
“Yo aku melu to!” Rengek Mama ketika saya memberi tahu bahwa besok saya akan mengikuti walking tour perayaan imlek di Kawasan Petak Sembilan, Jakarta. Dan saat itu, kebetulan, Mama memang akan pergi ke Jakarta untuk mengunjungi anak semata wayangnya. “Mosok aku dewekan ning omah?”
“Iyo, yowes melu wae.” Jawab saya mengiyakan, sebelum dikutuk menjadi batu akik. “Acarane esuk lho.“
Terdengar jeda sejenak dari sambungan telepon di ujung sana, sebelum muncul suara yang sudah akrab di telinga selama lebih dari 20 tahun, “Jadi besok aku pakai baju merah ya? Terus kembaran, kita?”
Kali ini giliran saya yang mengheningkan cipta.
Petak Sembilan, sebenarnya bukan barang baru buat saya, karena saya pernah melakukan kunjungan ke sana bersama seorang panda lokal tahun lalu. Namun bagi Mama, yang tidak tinggal di Jakarta, kunjungan ke Petak Sembilan –apalagi bertepatan dengan imlek–, merupakan sesuatu yang menarik. “Aku yo pengin nonton piye nek imlekan ning Jakarta.”.
And another Mamacation begins.
Setelah menempuh perjalanan romantis dengan sepeda motor selama 40 menit yang diiringi rintik hujan dari daerah Kebayoran, tibalah kami di starting point acara tur pagi itu, yaitu Museum Bank Mandiri. Di sana telah menunggu beberapa kawan (beserta dua kotak kue cubit), yang memang telah mengikat janji untuk mengikuti acara tersebut bersama. Sebut saja Firsta, Vindhya, dan Wira.
Berikutnya dilakukan briefing singkat, sebelum kami dilepas bersama seorang pemandu lokal yang akan membawa kami menjelajah Petak Sembilan dan sekitarnya.
Konon, bahwasanya nama Petak Sembilan berasal dari rumah-rumah penduduk zaman dahulu yang tersusun pada petak-petak yang berjumlah sembilan.
Dimulai dari jalan raya di samping Museum Bank Mandiri, kami menyusuri jalan dengan graffiti di tepi flyover yang telah disesaki para penjual beraneka macam barang kebutuhan sehari-hari, dari buah-buahan, pakaian dalam, walaupun tak ditemukan penjual buah-buahan dalam pakaian dalam.
Kawasan Cagar Budaya
“Ini sudah masuk kawasan cagar budaya dan tidak boleh direnovasi, harusnya, namun beberapa rumah sudah direnovasi.” Jelas cici pemandu perjalanan kami (berikutnya akan disebut sebagai ‘cici’ saja, bukan ‘cici’ banget).
Cici kemudian menunjuk deretan ruko di seberang jalan “Itu adalah bangunan tahun 1900-an, di mana di depannya ada arcade yang tujuan awalnya digunakan untuk jalan tempat orang lewat, namun sekarang lebih banyak dipakai sebagai lokasi berjualan.” Saya maklum, karena bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa kreatif yang pandai mencari peluang bisnis dan lapangan pekerjaan.
Di mana ada macet, di situ ada penjual Aqua. Di mana ada tikungan, di situ ada polisi cepek. Di mana ada anggaran Pemda DKI, di situ ada Nuri Shaden, eh maksud saya, ada anggota DPRD. Go Ahok!
“Karena imlek, maka toko-toko banyak yang tutup.” Jelasnya lagi. “Daerah sini juga dikenal sebagai kawasan pasar pagi lama, yang menjual barang berdasarkan musim. Misalkan pada musim sekolah, jual alat tulis. Musim imlek, jual pernak-pernik imlek. Musim tahun baru, jual berbagai macam barang kebutuhan.”
Dalam hati kecil saya membatin, lalu apakah yang dijual oleh pasar perniagaan yang kini telah dipindah ke Mangga Dua ini pada saat musim kawin?
Imlek
Cici mengatakan bahwa pada saat hari pertama imlek, orang Tionghoa gak boleh buka toko, dan hari ketiga baru boleh. “Kalau mau buka, ya harus buka hari kedua, ketiga, dan seterusnya, tapi gak boleh buka hari keempat.”.
Empat, disebut juga Si dalam bahasa Mandarin, yang berarti kematian.
Lebih lanjut lagi, cici mengatakan bahwa bagi etnis Tionghoa, pada saat imlek harus hujan, karena hujan melambangkan rezeki.
Selain hujan, rezeki juga dilambangkan dengan warna merah. Oleh karena itu, warna merah selalu menghiasi perayaan imlek di manapun, karena identik dengan kemakmuran.
“Imlek gak boleh pakai baju putih, karena di Tionghoa, putih melambangkan kematian.” Ucap Cici, “Kalau ada yang nikah, pakainya angpau merah, jangan putih. Karena itu tidak sopan.” Pungkasnya.
Kawasan Pintu Kecil
“Yuk sekarang kita menyeberang!” Seru Cici sambil menggiring rombongan, ke sebuah gang sempit dengan pintu kecil di ujung gang. Dua orang pria yang mirip mamang-mamang penjaga malam, membukakan pintu tersebut.
“Pintu ini dibuat setelah tahun 1998.” Cici kemudian menjelaskan bahwa sebelum tahun 1998, etnis Tionghoa tak boleh merayakan imlek, dan baru boleh pada saat masa pemerintahan Gus Dur.
Rombongan kami berhenti di depan sebuah rumah tingkat dengan pagar tinggi runcing dengan tiga buah pintu besar di terasnya. Mamang penjaga pintu sempat berseru bahwa ini Rumah Si Pitung, namun Cici justru menyebutkan bahwa inilah rumah seorang juragan tembakau.
Hmm, atau jangan-jangan Si Pitung dulunya adalah juragan tembakau?
Tiga pintu itu melambangkan tiga fase kehidupan yang paling berarti bagi bangsa Tionghoa, yaitu kelahiran, perkawinan dan kematian. “Bangunan ini merupakan perpaduan dari bangunan Tionghoa dan Eropa, Atap khas Tionghoa, dan lantai khas Eropa.”.
Cici melanjutkan bahwa ciri khas rumah Tionghoa lainnya adalah terdapatnya cermin di atas pintu.
Cermin di atas pintu tujuannya adalah untuk mengantisipasi niat jahat yang akan masuk ke rumah, dan mementalkannya.
“Bedanya yang bulat sama yang segi delapan apa, Ci?” Tanya salah seorang di rombongan. Cici terkekeh, “Kayaknya sama aja deh, hehehe.”.
Berikutnya, Cici menggembalakan kami ke sebuah rumah tinggi di gang sempit itu. Kalau orang bilang, rumah tersebut berada pada posisi tusuk sate. “Rumah di posisi tusuk sate ini tidak disukai oleh orang Tionghoa, ada yang tahu kenapa?”.
Kami semua bertatapan, mencari tahu jawabannya, sebelum akhirnya menyerah. “Karena kalau ada mobil bisa nabrak. Hehehe.” Jawab si Cici.
Seluruh anggota rombongan mengheningkan cipta, dan sayup-sayup lagu gugur bunga bergema. Disebutkan bahwa menurut orang Tionghoa, rumah pada posisi tusuk sate ini akan mendatangkan ketidakberuntungan. Dan salah satu cara menanggulanginya adalah, memasang guci di atas genting. Mereka berharap hal-hal yang tidak baik akan masuk ke dalam guci, alih-alih ke rumah.
Di ujung gang, Cici menjelaskan bahwa dahulu di sini bernama Jalan Kongsi, alasannya adalah karena satu rumah dipakai beramai-ramai untuk berbisnis. “Kita dapat mengetahui bahwa ini adalah rumah Tionghoa, berdasarkan atapnya yang berbentuk pelana kuda.” Cici kembali bercerita “Namun di daerah sini, beberapa orang sudah merubahnya menjadi ruko.”.
Hmm, mengubah Ci, bukan merubah.
Rumah Keluarga Souw
Apabila rumah Tionghoa medioker beratapkan pelana kuda, maka keluarga kaya Tionghoa biasanya memilih bentuk sayap burung walet. Ada yang bilang dikarenakan dahulu burung walet adalah salah satu sumber obat-obatan Tionghoa, dan merupakan pangsa bisnis yang menguntungkan.
Dan salah satu rumah bersayap walet tersebut adalah rumah Kelurga Souw.
“Pada zaman Belanda, sekitar tahun 1600-an, keluarga ini adalah keluarga paling kaya.” Cici kembali menjelaskan pada kami. “Apabila dilihat dari samping, maka akan terlihat rumah ini panjang dan terbagi menjadi beberapa bagian. Rumah, tanaman, rumah, tanaman, rumah, tanaman.”.
“Omahe sampek kono!” Seru Mama, yang baru muncul kembali pada cerita ini. Iya, rumah di samping ini memang didesain memanjang ke belakang, bahkan sampai kali, kalau kata Cici. Walaupun saya tidak tahu kali apakah yang dimaksud. Bisa jadi Kalijodo, atau malah Kalibodri.
Orang Tionghoa, memang suka menjadikan rumahnya sebagai tempat berkumpul keluarga maka jangan heran apabila rumah mereka luas atau justru tinggi, “Nah, kalau yang ini rumah keluarga kaya, maka yang ini biasa saja.” Ucap Cici sambil menunjuk sebuah rumah tinggi yang tak jauh dari situ. “Rumah itu tadinya dua lantai awalnya, namun semakin bertambah anak, semakin bertambah pula tingginya.”. Pertumbuhan ke atas, bukan ke samping.
Dikisahkan pula bahwa ada dua orang generasi keluarga Souw yang terkenal, yaitu Souw Siauw Tjong dan Souw Siauw Keng. Mereka pulalah yang berperan pada pembangunan Vihara Dharma Bhakti dan Toa Se Bio.
Jalan di depan rumah Keluarga Souw dahulu dikenal dengan nama Patekoan, yang berarti delapan cangkir teh. Kisahnya berawal dari seorang kapiten yang mempunyai pedang panjang bernama Gan Djie dan istrinya. Dahulu pada masa-masa sebelum ada Indomaret dan warung-warung kecil, banyak orang-orang lalu lalang di depan rumahnya dan kehausan, dan oleh pasangan tersebut, disediakanlah delapan cangkir teh untuk mereka.
Setelah 1965 warga Indonesia harus mengganti nama-nama berbau Tionghoa menjadi yang lebih Indonesia dan kekinian, sehingga nama Jalan Patekoan ikut berubah nama menjadi Jalan Perniagaan.
Vihara Toa Se Bio
Berjalan sejenak dari Jalan Perniagaan, kami pun sampai di Vihara Toa Se Bio. Sebelum tiba, Cici telah menceritakan beberapa hal mengenai vihara ini, karena di dalam vihara tidak boleh memakai TOA yang akan mengganggu kekhusyukan umat yang sedang beribadah.
Dikatakannya, klenteng ini mempunyai tempat lilin yang berbentuk pagoda dan tertulis nama-nama keluarga. Biasanya satu keluarga mempunyai tempat lilin khusus yang disewa. Nantinya lilin-lilin tersebut akan didoakan oleh pihak vihara. Selain itu, vihara ini juga memiliki tempat menaruh hio dari tahun 1700-an.
Salah satu pesan Cici sebelum kami memasuki vihara ini adalah jangan mengganggu umat yang mau ibadah karena vihara tidak terlalu besar. Dan kalau mau foto agak lama ya di tempat abunya yang lebih lapang, namun kalau itu juga penuh, maka pindahlah.
Ketika saya sedang asyik memotret diantara kerumunan orang yang akan memasuki vihara, tiba-tiba Mama menarik ujung kaus saya, dan berseru “Rif, itu kan…”.
Berikutnya sesosok bayangan dari masa lalu melintas.
Di vihara ini, warna merah bertebaran sejauh mata memandang. Lampion, lilin-lilin raksasa, pilar bangunan, jilbab Mama, dan kaus saya, semuanya merah. Kami semua merayakan kemeriahan imlek.
It’s a Wonderful Imlek, indeed.
Karena vihara yang penuh sesak dengan orang ditambah asap dupa yang sering mampir di wajah innocent saya, saya memutuskan tak menghabiskan banyak waktu di dalam vihara. Kondisi tersebut masih ditambah dengan Cici yang sepertinya terburu-buru memanggil semua rombongan untuk segera bergegas menuju lokasi berikutnya.
Gereja Maria de Fatima
Tak jauh dari situ, ada sebuah gereja yang bernama Maria de Fatima. Dikisahkan oleh Cici, bahwa dahulu Maria pernah muncul menampakkan diri kepada tiga orang gembala yaitu Fransisco Jacinta, dan Lucia, di Fatima, sebuah daerah di Yerusalem. Oleh karena itu gereja ini dinamakan Maria de Fatima.
Dulunya, gereja ini adalah rumah dengan atap berukir sayap burung walet milik seorang kapiten bermarga Chu yang mempunyai empat kata mutiara, yang kalau diartikan berbunyi rezeki, umur panjang, kemakmuran, dan kedamaian. Pada tahun 1949, rumah ini beralih kepemilikan kepada para pastor berordo Jesuit yang datang dari Tiongkok. Mereka kemudian membeli rumah ini dan menjadikannya gereja. Di depan gereja ini terdapat patung singa batu, sebagai penjaga.
“Yuk masuk!” Ajak Cici sembari membuka pintu kecil di belakang patung singa batu. Kami segera mengikutinya dengan tenang hingga tiba pada sebuah altar. Yang unik dari altar ini adalah adanya perpaduan gereja dengan sentuhan imlek dengan warna merah dan kuning mendominasi.
“Gereja bersetting imlek ini, gak ditemukan di gereja lain.” Ujar Cici.
Setelah puas, kami berpindah ke bagian belakang gereja, di mana terdapat ruangan-ruangan lama yang masih terawat dengan baik. Jendela-jendela kayu bernuansa Tiongkok berwarna kuning tersebut nampak keren, apabila dijadikan objek foto, seperti di bawah ini.
Pada sebuah jendela yang terbuka, Mama sempat melihat seorang wanita yang sedang menyiapkan makanan. Menariknya, sang wanita tersebut bekerja sambil mengenakan jilbab. Sebuah pemandangan syahdu, yang mengingatkan bahwa kita harus hidup berdampingan antar agama.
Inilah potret kecil Indonesia yang seharusnya.
Vihara Dharma Bhakti
Karena keasyikan mengambil foto di halaman belakang gereja, saya sudah tidak menemukan Cici lagi ketika keluar dari gereja. Namun saya teringat pesannya yaitu “Habis ini kita akan mengunjungi Vihara Dharma Bhakti.”. Vihara terbesar yang ada di Petak Sembilan.
Dari teman saya Dwika, saya mengetahui bahwa Vihara Dharma Bhakti (atau dalam logat lokal: Cing Te Yen), adalah salah satu vihara paling tua yang paling sering masuk TV di Jakarta. Lokasinya besar, karena bentuknya seperti kompleks mini. Di dalamnya ada pelataran luas yang sering dijadikan tempat tidur para tunawisma, dan ada rumah abu, rumah sembahyang, dan lain sebagainya.
Viharanya sendiri terletak paling belakang, di mana pada bagian dalamnya terdapat banyak patung dewa seperti Buddha tertawa dan Dewi Kwan Im dan altar-altarnya.
Ratusan tunawisma (baik yang asli, maupun yang KW) nampak menggelepar meminta belas kasihan pengunjung ketika kami tiba di vihara ini. Kami segera memasuki bangunan pertama yang terletak di sisi kiri kami, dan meninggalkan mereka di luar.
Di dalam bangunan tersebut telah penuh dengan orang-orang yang sedang sembahyang dengan khusyuk dengan hio di tangan, sementara di sampingnya terdapat beberapa fotografer yang lalu lalang, termasuk satu dua orang kru televisi yang sedang mengadakan liputan. Beberapa keluarga Tionghoa yang datang untuk beribadah nampak sesekali bercengkerama dengan anaknya yang masih kecil, semantara beberapa orang tua menghabiskan waktunya untuk mendermakan jasanya di vihara ini.
Menurut Dwika, selaku perwakilan panda lokal Petak Sembilan, tempat ini sangat ramai pada waktu Ce It (tanggal 1 tiap bulan dalam penanggalan Imlek/Lunar) dan Cap Go (tanggal 15).
Pada tanggal-tanggal tersebut, bagi pengunjung yang mempunyai penyakit asma sebaiknya tidak mendekat, karena asap hio akan sangat banyak dan terasa menyesakkan bagai kenangan.
Dari keterangan yang saya dapatkan, ada satu titik yang istimewa di vihara ini, yaitu pada bagian tengah belakang, di mana titik tersebut tidak boleh difoto. Konon katanya, tempat tersebut adalah tempat bersemayamnya dewa pelindung vihara, sehingga tak boleh difoto.
Tepat ketika kami akan keluar dari vihara ini, hujan turun dengan derasnya, pertanda rezeki akan datang di hari imlek yang meriah. Di pintu keluar, saya mendapati Cici sedang mengumpulkan rombongannya, sambil melindungi diri dari hujan.
Selamat merayakan imlek, semuanya!
UPDATE

Vihara Dharma Bhakti kebakaran (sumber: MetroTV News)
Sehari sebelum artikel ini ditulis, kebakaran hebat melanda Vihara Dharma Bhakti yang merupakan salah satu #PesonaIndonesia dan menghanguskan sebagian besar bangunannya. Mari kita berdoa bersama supaya keadaaan segera pulih dan vihara dapat kembali beraktivitas sebagaimana mestinya.
Al-Fatihah.
Keren Riv!
Jadi nambah pengetahuan ku tentang etnis Tionghoa.
*tutup muka krn ga banyak tau tentang ini semua, padahal aku turunan Cina (50% lagi!) Aha 😉
LikeLike
Yay thanks!
Aku juga baru tahu kemarin kok, padahal aku suka nonton Yoko *lah*
LikeLike
Semoga Vihara ini cepat dalam proses pemulihan kembali setelah kebakaran. Kemarin aku lihat dibeberapa akun twitter dan televisi yang menginformasikan kebakarannya..
LikeLike
Aamiin, vihara ini merupakan salah satu bangunan penting bersejarah di Indonesia jadi sedih banget kalau lihat kondisinya sekarang 😦
LikeLike
Great Post… kayak ngikut walking tournya… terus ketemu ma cici-nya lagi ga?
Btw, kebakaran itu mengagetkan ya… ikutan prihatin…
LikeLike
Oh iya, cicinya nunggu di pintu keluar vihara waktu itu 😀
Iya aku juga kaget dengar beritanya, katanya sih karena gudang lilin kebakaran.
LikeLike
Ih keren postingannya, bener2 membuka mata bahwa ada tempat seperti ini di Jakarta 😀 *karena pada dasarnya saya kurang gaul*.
Semoga vihara Dharma Bhakti bisa segera direnovasi dan berfungsi lagi seperti semula, Amin!
LikeLike
Mari kita bergaul bersama kak! Keren itu tempatnya haha.
Aamiin buat doanya, semoga semua kembali normal 🙂
LikeLike
Selamat Imlek untuk yang merayakan! Have a prosperous year!
Keren tulisannya.
Berita bahwa wihara itu terbakar mengagetkan semua orang. Semoga tempat ibadah itu cepat pulih dan baik kembali :amin.
LikeLike
Iya betul, kayaknya baru kemarin ke sana terus sekarang kebakaran. Ini juga belum Cap Go Meh, kan ya?
Semoga semua segera pulih 😀
LikeLiked by 1 person
Yap, CGM sekitar besok atau Kamis.
LikeLike
Akupun sudah kesana \(^,^)/
btw aku penasaran sama “tiba-tiba Mama menarik ujung kaus saya, dan berseru “Rif, itu kan…” Berikutnya sesosok bayangan dari masa lalu melintas.”
SIAPAKAH SOSOK ITUH? *zoom in zoom out*
LikeLike
MB CUPAAAHHH DIAAMMMM!
*plester mulutnya pakai lakban*
LikeLike
Oooo ada tour guidenya ya Riev? Aku kemarin gak jadi ke Petak 9 karena…hujan. Jadi di rumah aja deh 😀
LikeLike
Woo dasaaaar, imlek ya pasti hujaaaan.
LikeLike
wah, mamanya mas arif cantik. kayak mbak gladies (semoga dibaca sama mbak gladies terus dikirimin brownies) :3
mas arif bisa bikin artikel runut kayak gini itu pas jalan sambil nyatet ya? atau seingatnya mas Arif aja?
LikeLike
Huahahahaha komentarnyaaa :))))))))
Caranya adalaaah *jeng jeng* bawa voice recorder dan pindahin rekamannya ke notes, sebelum dirangkai jadi cerita.
LikeLiked by 1 person
wah iya ya belum kepikiran sebelumnya, jadi kalau habis jalan-jalan kadang suka lupa cerita guidenya.Btw, aku paling suka kalau sudah ada tulisan kategori “mamacation” di blog ini 😀
salam dari Jambi mas 🙂
dudukpalingdepan.blogspot.com
LikeLike
Iyak, sekarang aku mulai ngebiasain bawa voice recorder, kalau gak lupa. 😀
Salam kenal juga, thanks sudah mampir dan membaca di sini, duduk paling belakang aja yuk!
LikeLike
oke dicatet. oh iya ini nitip alamat kosku buat teteh gladies ya mas, kali aja mau ngirim brownies *eh
LikeLike
……………
LikeLike
Aku dong udah pernah ikut #mamacation :’)
*Bangga*
Sedih ya denger Viharanya kebakar 😦 Hiks..
LikeLike
Beb :’)
makasih yah.
Iya sedih bangeeetttt. Semoga cepat beres renovasinya.
LikeLike
Semoga secepatnya bisa direnovasi agar bisa dipakai kembali ya 🙂
LikeLike
Aamiin! Kita semua juga berharap itu 🙂
LikeLike
keren mas, salam kenal ya.
LikeLike
Terima kasih, salam kenal juga 😀
LikeLike
Yah sayang sekali tempat ibadahnya terbakar, hmmm, semoga cepat di pugar ya
LikeLike
Aamiin! Semoga cepat beres, ini salah satu vihara tertua di Indonesia.
LikeLike
masih penasaran sama
1. “Rif, itu kan…”.
Berikutnya sesosok bayangan dari masa lalu melintas
2. itu foto yg sama tante kenapa matanya bang? unyuuuuu
duh bangg, gue kepengen banget ikut.. mana ada kak wira lagi.. open trip bareng donk lain kali bang..
LikeLike
Jawabannya:
1. no comment
2. Unyu kenapaaaa? Mata kok unyuuu.
Hayuklah ikutan, besok mau ke Semarang akhir bulan ini.
LikeLike
Mbokmu gaul ya beib, mau banget diajak halan2 bareng ke gang2 sempit ibukota. 🙂
#respek
Btw, ibupenyu di sini kok kurusan sih? *takjub* :)))
LikeLike
Iya beib, emang dasarnya suka jalan doi beib.
Ibu Penyu emang kurusan sekarang, beib. Biar kebayanya muat. #RESPECT
LikeLike
kamu tuh ingetin aku ama suamiku yg dulu jg sering jalan2 ama mamanya :D.. Kemana aja okelah, yg ptg ga dikutuk kalo nolak :p
Aku yg tinggal di jkt blm prnh ke vihara ini mas -__- Pdhl budaya Tionghoa ini menarik loh…pernah ngerasain 4 thn ngekos di keluarga China pas kuliah, dan itu seru ngeliat mrk melakukan ibadah ato ritual khusus di rumah, apalagi pas imlek ^o^…
LikeLike
Wah, jadi suaminya sekarang udah gak jalan-jalan sama mama lagi? 😀
Loh tinggalnya di mana? Sekarang malah viharanya kebakaran habis kan, hiks. Iya, seru juga pas imlekan ke sana, semoga imlek berikutnya sudah selesai direnovasi viharanya.
LikeLike
Kalo kita org jakarta mau keliling jakarta bisa ada tourguidenya juga ya? ._.
baru tau…. kirain kaya cuma buat wisatawan dari luar atau kalo emang kita join sama tour gitu…
Kak ariev kalo mau jalan2 gitu ajak kita2 dong.. bikin tour bareng gitu. Apa udah pernah e? ._. baru baca blog ini soale hehe
LikeLike
Iyaaa bisa kok pakai guide, coba cek blog jakartagoodguide deh. Atau colek @FaridArdian di twitter, dia biasa ngeguide gitu.
Ehehehe belum pernah sih kalau bikin tur bareng, belum ada yang nyeponsorin. Eh.
LikeLike
hai salam kenal…postingan ini sukses bikin perut kaku kebanyakan ngakak…langsung jatuh cinta sama cara kamu delivery catatan perjalanan, ngga bikin boring yet informatif. One of a kind ! Kesel ih telat banget nemu blog ini.Tapi sekarang resmi jadi big fan, terutama serial Mamacation 🙂 *,bookmark* Salam buat Mama 🙂
LikeLike
Hai salam kenal Iken.
Wah, jadi maluuuuu hahaha. Terima kasih banget udah ngeluangin waktu main ke blog ini, semoga betah terus ya! 😀
Aamiin, nanti disalamin hihi.
LikeLike
Huhuhu kebakaran sedih….salam kenal ya buat mama, kemarin ngga sempat ngobrol padahal tetanggaan *halah…
LikeLike
Iya sedih, semoga bisa direnovasi secepatnya. Main aja ke rumah mbak, nemenin Mama. Hahaha.
LikeLike
ulasan yang menarik…. this is how we used to be … together united make plural and beauty of indonesia
LikeLike
Thanks for reading, mas. Yes indeed, we are together, so don’t let the pluralism tears us apart 🙂
LikeLike