
Tentang Meladeni Kemacetan dan Lalu Lintas Jakarta dengan GrabCar
arievrahman
Posted on December 29, 2018
“Besok anterin aku kontrol sebelum jam makan siang yuk!” Neng mengingatkan saya pada malam kedua sejak kepulangan saya dari perjalanan bersama para peserta trip Whatravel mengunjungi Nepal dan Bhutan. “Sudah jadwalnya nih.”. Kontrol di sini, bukanlah kontrol dada setelah menerima umpan lambung dari sepak pojok David Beckham, melainkan kontrol dokter kandungan karena masa kandungan Neng sudah hampir memasuki 28 minggu usia kehamilan, atau sekitar 196 hari sejak dibuahi oleh saya sendiri.
“Umm…” Terdapat jeda sejenak sebelum saya bisa menjawab permintaan Neng, perjalanan selama kurang lebih satu minggu ke dua negara, –termasuk mendaki Tiger’s Nest yang mengingatkan saya pada perjuangan mengunjungi Desa Wae Rebo di Flores, praktis telah membuat tubuh saya yang sudah tidak belia dan tidak (pernah) sixpack ini kelelahan. Namun, bagi saya, pantang hukumnya untuk tidak menuruti keinginan istri yang sedang hamil. Ya, daripada terkena azab suami pelit, dan jadi pailit, lebih baik saya menurut, bukan?
“Tapi besok kayaknya aku gak bawa mobil.” Ya, saya adalah salah satu diantara jutaan pengguna kendaraan pribadi di Jakarta, yang karena berbagai alasan belum mau beralih untuk menggunakan transportasi umum. “Masih capek nih, nyetir sendiri.”.
Perlahan, sebuah film tentang kemacetan Jakarta yang saya sutradarai sendiri, berputar di benak saya. Mobil berdesak-desakan, sepeda motor menyelip ruang sempit diantara mobil-mobil pribadi dan bus dalam kota, sementara para pedagang asongan ramai menjajakan aneka barang jualannya, mulai dari surat kabar, air mineral, camilan, hingga penderitaannya sendiri. Perjalanan harian dari apartemen di Cipulir Jakarta Selatan menuju kantor di Harmoni Jakarta Pusat yang sebenarnya hanya berjarak sepuluh kilometer, rata-rata saya tempuh selama satu jam untuk perjalanan pergi, dan dua jam untuk perjalanan pulang. Dengan waktu yang sama, mungkin saya dapat menulis sebuah puisi tentang kemacetan, yang mungkin lebih bagus daripada puisi karya Fadli Zon.

Ilustrasi Kemacetan Jakarta
“Yahhhh.” Neng cemberut, memanyunkan bibir, yang justru membuatnya semakin menggemaskan, seperti Bobo Ho. “Lalu besok aku bagaimana, dong?”
“Ya gak papa, tetap aku temenin.” Jawab saya, berlagak kesatria, walaupun penampilan terkadang masih seperti Sudra. “Nanti aku naik Grab ke sananya. Pokoknya aman, dekat dengan Grab.”
“Benar, ya?”
“Iya beres.”
Keesokan harinya, saya yang sudah mencicil sedikit pekerjaan kantor hari itu, meminta izin untuk dapat keluar kantor sejenak “Biasa, nganterin istri kontrol.” adalah alasan yang saya gunakan secara rutin, sebulan sekali. Nantinya, teman-teman kantor yang baik dan penuh pengertian, akan menjawab dengan “Hati-hati mas.” tanpa perlu meminta oleh-oleh.
Pagi itu, Neng berangkat dari apartemen pada pukul sembilan pagi, dan saya berusaha menyusul secepatnya. Dari aplikasi Grab, saya menginput alamat tujuan saya, yaitu Rumah Sakit Pusat Pertamina, yang terletak di bilangan Kebayoran Baru Jakarta Selatan. “Lumayan juga, sedang ada diskon apabila membayar menggunakan OVO.”

Mitra Pengemudi Grab yang menjemput saya pagi itu bernama Pak Sura, yang mengendarai Daihatsu Sigra berwarna hitam. Beliau datang dua menit lebih cepat dibandingkan estimasi waktu penjemputan yang muncul di telepon genggam saya. “Selamat pagi, Pak.” sambut sang pria berkumis –yang saya taksir usianya sekitar 50-an tahun, dengan sopan, ketika saya membuka pintu belakang (sebelah kiri, bukan bagasi) mobilnya. Seatbelt telah terpasang erat pada jok Mitra Pengemudi Grab, yang menandakan perjalanan telah siap dimulai.
“Pagi, Pak.” Supaya lebih lega dan leluasa untuk beristirahat, saya memilih untuk duduk pada jok di belakang pengemudi, bukan melingkar di balik bagasi. “Ke RSPP ya, Pak.”
“Siap, Pak!” Sahut Pak Sura, seraya memulai perjalanannya mengemudikan mobilnya yang bersih dan wangi. Sebuah boneka Hello Kitty tergantung di cermin tengah, sementara beberapa boneka Hello Kitty yang lain menempel dan bergoyang-goyang akibat pegas pada dashboard mobilnya. Mungkinkah ini yang dinamakan ‘Wajah Rambo, Hati Rinto’?

“Bisa lewat Jalan Sudirman, kah?” Tanya saya, mengingat saat itu masih pukul 09.30 pagi, yang mana artinya periode waktu pembatasan ganjil-genap masih berlaku di beberapa ruas jalanan ibukota, tepatnya hingga pukul 10.00.
“Bisa Pak.” Jawabnya. “Kan ini mobil genap, sekarang juga pas tanggal genap.”
Saya, sebagai pengemudi mobil ganjil merasa bersyukur atas hal itu. “Wah, memangnya selalu begitu, Pak? Kalau tanggal ganjil dapat yang ganjil, dan tanggal genap dapat yang genap?”
“Iya, biasanya begitu. Semua (pembagian mobil untuk jalur ganjil-genap) sudah diatur oleh sistem Grab.” Wah, kok kayak Yang Maha Kuasa saja nih, bisa mengatur-atur, tapi keren juga sih. Alhamdulillah, bisa dapat fasilitas menghindari kemacetan lewat jalur ganjil-genap dengan lancar tanpa perlu meminta bantuan voojrider ataupun menjadi pejabat negara terlebih dahulu.
“Bapak sudah berapa lama nge-grab?” Saya mulai bertanya hal-hal personal, setelah merasa nyaman dengan Pak Sura, yang sepertinya tidak bernama lengkap Surabaya Ibukota Jawa Timur. “Bagus, Pak, penghasilannya?”
“Ya, alhamdulillah, saya sudah dua tahun nge-grab.” Timpalnya sambil terkekeh. “Perihal penghasilan, ya harus disyukuri, kan kita namanya mitra, jadi harus bisa bekerja sama. Kalau memang suka ya lanjut kerja, kalau tidak suka, ya bisa keluar, tak perlu lah itu yang demo-demo.”
Iya betul, demo memang tak perlu, apalagi demo berjilid-jilid. “Jadi, Bapak betah ya kerja di Grab?”
“Saya ini harusnya sudah pensiun kerja.” Tambah pria berkumis yang belum setebal Adam Suseno, namun lebih tebal dari Adam Levine ini. “Tapi anak saya yang kuliah di IT, ngajarin saya pakai Android, lalu diminta buat gabung Grab. Lumayan hasilnya ternyata.”
Sambil mendengarkan lagu-lagu di Gen FM 98.7 yang kala itu dipandu oleh teman seperjalanan saya ketika ke India, Rozy Aldilasa, saya juga mendengarkan kisah-kisah hidup Pak Sura yang disampaikan dengan ramah, tentang jalanan, tentang kehidupan Mitra Pengemudi Grab, tentang anak-anaknya, hingga tentang kondisi politik saat ini.

“Manusia sekarang pada mau benar sendiri, padahal kalau semua sama-sama kondusif kan enak.” Ya betul, jalanan sebenarnya akan lebih nyaman apabila semua pihak menggunakannya dengan tertib, mau mengalah, tidak berebut untuk kepentingannya sendiri. Jalanan Jakarta, kiranya dapat menjadi potret nyata politik di Indonesia saat ini.
Sembari melaju, saya juga sambil memastikan posisi Neng sudah berada di mana. Asyiknya menggunakan aplikasi Grab, adalah adanya fitur ‘Share My Ride’ yang memungkinkan pemakainya membagikan posisi aktual mereka saat ini, juga adanya fitur ‘Emergency Contact’ yang akan dengan segera menghubungi kontak ’emergency’ kamu apabila ‘amit-amit’ terjadi masalah dalam perjalanan kamu bersama Grab.
Semua sudah disiapkan sedemikian rupa oleh Grab untuk menlindungi keamanan penggunanya.
“Kalau boneka Hello Kitty itu punya, Bapak?”
“Hahaha!” Pak Sura tertawa ketika kami melintasi kolong Jembatan Semanggi. “Ini punya anak saya yang cewek. Sudah kelas dua SMK, tapi mintanya pasang boneka ini di mobil, ya saya turuti saja.” Susah memang, kalau anak yang meminta, karena pada dasarnya orang tua akan berbuat apa saja demi kebahagiaan anaknya, walaupun itu menjadi deritanya.
Obrolan hangat tersebut terus berlanjut hingga kami tiba di Rumah Sakit Pusat Pertamina, tempat Neng bisa kontrol. Dengan keahlian menyetir Pak Sura, perjalanan pagi itu dapat menjadi lebih menyenangkan. Ternyata enak juga tidak membawa kendaraan pribadi, tidak capek, dan rasa stres dapat berkurang.
Stres berkurang, mungkin akibat belum melihat tagihan biaya kontrol dokter saat itu.

Alhamdulillahnya, biaya lebih sedikit dari rata-rata, mungkin karena kondisi kandungan sudah baik dan tidak perlu konsumsi vitamin tambahan lagi, jadi lumayan bisa sedikit mengirit.
Namun tak lama, sebuah kabar mengagetkan justru datang dari Grup WhatsApp Dapur Gladies Jakarta –salah satu startup kuliner yang sedang saya rintis di Jakarta bersama Neng, ketika Galang (partner bisnis kami) yang sedang melakukan pengecekan lokasi baru untuk bisnis tersebut, memberitakan adanya kabar buruk, di mana kami harus segera ke sana.
Okay, berarti skip makan siang dulu. First things first: memantau lokasi bisnis yang sedang genting. Bukan, bukan karena bunyi hujan di atasnya.

Selepas menebus resep yang tidak dapat dimakan semua orang, saya kembali membuka aplikasi Grab untuk menuju lokasi Dapur Gladies Jakarta di wilayah Antasari Jakarta Selatan. Walaupun belum buka dapurnya, tapi lokasinya sudah ada di Google Maps, dan di aplikasi Grab. Keren kan, kami?
Untuk lokasi penjemputan, yang menarik dari aplikasi Grab adalah bahwa kita dapat memilih detil lokasi penjemputan (Suggested Entrance) seperti misalnya Lobby RS Pusat Pertamina, Pintu Gerbang Masuk, UGD, walaupun tidak akan dapat ditemukan lokasi ‘Kamar Mayat’ pada aplikasi ini.
Siang itu, saya memilih ‘Lobby RS Pusat Pertamina’ sebagai lokasi penjemputan, dan tidak berapa lama telepon genggam saya berbunyi, dering telponnya membuatku tersenyum di siang hari. Dari Bapak Grab.
Salah satu fitur lain yang dapat menjamin keamanan pengguna Grab adalah adanya fitur ‘Number Masking’ di mana Mitra Pengemudi Grab tidak akan dapat mengetahui detil nomor telepon pengguna/penumpang yang diteleponnya, yang membuat privasi dan kenyamanan kita terjamin. Apalagi untuk seorang introvert seperti saya, uhuk.
Setelah menerima telepon dan menjelaskan detil lokasi penjemputan kepada mitra pengemudi, kami langsung bergegas menuju Dapur Gladies Jakarta, di mana Galang sudah menunggu di sana.
Pokoknya, gak pakai lama, Pak! Ini bukan pemerintahan Orde Baru.

Tak berselang lama, kami telah tiba di Pombensin Pertamina yang terletak di bawah flyover Antasari. Di lokasi itulah, rumah baru Dapur Gladies Jakarta beralamat. Dengan jarak kurang dari lima kilometer dan bukan pada jam sibuk, tak sulit untuk mencapainya. Salah satu kendalanya adalah perut kosong yang menunggu untuk diisi.
“A fully gorged belly never produced a sprightly mind."
Permasalahan yang timbul di sana, ternyata berasal dari tenant sebelah yang lupa mematikan keran air ketika pulang, alhasil luapan airnya rembes hingga ke lantai dapur kami. Ya untung saja cuma keran air, coba kalau itu keran dana hibah Kemenpora, pasti kami sekarang sudah kaya raya dan tertangkap KPK.
Sambil berdiskusi mengenai permasalahan yang timbul sekaligus persiapan pembukaan kembali Dapur Gladies Jakarta, saya memesan beberapa paket makanan melalui aplikasi GrabFood, karena seperti ungkapan di atas bahwa perut yang tenang, tidak akan menimbulkan pemikiran yang bergejolak. Maka daripada emosi, lebih baik makan dahulu.
salah satu fitur menarik dari aplikasi Grab ini adalah terdapat pada fitur chat yang sudah tertanam pada aplikasi utamanya, yang membuat kita tidak perlu mengunduh aplikasi lain lagi. Pada aplikasi chat yang terdapat pada Grab, pengguna dapat mengobrol dengan mitra pengemudi secara cepat, ditambah keunggulan lainnya berupa adanya fitur pengiriman foto ke mitra pengemudi, juga voice chat kepada pengemudi.
Fitur pengiriman foto ini sangat berguna, seperti misalnya ketika pengemudi Grab Food tidak dapat menemukan lokasi baru Dapur Gladies Jakarta yang belum terkenal, saya bisa mengirimkan foto Pombensi Antasari dan berkata “Temui aku di sini ya, Bang, aku menantimu.” yang akan dibalas si abang dengan “ok.”.
Kemudian fitur ‘Voice Chat’ juga akan berguna bagi kamu yang tidak suka mengetik panjang, namun lebih suka berbicara melalui pesan suara, mirip orang pacaran zaman telepon gratis tiga detikan dahulu.
Siang itu ditutup dengan saya yang harus kembali ke kantor untuk bekerja, Galang yang masih mengurus tukang di dapur, dan Neng yang akan nebeng sampai Senayan City. Ah gampang, kan ada fitur ‘Multi Stop Trip’ di Grab! Jadi saya dapat memasukkan dua destinasi pada satu perjalanan dan tidak perlu berganti mobil lagi, semua senang, semua tenang!
Lantunan musik-musik 80 dan 90-an dari Most Radio 105.8 Fm siang itu menemani perjalanan saya dan Neng dengan ditemani David sebagai Mitra Pengemudi Grab yang sangat mengerti selera musik penumpangnya. Sesekali Neng terlelap, namun saya bangunkan lagi supaya ingat dengan kenyataan bahwa kami belum kaya raya.
Sehari bersama GrabCar membuat saya merasakan kenyamanan yang luar biasa. Tidak perlu capek-capek menyetir, tidak perlu emosi-emosi pada kemacetan, dan tidak perlu repot-repot memikirkan mau lewat rute mana sekarang. Tinggal mikirin mau buat puisi kayak gimana sekarang, kan? Pada perjalanan pulang tersebut, saya teringat salah satu pesan dari Pak Sura pagi tadi, “Zaman sekarang orang lebih suka yang praktis, dan hidup sekarang jadi lebih enak, karena semua sudah dibikin praktis oleh Grab.”
Ya juga sih, dengan adanya kepraktisan ini, kok sekarang sepertinya kita dapat #MajuLebihDekat dengan Grab, ya?
aku tunggu puisinya mas… mudah2an bisa nyaingin puisinya fadli zon… hhahaha
LikeLiked by 1 person
Huahaha, ntar aku minta Zarry Hendrik dulu buat bikinin puisinya 😀
LikeLike
Transportasi online memang banyak membantu aktivitas sehari2, terbantu bgt deh pokoknya ^^
LikeLiked by 1 person
Iya betul! Semua jadi terasa mudah sejak ada yang online-online begini yaaa 😀
LikeLike
kalau puisinya sudah jadi, jangan lupa tag aku yaaa..
LikeLiked by 1 person
HAHAHA! Nanti kubuatin puisi berjudul: Tindak Tanduk Arsitek
LikeLiked by 1 person
Masih belum ada ya pak, puisinya? Penasaran kan saya gara gara dibandinginnya sama puisinya Fadli Zon 🙂
LikeLiked by 2 people
Belum nih, mungkin harus jadi anggota dewan dulu ya biar dapat inspirasi 🙂
LikeLike
Kalau naik grab car di Jakarta, saya suka bertanya tentang pengalaman horor dan “penumpang horor” kalau pas mereka narik di sekitar pusat, tiap wekend. Yang paling menarik, di Thailand, dua kali naik pas malam, dua kali pula dapat driver mbak-mbak, yang cantik. Tapi sekarang jadi susah naik grab di luar, karena pakai OVO, dan itu berlaku hanya di Indonesia doang, Beberapa kali masukin card, tapi direject 😦
LikeLiked by 1 person
Wah, emang sebanyak itukah cerita horor di Jakarta? Saya biasa nanyanya malah penumpang yang suka “aneh-aneh” di Jakarta yang biasanya pada ada di tengah malam, haha.
Seumpama di luar negeri gitu, masih bisa bayar pakai cash kan ya? Jadi ga perlu OVO. Tapi baca ceritanya, jadi pengin nyobain Grab di Thailand hahaha.
LikeLiked by 1 person
iya emang grab memudahkan kita beli makan tinggal pencet dan nunggu dateng, enak bangett jaman sekarang
LikeLike
iyaaa ga kebayang pas pandemi dan ga ada grab hahaha, bisa stres di rumah.
LikeLike