
Tahun ini adalah tahun 2022, yang berarti bahwa saya sudah berada di Ciamis lebih dari tiga bulan, setelah hampir dua puluh tahun mengembara tidak untuk mencari kitab suci di Jabodetabek sejak lulus SMA. Semua karena pekerjaan yang saya tekuni lima belas tahun ke belakang mengharuskan saya untuk berpindah wilayah kerja, dan mau tidak mau saya pun menurut. Dari Cipulir yang sudah mulai macet pukul enam pagi, menuju Ciamis yang cuma macet di saat-saat tertentu saja, seperti misalnya ketika ada perhelatan reuni akbar gerakan 212 di alun-alun.
Pindah ke kota yang lebih kecil, yang mungkin lebih tepat apabila disebut kota kabupaten, sebenarnya bukan barang baru untuk saya. Sejak balita hingga SMA, saya tinggal di Ungaran, ibukota Kabupaten Semarang yang mungkin vibenya masih 11-12 dengan Ciamis. Sepi dan sejuk kotanya, namun ramai dan bising di jalan rayanya karena dilalui jalur provinsi. Dari hiruk pikuknya ibukota, saat itu saya menganggap bahwa pindah sejenak ke kota kecil, adalah sebuah barang bagus.
Namun tentu saja anggapan tersebut bisa saja benar, bisa saja salah, karena saya belum merasakan sendiri tinggal di sana. Di Ciamis, yang konon berarti air manis, manis.

“Gak ada apa-apa di Ciamis, Mas.” Ucap seorang kawan yang sudah sempat merasakan tinggal dan bekerja di Ciamis belasan tahun silam. Ucapan tersebut saya terima ketika kami nongkrong untuk terakhir kalinya sebelum saya pindah total ke Ciamis. “Dulu paling aku hanya di kos saja. Sepi di sana.”
AH APH IYH?? Saya membatin, sambil mengambil sisi positifnya bahwa masih ada kos di Ciamis, sehingga tidak perlu tidur di dalam bilik ATM dan berharap mendapat layanan AC dan derek gratis. Namun ya sekali lagi sisi positif yang saya ambil, bisa jadi benar-benar positif atau ada juga negatifnya, seperti pikiran kamu itu. Semua baru akan dapat dibuktikan begitu saya tiba di Ciamis.
Seminggu kemudian, saya sudah berada di Ciamis dengan sebagian barang-barang penunjang pekerjaan yang saya bawa dari Jakarta, eh Bintaro, siap menempati kamar kos di Ciamis untuk pertama kalinya.
PERJUANGAN MENCARI KOS
Kamar kos yang saya tempati adalah sebuah kamar yang bisa dikatakan cukup luas untuk ukuran kos, kurang lebih sebesar 4 x 5 meter, atau setara dengan apartemen tipe studio, yang tentunya minus fasilitas seperti TV Plasma, gym, terapis pijat, dan kolam renang. Lokasinya ada di samping rumah milik Pak Haji pada sebuah gang kecil di dekat RSUD Ciamis. Di sana, Pak Haji merintis bisnis gurita kos yang saat ini telah mempunyai lebih dari belasan kamar pada dua bangunan rumah yang terletak di gang sempit yang sama. Sebuah gang yang sudah memakan korban puluhan hingga ratusan spion serta bemper mobil yang lecet, termasuk mobil saya dan mobil mama.
Mencari kamar kos di Ciamis, bukanlah hal yang mudah yang dapat dilakukan dengan menjentikkan jari tangan, atau membuka aplikasi seperti Mama Kos ataupun MiChat. Di Ciamis, pilihan kamar kos (yang decent menurut saya) jumlahnya terbatas. Ada yang bagus dan lengkap, namun tidak mempunyai parkiran. Ada yang punya parkiran luas, namun tidak ada kamar mandi dalam. Ada yang punya kamar mandi dalam, namun tidurnya di luar.
Kosan milik Pak Haji, adalah the best deal I can get, di harga 1,1 juta per bulannya. Yang lebih murah banyak, namun tanpa dilengkapi kamar mandi dalam. Di sini saya mendapatkan sebuah kamar luas dengan kamar mandi mungil yang dilengkapi kloset duduk tanpa tombol flush, ember besar dan gayung, tanpa shower, apalagi water heater, AC di dalam kamar, dan parkiran mobil di luar kamar. WIFI? Boro-boro, TV di dalam kamar pun masih TV tabung dengan antena, yang tidak pernah sekalipun saya nyalakan ketika tinggal di sana.
Satu bulan di kos Pak Haji, adalah masa-masa honeymoon untuk saya, karena aman tanpa gangguan yang cukup berarti. Pak Haji mudah dikontak, dan Bu Haji pun tidak pernah tiba-tiba masuk ke dalam kamar saya. Namun semua berubah ketika AC kamar mulai berulah, parkiran sering penuh karena Pak Haji menerima anak kos baru yang semuanya membawa mobil, dan kos mulai berisik karena kamar-kamar yang seharusnya diisi hanya dua orang maksimal sering dipadati segerombol pemudi yang bergosip di kamar, listrik yang beberapa kali korslet karena daya yang penuh –yang mungkin karena ada yang memakai hair dryer sembari men-charge mobil listrik.

Saya yang sudah tidak tahan dengan beberapa kondisi tersebut, sering meminta solusi kepada Pak Haji, namun kerap tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan. Pernah suatu saat saya tidur dua minggu dengan AC yang mati dan tidak kunjung diservis sebelum akhirnya diganti dengan AC yang baru. “Maaf pak, saya sedang di luar kota.”, “Maaf pak, besok ada orang yang datang ke sana.”, “Maaf pak, kan tadi sudah dibenerin loh siang.” adalah beberapa template jawaban Pak Haji, selalu lip service secara online. Ya kalau semua bisa diselesaikan dengan minta maaf, buat apa ada polisi, kan?
Sudah terlambat Pak Haji, karena saya sudah memutuskan untuk pindah ke Tasikmalaya selang beberapa hari setelah AC diganti.
ADAPTASI DENGAN MAKANAN SETEMPAT
Selain dengan tempat tinggal, hal lain yang perlu diperhatikan semasa adaptasi adalah makanan. Konon ungkapan yang berlaku adalah, apabila kita sudah bisa makan makanan lokal di sebuah tempat baru dengan baik, itu pertanda bahwa kita mulai betah dengan tempat itu. Atau bisa juga saya artikan sebagai, apabila saya sudah bisa buang air besar dengan lancar, berarti tandanya saya sudah mulai betah di tempat tersebut. Tenang, saya tidak akan membahas mengenai masalah BAB kali ini, melainkan lebih fokus ke makanan setempat di wilayah Ciamis.
Enak, adalah kata pertama yang bisa saya sebutkan untuk kekayaan kuliner di Ciamis. Bukan, bukan berarti karena saya juga pemilik kanal kuliner Datang Senang Pulang Kenyang di YouTube saya jadi cuma punya dua macam tipe makanan yaitu enak, dan enak banget, namun memang jujurly kuliner lokal di Ciamis ini enak. Walaupun memang, banyak sekali kandungan micin, lada, dan garamnya dalam sebuah menu makanan. Itulah yang mungkin harus disesuaikan dengan lidah-lidah yang terbiasa menyantap roti gandum untuk breakfast, salad untuk brunch, shirataki untuk lunch, kopi Starbucks untuk asupan sore hari, dan premium kobe beef steak untuk dinner. Bukan, itu bukan saya, mungkin anak SCBD.
Di Ciamis, menu yang paling banyak ditemukan di pusat kotanya adalah mie baso, ayam goreng, ikan bakar, dan beberapa restoran khas Sunda –itu loh yang suka disajikan prasmanan untuk makan tengah, dengan lalapan berbagai macam dedaunan mentah yang melimpah. Namun kalau ditanya apa Top 5 Tempat Makan di pusat kota Ciamis, maka jawabannya adalah Ayam Goreng Kersen, Mie Baso Yeyen, Ikan Bakar Hj Imi, Rumah Makan Mergosari Bolenglang, dan hidden gem Warung Doyong di pinggiran pasar Ciamis.
Harga makanan di sini cukup terjangkau, dengan belasan ribu kamu juga sudah bisa mendapatkan satu set menu komplit dan mengenyangkan, sementara dengan membawa seratus ribu kamu sudah bisa mengajak kencan ABG setempat. Namun ada satu hal yang membuat saya suka kangen dengan kota besar yaitu, di sini pilihan makanan terbatas (ya ketemunya akan lu lagi lu lagi), serta jarangnya pilihan makanan via aplikasi ojek online seperti GoFood dan GrabFood.
Iya, di Ciamis berlaku hukum ‘Cash is King’ di mana, metode pembayaran dengan tunai layaknya raja dan Freddy Sambo masih jamak dilakukan di sini. Mau pakai kartu debit atau QRIS? Ya nanti dulu, karena tidak semua merchant melayani metode pembayaran tersebut.
THE COFFEE CULTURE
Tiga tahun terakhir, kultur kopi mulai menjamur di Ciamis, yang ditandai dengan banyaknya coffeeshop yang buka di sekitar kota — walaupun yang tutup lagi juga lebih banyak. Tercatat pada akhir 2021, terdapat sekitar 40 coffeshop skala kecil dan menengah yang tersebar di sekitar pusat kota Ciamis. Sebuah pertanda bahwa, orang-orang sekitar sangat suka dengan kopi dan juga mempunyai kemampuan ekonomi untuk membeli kopi. Di Ciamis, kopi dijadikan sarana pergaulan, juga sebagai sumber penghidupan bagi sebagian warga Ciamis.
Apabila ditarik mundur beberapa tahun sebelumnya, Ciamis sebenarnya sudah dikenal dengan produksi kopi robustanya (sementara untuk arabika hanya ada di beberapa titik (karena di Ciamis tidak banyak kebun kopi yang berada pada ketinggian lebih dari 1.000 meter di atas permukaan laut) namun dengan kualitas yang masih pas-pasan), yang walaupun belum mendunia atau mungkin mengindonesia, namun pada 2020 Ciamis mencatatkan total produksi kopi sebesar 950 ton yang dikirim ke berbagai daerah, terutama di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Kopi robusta Ciamis dikenal dengan aroma yang harum dan rasa pahit yang kuat dan khas, walaupun belum jadi numero uno seperti kopi buatan kamu.

Pada sebuah event bertajuk Festival Coffee Ciamis yang pernah saya hadiri, dikatakan pula bahwa masih terdapat kendala di hulu pengolahan kopi yang membuat kopi Ciamis belum begitu dikenal khalayak, karena kualitas produksinya yang masih belum maksimal, dan hanya mengandalkan kuantitas dibanding kualitas. Walaupun dalam dua tahun belakangan Ciamis sudah mengalami peningkatan produksi kopi, namun kualitas kopinya dinilai masih cukup tertinggal apabila dibandingkan dengan Garut dan Bandung Barat. Apalagi jika dibandingkan dengan Panama dan Nicaragua.
Berbeda dengan di Jakarta, di mana coffeeshop banyak diisi oleh kaum pekerja yang perlu fokus ekstra dalam bekerja (baca: buka laptop, yang mungkin sesekali sambil memantau pergerakan bursa dan menonton Netflix) dan para eksekutif yang bertemu untuk business meeting sambil berharap dapat sign the deal sembari menyeruput kopi, di Ciamis ternyata tidak demikian. Coffeeshop, yang mungkin lebih nyaman disebut sebagai kedai kopi di sini, kebanyakan hanya digunakan untuk sarana nongkrong dan mengobrol anak-anak muda, sambil menyesap rokok maupun vapenya. Rokok di tangan kiri, kopi di tangan kanan, dan kamu di hatiku.
Iya kultur kopi dan rokok memang sangat kuat di sini, jadi apabila kamu ke Ciamis dan mencari tempat ngopi yang nyaman untuk bekerja sambil membuka laptop tanpa gangguan asap rokok, mungkin hanya ada beberapa kedai yang dapat saya rekomendasikan. Taya Coffee, Satir/Sitre, dan Kopi Biji adalah salah tiganya.
Walaupun sedikit tricky untuk menemukan tempat ngopi yang enak untuk bekerja, namun best part-nya adalah saya menemukan teman-teman baru ketika sering ngopi di Ciamis, tepatnya di Makikan, sebuah kedai hangat yang sayangnya saat ini sudah tutup karena merugi.

Berbekal pengetahuan seadanya tentang kopi dan hasil pengamatan bisnis terhadap ‘pasar’ di Ciamis, saya akhirnya memberanikan diri untuk membuka sebuah bisnis kopi angkringan, yang saya namakan dengan Pantjakaki, The Beverage Dealer. Sebuah bisnis baru yang mungkin akan saya ceritakan nantinya pada artikel terpisah.
OBJEK WISATA ALAM BANYAK TERSEDIA DI CIAMIS
Kali ini saya ingin bercerita seputar hal lain yang membuat Ciamis menarik, yaitu tentang banyaknya objek wisata alam yang tersedia di sini. Oke, mungkin bukan di tengah kota lokasinya, namun tak jauh dari kota, tepatnya di sekitar kecamatan yang masuk di dalam wilayah Kabupaten Ciamis, di mana banyak terdapat objek wisata alam yang dapat kamu eksplorasi keberadaannya.
Objek wisata alam pertama yang saya datangi di Ciamis bernama Puncak Jamiaki dan Puncak Puspa, sepasang dataran tinggi yang terdapat pada salah satu punuk dari Gunung Sawal, yang terletak di wilayah Kecamatan Panumbangan. Untuk mencapai ke sana, kamu bisa menggunakan kendaraan pribadi, atau gabungan antara kendaraan umum dan ojek, atau kalau kamu punya banyak waktu luang, ya bisa berjalan kaki dari Kota Ciamis. Paling berangkat subuh, sampai sana maghrib.
Walaupun terletak berdekatan, ternyata kedua puncak ini memiliki jalur akses umum yang berbeda, melalui dua titik pos pendakian yang berbeda, dan menyajikan dua bentang alam yang serupa namun tak sama. Punggung-punggungan seperti orang sedang marah-marahan, tepatnya. Dari titik awal, tidak perlu waktu lama untuk mendaki hingga puncak, jaraknya hanya sekitar 2 kilometer atau kurang, yang dapat ditempuh dalam 1-2 jam perjalanan, kalau mampu. Empat jam untuk masing-masing puncak, plus satu jam untuk istirahat dan beralih ke titik awal yang lain, saya rasa cukup apabila fisik kamu sudah mumpuni.
Di dekat masing-masing puncak ini juga terdapat air terjun yang dapat dijelajahi apabila diinginkan. Sungguh bentang alam yang cocok untuk komunitas Whatravel Trekking Club, bukan?

Selain beberapa puncak yang dapat didaki serta air terjun yang dapat dijelajahi, di seputar Ciamis juga terdapat objek wisata alam lainnya seperti danau yang dalam bahasa lokal disebut dengan situ yang tidak dapat diselami namun dapat diarungi, sungai-sungai jernih yang menanti untuk dieksplorasi, juga hutan-hutanan yang tersedia untuk kamu babati.
Kureng lebih, bentang alam di sekitar Ciamis ini masih mirip-mirip dengan apa yang tersedia di Sentul atau di seputaran kota yang menjadi tempat tinggal saya berikutnya, setelah berhasil lepas dari tragedi kos milik Pak Haji, yaitu Tasikmalaya.
FASILITAS PENUNJANG KEHIDUPAN LEBIH TERBATAS
Okay, mungkin kamu bertanya-tanya mengapa kok saya pindah kota tempat tinggal, ke Tasikmalaya, yang terletak sekitar 30 kilometer dari Ciamis? Kalau semua sudah tersedia di Ciamis, mengapa sampai harus pindah ke Tasikmalaya? Apakah karena tidak ada sarana hiburan malam di Ciamis?
Jawabannya simpel, yaitu keluarga. Tiga bulan (((berhubungan))) jarak jauh dengan keluarga, ternyata cukup melelahkan di mana saya harus rutin pulang pergi Ciamis – Bintaro saat itu. Sebuah perjalanan panjang yang memakan waktu sekitar enam jam perjalanan. Tiga jam menghadapi jalan berkelok di Gentong dan Nagrek, sementara tiga jam sisanya dihabiskan di dalam jalan tol Bandung – Bintaro, tanpa kebut-kebutan.
Dua dapur, adalah istilah yang digunakan untuk para perantau yang berpisah dengan keluarganya. Satu di Ciamis dan satu di Bintaro, yang dalam kasus saya merupakan sebuah hal yang harus dipertimbangkan. Pendapatan yang turun ketika pindah ke Ciamis, namun kebutuhan bisa jadi makin bertambah dengan adanya dua dapur, plus biaya transportasi yang harus dikeluarkan setiap kali pulang ke Bintaro, adalah pemikiran saya kala itu. So, dengan pertimbangan ekonomis dan logika, saya berinisiatif untuk memindahkan keluarga ke Tasikmalaya, bukan Ciamis.

Memiliki seorang anak dengan kebutuhan khusus, merupakan sebuah fase kehidupan yang cukup challenging. Di Ciamis tidak tersedia fasilitas penunjang untuk mencukupi kebutuhan kami. Tidak ada klinik tumbuh kembang yang baik, juga tidak ada fasilitas preschool yang dinilai cocok bagi anak kami. Tapi memangnya kalau di Tasikmalaya ada? Ya masih agak kurang juga sih sebenarnya apabila dibandingkan Bintaro atau Jakarta, namun worse is better than nothing, kalau menurut saya.
Selain fasilitas untuk anak, di Tasikmalaya juga memiliki fasilitas kehidupan lain yang lebih ‘mirip’ dengan masa-masa ketika kami tinggal di Bintaro. Terdapat rumah sakit yang lengkap yang walaupun ketika antre tetap saja makan hati, terdapat pusat perbelanjaan seperti mal dan pusat grosir walaupun tidak sebanyak di Jabodetabek, serta banyak pilihan makanan dan tempat nongkrong di Tasikmalaya yang dapat dibilang lumayan bahkan terbilang cocok untuk golongan menengah ke atas. Berbagai alasan yang menurut saya, menjadikan Tasikmalaya sebagai sebuah daerah yang lebih layak huni untuk keluarga dengan kebutuhan khusus seperti kami.
Lalu bagaimanakah kehidupan kami di Tasikmalaya, nantikan selengkapnya di …
Tagged: adaptasi, Ciamis, Tasikmalaya
beuh masih ngeblog
LikeLike
wakaka maklum di yutub belum laku kayak lauuu
LikeLike
Aku orang Tasik yg setia baca tulisan Mas Ariev. Ditunggu tulisan selanjutnya 😀
LikeLike
wah wah wahhhh, makasih banyakkk! Senang bacanya, jadi bikin makin semangat nulis 😀
LikeLike