Tidak seperti kebanyakan perjalanan yang berawal mulus, perjalanan kali ini dimulai dengan sebuah drama yang mengambil setting di bandara Soekarno Hatta –Tangerang, bukan Jakarta, Indonesia. Pukul empat pagi di hari Jumat, dan saya salah turun dari taksi, karena mengira China Airlines berangkat dari Terminal 2, seperti kebanyakan maskapai internasional lainnya. Walaupun tak lama kemudian, saya dapat tiba di check-in counter China Airlines, Terminal 3 Ultimate, dengan menggunakan jasa airport shuttle yang menghubungkan tiap-tiap terminal di sana.

Di sinilah drama sesungguhnya dimulai.

“Selamat pagi.” Sapa petugas di balik counter dengan ramah, sambil memeriksa dokumen yang saya berikan. “Kalau boleh tahu, waktu itu tiketnya apakah dibeli sendiri?”

“Tidak,” Jawab saya “Teman saya di Taiwan yang membelikan tiket, dengan menggunakan kartu kreditnya.”

“Maaf, tapi pembayaran tersebut belum dikonfirmasi ke maskapainya.” Jawab si petugas. “Jadi Bapak tidak bisa terbang pagi ini.”

“Apa?” Saya mencoba tetap tenang, walaupun sedikit panik karena waktu boarding tinggal satu jam lagi. “Lalu bagaimana solusinya? Saya ada liputan media di sana.”

“Ya teman bapak harus menelepon ke kantor maskapainya. Meminta konfirmasi atas pembelian tiket tersebut.” Jelasnya. “Demi keamanan bersama, supaya data kartu kredit tidak disalahgunakan.”

Berikutnya, saya memencet beberapa tombol di ponsel, melakukan panggilan internasional ke Taiwan, meminta teman saya di sana untuk melakukan konfirmasi. Hasilnya, tentu saja nihil, karena kantor maskapai di sana belum buka pagi itu, dan tidak ada layanan 24 jam dari China Airlines untuk masalah ini. Saya sudah menyebutkan nomor kartu kredit, beserta nama pemilik kartu kredit ke petugas counter, bahkan teman saya yang di Taiwan sudah berbicara dengan petugas melalui telepon namun sama saja, tetap, nir hasil.

“Tidak ada solusi lain?”

“Tidak ada, Pak.”

Okay, it sucks. China Airlines ternyata lebih payah daripada Pegadaian. Terakhir saya mengalami masalah seperti ini adalah di tahun 2013, ketika saya hendak terbang dari Mumbai ke Chennai namun lupa tidak membawa kartu kredit yang saya gunakan untuk membeli tiket tersebut. Namun hanya dengan menyebutkan empat angka belakang –yang alhamdulillah saya hapal, saya masih dibolehkan untuk terbang. Tapi ternyata hal ini tidak berlaku bagi maskapai nomor satu Taiwan, China Airlines, yang tetap tidak membolehkan saya terbang hari itu.

LER.

China-Airlines

Berhubung semua kebutuhan, akomodasi, dan transportasi di Taiwan sudah dipesan, maka mau tak mau saya harus mencari tiket penerbangan ke Taiwan pada hari tersebut, dan beruntungnya –mungkin rezeki anak yang baru pulang umrah, EVA Air –kompetitor dari China Airlines, masih memiliki jatah tiket untuk penerbangan sore hari. Tentunya dengan harga yang tidak terjangkau oleh anak kostan.

Pukul tujuh pagi, saya kembali lagi ke apartemen, setelah mendengar pengumuman bahwa pesawat China Airlines yang seharusnya saya naiki, sudah terbang meninggalkan Jakarta.

Terima kasih banyak China Airlines, karena telah membuat jadwal media trip yang seharusnya berlangsung pada long weekend menjadi berantakan.


Dari yang seharusnya tiba siang hari, saya baru mendarat di Taiwan Taoyuan International Airport pada malam harinya, sekali lagi terima kasih ke China Airlines, yang bahkan tidak memberikan kompensasi apa-apa selain permintaan maaf melalui Direct Message Twitter –itupun setelah saya mention.

Untungnya, drama hanya terjadi pagi itu, karena sisa perjalanan saya di Taipei dan sekitarnya selama tiga hari dua malam berlangsung lancar tanpa drama. Bruno Huang dan Rita Wen –perwakilan dari Taiwan Love & Fun yang menjemput saya malam itu, mutlak menjadi teman perjalanan yang sangat menyenangkan.

Proses pengecekan paspor dan imigrasi juga berlangsung sangat lancar, hanya menunjukkan Izin Masuk Bebas Visa Taiwan yang sudah didapatkan sebelumnya, saya pun diizinkan masuk. “Monggo, Mas.” Ucap si petugas dalam bahasa Mandarin, sepertinya.

Lalu, apa saja yang saya lakukan selama kurun waktu tersebut? Berikut adalah rangkumannya.

1. Menginap di Grand Hotel Taipei

Berhubung malam sudah larut –tanpa ada yang mengaduk, saya langsung diantarkan ke hotel, tanpa sempat mampir ke Shilin Night Market sesuai jadwal awal. Namun saya tidak menyesal, karena hotel yang dipilihkan untuk saya adalah Grand Hotel Taipei, yang merupakan hotel legendaris di Taiwan, dan sempat menjadi bangunan tertinggi di Taiwan dengan tinggi 87 meter selama kurun waktu 1973-1981.

Namun, bukan itu yang membuatnya menjadi salah satu hotel terindah yang pernah saya inapi, namun karena arsitektur oriental klasiknya yang membuatnya spesial. Sekarang, Grand Hotel Taipei tercatat sebagai “The Only Truly Chinese Palace Styled Hotel in The World”.

Grand Hotel Taipei

“So many important people stayed in this hotel, when they came to Taiwan.” Bruno menjelaskan, sambil menunjukkan foto-foto yang terpampang di salah satu tembok.

Tercatat, ada Bill Clinton (tanpa Monica Lewinsky), Lee Kuan Yeuw (yang baru saja berpulang dua tahun lalu), Nelson Mandela (yang mungkin diperankan oleh Morgan Freeman), hingga Grace Kelly (yang saya tahu namanya dari lagu Mika).

 

Kamar yang saya tempati pun, bukan sembarang kamar, karena saya mendapatkan kamar suite dengan pemandangan kota Taipei dari balkon hotel berdesain klasik yang lebih luas dari kamar kostan saya dulu. Kasurnya empuk, amenities lengkap dan bermerk, AC dingin, kulkas penuh, Wi-Fi pun kencang, namun sayang saya tidur sendirian.

Harapan saya, setelah mengunjungi hotel ini, maka foto saya dapat dipajang di samping Bill Clinton kelak.

2. Mengunjungi Golden Waterfall

Dari Grand Hotel yang terletak di Taipei City, kami bergerak pada siang hari menuju north coast untuk menuju daerah Jiufen dan Keelung, dengan rintik hujan yang menemani sepanjang perjalanan. Memang, salah satu tantangan berlibur di Taiwan adalah hujan yang bisa datang dan pergi seenak hati, seperti mantan.

Sepanjang perjalanan, kami sempat melewati beberapa spot yang fotogenic, seperti Yin Yang Sea dan Old Gold Factory, namun berhubung hujan yang cukup lebat, kami hanya sempat mampir sejenak di Golden Waterfall ini.

Golden Waterfall Taiwan

Lalu apa yang membuatnya disebut “Golden”? Well, memang tidak ada emas ANTAM untuk nikah massal Anies-Sandi di sana, namun warna keemasan yang menghiasi air terjun ini muncul akibat perpaduan curah hujan yang tinggi di daerah tambang yang berpadu dengan elemen-elemen mineral yang tertimbun di dasar sungai, hasilnya, tentu saja air terjun cantik yang akan terlihat lebih cantik kalau cuacanya sedang bagus.

3. Menjelajah Jiufen Old Street

Salah satu atraksi utama yang terletak dekat dengan Taipei dan dapat dicapai dalam perjalanan day trip adalah Jiufen Old Street, yang merupakan sebuah gang senggol yang akan membawamu serasa kembali ke masa lalu –masa-masa di mana Papa dan Mama kamu sedang memadu kasih di atas sepeda motor Astutinya, dengan para penjual makanan di kanan dan kiri jalan.

Favorit saya, adalah stinky tofu yang bau tapi enak, dan puding mangga yang tak akan cukup apabila hanya memakan satu, itupun icip-icip tester hasil minta pula.

Saya sudah dua kali mengunjungi Taiwan, dan dua-duanya selalu mampir ke Jiufen Old Street; untuk kunjungan berikutnya, saya tidak akan ragu untuk menjelajahnya lagi! Tapi semoga saja kelak tidak hujan, karena kalau hujan dan sedang dingin, maka enaknya …

4. Menyantap Sesame Oil Chicken Soup

“This is what Taiwanese eat for winter.” Jelas Bruno sambil menunjukkan komposisi makanan yang disajikan dalam panci mengkilap tersebut. “There are chicken, ginger, plum, also sesame oil inside, in order to keep us warm in the winter.”

“What is the name of this food?”

“It’s called 麻油雞, Ma-You-Ji, or Sesame Oil Chicken Soup.”

Sesame Oil Chicken Soup

Tapi, mana enak kalau cuma makan sup saja? Oleh karena itu, kami memesan menu tambahan seperti daging iris, telur dadar, ayam goreng, sayur, dan Chinese Tea.

Sudah cukup, belum dong, karena setelah itu, kami bergeser untuk…

5. Menikmati Wedang Ronde a la Taiwan

Nama sebenarnya adalah YuYuan, 芋圓, Taro Rice Balls, atau minuman hangat yang terbuat dari ubi ungu dan teman-temannya. Sebuah minuman yang mengingatkan saya akan wedang ronde langganan di belakang Masjid Istiqomah Ungaran –yang biasa disantap dengan sepiring tahu isi rebung.

Di Taiwan, memang tidak ada tahu isi rebung, namun YuYuan memiliki khasiat yang sama dengan wedang ronde, yaitu menghangatkan badan, tanpa perlu meminta bantuan Pamela Duo Serigala.

Wedang Ronde Taiwan

YuYuan ~ 芋圓 ~ Taro Rice Balls

Alkisah dahulu, si pembuat YuYuan hanya membuat minuman ini untuk keluarganya, namun karena respon yang didapatnya cukup baik –mungkin dari mulut ke mulut atau akibat bisik-bisik tetangga, maka dia mulai menjualnya untuk umum. Dari situ, Yuyuan mulai dikenal sebagai simbol penganan lokal Jiufen.

Konon katanya, walaupun banyak penjual YuYuan di seluruh Taiwan, namun tidak ada yang seenak yang dijual di Jiufen. (Source)

6. Berjalan-jalan di Keelung Night Market

Dengan berkendara sekitar 3o menit dari Jiufen, kami tiba di kota pelabuhan terbesar di utara Taiwan, yang bernama Keelung. Sekadar catatan, walaupun namanya Keelung, tapi dibacanya bukan Kee-lung, melainkan Jee-long. Jee yang panjang.

Kota ini adalah kota di mana kapal pesiar besar transit dan berlabuh untuk menaik-turunkan penumpang/ABK, termasuk salah seorang pemuda Indonesia yang saya temui dalam penerbangan ke Taiwan kemarin, mengaku datang ke Taiwan untuk bekerja di kapal pesiar.

Keelung

Namun yang kami cari sesungguhnya bukanlah kapal pesiar di Keelung, ataupun Jack – Rose di Titanic, melainkan sebuah pasar malam setempat yang notabene merupakan salah satu yang paling terkenal dan terbaik di Taiwan.

Sebuah pasar malam bernama “Miao Kou Night Market” atau “Temple Entrance Night Market” atau kalau masih susah menghapal, bisa disebut sebagai Keelung Night Market saja. Tidak akan ada yang marah, karena ini bukan seperti memindahkan ibu kota Israel ke Jerusalem.

Bukan tanpa alasan pasar malam ini disebutkan sebagai “Temple Entrance Night Market” karena terdapat sebuah kuil klasik tempat sembahyang di dalam pasar ini –dengan berbagai tempat makan dengan plang nama berbahasa Inggris di sekitar kuil.

Lalu, apa yang saya lakukan di Keelung Night Market? Tentunya adalah…

7. Mencoba Kuliner di Keelung Night Market

Berhubung letaknya yang dekat dengan pelabuhan, tak heran apabila pasar malam ini terkenal dengan sajian olahan seafood segarnya, seperti kaki kepiting goreng, cumi bakar barbecue, atau seperti yang saya makan tempo hari, sup seafood lezat berempah dengan sticky rice yang diolah menyerupai kwetiauw dan beberapa irisan daun kol setengah matang.

Dalam bahasa setempat, makanan ini disebut juga dengan DingBianCuo ~ 鼎邊銼.

“Are you full?” Tanya Bruno setelah saya menghabiskan porsi makan saya. Mereka enak, bisa sepiring berdua, sementara saya harus menghabiskannya sendiri. Dengan sajian makan di Jiufen yang berlimpah ditambah semangkok sup, rasanya saya langsung ingin diet mayo, namun saya teringat bahwa tidak ke Taiwan kalau belum menyantap Taiwanese Dessert, maka saya hanya bisa pasrah ketika mereka membawa saya ke salah satu restoran dessert yang terletak tak jauh dari kuil.

“Because, there is always place for a dessert.” Batin saya sambil memesan semangkuk es kacang merah dengan es krim susu kedelai di tengah mangkuk dan olahan tahu di sekitarnya.

8. Mampir ke Toko La New

Seperti Desy Ratnasari yang tak sengaja lewat depan rumahmu, saya pun tak sengaja masuk ke Toko La New di dekat Keelung Night Market karena menemani Bruno yang mencari kaus kaki di sana, ya walaupun saya tidak menemukan adanya tenda biru yang dihiasi indahnya janur kuning di dalamnya.

La New

Secara singkat, La New ini awalnya adalah sebuah merek lokal untuk alas kaki di Taiwan yang didirikan pada tahun 1996 oleh seorang bisnisman bernama Liu Bauyou, yang kemudian berkembang pesat hingga memproduksi berbagai macam busana, perlengkapan musim dingin, peralatan tulis, hingga perabotan rumah tangga. Sungguh peluang bisnis yang tidak disia-siakan.

Karena kualitasnya yang bagus, Bruno mengatakan bahwa dia selalu membeli sepatu dan kaus kaki merek ini.

9. Menginap di Motel a la Taiwan

“Have you ever stayed in a motel?” Tanya Bruno, dalam perjalanan dari Keelung. Saya mengangguk, dan menjawab bahwa saya pernah menginap di sebuah motel ketika berkunjung ke Washington di tahun 2014. “I mean, a Taiwanese motel.”

“No.” Jawab saya. “What’s the difference with other’s motels?”

“You will see.”

Taiwan Motel

Mobil kami bergerak masuk ke dalam sebuah gang, dengan papan petunjuk nama motel tersebut di sisi jalan besar. Dari situ, Bruno mengarahkan mobilnya ke pintu masuk bangunan, dan memberikan dua buah kartu bertuliskan ‘VIP’ ke petugas wanita yang kemudian menukar kartu tersebut dengan access card untuk kami.

Dari situ, Bruno memakirkan mobilnya pada garasi yang tersedia, dan mengantarkan saya ke dalam kamar melalui lift personal di sudut ruang dekat garasi. Setelahnya, saya membuka pintu kamar dan mendapatkan sebuah pemandangan yang menakjubkan.

Apakah itu? Rahasia ah.

10. Mencari Mystery Coast di Jinshan

Setelah tidur yang kurang nyenyak –karena Newcastle United kalah dari Chelsea malam harinya, bukan karena hal lain, kami berangkat dari motel selepas sarapan, untuk menuju sebuah lokasi yang bernama … Mystery Coast.

“Have you been there?” Tanya saya ke Bruno.

“No.” Jawabnya. “But the bureau asks me to go there.”

“Hmm, so that’s the mystery.”

Dengan kabut yang masih membekas di langit yang mendung, Bruno memakirkan mobil di pinggiran jalan, sementara di seberangnya saya melihat sekumpulan peselancar lokal, asyik mencari ombak dan bermain di sana. Pada sisi yang lain, saya melihat para pemancing berjejer dan menunggu hasil pancingnya.

“Let’s explore this place!” Ajak Bruno, dan saya pun mengikutinya mendaki bukit kecil dengan bebatuan berwarna coklat kemerahan, menerobos gua alam yang terbentuk dari lempeng batu yang saling menempel, dan menyusuri pantai dengan ombak yang sedikit ganas.

Pada satu sisi pantai, di atas sebuah batu, saya beristirahat sejenak, mengabadikan para pemancing yang asyik menjalankan entah hobi ataupun pekerjaannya, dan tidak menemukan rombongan turis yang memadati tempat ini. Sungguh sangat tenang, berbeda rasanya ketika saya…

11. Berwisata di Yehliu Geopark

Yehliu Geopark

Sama seperti Jiufen Old Street, ini juga adalah kunjungan kedua saya ke Yehliu Geopark –dan dua-duanya selalu padat dengan turis. Namun bedanya adalah apabila saya menyukai Jiufen Old Street, saya tidak terlalu menyukai Yehliu Geopark karena sangat ramai … sehingga saya susah menemukan tempat selfie yang bebas gangguan. Eh.

Namun, secara lanskap, tempat ini sangatlah unik, karena di semenanjung yang membentang sejauh 1.700 meter ini terdapat ratusan, atau mungkin ribuan bentuk batuan unik yang terbentuk secara alami setelah melalui proses geologis ribuan tahun, hingga menghasilkan bentuk-bentuk unik yang dinamai berdasarkan kemiripannya, dengan bentuk … Queen’s Head, Sea Candle, Fairy Shoe, Ginger Rocks, Elephant Rock, Ice Cream Rock, Kissing Rock, and Princess’ Head.

Tidak, tidak ada batu akik atau kecubung di Yehliu Geopark.

12. Mencicipi OngYaoJi atau Barrel Broiled Chicken

“Are you hungry?” Tanya Bruno selepas kami menjelajah Mystery Coast dan Yehliu Geopark. Ya tentu saja lapar, makanan motel yang sederhana, ditambah dengan energi yang hilang setelah trekking, tentu harus diganti dengan yang sepadan.

“Yes, I am.”

“The bad news is, the plan to go to Indian restaurant is cancelled.” Jelasnya. “But we moved to the local restaurant, to try OngYaoJi.”

“Wait…what?” Ya, ketimbang makanan India, tentu saja saya lebih memilih menyantap kuliner lokal, apalagi kalau namanya aneh-aneh begitu, karena biasanya yang aneh-aneh itu …

“Do you like chicken?” Oh, ayam ternyata, yes, I like chicken campus!

Yang membuat OngYaoJi ~ 甕窯雞 ~ Barrel Broiled Chicken ini istimewa adalah cara memasaknya, di mana untuk membuat satu porsi ayam panggang, seekor ayam harus melalui hidupnya di dalam sebuah panci panas selama beberapa saat untuk dipanggang. Berikutnya, sari-sari pati yang keluar dari hasil panggangannya diambil dan dijadikan saus untuk dimakan bersama ayam tersebut.

It’s so yummy! Salah satu sajian ayam paling lezat yang pernah saya rasakan, berikutnya baru kulit ayam KFC.

13. Melihat Keramaian Xinyi Shopping District

Karena kekenyangan, saya sempat tertidur beberapa pejam dalam perjalanan kembali ke Taipei City siang hari itu, dan ketika membuka mata saya sudah keluar dari jalur cepat dan menyusuri gedung-gedung bertingkat dengan pemandangan Taipei 101 yang tertutup kabut di kejauhan.

“I will show you the shopping district of Taipei.” Bruno membawa kami ke sebuah distrik bernama Xinyi, dan mengantarkan saya menyusuri beberapa buah mal yang saling terkoneksi dengan jembatan penyeberangan di sana. Menarik sekali, karena kami tidak perlu bersusah untuk berpindah mal, cukup menggunakan jembatan yang anti hujan dan anti panas, berbeda dengan Plaza Senayan dan Senayan City yang seperti bermusuhan.

Xinyi Shopping District

“If you want to shopping, I can take you to the outlet park. If you still have time before your flight.” Bruno mengingatkan, karena memang saya dijadwalkan untuk terbang kembali ke Indonesia pada Minggu malam, supaya Senin langsung bisa masuk kantor. “But for now, I will take you to the seafood place.”

“WHAAAT ANOTHER FOOD?”

14. Pesta Seafood di Addiction Aquatic Development

“Yes, this time, we will eat seafood!” Timpal Bruno, sambil tak mengacuhkan guruan bahwa saya sedang dalam program diet. “Do you like seafood?”

“Yes! Of course!” Asalkan gak pakai babi.

Pilihan tempat makan seafood hari itu sungguhlah unik, alih-alih saya diajak untuk menyantap di pinggir laut atau kolam lele, saya justru dibawa ke sebuah tempat makan yang masih berada di Taipei City, bernama Addiction Aquatic Development, selanjutnya akan saya singkat menjadi AAD –bukan, bukan Aad Gym.

Addiction Aquatic Development

Di pintu masuk, telah menyambut wanita-wanita berbusana kelasi yang berikutnya akan membawa saya berkeliling AAD. Namanya Tracy, dan sepertinya dia tidak mahir berbahasa Inggris, karena dia lebih suka berbicara dalam bahasa Mandarin, sebelum akhirnya Bruno menerjemahkannya untuk saya.

Dari balik pintu, berbagai macam hewan yang mendiami berbagai kolam dan akuarium menyambut kami. Ada kepiting raksasa, lobster, kerang, hingga ikan-ikan yang nampak sangat menggiurkan. Setelah berkeliling sebanyak satu putaran, kami berpindah ke bagian lainnya, yang merupakan supermarket yang menjual bahan-bahan kebutuhan makanan sehari-hari.

Setelahnya, barulah kami diajak ke salah satu sudut ruangan AAD, dan berbagai jenis olahan seafood disajikan secara bertahap. Mulai dari kaki kepiting, sushi belut dan ikan segar, salad seafood, hingga sup miso dengan kepiting. Semuanya sungguhlah nikmat!

Namun, AAD tidak cukup hanya sampai di situ, karena ternyata di dalamnya masih terdapat banyak ruang-ruang lainnya, seperti ruangan tempat minum-minum haram yang bukan tempat nongkrong Uni Fahira Idris, restoran shabu-shabu yang bukan narkoba, hingga restoran dengan konsep open air yang ditemani live music, semuanya ada di AAD.

15. Berbelanja di Mitsui Outlet Park

“Do you still have time?” Tanya Bruno sepulangnya kami dari AAD. Saya menjawab bahwa penerbangan saya masih agak lama, sekitar tiga-empat jam lagi. “Okay, so let’s go to the outlet then!”.

“Yeay!” Yang penting yeay dulu, walaupun sampai sana belum tentu membeli apa-apa.

Mitsui Outlet Park

Mitsui Outlet Park ini terletak di luar Taipei City, dan berada di tengah-tengah perjalanan antara Taipei dan bandara, sehingga cocok apabila kamu mampir ke sini sebelum bertolak kembali ke tanah air. Lumayan bisa bawa tentengan untuk sanak saudara, kan?

Merek-merek yang diperdagangkan di sana pun beragam, dan banyak yang mempunyai kelas menengah ke atas. Tentunya hampir semua dijual dengan harga diskon, karena, ya namanya juga outlet, mungkin banyak barang last season yang belum terjual, sehingga dipindahkan ke sini.

“Do you have place like this in Indonesia?”

“No, we do not have a centralised outlet like this.” Paling-paling Kuningan City yang sedikit mendekati, walaupun tidak laku.

Thanks Bruno & Rita!

Thanks Bruno & Rita for the good time!

Saya sempat mampir ke beberapa toko di Mitsui Outlet Park, namun tidak membeli apa-apa. Yang pertama mampir ke The North Face ternyata harganya sama saja dengan di Indonesia –dan bahkan barang termahalnya pun Made in Indonesia, kemudian mampir ke Columbia dan tidak membeli karena bingung, dan terakhir mampir ke Uniqlo namun tidak jadi membeli juga karena antrean panjang di kasir.

Alhasil, saya keluar dari Mitsui hanya dengan membawa segelas Taiwanese Milk Tea yang dibelikan Rita untuk saya, segelas teh susu terenak yang pernah saya minum –yang saya tidak tahu mereknya apa karena ditulis dalam aksara Mandarin, segelas teh susu yang pasti akan membawa saya kembali lagi ke Taiwan, suatu saat kelak.

Kapan ya, enaknya? 2018 mungkin.