Bray.” Sebuah chat masuk melalui WhatsApp di pertengahan Oktober kemarin, dari Galang, seorang sahabat yang sudah saya kenal lebih dari lima tahun –lebih lama dari masa pemerintahan Jokowi-JK “Bulan depan, gue mau ke Bali nih.”. Wah, tumben. Saya membatin, mengingat sahabat tersebut bukan tipe orang yang rajin jalan-jalan, dengan kemungkinan antara tidak punya uang, tidak punya waktu, ataupun tidak punya dua-duanya.

“Sama pacar, Bray?” Pertanyaan berikutnya saya lontarkan, mengingat Galang baru memproklamirkan kalau dia sudah mempunyai pacar, lagi.

“Enggak, sama si Wandy.” Wandy, adalah nama sahabat saya yang lainnya, yang pada beberapa bulan lalu, kami sempat menghabiskan waktu bersama-sama di Singapura dan Batam, menonton konser Foo Fighters.

“Loh, dalam rangka apa?”

Dalam sebuah grup WhatsApp yang berisi kami bertiga (saya, Galang, dan Wandy –bukan saya, Galang, dan pacar Galang), Wandy menceritakan bahwa tujuan kepergiannya ke Bali adalah karena seorang wanita. Ya apa lagi yang bisa membuatnya segila itu kalau bukan karena wanita, sepakbola, atau narkoba. Yang terakhir naudzubillah min dzalik.

Nusa Penida

Singkat cerita, Wandy ingin ke Bali karena mengejar pacarnya yang berencana ke Bali dalam rangka acara keluarga. Dia mengajak Galang untuk menemaninya menghabiskan waktu sesiangan menunggu pacarnya selesai mengikuti acara keluarga, sebelum dapat bertemu dengannya di waktu malam. Galang, yang memang sudah lama tidak liburan –dan butuh waktu sesaat untuk melarikan diri dari suasana Jakarta, mengiyakan hal tersebut dalam tempo yang secepat-cepatnya, walaupun di Bali dia hanya akan jadi pelarian sesaat.

“Hmm, menarik.” Saya, yang belum pernah pergi bertiga bersama mereka pada perjalanan yang cukup jauh pun tergoda untuk melakukan perjalanan dadakan, seperti tahu bulat. “Apa gue ikut juga ya?”

“AYO LAH IKUT SAJA, KAN WEEKEND, JADI GAK PERLU CUTI!”


Perkara weekend dan tidak perlu cuti memang sangat cocok untuk saya yang pegawai kantoran, namun perkara bagi seorang pegawai kantoran yang sudah menikah bukan hanya itu, melainkan –yang terpenting adalah, izin dari istri.

Mengurus izin dari istri ini sedikit susah-susah gampang, karena saya harus berbaik-baik dulu padanya supaya mau ditinggal jalan-jalan ketika akhir pekan.

“Nanti uang belanja aku tambahin deh.”, “Kalau cuma weekend, aku takut kamu kecapekan.”, “Ini sama anak-anak kok, aman, bukan sama istri orang.” adalah beberapa alasan yang dapat digunakan untuk mengurus perizinan. Akhirnya, setelah negosiasi yang sedikit lebih alot daripada Perjanjian Renville karena melibatkan perasaan, izin pun saya dapatkan.

Berikutnya, tinggal memesan tiket pesawat dan hotel di Traveloka, guna menyusul Galang dan Wandy yang sudah memesan terlebih dahulu. Saya hanya bisa bepergian mulai Jumat malam hingga Minggu malam, sementara Galang dan Wandy sudah tiba di Bali pada hari Kamis.

Traveloka Mobile App

Salah satu pertimbangan saya menggunakan Traveloka adalah adanya fitur penjualan produk berupa Paket “Flight + Hotel” yang memberikan harga lebih hemat, dan proses booking yang lebih praktis. Lumayan kan, kalau bisa lebih hemat dan cepat? Selain itu, yang dimaksud ‘paket’ di sini tidaklah strict, karena kombinasi paketnya bisa diubah sesuai kebutuhan, jadi kamu bisa mengubah pilihan pesawat atau hotel sesuai dengan kebutuhanmu.

Sekadar informasi, proses booking tersebut semua saya lakukan dalam genggaman, dengan menggunakan aplikasi Traveloka di smartphone, dengan langkah-langkah sebagai berikut:

  1. Memilih fitur “Flight + Hotel” pada halaman muka aplikasi Traveloka, dengan ikon yang berwarna Ungu, tanpa Pasha.
  2. Melakukan input detail penerbangan (asal kota, destinasi tujuan, tanggal penerbangan, jumlah penumpang, dan kelas penerbangan) sebelum melangkah ke proses berikutnya.
  3. Menambahkan informasi detail penginapan, yang meliputi kota tujuan, tanggal mulai menginap, durasi lamanya menginap, total tamu, dan jumlah kamar yang diinginkan.
  4. Sistem secara otomatis akan memberikan pilihan-pilihan hotel yang dapat dipilih, dari mulai hotel budget, hingga hotel mewah, semuanya ada, dan tinggal pilih!

    This slideshow requires JavaScript.

  5. Apabila hotel sudah, maka jadwal penerbangan juga dapat disesuaikan sesuai dengan kebutuhan. Saya yang pekerja kantoran, tentu saja memilih jadwal berangkat di Jumat malam, supaya tidak mengurangi jam kerja di kantor dan terkena pemotongan gaji.
  6. Lakukanlah pembayaran, bisa dengan kartu kredit, mobile banking, juga melalui mesin ATM, pokoknya hampir semua metode pembayaran ada, kecuali kasbon.
  7. Dalam waktu kurang dari setengah jam, saya sudah memperolah bukti pemesanan tiket pesawat dan hotel di Bali, dengan diskon harga paket yang melebihi enam ratus ribu rupiah, sungguh sangat lumayan mengingat pembelian dilakukan di tanggal tua dan hanya berselang beberapa minggu dari keberangkatan.

Sungguh, proses pembelian tiket pesawat dan pemesanan hotel yang sangat mudah, cepat, dan tidak terasa menyakitkan. Namun pada hari H keberangkatan, sebuah kabar buruk datang dari Galang, di saat saya sudah berada di dalam taksi menuju bandara.


“Bokapnya pacar gue meninggal.” Ujarnya melalui WhatsApp di malam itu. “Malam ini gue langsung balik ke Jakarta lagi.”

BLAR! Bagai tersambar petir di Danau Maracaibo Venezuela, saya terhenyak membaca berita tersebut. Sungguh, kabar buruk memang tidak pernah datang di waktu yang tepat, apalagi di Indonesia. Sesaat, saya bimbang apakah harus membatalkan perjalanan ataukah tetap melanjutkan petualangan.

“Sudah, lu tetap berangkat saja.” Ujar Galang. “Gak apa-apa.”

“Gue turut berduka ya, Bray.” Saya berusaha menenangkan. “Lalu, tiket lu bagaimana yang buat balik ke Jakarta?”

“Sudah gue refund.” Jawabnya “Kan pakai Traveloka.”

Malam itu, kami berpapasan di udara. Saya terbang dari Jakarta menuju Bali, sementara Galang dari Bali menuju Jakarta. Di bandara I Gusti Ngurah Rai, Bali, Wandy sudah menunggu dengan mobil sewaan yang seharusnya kami sewa untuk bertiga.

“Masih sesuai rencana untuk besok?” Saya memastikan jadwal ke Wandy dalam perjalanan dari bandara ke hotel, yang diwarnai dengan adegan mampir ke Warung Indomie malam itu.

“Yoi, Min.” Min, adalah panggilan Wandy ke saya, yang berlaku juga sebaliknya. Kata ‘Min’ di sini bukan digunakan karena saya mirip Lee Min Ho, melainkan merupakan kependekan dari ‘admin’ karena kami berdua adalah dua orang yang cukup aktif di media sosial. “Jadi ke Nusa Penida, kita?”

“Jadi dong, berangkat pukul delapan yuk!” Ajak saya dengan bersemangat, walaupun pada kenyataannya, saya baru bangun pukul sembilan pagi di hari Sabtu esoknya.


Walaupun terlambat dan diwarnai rintik hujan, saya dan Wandy tetap mematuhi agenda sesuai rencana. Jadwal yang awalnya menyeberang dari Pelabuhan Sanur ke Nusa Penida pukul sembilan, kami terpaksa mundur ke pukul sebelas. Beruntungnya, kami masih dapat menikmati sajian Ikan Goreng dan Sup Ikan Mak Beng yang legendaris itu sebelum menyeberang.

Sekadar informasi, biaya kapal penyeberangan untuk mengunjungi Nusa Penida adalah Rp200.000,- untuk pulang-pergi, dan berlaku kepada wisatawan domestik, sementara untuk turis asing harganya dua kali lipat.

Pilihan jadwal kapal kembali ke Pelabuhan Sanur yang terbatas, ditambah rencana Wandy bermalam mingguan bersama pacarnya, praktis membuat kami hanya memiliki waktu sekitar lima jam di Nusa Penida. Sebuah kondisi yang mengharuskan kami untuk menyewa sepeda motor –yang kondisinya sedikit mengenaskan– supaya cepat, dibandingkan harus berjalan kaki keliling pulau Nusa Penida, sambil berharap tidak tersesat seperti Dora.

Tanpa adanya Galang yang meninggalkan kami berdua, saya dan Wandy hanya bisa pasrah apabila terlihat seperti pasangan gay yang sedang berbulan madu di Nusa Penida.

Aduh. Cocok gak?

Nusa Penida

Lalu, apakah cukup waktu lima jam untuk berkeliling Nusa Penida? Tentu saja tidak. Namun dengan waktu yang terbatas tersebut, saya mampu mengunjungi beberapa spot cantik yang merupakan produk unggulan Nusa Penida, yaitu:

A. Pantai Kelingking

Pantai Kelingking, mungkin adalah alasan utama mengapa saya getol ingin pergi ke Nusa Penida. Banyaknya unggahan Instagram dari teman-teman tentang pantai ini, telah membuat saya penasaran, namun ternyata untuk bisa sampai ke sana, dibutuhkan usaha yang tidaklah mudah.

Berbeda dengan Nusa Lembongan yang memiliki banyak penunjuk arah yang cukup jelas, Nusa Penida tidaklah demikian, di mana kami masih harus bertanya kepada penduduk setempat bagaimana cara mencapai Pantai Kelingking. Si bapak pemilik sepeda motor cuma mengatakan, pokoknya lurus saja ikuti jalan, nanti belok kanan. That’s it!

Hasilnya, kami tiba di sebuah tugu dengan baliho Prabowo dan Gerindra di belakangnya.

Belum lagi kondisi jalanan yang hancur di sebagian besar perjalanan, sehingga membuat kami sedikit melambat. Seharusnya, dengan potensi wisata sebesar Nusa Penida ini, pemerintah bisa lebih tanggap kepada pembangunan infrastruktur di sini, bukan hanya dengan menggembar-gemborkan “Bali Baru” saja, sementara pembangunan di seputaran Bali belum merata.

Dengan berbagai kondisi tersebut, alhasil, kami hanya dapat mengandalkan arah melewati perkampungan lokal dan alam yang masih asri dengan menggunakan Google Maps dan operator Telkomsel milik Wandy –sementara sinyal Indosat di smartphone saya sangat tidak stabil, di antara No Service dan Edge.

Akhirnya, setelah menempuh perjalanan hampir satu jam, termasuk beberapa kali bertanya dan mengisi bensin, kami tiba di Pantai Kelingking yang saat itu ramai dengan pengunjung. Cuma dengan membayar biaya parkir sebesar Rp5.000,- kami dapat memasuki wilayah tersebut.

Karena tergoda dengan kemolekan kelapa muda di teriknya hari itu, kami pun tidak langsung mencari si Pantai Kelingking yang Instagrammable, namun malah bersantai sejenak di salah satu warung kecil di sana.

Setelahnya, barulah kami mencari di mana best spot untuk menikmati pantai yang menurut saya pemandangannya mirip dengan Navagio Beach di Zakynthos, Yunani. Hasil yang didapatkan adalah, kami dapat menyewa sebuah panggung selfie dengan membayar Rp5.000,- per orangnya, untuk mendapatkan view Pantai Kelingking dari atas.

Kurang lebih, seperti ini pemandangannya.

Pantai Kelingking Nusa Penida

Setelah memperhatikannya, saya menyadari bahwa penamaan pantai ini menjadi Pantai Kelingking mungkin didasari karena wujudnya yang seperti posisi jari kelingking ketika kamu mengupil, benar tidak?

Di Pantai Kelingking, kami tidak berlama-lama –bahkan tidak sempat turun ke pantainya, karena waktu yang kami miliki, hanya tinggal tiga jam lagi. Lalu, selanjutnya, ke mana?

B. Angel’s Billabong

Tujuan kedua hari itu adalah Angel’s Billabong, yang apabila diartikan secara harafiah adalah ‘Kolam renang para bidadari’. Perjalanan ke sana pun cukup menantang, karena kembali kami hanya dapat mengandalkan informasi arah dari Google Maps di samping papan penunjuk jalan yang kadang-kadang alhamdulillah kalau ada.

Jalanan menuju ke sana pun tak jauh lebih baik daripada jalanan menuju Pantai Kelingking, malah lebih parah karena ada perbaikan jalan di salah satu sisi jalan, bercampur dengan jalanan tanah yang licin. Bermodal doa dan harapan, kami dapat menemukan tempat ini dan masuk ke tempat parkirnya dengan mengikhlaskan Rp5.000,- lagi.

Parkiran Angel's Billabong Nusa Penida

Dari arah tempat parkir sepeda motor, kami masih harus berjalan sejenak menuruni tangga yang dibuat semen dan melewati pinggiran tebing yang terus menerus dihantam ombak untuk dapat menemukan si kolam renang bidadari ini, dan hasilnya sedikit di luar perkiraan.

Angel’s Billabong yang terlihat menyenangkan dan indah di unggahan Instagram, ternyata sedang tidak bagus kala itu; airnya yang sedang dangkal dan sedikit keruh, dengan lumut yang mengambang di salah satu sisinya, membuatnya kurang sedap apabila difoto dan terasa kurang nyaman untuk berenang.

“Angel’s Billabong ini musiman bagusnya.” Ucap seorang teman, ketika saya menceritakan kondisi tempat ini beberapa hari setelahnya. “Kadang kelihatan bagus dan jernih, kadang ya seperti itu.”

Wajar saja, karena sebuah ‘billabong’ pada dasarnya adalah sebuah kolam yang terbentuk dari genangan air yang datang dari sungai atau sumber air lainnya, bukan kolam yang selalu teraliri air, seperti kolam lele. Dalam hal ini, Angel’s Billabong adalah sebuah ceruk yang airnya terkumpul dari hasil deburan ombak tinggi di laut.

Angel's Billabong Nusa Penida

Hari itu, kami memang tidak jadi berenang di kolam para bidadari, namun kami masih sempat menyaksikan para ‘bidadari’ yang berswafoto dan (memaksakan) berenang di sana. Sekadar informasi, walaupun namanya Angel’s Billabong, namun ketika ke sana, saya tidak menemukan adanya Angel Lelga, Angel Karamoy, juga Angelina Sondakh. Nama terakhir masih belum bisa jalan-jalan ke luar, katanya.

Setengah jam di sini, kami segera bergegas ke tujuan berikutnya, yaitu…

C. Broken Beach

Beruntungnya, Broken Beach terletak masih dalam satu lokasi yang sama dengan Angel’s Billabong, di mana kami dapat mencapainya dengan berjalan kaki melewati setapak sejauh kurang lebih 200 meter yang memang sudah ada di sana, tanpa perlu membayar biaya parkir lagi.

Setelah melewati lorong yang dibentuk dari tanaman yang melengkung, akhirnya kami tiba di sana beserta beberapa turis asing dari Jepang, atau Cina, atau Korea. Beberapa meter sebelum mencapainya, deburan ombak sudah terdengar sangat kuat, menyatu dengan hantamannya pada karang.

Kemudian saya melangkahkan kaki ke tebing, untuk melihat lebih dekat Broken Beach ini, dan mendapati pemandangan yang menakjubkan.

“Masha Allah!”

Broken Beach Nusa Penida

Sebuah pantai berpasir putih di bawah tebing menyambut kehadiran saya, dengan air laut berwarna toska yang menembus karang berwarna kecoklatan, sementara di seberangnya terdapat sebuah lorong alami di bawah bukit hijau yang mengalirkan air laut sehingga membentuk laguna di Broken Beach.

Rombongan turis lain juga tak henti mengagumi Broken Beach ini dengan perkataan “Wow!” ketika melihatnya, sungguh foto di atas tidak mampu menunjukkan keelokan Broken Beach tersebut.

Apalagi foto yang di bawah ini.

Broken Beach Nusa Penida

Sore itu, saya kembali ke pelabuhan dengan perasaan senang telah menghabiskan waktu lima jam di Nusa Penida, bahkan kehujanan di perjalanan pulang pun masih tidak dapat menghapuskan rasa senang tersebut.

Paling-paling hanya sedikit kesal ketika di malam harinya –iya di malam Minggu, ketika Wandy berkencan dengan pacarnya, sementara saya hanya bisa berdiam diri di kamar, sambil menyalakan laptop, lalu ngeblog.

Huvt.