[WARNING: THIS POST CONTAINS SOME DISTURBING MATERIALS, READ AT YOUR OWN RISK.]

“Ada tiga hal yang membuat Jeneponto terkenal, yaitu ballo’ –minuman fermentasi yang terbuat dari buah talak–, garam, dan kuda.” Mas Wahyu, driver kami dalam perjalanan menuju Bira, menjelaskan ketika mobil kami memasuki Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan. “Oleh karena itu, banyak penduduk setempat yang berprofesi sebagai pedagang ballo’, petani garam, dan penjual kuda.”

Mendengar kata kuda, yang terbayang dalam pikiran saya adalah kuda-kuda perkasa yang digunakan untuk pacuan, maupun dimanfaatkan untuk menarik delman. Namun ternyata yang terlintas di mata saya adalah kuda Janeponto yang…

IMGP1796

…tercabik-cabik di atas meja.

Pandangan saya terpusat pada pemandangan yang tersaji di pinggir jalan raya Jeneponto, di mana sebuah meja panjang menyajikan potongan-potongan daging kuda segar, lengkap dengan kepalanya yang masih utuh. Saya meminta Mas Wahyu menepikan mobil, dan menemani saya untuk melihat lapak yang dijaga beberapa orang daeng Jeneponto tersebut.

“Permisi, Mas.” Sapa saya ke penjual yang mengenakan polo shirt bergaris horizontal. “Boleh lihat-lihat, ya?”

Si penjual tersenyum, dan berkata sesuatu dalam bahasa –yang saya duga sebagai bahasa– Bugis atau Makassar. Kemudian Mas Wahyu menjelaskan maksud kedatangan saya ke si penjual, dan dia pun mempersilakan saya untuk melihat-lihat.

IMGP1798

Sesuatu yang tak dijual di TokoBagus.

“Kalau kayak gini, berapa sekilonya, Mas?” Tanya saya.

“Ini sekilonya 75.000 rupiah.” Jelasnya, sembari bercerita bahwa semua yang tersaji di meja berasal dari satu ekor kuda yang baru saja disembelih. Dia juga mengatakan bahwa penduduk Jeneponto sangat suka makan kuda dan haram hukumnya –serta dapat menjadi cemoohan– jika pada suatu pesta pernikahan tidak ada sajian kuda. Walaupun belum ada kajian medis yang akurat, masyarakat Janeponto percaya bahwa daging kuda memiliki beberapa khasiat untuk tubuh. Misalnya untuk menambah stamina pria, hingga mampu menghindarkan pemakannya dari penyakit tetanus karena daging kuda memiliki zat-zat anti tetanus.

“Biasanya dimasak apa Mas?”

“Wah ya macam-macam, hehehe.” Jawabnya sambil terkekeh. “Tergantung selera si pembeli mau diapakan. Namun yang umum ya dibuat konro atau coto, juga ataupun gantala jarang.”

“Gantala jarang?”

Mendengar kebingungan saya, Mas Wahyu menjelaskan bahwa gantala jarang adalah makanan wajib yang harus disediakan dalam suatu pesta pernikahan, di mana daging kuda direbus dengan garam dan bumbu-bumbu khusus, dan terkadang dicampur dengan darah untuk menambah cita rasanya.

“Eh Mas, boleh ambil fotonya lagi?”

Pemuda yang lain langsung mendekati kepala kuda, mengangkat bibir bagian atas kuda yang masih dihinggapi beberapa ekor lalat –sehingga muncullah seringai dari si kepala kuda– dan terkekeh “Ini biar senyum, kudanya.”.

“……………”

IMGP1797

Smile, you’re on my camera.

“Kalau untuk cowok atau cewek, sama harganya, Mas?”

“Sama saja sih.” Pria yang lain menjelaskan. “Tergantung selera. Cuma kalau yang cewek lebih banyak lemaknya.”

“Ooh.” Saya mengangguk, dan sempat berpikir kalau cewek memang ditakdirkan memiliki lebih banyak lemak, mengapa mereka sering marah kalau dibilang gemuk?

“Oh iya, kalau beli satu ekor kuda memang berapa harganya?”

“Ya kalau yang seukuran ini, sekitar tujuh setengah juta per ekornya.” Lebih murah dibanding harga sapi kurban, batin saya.

“Kalau kepalanya sendiri, biasanya dimasak apa, Mas?”

“Tergantung selera sih, cuma biasanya dimakan otaknya, dan itu sangat enak.” Tukasnya lagi sambil menjambak rambut kuda yang masih menempel di kepala yang terpenggal dan mengangkatnya.

Zombie eats human’s brain, and Janeponto’s man eats horse’s brain. Brain food chain.

IMGP1800

Bodyless horse!

“Kepala ini saja beratnya bisa tiga puluh kilo!” Pria itu berseru, yang saya balas dengan membidikkan lensa kamera saya padanya.

“Kalau gini biasanya sehari habis gak, Mas?” Saya menunjuk potongan daging yang tersisa di atas meja.

“Ya mudah-mudahan saja habis, hehehe.” Jawabnya, yang kemudian saya aminkan dalam hati.

Sekadar informasi, bagian paling mahal dan favorit dari seekor kuda jantan adalah penisnya, yang berukuran jumbo –dan membuat minder sebagian besar pria Asia– dan bisa mencapai berat satu kilo yang dipercaya berkhasiat menambah vitalitas pria dewasa. Sama seperti kelapa yang bermanfaat mulai dari akar hingga daun, kuda pun demikian. Rambut kepala dan ekornya bisa dimanfaatkan untuk sapu, kotorannya bisa untuk pupuk tanaman, sementara kulitnya bisa dijual kepada pengrajin kulit, walaupun harganya tidak lebih mahal dari kulit kerbau atau sapi.

I wonder if Jeneponto has Family Mart, maybe they will sell crispy (horse) skin as daily snack.

[CAUTION: IF YOU FEEL SICK, PLEASE STOP READ HERE. BUT YOU CAN CONTINUE IF YOU’RE BRAVE ENOUGH.]

IMGP1803

Kuda Jeneponto semasa hidupnya.

Berbeda dengan daerah lain yang menggunakan kuda sebagai tenaga pembantu manusia dalam bekerja, kebanyakan kuda di Jeneponto (tragisnya) justru dimakan sebagai konsumsi harian penduduk setempat –walaupun beberapa kuda beruntung dimanfaatkan juga sebagai alat transportasi–, dan sungguh hal yang patut disayangkan apabila sudah tiba di Jeneponto –yang hanya memiliki waktu tempuh sekitar dua jam dari Makassar– namun tidak mencicipi sajian kuda yang menjadi ciri khas dan kebanggaannya.

Pada hari yang dihiasi dengan rintik gerimis itu, Mas Wahyu menepikan Avanzanya di seberang sebuah pasar di Janeponto, tepatnya di depan sebuah warung yang menyediakan masakan coto kuda dan konro kuda, bertuliskan mahakarya kita.

“Ayo kita makan!”

IMGP1787

Sedia: Coto Kuda & Konro Kuda

Saya memasuki warung tersebut dengan perasaan campur aduk, antara penasaran ingin mencicipi, dan geli bercampur jijik setelah menyaksikan potongan-potongan daging kuda yang dipajang di pinggir jalan. Apalagi di depan pintu masuk warung tersebut, duduk seorang pria dengan timbangan daging di sampingnya, yang berjualan jeroan kuda yang ditempatkan dalam gerobak besinya.

IMGP1795

Jeroan kuda, mau?

Tampak beberapa pria sedang menikmati coto maupun konro dengan lahapnya di dalam warung tersebut, sementara penjualnya sendiri adalah beberapa wanita yang nampak semangat sekali menawarkan menu khas warung tersebut. Harga yang tertera di tembok kayu warung tersebut cukup terjangkau, yaitu Rp. 15.000,- untuk coto kuda dan Rp. 20.000,- untuk konro kuda belum termasuk buras dan ketupat.

Saya memilih duduk pada meja pertama di depan pintu yang menghadap ke arah jalan raya. Udara dingin dan rasa penasaran akhirnya membuat saya memutuskan untuk memesan konro kuda, selain karena alasan konro kuda memiliki porsi yang lebih besar dengan harga yang hanya berbeda lima ribu rupiah. Prinsip ekonomi.

Konro, merupakan makanan khas Sulawesi Selatan yang dibuat dari iga yang direbus bersama dengan sejumlah bumbu seperti ketumbar, kayumanis, cengkeh, daun salam, lengkuas, garam dan air asam jawa. Setelah matang, dapat ditambahkan kecap, sambal dan sedikit perasan jeruk nipis supaya rasanya makin nikmat. Dan karena ini di Jeneponto, jenis konro yang disajikan adalah konro kuda.

IMGP1789

Dare to try?

Tak perlu menunggu waktu lama untuk dapat menikmati konro spesial khas Jeneponto ini, karena hanya perlu bersabar beberapa menit sebelum semangkok konro panas hadir di atas meja. Aroma rempah yang menempel pada asap yang mengepul, perlahan masuk ke dalam lubang hidung saya. Ludah saya perlahan turun ke dalam, pertanda saya ingin segera menikmati makanan ini.

Mangkok yang kecil terlihat penuh sesak dengan potongan-potongan iga yang dijejalkan ke dalamnya. Saya mencoba menikmati kuahnya terlebih dahulu, sebelum masuk ke menu utamanya. Rasa bumbu rempah pada kuahnya sangat kuat, dan bahkan lebih kuat daripada konro karebosi yang saya makan di hari sebelumnya, efeknya langsung memberikan rasa hangat di badan. Lalu saya mengangkat sepotong ruas iga dengan tangan, dan memberanikan diri untuk memasukkanya ke dalam mulut.

IMGP1790

Let’s try!

HAP! Saya menggigit daging yang ternyata teksturnya lebih alot daripada daging kerbau yang saya makan di Toraja, sementara aromanya juga lebih prengus daripada daging sapi yang saya dapatkan dari masjid hasil kurban kemarin. Sementara rasanya sendiri, sangatlah gurih dan nikmat. Setelah mencoba kuah orisinalnya, saya mencoba memadupadankan rasanya dengan kecap, jeruk nipis, dan sambal yang tersedia di meja. Udara dingin yang menyerbu sebelumnya pun sirna.

Tepat ketika konro telah habis dari mangkoknya, saya merasakan aliran darah mengalir sangat deras ke otak. Dan saya merasa sedikit pusing. Sisi positif dari makanan ini adalah dapat memberikan gairah dan semangat seketika, sementara sisi negatifnya bagi saya kala itu adalah, saya belum beristri.

***

IMGP1956

Keadaan alam Jeneponto

Diantara kabupaten lain di Sulawesi Selatan, Jeneponto adalah Kabupaten paling tandus yang ada di sana, sangat jauh jika dibandingkan dengan Kabupaten Bantaeng yang –hijau dengan sawahnya dan– berbatasan langsung dengannya. Menariknya, justru ladang-ladang tandus itulah yang menghidupi dan memberi makan kuda-kuda Jeneponto. Per tahun 2012, tercatat jumlah kuda yang berada di Jeneponto adalah sebanyak kurang lebih 25.227 ekor, yang membuat Jeneponto dikenal sebagai –kota kuda, juga sebagai– penghasil kuda nomor satu di Sulawesi Selatan.

Konon, kebiasaan makan daging kuda –ditambah dengan mengkonsumsi ballo’ yang beralkohol– membuat penduduk Jeneponto dikenal sebagai penduduk yang berwatak keras dan tak mau mengalah. Namun, ketika tiba di sini, saya selalu disambut senyum manis mulai dari penjual kuda, penjual konro kuda, hingga si kepala kuda itu sendiri.

Apabila kebetulan kamu sedang melakukan perjalanan dari Makassar ke Bira atau sebaliknya, singgah sejenak di Jeneponto dan mencicipi hidangan kudanya adalah sebuah pengalaman yang sangat menyenangkan.

Trust me.