
Cerita Pengalaman Mengikuti Vaksinasi Corona (COVID-19) Gratis dari Pemerintah
arievrahman
Posted on March 30, 2021
Setengah tak percaya saya membaca pesan yang masuk di WhatsApp Group (WAG) kantor –salah satu dari beberapa WAG yang tidak saya Mute: Forever di smartphone, yang kala itu menampilkan sebuah lampiran berbentuk .pdf, dengan tulisan panjang beberapa baris yang kurang lebih memiliki judul ‘Jadwal Pegawai yang Mendapatkan Vaksinasi Corona Tahap Satu’. Setelah Lambe Turah, WAG Kantor adalah salah satu sumber informasi yang dapat saya percaya saat ini. Maka dengan sedikit deg-degan, saya membuka lampiran tersebut, dan menemukan nama saya di sana.
DHEG!
Memang, kalau dilihat dari jenis pekerjaan yang dilakukan saat ini, mungkin saya termasuk ke dalam kelompok pertama atau kedua yang berhak mendapatkan jatah vaksinasi corona atau tepatnya vaksinasi COVID-19 gratis dari pemerintah sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit No. HK.02.02/4/1/2021 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Covid-19, namun saya tidak menyangka bahwa secepat ini semua akan terjadi. Seperti mimpi. Mimpi divaksin.
Corona, merupakan nama virus, sedangkan COVID-19 adalah nama resmi untuk penyakit yang disebabkan oleh virus Corona tersebut.
“Loh kok kowe wes entuk jadwal vaksin?” (Anak ganteng, kok kamu sudah mendapatkan jadwal vaksin?) Mama bertanya sewaktu saya mengabarinya perihal jadwal yang saya dapat dari kantor. “Aku saja baru didata sama Bu Bidan, penginnya cepat sih”. Dasar Mama, kalau jalan-jalan maunya dibilang muda, tapi giliran vaksin maunya diakui sebagai lanjut usia (lansia) supaya dapat giliran lebih dulu.
“Yo memang risiko cah ganteng yo ngene ki.” (Alhamdulillah, rezeki anak saleh) Saya menjawab, sembari bersyukur bahwa saya sudah dijadwalkan untuk mendapatkan jatah vaksinasi gratis per bulan Maret 2021 ini. Selain dijatah lewat kantor, dan mendaftarkan diri melalui perangkat desa untuk para lansia dan golongan lain yang sudah memenuhi kriteria sesuai dengan peraturan tersebut di atas, disebutkan pula bahwa mereka yang sudah terjadwal untuk mendapatkan vaksinasi juga akan mendapatkan SMS Blast dari instansi terkait dengan nama pengirim: PEDULICOVID. Yang tentunya bukan berisi penawaran KTA atau pengumuman selamat Anda menang hadiah Rp.100 juta dari GIVEAWAY KEDAS BEAUTY. Yang terakhir tentu saja hoax, ya.
Saat ini, kamu bisa melihat status jadwal pemberian vaksinasi COVID-19 kamu melalui situs Peduli Lindungi, hanya dengan memasukkan nama lengkap dan nomor KTP kamu. Semoga bisa disegerakan, ya!
Lantas, apakah vaksinasi ini aman untuk dilakukan? Berhubung saya tidak memiliki kapasitas untuk menjawab, maka saya serahkan jawabannya kepada rekan medis yang lebih kompeten untuk menjawabnya. Silakan Pak Dokter Dirga Rambe.

Yang jelas bagi saya, vaksinasi ini adalah sebuah harapan. Harapan untuk kembali hidup normal lagi, harapan untuk dapat beraktivitas dan jalan-jalan kembali seperti dulu, serta harapan untuk kembali membangun apa yang telah dihancurkan oleh corona setahun belakangan.
Namun, bagaimanakah sebenarnya proses vaksinasi COVID-19 gratis yang dicanangkan pemerintah ini? Apakah sesimpal mencuci piring yang tinggal crot-gosok-bilas? Oh, tentu tidak, kysanak, karena untuk mendapatkan kekebalan tubuh yang diharapkan dapat menangkal masuknya virus COVID-19, kamu harus mendapatkan dua kali suntikan vaksin, seperti yang saya kutip dari CNN Indonesia berikut ini:
Wien Kusharyoto, Kepala Laboratorium Rekayasa Genetika Terapan dan Protein Desain LIPI, mengatakan vaksin corona perlu disuntikan dua kali karena suntikan pertama dilakukan untuk memicu respons kekebalan awal, sementara suntikan kedua untuk menguatkan respons imun yang telah terbentuk.
Ya semoga saja memang vaksinasi ini dapat dilakukan sama seperti slogan Keluarga Berencana zaman dulu, yaitu DUA SAJA CUKUP. Kemudian, omong-omong tentang vaksinasi, berikut adalah pengalaman saya ketika mengikuti vaksinasi COVID-19 gratis dari pemerintah.
Vaksinasi Pertama
Saya mendapatkan jadwal pada awal bulan Maret 2021 ini, yang bertempat pada salah satu gedung serbaguna di kawasan Lapangan Banteng yang kerap menjadi lokasi pernikahan megah di masa-masa sebelum pandemi. Sekarang, pernikahan cukup diadakan seminimal mungkin, dan dirayakan online melalui Zoom saja.
Namun, vaksinasi ini berbeda, karena tidak dapat dilakukan secara online. Tidak mungkin kita menyuntikan vaksin sendiri dengan panduan dari YouTube, bukan? Untungnya, panitia penyelenggaraan sudah mengatur jadwal antrean vaksinasi, sehingga tidak menumpuk ketika para peserta vaksinasi datang.
Kira-kira seperti inilah urutan proses vaksinasi COVID-19 gratis dari pemerintah.
1. Datang Sesuai Jadwal (Kalau Mampu)
Sesuai dengan susulan jadwal yang dibagikan oleh kantor, saya mendapatkan jadwal vaksinasi antara pukul 10.00-11.00, dan diminta hadir setidaknya satu jam sebelum waktu yang dijadwalkan. Tentu saja saya bermaksud datang lebih awal, namun ketika di jalan, saya baru ingat kalau “KTP GUE KETINGGALAN ANJIR!” sebuah ungkapan penyesalan yang hanya bisa disesalkan karena saat itu saya sudah berada di dalam jalan tol Tangerang – Jakarta, pukul 08.45, dari Bintaro menuju Gambir, terjebak macet, dan tidak mungkin putar balik.
Untungnya masih ada orang rumah yang sigap membantu, mencarikan KTP pada dompet yang lain lagi, dan mengirimkannya melalui jasa ojek online. Sebuah usaha yang hampir saja memakan emosi ketika driver ojeknya nampak tidak bergerak selama setengah jam, dan ketika dikonfirmasi ulang, Beliau menjawab “Maaf, tadi saya sedang ngopi dulu.” dengan santun dan sopan tanpa bermaksud menyulut emosi.

Tepat pukul 10.00, saya sudah tiba di lokasi, bersama selembar KTP yang dikirimkan seorang driver ojek yang segar berseri-seri dengan sedikit aroma kafein.
2. Menunggu Giliran untuk Proses Pendaftaran dan Verifikasi
Setibanya di lokasi, antrean sudah cukup panjang, namun tertib. Panitia meminta para peserta duduk sesuai dengan jam kehadiran, sembari mengisi form skrining dan juga Kartu Vaksinasi COVID-19 yang sudah disediakan. Isian form skriningnya cukup mudah, hanya diminta mengisi data diri secara singkat, juga beberapa pertanyaan ya-tidak perihal histori kesehatan yang dapat kamu isi sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Jawablah dengan sejujur-jujurnya, karena hasil isiannya akan diteliti oleh petugas dan juga oleh Tuhan Yang Maha Esa. Tenang, tidak ada pertanyaan susah seperti siapakah penerima nobel perdamaian dunia tahun 1957 atau mengapa anggota boyband Korea wajahnya sama semua.
Untung saya selalu sedia pulpen di dalam tas, sehingga tidak perlu meminjam yang lain. Maklum, saya kan introvert dan pemalu.

Pada isian tersebut, terdapat sebuah pertanyaan mengenai e-ticket yang jawabannya bisa kamu dapatkan dari situs Peduli Lindungi, atau bisa juga meminta dari kantor, apabila kamu didaftarkan oleh kantor, seperti saya.
Setelah mengisi form tersebut, kamu akan diarahkan ke Meja 1 apabila giliran kamu sudah tiba, sesuai dengan antrean kedatangan. Di meja 1, kamu akan diminta untuk menunjukkan e-ticket dan bukti identitas lainnya untuk dilakukan verifikasi. Untungnya, saya membawa KTP, walaupun ada sedikit drama dalam perjalanannya. Setelah identitas sudah terverifikasi dengan baik, saya diminta untuk berpindah ke meja berikutnya.
Ya untungnya sih bukan meja hijau, atau meja billiard, atau meja all about the money dam dam daradam dam.
3. Menghadap Petugas untuk Dilakukan Skrining Fisik
Apabila pada meja sebelumnya petugas hanya meneliti kelengkapan formal, maka pada Meja 2 ini, petugas akan melakukan skrining terhadap kondisi fisik saya sesuai dengan yang dibutuhkan. Tidak, tidak perlu membuka busana dan menunjukkan aurat di sini, melainkan hanya dilakukan anamnesa dan pemeriksaan fisik sederhana untuk melihat kondisi kesehatan dan mengidentifikasi penyakit bawaan (komorbid), apabila ada.
Apa, kamu tidak tahu apa itu anamnesa? Kok sama. Sesuai dengan hasil googling, saya menemukan jawaban bahwa yang dimaksud dengan anamnesa adalah sebuah metode pemeriksaan kesehatan yang dilakukan dengan metode wawancara langsung kepada pasien, atau dalam hal ini dilakukan kepada calon penerima vaksin.
Pertanyaannya sih hampir mirip dengan pertanyaan pada form skrining di atas, lebih ke kondisi fisik dan kesehatan kamu, dan tidak ada pertanyaan kapan menikah, kapan tambah anak, ataupun kenapa kok malah ngontrak rumah bukannya beli saja.

Selain anamnesa, di meja ini juga dilakukan cek fisik sederhana seperti pemeriksaan tensi dan suhu tubuh, tanpa melibatkan alat rontgen paru-paru dan juga alat tes urine. Alhamdulillah, suhu saya normal di 36,8º Celcius, dan tensi 138/75 yang memang sedikit lebih tinggi dari biasanya. Mungkin karena grogi akan divaksin.
“Alhamdulillah sehat, berikutnya silakan tunggu di samping bilik, ya.” Pinta petugas kesehatan dari Puskesmas Kecamatan Senen, yang membuat saya makin grogi dan dag dig dug.
4. Mengikuti Proses Vaksinasi
Seorang petugas lain menyilakan saya untuk duduk di samping bilik, sembari menunggu peserta sebelumnya selesai divaksin. Iya, ini adalah Meja 3, meja di mana proses vaksinasi akan dilakukan kepada saya, setelah sebelumnya melalui rangkaian pemeriksaan baik formal maupun fisik.
“Silakan masuk.” Ucap seorang petugas dari balik bilik, yang saya jawab dengan memberikan salam yang bukan salam tempel “Silakan duduk.” Ucapnya sembari menunjuk sebuah kursi di sudut dalam bilik.
Adegan berikutnya, tentu saja dapat kamu tebak. Iya, saya duduk. Sepasang petugas yang berjaga di dalam bilik, mengajak saya mengobrol sembari meminta saya membuka baju sedikit, dan menyiapkan lengan kiri untuk ditusuk manja. Untungnya, vaksin corona ini tidak disuntikkan di pantat, melainkan hanya di lengan saja. Iya di lengan seperti vaksin meningitis yang disuntik sebagai syarat perjalanan umrah.
“Sudah, pak.”
APAAAA?? KOK GAK BERASAAAA?? Apakah karena terlalu nyaman mengobrol, atau apakah karena tidak menggunakan blitz kamera. Yang jelas proses vaksinasi ini berlangsung sangat cepat, aman, dan nyaman. Tidak sakit seperti disuntik ketika mau cek darah, dan tidak menimbulkan teriakan seperti korban penjambretan.

“Ini vaksinnya dari manakah?” Saya iseng bertanya selepas proses vaksinasi.
Petugas penyuntik meletakkan botol vaksin dan suntikannya lalu menjawab pertanyaan saya dengan singkat, padat, dan jelas. “Dari Biofarma.”.
Sekadar informasi, PT Bio Farma (Persero) sudah memproduksi Vaksin COVID-19 secara bertahap sejak Januari 2021 dengan menggunakan bahan baku pembuatan vaksin yang diimpor dari Sinovac.
5. Menunggu untuk Proses Pencatatan dan Observasi
“Habis ini ke meja empat ya untuk observasi.” Sebuah bisikan terdengar sesaat sebelum saya meninggalkan bilik vaksinasi. Proses yang saya kira sudah selesai, ternyata masih berlanjut. Meja 4 yang dimaksud adalah meja untuk pencatatan dan observasi, letaknya ada di ujung, dengan sebuah layar besar terletak di tengah-tengah ruangan.
Petugas di meja tersebut meminta saya untuk meletakkan semua berkas yang sudah saya bawa dari Meja 1 ke Meja 3, dan meminta untuk menunggu selama 30 menit pada kursi-kursi yang tersedia di ruangan –yang tentu saja jaraknya telah diatur sedemikian rupa supaya memenuhi protokol kesehatan. Layar besar yang berada di tengah ruangan menampilkan waktu secara real time. Waktu tunggu berdasarkan jam aktual, bukan waktu hitung mundur tahun baru. “Nanti tunggu namanya dipanggil ya.” Pintanya seraya menyerahkan sebotol air mineral berukuran 600 ml kepada saya, mereknya, sebut saja Aqua.

Di meja tersebut, petugas mencatat hasil vaksinasi yang telah dilakukan kepada saya dan mungkin menginputnya ke dalam sistem. Sementara saya diminta menunggu, atau lebih tepatnya melakukan observasi ke diri sendiri selama 30 menit untuk memonitor kemungkinan adanya KIPI. Tahukah kamu tentang KIPI? Kalau tidak tahu, ya sama juga.
Berdasarkan hasil googling lagi, saya menemukan bahwa KIPI adalah singkatan dari Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi, yang dapat diartikan ke semua kejadian atau reaksi medis yang terjadi setelah peserta vaksinasi disuntikkan vaksin, yang mana kejadian tersebut akan menjadi perhatian dari tenaga medis yang bertugas.
“Apabila dalam tiga puluh menit ke depan, terdapat gejala demam, mual, nyeri, pusing, kebas, kesemutan nanti bisa mengangkat tangan, atau raise hand!” Sebuah imbauan bilingual tipis-tipis terdengar melalui pengeras suara, pelantunnya adalah petugas pria yang sesekali terdengar logat Jawa-nya. .”Nanti, petugas akan menghampiri. Tidak perlu takut atau malu demi kesehatan.”
Saya diam menanti di kursi, sambil sesekali menyesap air mineral yang diberikan. Tidak ada tanda-tanda seperti yang disebutkan oleh si mas-mas Jawa. Paling cuma sesekali menguap dan sedikit lapar, bukan sampai seperti kelaparan yang terjadi di Ethiopia. Apabila disebutkan bahwa gejalanya adalah tabungan menipis dan susah melakukan investasi, mungkin saya yang akan maju paling depan.
Beberapa orang mungkin akan merasakan lapar setelah menerima vaksinasi, maka ada baiknya jika kamu menyiapkan camilan untuk bekal ketika menunggu selesainya proses observasi ini. Jangan lupa juga untuk sarapan!
6. Mendapatkan Sertifikat Vaksinasi COVID-19
Tiga puluh menit kemudian, saya mendengar nama saya dipanggil melalui pengeras suara. “Allahu Akbar!” saya membatin dalam hati, akhirnya selesai juga proses vaksinasi ini, dan alhamdulillah lagi, tidak terdapat KIPI pada saya pasca vaksinasi. Perlahan, saya bergerak ke arah pintu keluar, bersama beberapa orang yang namanya dipanggil hampir berbarengan dengan saya.
Seorang petugas di pintu keluar bergantian menyerahkan kartu vaksinasi yang sudah dicetak kepada kami, setelah terlebih dahulu mencocokkan nama yang terdapat pada kartu tersebut, dengan nama yang dipanggil.
Pada meja panjang yang terletak di dekat pintu keluar, saya melihat kembali kartu yang lebih tepat untuk disebut sebagai selembar kertas A4 dengan beberapa keterangan di dalamnya. Keterangan yang meliputi data diri, tanggal vaksinasi, nama vaksin, lokasi dan juga keterangan lain-lain.
Sebuah keterangan yang membuat saya senang, karena bertuliskan “dalam kondisi sehat”. Tentu saja hanya secara jasmani, karena dalamnya rohani siapa yang tahu. Pada bagian bawah surat, eh kertas tersebut, juga tertulis emergency contact yang dapat dihubungi apabila terdapat gejala lain pasca vaksinasi yang mungkin timbul setelah saya meninggalkan lokasi vaksinasi tersebut. Emergency contact yang bertuliskan nama seorang dokter, yaitu dr. Erma, entah Erma Stone atau Erma Watson.

Sekitar tiga jam kemudian, saya mendapatkan sebuah SMS dari 1199, yang menunjukkan bahwa Sertifikat Vaksinasi ke-1 atas nama Muhammad Arif Rahman sudah tersedia di situs Peduli Lindungi, dan dapat diunduh apabila menekan tautan yang tersedia pada SMS tersebut. Kira-kira seperti di atas inilah sertifikatnya, yang dapat kamu unduh atau juga kamu laminating atau mungkin kamu bingkai dan diletakkan di ruang tamu rumah kamu. Sertifikat ini hanya dapat diperoleh setelah kita mengikuti proses vaksinasi COVID-19 gratis dari pemerintah, bukan sekadar formalitas seperti buku vaksin yellow fever yang saya dapatkan di border Tanzania dan Kenya.
Pada SMS tersebut juga tertulis bahwa tautan tersebut hanya diperuntukkan untuk dapat diakses oleh yang bersangkutan, dan apabila terdapat keluhan pasca vaksinasi bisa menghubungi dokter.
Doctor Jones, Jones,
Calling Doctor Jones~
Doctor Jones, Doctor Jones,
Get up now!
Vaksinasi Kedua
Dua minggu kemudian, saya sudah kembali lagi di tempat yang sama dan jam yang hampir sama, untuk mengikuti jadwal vaksinasi kedua yang akan dilakukan kepada tubuh molek saya. Secara keseluruhan, rangkaian proses vaksinasi COVID-19 gratis dari pemerintah, baik yang pertama maupun yang kedua ini hampir sama prosedurnya, yaitu seperti yang sudah saya sampaikan di atas.
Namun kali ini sedikit beda, karena saya tidak mengulangi kesalahan dengan menggunakan kemeja berlengan panjang, melainkan kemeja berlengan pendek supaya lebih mudah ketika disuntik karena tidak perlu membuka kancing baju dan menonjolkan aurat yang sudah tidak menarik lagi.
Saya juga sengaja memilih kemeja berwarna putih, supaya…
EAAAA!
“Masnya mau difotoin?” Tanya salah satu petugas vaksinasi ketika saya memasuki bilik vaksinasi dengan handphone dengan posisi kamera menyala “Itu kameranya sudah on.”
Ehehehe, jadi malu. Jadi ketahuan kan niat narsis saya. “Boleh, Mbak, kalau tidak merepotkan.” Saya menjawab sembari menyerahkan handphone kepadanya.
“Oke, sambil divaksin ya.” Pinta petugas vaksinasi yang satu lagi, seorang pria. Memang dengan adanya APD (Alat Pelindung Diri) komplit yang dikenakan dari atas ke bawah oleh para tenaga kesehatan –biasa disingkat nakes, saya jadi susah membedakan mana yang pria, mana yang wanita, semua jadi terlihat sama seperti wanita syariah, dan baru terasa bedanya ketika bersuara. “Tangannya taruh di atas perut saja.”
Saya menurutinya, dan berikutnya terdengar sebait doa dipanjatkan olehnya tepat di dekat telinga saya. “BISMILLAH ALAHU AKBAR!”

“Kalau Nakes sudah divaksin semua ya?” Kali ini saya balik bertanya, yang dijawab para petugas tersebut dengan ucapan syukur, alhamdulillah, yang tidak diikuti sujud syukur atau selebrasi salto seperti Obafemi Martins. “Alhamdulillah, semoga semua orang Indonesia bisa segera divaksin juga, dan tetap sehat selalu ya bapak ibu.”
Saya menutup perjumpaan singkat di bilik vaksinasi tersebut dengan ucapan terima kasih kepada seluruh tenaga kesehatan yang sudah berjuang dengan gigih selama pandemi ini berlangsung. Dalam hati, saya juga berharap supaya program vaksinasi gratis ini dapat segera menjangkau seluruh masyarakat di Indonesia.
Hingga tulisan ini dibuat, sudah ada lebih dari 10.000.000 penduduk Indonesia yang mendapatkan vaksinasi COVID-19 gratis dari pemerintah.
Sepulangnya dari vaksinasi kedua, saya mendapatkan kartu vaksinasi lagi, dengan keterangan “TELAH DILAKUKAN VAKSINASI KEDUA.” dan juga SMS dari 1199 –walaupun saya berharap dapat SMS dari 3355, yang menginfokan bahwa sertifikat vaksinasi kedua saya sudah tersedia untuk diunduh.
Ingat, walaupun sudah mendapat vaksinasi, bukan berarti pandemi ini telah berakhir, maka jangan lupa juga untuk tetap mematuhi himbauan pemerintah terkait pandemi ini dan juga tetap menerapkan protokol kesehatan yang berlaku.
Alhamdulillah, akhirnya saya sudah divaksin juga, dengan harapan besar bahwa vaksinasi COVID-19 ini bisa…

Harapan yang tentunya hanya tinggal harapan, karena berita di atas adalah hoax saudara-saudara.
Harapan yang benar adalah bahwa vaksinasi ini dapat segera meredakan pandemi di Indonesia pada khususnya dan di dunia pada umumnya. Harapan untuk dapat kembali hidup tenang seperti dulu kala, harapan supaya perekonomian dapat segera bangkit lagi, dan harapan supaya dunia segera sehat dan baik-baik lagi.
Ada aamiin?
wah senangnya!
nyonya gak dapat jatah vaksin kah?
LikeLike
belum doi mah haha, ntar nunggu yang mandiri kayaknya.
LikeLike
saya minggu lalu dapat jatah vaksin ke dua,, agak meriang sih badan nih
LikeLike
Dapat Sinovac atau Astra Zeneca kak? Katanya yang AZ efek KIPI-nya bikin meriang, kalau Sinovac kemarin aku ngantuk aja hehe. Tapi beda orang, bisa beda-beda KIPI-nya.
LikeLike
setelah di vaksin, rasanya gimana mas?
LikeLike
rasanya laper sama ngantuk hahaha
LikeLike