke Akar
Bulan ini, saya pulang kembali ke Ungaran dengan sebuah misi khusus, yaitu mendaki Gunung Ungaran. Sebuah hal yang tidak pernah saya lakukan sebelumnya, walaupun sudah belasan tahun bertempat tinggal di sana sejak kecil hingga dewasa. Tidak diizinkan oleh orang tua adalah alasan utama mengapa saya tidak berani naik gunung semasa sekolah. Alasan yang berikutnya adalah karena saya merasa fisik saya belum cukup optimal untuk melakukan pendakian.
Namun kali ini berbeda, saya merasa saya sudah cukup dewasa untuk mengambil keputusan sendiri, ditambah fisik saya sudah cukup terbentuk setelah rajin lari dan trekking semasa pandemi. Oleh karena itu, saya memberanikan diri untuk mendaki Gunung Ungaran secara tektok (pulang pergi dalam satu hari) via Perantauan, yang alhamdulillahnya diberikan keselamatan dan keberhasilan selama pendakian. Sebuah pendakian yang membawa saya kembali ke akar, ke Ungaran.

Selain mendaki Gunung Ungaran, pada perjalanan yang sama saya juga menyempatkan diri untuk mengeksplorasi Curug Lawe Benowo Kalisidi (yang disingkat CLBK, obviously) di Kabupaten Semarang yang ternyata sangat megah dan membuat saya berpikir “Ke mana saja masa muda saya? Kok sampai terlewat mengunjungi tempat fantastis seperti ini?”.
Hanya berjarak satu jam dari rumah, ditambah satu jam trekking untuk mendapatkan Curug Lawe yang misterius dan Curug Benowo yang menjulang indah saya rasa adalah ganjaran yang setimpal untuk pengalaman tak terlupakan semasa di rumah.
Sesuai dengan anjuran pemerintah, pada bulan ini saya juga berhasil mendapatkan dua kali dosis Vaksin Sinovac sebagai bentuk perlawanan saya terhadap pandemi, yang alhamdulillahnya hingga artikel ini ditulis, saya tidak pernah terinfeksi virus corona. Semoga sampai kapanpun kita juga diberikan kesehatan selalu.
Di samping Gunung Ungaran, bulan ini saya juga sempat melakukan road trip bersama beberapa teman dari Jakarta untuk menjelajah Gunung Padang dan beberapa lokasi menarik seputar Cianjur, yang belum sempat saya posting di YouTube. Maafkan.
Pertama kali naik gunung di Bulan Maret, membawa saya kembali untuk naik gunung lagi di bulan berikutnya, yaitu…
April: Perjalanan ke Gunung Puntang dan Gunung Gede
Sepertinya memang benar kata orang kalau naik gunung itu bikin ketagihan, mungkin karena adrenalin yang ditimbulkan ketika kita berhasil menaklukkan tantangan di ketinggian itulah yang membuat saya ingin mengulangi rasa-rasa menegangkan itu. Mirip rasanya seperti ketika menyatakan cinta padamu… yang kemudian kamu tolak.
Tak lama, saya mengagendakan perjalanan kembali ke gunung di Bandung bersama beberapa kawan. Sebenarnya, rencana awal kami adalah melakukan trail run di Bandung, namun karena Saepul yang menjadi guide kami saat itu menunjukkan videonya ketika berlarian di punggung gunung puntang dan tampak mengasyikkan sekaligus menegangkan, kami memutuskan untuk berubah haluan ke Gunung Puntang.
“Bisa dilariin ini mang?”
“Bisaaaa!”
Iya bisa, kalau kamu bisa berlari vertikal termasuk ketika melewati tanjakan cacing yang membuat kami geal-geol di bukit tanah yang hampir vertikal itu. Satu-satunya area yang bisa dilariin dengan nyaman adalah pada beberapa ratus meter mendekati puncak. Belum lagi ditambah cuaca buruk saat itu membuat kami kebasahan diguyur hujan badai ketika sampai di puncak.
Untungnya semua aman, karena naik gunung bukanlah tentang menuju puncak gemilang cahaya, melainkan untuk tetap kembali pulang dengan selamat dan bahagia.
Satu minggu setelahnya, saya kembali merencanakan perjalanan mendaki gunung secara tektok bersama beberapa teman alumni kampus. Satu orang pendaki senior yang sudah ratusan kali naik gunung, satu orang pendaki pemula (baca: saya), dan dua orang pendaki virgin tektok. Gunung yang kami pilih saat itu adalah gunung yang dikenal aman untuk pemula hiking, yaitu Gunung Gede.
Berbeda dengan minggu sebelumnya, di mana saya mendaki bersama teman yang memang juga sudah terbiasa lari, mendaki bersama teman yang berbeda (((spek))) memerlukan beberapa penyesuaian. Yang fisiknya kuat akan mengatur langkahnya supaya tidak meninggalkan kawannya, sementara yang belum terbiasa mendaki pun tidak boleh memaksakan untuk tergesa-gesa. Untungnya, saat itu kami menggunakan jasa porter lokal untuk naik, sehingga cukup membawa badan saja untuk mendaki.
Sebuah perjalanan indah, sebelum hujan petir datang menyambar, tepat dua pos sebelum kami menggapai puncak. Pada sebuah pos tenda sederhana, kami beristirahat, di tengah dentuman petir yang menerjang hebat. Di pos berukuran 3×3 meter tersebut berdesakan lebih dari belasan orang pendaki yang berteduh, sementara pada sisi ujung tenda, terdapat dua orang pendaki yang terkapar karena tersambar petir yang mengakibatkan luka bakar di kakinya.
Praktis, kami hanya bisa menunggu sambil berdoa dan berharap, supaya cuaca buruk segera berlalu. Untungnya saya ingat kata Chrisye bahwa bad day pasti berlalu, sehingga kami dapat melanjutkan perjalanan walaupun baru tiba kembali di bawah pada pukul dua pagi –dari rencana awal pukul tujuh malam.
Dari aktif mendaki di bulan April, menjadi istirahat mendaki di bulan berikutnya, karena saya menemukan hal baru lainnya untuk dieksplor, yaitu…
Mei: Dari Alam ke Kota Bersama Walk With Whatravel
Setelah sukses secara self proclaimed bersama Whatravel Trekking Club, saya memutuskan untuk menjajal keberuntungan lagi dengan membuat sebuah program bernama Walk With Whatravel, yang merupakan paket perjalanan berbentuk walking tour di Jakarta dengan fokus ke destinasi sejarah, kuliner, dan unik.
Bermula dengan mengajak teman-teman yang sudah terbiasa menjadi guide walking tour di Jakarta, saya sudah merencanakan beberapa destinasi perjalanan seperti Senen, Menteng, dan juga Pasar Baru. Maklum, di masa pandemi kemarin pilihan perjalanan masih sangat terbatas, dan saya merasa bahwa walking tour –seperti halnya trekking, bisa menjadi sebuah solusi.
Sebuah solusi yang kandas pada bulan berikutnya, karena keterbatasan SDM yang kami kelola di Whatravel dan belum mampu menambah SDM karena roda bisnis yang masih belum berputar lagi.
Karena roda bisnis yang belum berputar lagi, saya mencoba mencari peruntungan lain dengan menyewakan apartemen saya yang saat itu sudah habis masa sewa oleh pemilik sebelumnya. Alhamdulillah, tak perlu menanti lama, apartemen saya kembali tersewa, dan tambahan dana saat itu dapat saya gunakan untuk melunasi cicilan KPA apartemen tersebut.
Terima kasih Gusti nu agung. Terima kasih pula karena di bulan yang sama, saya juga diberikan kesempatan untuk melakukan hal yang dari dahulu sangat saya inginkan, yaitu mengadopsi seekor kucing, yang kemudian saya beri nama Abby. Lengkapnya Abby Yapto.

Pada bulan yang bertepatan dengan bulan puasa Ramadan ini juga, saya mengalami sebuah kejadian yang tidak terlupakan, karena kecipratan minyak panas ketika menggoreng tempe untuk sahur. Posisinya tepat di tengah jidat saya, yang kalau lukanya dibuka lagi bisa muncul mata ketiga seperti Tien Shinhan di Dragon Ball.
Asem.
Juni: Kembali ke Alam
Apabila pada bulan sebelumnya saya minim bermain di alam, maka di bulan Juni ini saya kembali ke alam dengan tujuan utama untuk membuka rute baru Whatravel Trekking Club, yaitu ke Kawah Ratu di area Pamijahan Bogor Jawa Barat.
Dari keseluruhan rute yang dimiliki Whatravel Trekking Club, saya dapat mengatakan bahwa Kawah Ratu ini adalah salah satu destinasi favorit saya, karena menyajikan tujuan wisata yang mungkin membuatmu tak sadar bahwa keindahan alam seperti ini dapat kamu nikmati tak jauh dari Jakarta.
Rute trekking yang menantang membelah hutan, diakhiri dengan pemandangan indah sebuah daerah bekas letusan kawah yang masih menyisakan keindahan alamnya. Air berwarna toska mengalir tenang ke sungai-sungai kecil yang dapat kamu jadikan tempat berendam air hangat, sambil ditemani secangkir kopi dan sepasang pisang goreng di pinggir sungainya.

Perjalanan yang indah ke Kawah Ratu, juga menjadi antiklimaks ketika sebuah kabar duka datang menyapa bulan itu. Bapak mertua yang biasa dikenal gagah dan sehat, berpulang ke rumah-Nya secara mendadak. Praktis, saya dan Neng dadakan pula pergi ke Sumedang untuk menghadiri pemakamannya, di tengah situasi corona yang sedang di puncak-puncaknya akibat kehadiran varian Delta yang bukan spa.
To be honest, saya bukan tipe orang yang suka mengunggah kesedihan di media sosial, karena saya lebih suka merayakan kesedihan seorang diri ditemani sepi. Saat ke Sumedang, saya malah mengunggah beberapa foto makanan bukan pula postingan tentang kehilangan karena saya tidak ingin membuat suasana menjadi makin gloomy. Iya, itu alasan personal, sebuah hal yang tentunya tidak perlu dinyinyirin dengan “Mas, bukannya bapak mertua meninggal, kok malah posting makanan?”
Sungguh, saya benci kalian yang punya pola pikir judgmental seperti itu. Apalagi yang muncul dari akun-akun anonim yang digembok, dan tidak saya kenal secara personal. Daripada saya julid, kan lebih baik saya…
Juli: Rekor Lari Tercepat
Sekitar setahun lebih saya memulai lari dari awal pandemi, dari yang awalnya terengah-engah ketika baru lari 2-3 kilometer, dari yang awalnya hanya bisa lari pace 8-10 untuk 10 kilometer, saya berhasil membukukan rekor pribadi saya bulan ini dengan berlari 10 kilometer dengan pace 5 koma, atau berarti saya bisa menuntaskan lintasan 10 kilometer kurang dari 60 menit.
Lumayan kan, jadi kalau ada masalah, saya bisa lari lebih cepat, eh. Tidak kok, saya bukan tipe orang yang lari dari masalah, karena biasanya masalah yang lari dari saya. Ternyata kerja keras tidak akan mengkhianati hasil, apalagi kalau sudah beli sportwatch dan juga langganan trainer lari di aplikasi smartphone, masa iya gak lari dengan serius?
Ya untungnya masih banyak WFH saat itu, kalau tidak ya wassalam tubuh seksi tanpa lemak gemulai.

Selain rutin olahraga dan mendalami bisnis burger, pada bulan ini saya juga belajar bidang baru dalam hidup, dengan mendaftar sebagai agen asuransi untuk mengetahui lebih dalam perihal asuransi dan proses bisnis salah satu produk keuangan tertua di dunia ini. Sayangnya, baru beberapa bulan belajar asuransi dan belum sempat menjadi expert, upline saya yang juga merupakan salah satu mentor panutan saya dalam hal keuangan, harus berpulang kepada-Nya. Kanker.
Itulah mengapa kita perlu asuransi, bukan? Karena biaya perawatan penyakit berbahaya seperti kanker tidak murah, dan ketika amit-amit kita berpulang lebih dulu daripada anggota keluarga yang lain, kita masih bisa bermanfaat dengan meninggalkan warisan berupa polis asuransi yang dapat dicairkan.
Tertarik membeli produk asuransi? Sayang sekali saya sudah tidak menjadi agen sekarang.
Agustus: Kids Friendly Trekking
Bulan Juli juga menjadi bulan yang penuh dengan cobaan bagi saya ketika Neng dan Mas Prabu terkena COVID-19 yang entah dari mana penularannya. Mungkin dari pergaulan masa kini, mungkin juga karena banyak kera saja, apes.
Alhamdulillahnya, saya sendiri yang tidak terjangkit di rumah, di mana pada bulan yang sama, keponakan yang sempat tinggal di rumah juga terkena virusnya. Entah karena saya sudah vaksin, atau karena ketampanan.

Setelah semuanya mulai pulih, saya mengajak Neng dan Mas Prabu untuk trekking bersama di alam, supaya imunitas tubuh tetap terjaga, dan supaya bisa tercipta bonding yang baik antara saya dan anak. Tidak hanya antara saya dan rambut. Ya hitung-hitung sekalian jajal rute Whatravel Trekking Club rute anak yang terbaru yaitu Explore Gunung Pancar.
Pengalaman pertama trekking bersama anak, ternyata cukup menyenangkan, tentunya dengan komposisi 10% trekking dan 90% gendong anak karena emaknya gak kuat gendong kelamaan.
“DI RUMAH KAN SUDAH SAMA AKU!” Pungkasnya.
September: Bulan Penuh Kegalauan
Tahun ini, sebenarnya merupakan salah satu tahun terberat dalam hidup saya, namun memang saya jarang menampakkannya ke media sosial dan khalayak, karena tidak dibayar. Pandemi yang hampir dua tahun melanda, membuat bisnis travel saya mendapat penghasilan yang tidak menentu sehingga keran pemasukan saya berkurang, sementara bisnis kuliner yang saya jalankan juga tidak dapat berkembang dengan baik, dan malah harus nombok seperti Iwa K, karena sudah menanggung rugi.
Dalam kondisi penuh ketidakpastian tersebut, saya mencoba beberapa hal termasuk menjual beberapa peralatan diving dan arloji yang saya punyai, namun berbulan-bulan tidak laku. Ingin rasanya jual diri, namun saya takut ketagihan.
Dalam kondisi yang berantakan, praktis saya tidak punya banyak pilihan untuk memulihkan kondisi mental. Mau ke psikiater dan psikolog, mahal. Mau liburan ke luar negeri, masih pandemi dan tidak punya uang. Mau curhat ke teman, takut baper. Akhirnya, saya memilih untuk pergi healing ke alam terbuka, juga kembali ke keluarga, untuk mudik dan berbagi derita, eh cerita.
Pada bulan penuh kegalauan ini, saya pulang kampung kembali secara dadakan, seorang diri. Selain itu, saya juga menyempatkan diri untuk mengunjungi beberapa objek wisata alam yang murah meriah seperti Gunung Andong, Gunung Telomoyo, Curug Bidadari, juga Patahan Lembang.
See, healing tidak harus mahal dan jauh bukan?
Oktober: Bulan dengan Kejutan Tak Terlupakan
Belum sembuh kegalauan bulan September, semesta kembali menghadiahi saya dengan kejutan tak terlupakan di bulan Oktober, yaitu ketika saya mendapat pemindahtugasan dari kantor, setelah sebelumnya bekerja belasan tahun di Jakarta. Pemindahtugasan ke sebuah kota di Jawa Barat yang belum pernah saya kunjungi sebelumnya, sebuah kota kecil bernama Ciamis.
Ci = air
Amis = manis
Ciamis = (kota) air manis pakai s
Pengumuman tersebut datang tepat di hari yang sama ketika saya sedang membereskan kios sewaan di bilangan Fatmawati yang nantinya akan diperuntukkan sebagai kedai Nasi Goreng Tiarbah Fatmawati, sebuah bisnis franchise yang saya jalankan bersama Galang, partner saya. Belum juga mulai, saya sudah harus mengakhiri. Is it fair? No, maybe, karena hidup bukan pameran.

Sehari setelah pengumuman, saya sudah memiliki jadwal trekking ke alam bersama teman-teman grup trekking, yaitu untuk mengunjungi Curug Cikawah yang terletak di Pamijahan Kabupaten Bogor. Ini adalah salah satu rute dengan trek panjang yang menjadi favorit saya karena akan melewati hutan dan menyusuri sungai sebelum mendapati sebuah air terjun setinggi puluhan meter, dengan air panas belerang yang muncul dari batuan di bawahnya. Karena alasan tersebut, lokasi ini dinamakan Cikawah.
Ci = air
Kawah = ya kawah, sudah cukup jelas, bukan?
Cikawah = (curug) air kawah
Perjalanan ke Cikawah sebenarnya cukup berkesan, namun karena begitu banyak hal yang berkecamuk dalam dada dan bergemuruh di pikiran, maka saya seperti nge-blank saja sepanjang perjalanan. Memikirkan banyak hal, memikirkan jadwal pindah kota, memikirkan kamu.
“Tenang, nanti kita main ke sana.” Ucap salah seorang teman, mencoba menenangkan. Namun faktanya, sampai saat ini, dia belum mendatangi saya di Ciamis. Xixixi.
Baru juga beberapa hari bekerja di kantor baru, masih jadi anak kostan yang LDR dengan anak istri di Bintaro, sebuah kabar mengejutkan kembali hadir di bulan Oktober, di mana nenek kandung saya satu-satunya dipanggil oleh Yang Maha Kuasa. Sebuah kabar yang membuat saya cuti dadakan, dan pulang kampung dadakan kembali, namun kali ini tujuannya adalah ke Pati.
Mumpung di Pati, serta kebetulan acara keluarga sudah selesai, saya memanfaatkan waktu luang saya untuk mendaki Gunung Muria bersama Pakde yang merupakan anak pertama dari almarhumah nenek. Tolong jangan di-salty-in lagi, nenek meninggal kok malah naik gunung, hey anda tidak tahu kan yang benar-benar saya rasakan?
Belum juga selesai masa berkabung, saya juga masih harus…
November: Adaptasi di Ciamis
Bulan pertama di Ciamis, sepertinya berjalan dengan lancar. Ya kecuali bagian susahnya mencari kostan yang decent sesuai dengan standard saya, hingga akhirnya saya mendapatkan sebuah kamar kostan seharga 1,2 juta Rupiah dengan fasilitas AC dan kamar mandi dalam, tanpa air panas dan tanpa terapis pijat yang senantiasa menanti. Itu juga masuk gang kecil –sebuah gang yang membuat spion mobil saya baret beberapa kali.
Apa boleh buat, hanya ini pilihan terbaik yang bisa saya dapatkan di sini. Tiga bulan indekos, saya beberapa kali bertikai dengan Pak Haji pemilik kostan tentang beberapa kali hal. Ya mulai dari listrik yang sering korslet, parkiran yang suka penuh, hingga AC yang rusak beberapa kali. Untungnya tidak sampai baku hantam dan terjadi penusukan benda tumpul, karena semua bisa diselesaikan secara kekeluargaan.
Selain perihal tempat tinggal, saya juga mulai beradaptasi dengan makanan sekitar. Palet lidah nusantara saya di Jakarta, harus mengalami penyesuaian dengan citarasa lokal yang suka dengan hal-hal yang terlalu asin mirip dengan netizen, juga yang terlalu manis seperti saya. Beberapa bulan pertama sebagai bujang lokal di sini, saya juga memanfaatkan waktu untuk mengeksplor Ciamis, terutama untuk destinasi wisatanya. Ya siapa tahu bisa bekerja sama dengan para pelaku wisata setempat, bukan?
Bukan. Ternyata susah untuk berkolaborasi dengan para pelaku wisata setempat, padahal saya sudah menawarkan diri untuk memberikan semua yang saya punya (kecuali uang, karena sedang dilanda kemiskinan), namun semuanya seperti mental. Entah karena kendala komunikasi, kendala kebiasaan, atau hal-hal lain yang tidak saya mengerti.
Ya sudahlah, mending saya fokus untuk melakukan hal lain yang lebih bermanfaat, seperti…
Desember: Pindahan Total dari Bintaro
Bulan ini adalah bulan untuk move on, dari kehidupan belasan tahun di Jakarta dan sekitarnya, untuk menuju ke tempat baru di Ciamis dan sekitarnya, yaitu Tasikmalaya. Dari hingar bingar Jakarta, ke sunyi sepi Ciamis. From the city that never sleeps, to the sleeping city. Bulan ini saya mengakhiri kontrak kostan dengan Pak Haji sebelum muncul perang dunia ketiga dan saya spill semuanya di Twitter, dan memutuskan untuk mengontrak rumah di Tasikmalaya bersama keluarga.
Mengapa kok Tasikmalaya, bukan Ciamis? Karena Tasikmalaya memiliki lebih banyak fasilitas penunjang yang dibutuhkan oleh keluarga dan juga menyediakan bermacam kebutuhan sehari-hari yang biasa kami dapatkan di Bintaro. Kalau diibaratkan daerah di Jabotabek, maka Ciamis ini mirip seperti Bintara, sementara Tasikmalaya adalah Tebet. Jarak antara kedua kota ini kurang lebih setengah jam perjalanan dengan mobil tanpa melewati tol (lebih kurang 30 kilometer).
“Tapi, memangnya ada mal di Tasik?”
“Ya ada lah, namanya juga Tasik … mal … aya.”

Sebelum pindah total antar kota, yeah ini adalah salah satu hal paling merepotkan yang pernah saya alami dalam hidup, tepatnya dengan menggunakan dua buah truk engkel medium dengan risiko banyak furnitur yang lecet-lecet, kami sempat menikmati pemandian air panas di Sentul sembari berpamitan sejenak dengan alam di sekitar Sentul, tempat saya berjuang bersama warga sekitar semasa pandemi.
Pindah dari Jakarta, menuju hidup baru di Ciamis, bisa dibilang bahwa saya still going “nowhere”. Bermula dari kepasrahan di awal tahun, saya menutup tahun 2021 dengan harapan akan petualangan di tempat yang benar-benar baru bagi saya. Bagaimana kalau ternyata di sini, tidak lebih baik daripada di Jakarta? Bagaimana kalau saya tidak mendapatkan hal-hal yang saya dapatkan di Jakarta? Bagaimana kalau saya merindukan Jakarta?
Entahlah, mungkin baru akan saya dapatkan jawabannya, ketika sudah mulai tinggal di Tasikmalaya.
Well, hello 2022, happy new year, hopefully happy new life.
Tagged: Kaleidoskop
Halo mas…How’s 2022 so far?
LikeLike
HAHAHAHAHAHA
So far so good mas, surviving, kayaknya Q4 2022 mulai enakan nih hidupnya. Semoga!
Wish you all is well too! 😀
LikeLike
keren mas
LikeLike