
[WARNING: THIS POST CONTAINS SOME DISTURBING MATERIALS, READ AT YOUR OWN RISK.]
“Ada tiga hal yang membuat Jeneponto terkenal, yaitu ballo’ –minuman fermentasi yang terbuat dari buah talak–, garam, dan kuda.” Mas Wahyu, driver kami dalam perjalanan menuju Bira, menjelaskan ketika mobil kami memasuki Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan. “Oleh karena itu, banyak penduduk setempat yang berprofesi sebagai pedagang ballo’, petani garam, dan penjual kuda.”
Mendengar kata kuda, yang terbayang dalam pikiran saya adalah kuda-kuda perkasa yang digunakan untuk pacuan, maupun dimanfaatkan untuk menarik delman. Namun ternyata yang terlintas di mata saya adalah kuda Janeponto yang…
Pandangan saya terpusat pada pemandangan yang tersaji di pinggir jalan raya Jeneponto, di mana sebuah meja panjang menyajikan potongan-potongan daging kuda segar, lengkap dengan kepalanya yang masih utuh. Saya meminta Mas Wahyu menepikan mobil, dan menemani saya untuk melihat lapak yang dijaga beberapa orang daeng Jeneponto tersebut.
“Permisi, Mas.” Sapa saya ke penjual yang mengenakan polo shirt bergaris horizontal. “Boleh lihat-lihat, ya?”
Si penjual tersenyum, dan berkata sesuatu dalam bahasa –yang saya duga sebagai bahasa– Bugis atau Makassar. Kemudian Mas Wahyu menjelaskan maksud kedatangan saya ke si penjual, dan dia pun mempersilakan saya untuk melihat-lihat.
“Kalau kayak gini, berapa sekilonya, Mas?” Tanya saya.
“Ini sekilonya 75.000 rupiah.” Jelasnya, sembari bercerita bahwa semua yang tersaji di meja berasal dari satu ekor kuda yang baru saja disembelih. Dia juga mengatakan bahwa penduduk Jeneponto sangat suka makan kuda dan haram hukumnya –serta dapat menjadi cemoohan– jika pada suatu pesta pernikahan tidak ada sajian kuda. Walaupun belum ada kajian medis yang akurat, masyarakat Janeponto percaya bahwa daging kuda memiliki beberapa khasiat untuk tubuh. Misalnya untuk menambah stamina pria, hingga mampu menghindarkan pemakannya dari penyakit tetanus karena daging kuda memiliki zat-zat anti tetanus.
“Biasanya dimasak apa Mas?”
“Wah ya macam-macam, hehehe.” Jawabnya sambil terkekeh. “Tergantung selera si pembeli mau diapakan. Namun yang umum ya dibuat konro atau coto, juga ataupun gantala jarang.”
“Gantala jarang?”
Mendengar kebingungan saya, Mas Wahyu menjelaskan bahwa gantala jarang adalah makanan wajib yang harus disediakan dalam suatu pesta pernikahan, di mana daging kuda direbus dengan garam dan bumbu-bumbu khusus, dan terkadang dicampur dengan darah untuk menambah cita rasanya.
“Eh Mas, boleh ambil fotonya lagi?”
Pemuda yang lain langsung mendekati kepala kuda, mengangkat bibir bagian atas kuda yang masih dihinggapi beberapa ekor lalat –sehingga muncullah seringai dari si kepala kuda– dan terkekeh “Ini biar senyum, kudanya.”.
“……………”
“Kalau untuk cowok atau cewek, sama harganya, Mas?”
“Sama saja sih.” Pria yang lain menjelaskan. “Tergantung selera. Cuma kalau yang cewek lebih banyak lemaknya.”
“Ooh.” Saya mengangguk, dan sempat berpikir kalau cewek memang ditakdirkan memiliki lebih banyak lemak, mengapa mereka sering marah kalau dibilang gemuk?
“Oh iya, kalau beli satu ekor kuda memang berapa harganya?”
“Ya kalau yang seukuran ini, sekitar tujuh setengah juta per ekornya.” Lebih murah dibanding harga sapi kurban, batin saya.
“Kalau kepalanya sendiri, biasanya dimasak apa, Mas?”
“Tergantung selera sih, cuma biasanya dimakan otaknya, dan itu sangat enak.” Tukasnya lagi sambil menjambak rambut kuda yang masih menempel di kepala yang terpenggal dan mengangkatnya.
Zombie eats human’s brain, and Janeponto’s man eats horse’s brain. Brain food chain.
“Kepala ini saja beratnya bisa tiga puluh kilo!” Pria itu berseru, yang saya balas dengan membidikkan lensa kamera saya padanya.
“Kalau gini biasanya sehari habis gak, Mas?” Saya menunjuk potongan daging yang tersisa di atas meja.
“Ya mudah-mudahan saja habis, hehehe.” Jawabnya, yang kemudian saya aminkan dalam hati.
Sekadar informasi, bagian paling mahal dan favorit dari seekor kuda jantan adalah penisnya, yang berukuran jumbo –dan membuat minder sebagian besar pria Asia– dan bisa mencapai berat satu kilo yang dipercaya berkhasiat menambah vitalitas pria dewasa. Sama seperti kelapa yang bermanfaat mulai dari akar hingga daun, kuda pun demikian. Rambut kepala dan ekornya bisa dimanfaatkan untuk sapu, kotorannya bisa untuk pupuk tanaman, sementara kulitnya bisa dijual kepada pengrajin kulit, walaupun harganya tidak lebih mahal dari kulit kerbau atau sapi.
I wonder if Jeneponto has Family Mart, maybe they will sell crispy (horse) skin as daily snack.
[CAUTION: IF YOU FEEL SICK, PLEASE STOP READ HERE. BUT YOU CAN CONTINUE IF YOU’RE BRAVE ENOUGH.]
Berbeda dengan daerah lain yang menggunakan kuda sebagai tenaga pembantu manusia dalam bekerja, kebanyakan kuda di Jeneponto (tragisnya) justru dimakan sebagai konsumsi harian penduduk setempat –walaupun beberapa kuda beruntung dimanfaatkan juga sebagai alat transportasi–, dan sungguh hal yang patut disayangkan apabila sudah tiba di Jeneponto –yang hanya memiliki waktu tempuh sekitar dua jam dari Makassar– namun tidak mencicipi sajian kuda yang menjadi ciri khas dan kebanggaannya.
Pada hari yang dihiasi dengan rintik gerimis itu, Mas Wahyu menepikan Avanzanya di seberang sebuah pasar di Janeponto, tepatnya di depan sebuah warung yang menyediakan masakan coto kuda dan konro kuda, bertuliskan mahakarya kita.
“Ayo kita makan!”
Saya memasuki warung tersebut dengan perasaan campur aduk, antara penasaran ingin mencicipi, dan geli bercampur jijik setelah menyaksikan potongan-potongan daging kuda yang dipajang di pinggir jalan. Apalagi di depan pintu masuk warung tersebut, duduk seorang pria dengan timbangan daging di sampingnya, yang berjualan jeroan kuda yang ditempatkan dalam gerobak besinya.
Tampak beberapa pria sedang menikmati coto maupun konro dengan lahapnya di dalam warung tersebut, sementara penjualnya sendiri adalah beberapa wanita yang nampak semangat sekali menawarkan menu khas warung tersebut. Harga yang tertera di tembok kayu warung tersebut cukup terjangkau, yaitu Rp. 15.000,- untuk coto kuda dan Rp. 20.000,- untuk konro kuda belum termasuk buras dan ketupat.
Saya memilih duduk pada meja pertama di depan pintu yang menghadap ke arah jalan raya. Udara dingin dan rasa penasaran akhirnya membuat saya memutuskan untuk memesan konro kuda, selain karena alasan konro kuda memiliki porsi yang lebih besar dengan harga yang hanya berbeda lima ribu rupiah. Prinsip ekonomi.
Konro, merupakan makanan khas Sulawesi Selatan yang dibuat dari iga yang direbus bersama dengan sejumlah bumbu seperti ketumbar, kayumanis, cengkeh, daun salam, lengkuas, garam dan air asam jawa. Setelah matang, dapat ditambahkan kecap, sambal dan sedikit perasan jeruk nipis supaya rasanya makin nikmat. Dan karena ini di Jeneponto, jenis konro yang disajikan adalah konro kuda.
Tak perlu menunggu waktu lama untuk dapat menikmati konro spesial khas Jeneponto ini, karena hanya perlu bersabar beberapa menit sebelum semangkok konro panas hadir di atas meja. Aroma rempah yang menempel pada asap yang mengepul, perlahan masuk ke dalam lubang hidung saya. Ludah saya perlahan turun ke dalam, pertanda saya ingin segera menikmati makanan ini.
Mangkok yang kecil terlihat penuh sesak dengan potongan-potongan iga yang dijejalkan ke dalamnya. Saya mencoba menikmati kuahnya terlebih dahulu, sebelum masuk ke menu utamanya. Rasa bumbu rempah pada kuahnya sangat kuat, dan bahkan lebih kuat daripada konro karebosi yang saya makan di hari sebelumnya, efeknya langsung memberikan rasa hangat di badan. Lalu saya mengangkat sepotong ruas iga dengan tangan, dan memberanikan diri untuk memasukkanya ke dalam mulut.
HAP! Saya menggigit daging yang ternyata teksturnya lebih alot daripada daging kerbau yang saya makan di Toraja, sementara aromanya juga lebih prengus daripada daging sapi yang saya dapatkan dari masjid hasil kurban kemarin. Sementara rasanya sendiri, sangatlah gurih dan nikmat. Setelah mencoba kuah orisinalnya, saya mencoba memadupadankan rasanya dengan kecap, jeruk nipis, dan sambal yang tersedia di meja. Udara dingin yang menyerbu sebelumnya pun sirna.
Tepat ketika konro telah habis dari mangkoknya, saya merasakan aliran darah mengalir sangat deras ke otak. Dan saya merasa sedikit pusing. Sisi positif dari makanan ini adalah dapat memberikan gairah dan semangat seketika, sementara sisi negatifnya bagi saya kala itu adalah, saya belum beristri.
***
Diantara kabupaten lain di Sulawesi Selatan, Jeneponto adalah Kabupaten paling tandus yang ada di sana, sangat jauh jika dibandingkan dengan Kabupaten Bantaeng yang –hijau dengan sawahnya dan– berbatasan langsung dengannya. Menariknya, justru ladang-ladang tandus itulah yang menghidupi dan memberi makan kuda-kuda Jeneponto. Per tahun 2012, tercatat jumlah kuda yang berada di Jeneponto adalah sebanyak kurang lebih 25.227 ekor, yang membuat Jeneponto dikenal sebagai –kota kuda, juga sebagai– penghasil kuda nomor satu di Sulawesi Selatan.
Konon, kebiasaan makan daging kuda –ditambah dengan mengkonsumsi ballo’ yang beralkohol– membuat penduduk Jeneponto dikenal sebagai penduduk yang berwatak keras dan tak mau mengalah. Namun, ketika tiba di sini, saya selalu disambut senyum manis mulai dari penjual kuda, penjual konro kuda, hingga si kepala kuda itu sendiri.
Apabila kebetulan kamu sedang melakukan perjalanan dari Makassar ke Bira atau sebaliknya, singgah sejenak di Jeneponto dan mencicipi hidangan kudanya adalah sebuah pengalaman yang sangat menyenangkan.
Trust me.
Tagged: Coto Kuda, Jeneponto, Konro Kuda, Makassar, Sulawesi Selatan
baru kali ini saya gak tergiur untuk ikutan makan apa yang abang makan.
LikeLike
Yah kamu, ayo makan dong. Enak loh ini.
*suapin*
LikeLike
“kalau cewek memang ditakdirkan memiliki lebih banyak lemak, mengapa mereka sering marah kalau dibilang gemuk?”
haha true story 😀
Oh ya mas, sya kebetulan tinggal di sul-sel dan sudah pernah dengar dengan masakan dari kuda, yah walaupun belum pernah coba, yang sya pernah dengar katanya daging kuda itu teksturnya agak keras dan ga enak makanya ga pengen nyoba, tp ternyata beda yah dgn yg ada di tulisan di atas. nice info banget mas. jadi pengen nyoba 🙂
LikeLike
Halo bro!
Wah tinggal di Sul Sel sebelah mana?
Kalau menurut saya sih enak ya, tapi ya itu, memang lebih alot dibanding sapi dan juga kolesterol tinggi jadinya bisa bikin langsung pusing hehehe. Tapi overall, worth to try kok daging kuda.
Ayo cobain 😀
LikeLike
saya di Palopo bro 🙂
LikeLike
Wah, seru kah Palopo, bro?
LikeLike
Dimasak rendang, mungkin enak juga yaa.
LikeLike
Tapi jadinya alot banget bukan kalau rendang?
LikeLike
hiksss kok ga tega ya liat kepala kuda nyengir gitu 😦
LikeLike
Duh. *gak tau mau komen apalagi* 😦
LikeLike
Kepala kudanya melas amat 😦
LikeLike
Tapi dia tetap tersenyum 😦
LikeLike
Kesian 😥
LikeLike
Maaf kak, hanya ini yang aku bisa 😦
LikeLike
aku sering juga bikin horse meat steak, enak banget dagingnya dan paling sehat, tapi itu ngeliat foto muka kuda jadi mikir2 lg mau bikin steak hiksss
LikeLike
Hiksss, nanti aku tutupin dulu deh muka kudanya pake topi KKK.
Mau dooong dimasakin horse meat steak :9
LikeLike
Gak berani coba 😦
LikeLike
yah cobain dong 😦
LikeLike
Ooooooo jd si ariev iri ama p*nis kuda #mengangguk angguk maklum
LikeLike
SEUS NINA!!!!
Mana katanya mau traktir makan siang!
LikeLike
Haha…habis makan kuda emang jadi tegang.. 😀
LikeLike
Enak tapi brooo hahaha.
LikeLike
ah, jadi pengen coba… rasanya gimana ya?
LikeLike
Enak bro! Tapi kolesterolnya tinggi.
LikeLike
jadi bukan mitos ya kalau makan kuda bikin tambah “semangat”?
LikeLike
Bukan mitos Bang, habis makan langsung berasa sedikit “panas”.
LikeLike
kirain kak ariev bakalan moto “itu”-nya kuda juga. 😛
LikeLike
Jangan, nanti kamu pengin lagi. Hahaha.
Itunya udah laku kaaaak!
LikeLike
hahaha pasti kecewa gak kebagian, ya! 😛
LikeLike
wadduh judulnya seram amat.. ” tragis?’
ga tragis kok.. biasa aja tuh bwt mereka krna disana mmg udah tradisinya, hehehhe
trus bukan ‘ balok’ bang, tapi ballo’…… hihihi… (pernah coba?)
LikeLike
Hehehe, iya tragis buat yang gak biasa lihat kuda disembelih gitu, hahaha.
Wah, iya makasih masukannya! Nanti aku revisi. Iya, kemarin sempat nyobain, tapi bukan yang keras banget.
LikeLike
gw langsung minimize browser pas baca ini, kacian kudanya.. hiks.
LikeLike
Yah, maaf ya kuda 😦
LikeLike
kasiaan kudanyaa… tadi kirain kepala kuda boong2an abis matanya melek. ternyata kuda beneran yang tinggal kepalanya aja -_-
LikeLike
Kalau lihat sup kepala kakap kasihan juga gak? Hahaha.
Agak creepy sih kalau kuda ya 😀
LikeLike
kalo ikan kan bedaa.. walaupun penampakannya jg serem sih kl ikan2 yg kepalanya gede. lah ini kl ada sup kepala kuda di mangkok serem bgt hiiiiiii..
LikeLike
OMG kasian banget liat kudanya..
LikeLike
*tutupin matanya* *suapin konronya*
LikeLike
kalo makan sate kuda sih gw pernah, tapi klo makan coto / konro kuda belum. kayanya musti nyobain deh.
LikeLike
Iya, musti coba broh. Gue malah belum pernah tuh sate kuda, padahal lumayan banyak yang jualan. Enak gak?
LikeLike
Selain itu, jepot juga dikenal karena wataknya yang keras..knapa demikian?
LikeLike
Itu bersumber dari perbincangan antara sesama warga Sulawesi Selatan, di sana warga Jeneponto disegani karena hal ini.
LikeLike
yg plg lucu bang kalo ada pesta, ada beragam menu yg dihidangkan, semur kuda, sate kuda, coto kuda, gantala’, tp bahan dasarx sama.. kuda….
LikeLike
Huwooo, jadi pengin mampir ke pestanya kalau pas kebetulan lewat sana lagi \o/
LikeLike
Dua jam ya dari Makassar, okesip nanti klo ke Makassar mampir deh ^^
LikeLike
Siap, harus mampir kak biar perkasa! ^^
LikeLike
Mas, saat ke Bira rental mobilkah? Kalo iya, kena berapa? Bisakah saya minta CP drivernya? Tq
LikeLike
Waktu itu saya sewa 2 hari untuk satu mobil Avanza + driver kena sekitar sejutaan. Coba kontak Mas Wahyu 085342633633.
LikeLike
Tq
LikeLike
terimah kasih sdah menampilkan photo photo kampung halamanku…krna sya lahir di jeneponto.
cuma skrang sya sdah lama di negeri orang….?
konro memang makanan khas orang jeneponto dan makassar,sekali di cicipi maka akan membuat anda ketagihan…..
LikeLike
Wah, salam kenal sebelumnya Mas. Iya kemarin sempat mampir di Jeneponto, buat makan konro kuda yang mantap banget! Kalau boleh tahu sekarang di mana Mas? 😀
LikeLike
aiiiihhh, sadisss
makan daging kuda, sambil minum ballok
-___-
darah tinggi saya bisa kumat
hehe
LikeLike
Saya pun juga langsung pusing habis makan konro kuda!
Ente domisili di mana bro?
LikeLike
gilaaa…lgs laper liatnya.. tp itu foto kuda di atas, ga bgt deh mas… Ga tega liatnya… jgn sampe deh liat lgs pas nyembelihnya…
LikeLike
Iya, itu dipajang di pinggir jalan buat dijual untuk dimakan loh. Tapi emang bagi sebagian orang jadi kayak mengenaskan ya?
LikeLike
wah jadi penasaran pngen coba masak daging kuda, tapi sayang disini belum liat ada yg jual
LikeLike
Loh kamu di mana emang? Agak langka sih kalau daging kuda, di Semarang aja yang aku tahu gak banyak yang jual.
LikeLike
di bogor, ada juga kuda delman disini, daging kuda mah asa ga pernah liat ada yg jual, kebo aja cuma liat di bandung itupun dulu waktu di kampung
LikeLike
Iya, kalau di Bogor kayaknya susah ya. Jakarta aja kayaknya belum pernah lihat. Kalau kerbau enakan di Kudus, hihi.
LikeLike
trus katanya nich…kalau habis makan daging kuda…bisa tambah cepat kalau berlari…benar engga seh? 🙂
LikeLike
Wahahaha, masa sih? Tahu gitu aku makan yang banyak biar kuat lari sampai Manado.
LikeLike
iya makanya selain getol makan daging kuda harus training larinya ..:-) di tanggung bisa lari secepat kuda…cuma pakai 2 kaki ..wkwkwkwkwk….
LikeLike
Hahaha, padahal kan punya 3 kaki yaaa!
LikeLike
Menurut cerita juga (kalau bener loh cerita nya) kalau kuda yang sudah mati itu bisa jadi hantu ya?karena kuda di masih di bilang hewan keramat …iiiih seraaaam dech…gak mau ah makan daging kuda….:-(
LikeLike
Waduh gitu ya? Aku malah gak tahu :O
LikeLike
enak bro… baux ngak kaya sapi, kambing atau kerbau.. yahh dijamin halal… rugiiii ngak nyobaaa
LikeLike
enak sekali…. bau dan rasanya ngak sama dengan sapi kambing dan kerbau… masih kategori halal broo….., aku orang jeneponto asli
LikeLike
Haha iya emang, tapi strong banget dagingnya haha! Salam kenal broooo!
LikeLike
http://www.wisataterpopuler.com/
LikeLike