Berbeda dengan saya dan Neng yang masih malu-malu sebagai pengantin baru, bangunan tersebut justru menunjukkan hal yang sebaliknya. Berdiri megah menjulang di tengah hiruk pikuk Damrak Street, yang merupakan salah satu jalanan paling sibuk, Amsterdam Sex Museum nampak tidak malu menunjukkan identitasnya, padahal, di beberapa negara, termasuk Indonesia, seks dianggap sebagai hal yang tabu.

Namun, ini kan Amsterdam, Belanda, di mana ganja dapat dengan mudah diperoleh dan seks dapat dibayar jika mampu. Maka wajar rasanya, bila Sex Museum –atau yang memiliki nama lain Venustempel (The Temple of Venus), justru terletak di pusat kota, hanya tiga menit berjalan kaki dari Central Station.

“Masuk jangan, nih?” Tanya Neng.

“Ya masuk atuh, sudah sampai sini.” Dengan malu-malu, saya meminta Neng untuk masuk terlebih dahulu. Ladies first. “Kamu heula.”

Neng, yang masih polos, menuruti permintaan saya tanpa ragu (karena kalau menolak permintaan suami, hukumnya haram) dengan memasuki Venustempel.

Assalamualaikum.

Are you from Indonesia?” Tanya Om penjaga loket Venustempel, begitu kami membeli dua lembar tiket masuk seharga empat Euro per lembar.

Yes, we are from Indonesia.” Neng menjawab sambil malu-malu. “You know Indonesia?

Of course I know!” Si Om menjawab dengan lantang, “Don’t you recognise my face?

Berikutnya, saya memperhatikan dengan perlahan, dan mendapat kesimpulan bahwa wajah si om lebih mirip wajah keturunan Indo-Belanda, dan tidak mirip sama sekali dengan Frank de Boer ataupun Ruud Gullit. 

Ooooh, Indo.

I have family in Indonesia.” Jelasnya. “Do you know Raisa, the singer?

Yes!” Jelas saja saya tahu, orang Neng kerap menyanyikan lagu-lagu Raisa, terutama ketika saya raisa turu. “My wife is a fan of her.”

“Raisa itu masih keponakan saya.” Tiba-tiba si om menjadi berbahasa Indonesia, dan memperkenalkan dirinya sebagai Om Michael.

“Lho, Om bisa bahasa Indonesia?”

“Iya, sedikit. Sudah banyak yang lupa.” Ujarnya, sambil melangkah keluar dari loketnya. “Mari kita selfie dulu.”

Selfie with Om Michael

Selfie with Om Michael (Instagram: michaelandbagusjunior)

“Banyak orang Indonesia yang ke sini, Om?”

Not so many, maybe you are the first today.” Sahutnya. “On what purpose, you are visiting Amsterdam?

We are on honeymoon, Om.”

Well, enjoy the museum, and your honeymoon here!

“Siap, Om. Salam manis untuk Raisa ya!”

[Lanjutan artikel ini, hanya boleh dibaca oleh kamu yang sudah cukup dewasa, sudah menstruasi, atau sudah mimpi basah. Read at your own risk.]

Petualangan kami di museum yang merupakan museum seks pertama dan tertua di dunia ini, dimulai dengan melewati patung bugil Venus (beserta beberapa manequin berbusana kinky di dalam etalase), yang merupakan dewi cinta dan kecantikan dalam mitologi Romawi, sebelum memasuki sebuah pintu kecil untuk menuju ke dalam museum.

Museum yang pertama kali dibuka untuk umum pada tahun 1985 (dengan hanya memiliki sejumlah kecil koleksi objek-objek erotis dari abad ke-19), berkembang dengan berbagai macam koleksi gambar, rekaman, foto, lukisan, dan artifak yang menceritakan perkembangan sejarah seks dari masa ke masa. Mulai dari zaman Cleopatra, hingga ke zaman Caligula, semua ada di sini.

Kini, Venustempel tercatat memiliki lebih dari 500.000 pengunjung setiap tahunnya, atau sekitar 4% dari total penduduk Jakarta di hari-hari selain lebaran. Ya, termasuk saya dan Neng, sebagai pasangan baru, yang mengunjungi museum ini dalam rangka studi banding, dengan tujuan mempelajari seks untuk pemula (baca: pasangan yang baru menikah).

Venustempel - Sex Museum Amsterdam

Secara garis besar, museum ini terbagi menjadi tiga lantai, dengan masing-masing lantai memiliki koleksinya masing-masing. Apabila kamu penasaran, lanjutkanlah membaca, karena saya akan menjelaskannya sedikit demi sedikit.

Bismillahirrohmanirrohim.

GROUND FLOOR

Setelah melewati pintu kecil bercat hijau, kami tiba di sebuah ruangan memanjang dengan lebar kira-kira hanya tiga meter, berlantaikan keramik putih polos yang tidak nampak mahal. Di tengah ruangan tersebut, terdapat sebuah boneka, sepertinya mami-mami pekerja seks, yang terlihat sedikit mirip Annabelle. Pada sisi kanan boneka terdapat etalase penuh dengan beberapa kerajinan yang menunjukkan peradaban seks dari masa ke masa, sementara pada sisi kiri boneka, terdapat sebuah lorong gelap yang dibuat dari bata merah bertuliskan “Red Light District.”.

Kami memasuki lorong tersebut dengan perlahan, dan sedikit cemas akan apa yang menanti di dalam sana. Tak lama, Neng berteriak, sambil mencengkeram kuat lengan saya.

AAAAAAA!

Dari kegelapan, muncul sebuah boneka pria yang mengenakan setelan jas lengkap, namun dengan kondisi pakaian yang berantakan. Wajahnya mesum, matanya melotot, mulutnya terkekeh, dengan sebelah tangan memegang penisnya, bermasturbasi. Bangsat, bikin kaget saja.

“Keluar yuk, Mas.”

“Di dalam, apa di luar, Neng?”

Venustempel - Sex Museum Amsterdam

Di lantai dasar, ada beberapa bagian yang dinamakan sesuai dengan nama-nama legenda dunia yang berkaitan dengan dunia seks dan percintaan. Sebut saja Cassanova Gallery, yang mengambil nama seorang penulis Italia yang terkenal memiliki daya pikat maha dahsyat terhadap perempuan.

Lalu ada juga Marquis de Sade Hall, yang mengambil nama seorang penulis buku porno terkenal (jauh sebelum Freddy S) yang pernah dipenjara karena mencampur-adukkan perbuatan erotis dan kekerasan pada tahun 1700-an. Ada pula Fanny Hill Street, yang mengambil nama seorang tokoh pelacur terkenal dalam novel “Memoirs of a Woman of Pleasure”. Sebuah novel yang belum pernah saya baca.

Masing-masing bagian tersebut juga memiliki keunikannya sendiri, ada yang memajang beraneka macam kue berbentuk alat vital, ada yang memamerkan koleksi lingerie dari masa ke masa, dan ada juga yang menampilkan bermacam foto tentang perbuatan seks yang tidak semestinya dilakukan, seperti misalnya BDSM di film 50 Shades of Grey.

“Neng mau yang kayak gini?” Saya menunjuk ke salah satu foto.

Ewww, apaan sih itu? Geleuh, Mas.” Jawab Neng, sambil bergerak keluar dari ruangan penuh perbuatan tercela itu. Astaghfirullah.

FIRST FLOOR

Dari lantai dasar, kami bergerak naik melalui sebuah tangga ke lantai berikutnya. Tangga yang dilalui sebenarnya hanyalah sebuah tangga biasa yang terbuat dari kayu dengan pegangan berwarna cokelat tua, namun yang membuatnya istimewa adalah dekorasi dinding yang terdapat di samping tangga, yang menampilkan berbagai potongan tubuh wanita tanpa busana.

Iya, patung, bukan potongan tubuh asli korban mutilasi.

Di lantai satu ini terdapat Valentino Gallery, yang memajang koleksi perkembangan foto bugil dari masa ke masa. Ruangan ini didedikasikan untuk Rudolph Valentino, seorang pria bintang film Italia yang merupakan simbol seks pertama di dunia. Ya kalau di Indonesia, seperti Barry Prima, Advent Bangun, atau George Rudy lah.

Astaghfirullah.

Venustempel - Sex Museum Amsterdam

Kemudian ada juga Catherine The Great Hall, The Venus Gallery, Oscar Wilde Hall, dan Marquise de Pompadour Hall yang juga dapat ditemukan di lantai ini. The Venus Gallery sendiri, banyak bercerita tentang konsep seks selama masa kekaisaran Romawi. Sekadar informasi, Venus, yang disembah sebagai dewi cinta oleh bangsa Romawi, telah melahirkan Cupid –si panah asmara yang imut, dari hasil hubungannya dengan Mars, si dewa perang.

Namun, atraksi kesukaan saya di lantai satu ini bukanlah itu, melainkan sebuah panggung dengan Marilyn Monroe yang berada di atasnya, lengkap dengan gaun putih legendarisnya yang selalu tertiup angin.

Marilyn Monroe sendiri, adalah seorang simbol seks asal Amerika Serikat di tahun 1950-an, yang memiliki bakat alami beraksi di depan kamera. Pada saat masa-masa menganggur, di mana sebagian anak muda masih bergantung kepada orang tua, Mbak Marilyn ini biasa mengisinya sebagai model freelance. Beberapa kali Mbak Marilyn diminta untuk berpose bugil di depan kamera, namun selalu menolak, hingga pada suatu hari, dia kehabisan uang, dan terpaksa menerimanya. Ketika idealisme kalah karena keadaan.

Mbak Marilyn lahir pada 1 Juni 1926 dan besar di Los Angeles, California, dan masa perkembangan karirnya diisi sebagai aktris dan model yang membuatnya terkenal hingga menjadi simbol seks. Sebagai aktris, Mbak Marilyn terkenal karena mengambil peran sebagai ‘dumb blonde’ di beberapa film besar seperti Noir Niagara, Gentlemen Prefer Blondes, How to Marry a Millionaire, hingga The Seven Year Itch yang membuatnya dikenal dengan adegan gaun tertiup angin.

Walaupun terkenal sebagai simbol seks, Mbak Marilyn ini juga dikenal karena quote-quote-nya yang cadas, di mana salah satu quote favorit saya berbunyi:

 "If you can't handle me at my worst, then you sure as hell don't deserve me at my best."

SECOND FLOOR

“Mas, aku capai.” Keluh Neng saat kami meninggalkan lantai satu museum untuk menuju lantai berikutnya.

Saya yang kasihan pun memintanya untuk berhenti sejenak “Kalau capai, istirahat dulu, atuh.” Saya menunjuk ke arah bangku kosong di sebuah hall  penghubung antar ruangan. “Itu ada bangku kosong.”

Tapi, wait. Tepat ketika Neng bergerak untuk duduk di atas bangku tersebut, saya merasakan ada sesuatu yang aneh, yang membuat saya menyesali keputusan untuk meminta Neng duduk dan beristirahat pada bangku tersebut.

NENG TUNGGUUUU!” Tetapi terlambat, ini semua terjadi begitu cepat.

Venustempel - Sex Museum Amsterdam

Istirahat dulu atuh, Neng. Tapi, sepertinya ada yang aneh.

Ruangan utama di lantai kedua ini bernama Vargas Hall, yang mengambil nama dari Alberto Vargas, seorang pelukis asal Peru yang kemudian pindah ke Amerika Serikat selepas menyelesaikan studi seninya di Eropa pasca perang dunia pertama. Pada masanya, Vargas dikenal sebagai pelukis model (erotis hingga bugil tentunya) nomor wahid, yang bahkan dipercayai untuk menjadi juri Miss Universe selama kurun waktu 1956-1958.

Pada ruangan ini terpampang beraneka hal yang berkaitan dengan media porno, mulai dari sebuah ruang khusus untuk menyaksikan film porno, sebuah miniatur teater kecil yang biasa menampilkan pertunjukan porno, koleksi film porno zaman dahulu, majalah-majalah porno, hingga kartu remi bergambar porno yang biasa saya koleksi sewaktu kecil.

Astaghfirullah. Saya mengelus dada. Dada Neng.

Di sudut ruangan terdapat semacam display yang menggambarkan beberapa bentuk kondom ketika ditiup, sementara di sisi lain dinding terdapat etalase yang memajang celana dalam besi bergembok, mirip seperti yang saya temukan di Museum of Sex New York, dua tahun lalu.

Ngeri amat ya wanita zaman dahulu, berkancut besi, dan hanya bisa dibuka dengan gembok. Kasihan suaminya, kalau kunci gemboknya hilang, dan tidak ada jasa duplikat kunci pada zaman itu.

Pada penghujung lantai dua terdapat sebuah diorama yang menunjukkan adanya pemotretan model porno untuk sebuah kalender pada zaman dahulu, dengan sang model –disinyalir sebagai Marilyn Monroe– duduk menggelinjang di sebuah sofa bermotif macan tutul, sementara seorang fotografer menyeringai dengan wajah mesum dan tangan berada di kamera, siap menekan tombol shutter.

Entah apa hubungan si pemilik museum dengan Marilyn Monroe, mengingat ada banyak koleksi Marilyn Monroe di museum ini.

Venustempel - Sex Museum Amsterdam

Sekadar kasak-kusuk, Mbak Marilyn sendiri pernah bertemu langsung dengan presiden pertama Republik Indonesia, Presiden Soekarno pada sebuah jamuan makan malam di Hollywood. Pada kunjungan pertama Presiden Soekarno ke Amerika Serikat waktu itu, konon kabarnya, terdapat pertemuan lanjutan antara Mbak Marilyn dengan Pak Presiden setelah makan malam.

Apa yang terjadi sewaktu itu? Wallahu a’lam. Biar menjadi rahasia Mbak Marilyn dan Presiden Soekarno saja. Nahasnya, Mbak Marilyn meninggal pada 5 Agustus 1962 di mana dia ditemukan dengan kondisi tanpa busana dengan botol obat tidur di sampingnya, tak lama setelah Mbak Marilyn mendirikan perusahaan produksi film miliknya.


Hari sudah gelap ketika kami keluar dari museum yang membuat kami semakin relijius –karena banyak istighfar, tentunya dengan berbagai pengetahuan baru tentang seks. Neng yang awalnya polos, kini sudah tak polos lagi (kalau keluar rumah). Kami sempat mencari keberadaan Om Michael di loket untuk berpamitan, namun ternyata sudah ada pria lain yang menggantikan shift-nya.

Angin dingin bertiup sepanjang Damrak Street malam itu, membuat Neng harus melilitkan syal di leher, dan memaksa saya untuk mengenakan kupluk hingga menutupi kuping. Saya memegang tangan Neng yang terasa lebih dingin dari Amsterdam, mencoba memberikan sedikit kehangatan malam itu. Sambil mendekatkan badan ke arah Neng, saya membisikkan sesuatu kepadanya.

“Neng, ke Red Light District, yuk.”

Bersambung…