
Uang kertas seribu rupiah, adalah pecahan uang kertas Indonesia terkecil saat ini yang masih digunakan sebagai alat pembayaran sah. Namun pernahkah kamu memperhatikan lukisan yang terdapat pada uang kertas tersebut? Bukan, bukan lukisan Kapitan Pattimura yang mengenakan baju berkancing dengan logo smiley, melainkan lukisan dua buah gunung yang terdapat di baliknya.
Bukan, bukan gunung kembar pula yang saya maksudkan. Melainkan sepasang gunung yang disebutkan sebagai Pulau Maitara dan Tidore pada uang kertas tersebut. Dua buah pulau yang memegang peranan penting pada sejarah Indonesia.
Sejarah yang bermula dari jenis tumbuhan yang sering disebut sebagai rempah-rempah.
Semuanya berawal pada abad ke-16, ketika bangsa Portugis pertama kali masuk ke wilayah Kepulauan Nusantara lepas menaklukkan Malaka pada tahun 1512. Pada mulanya, mereka bermaksud mengadakan koalisi dan perjanjian damai dengan Kerajaan Sunda di Parahyangan, namun gagal akibat sikap permusuhan yang ditunjukkan oleh sejumlah pemerintahan Islam di Jawa, seperti Demak dan Banten. Akibatnya, mereka galau dan mengalihkan arah ke Kepulauan Maluku, yang saat itu terdiri atas berbagai kumpulan negara yang awalnya berperang satu sama lain namun tetap memelihara perdagangan antarpulau dan internasional.
Dan Maitara, adalah lokasi di mana Portugis pertama kali menginjakkan kaki di wilayah Maluku. Selanjutnya melalui penaklukan militer dan persekutuan dengan penguasa setempat, mereka mendirikan pos, benteng, dan misi perdagangan di Indonesia Timur dengan rempah-rempah berupa cengkih (sering salah kaprah dan ditulis sebagai cengkeh) dan pala sebagai komoditas utamanya.
Cengkih (Syzygium Aromaticum atau Eugenia Aromaticum) adalah rempah-rempah purbakala yang telah dikenal dan digunakan ribuan tahun sebelum masehi. Pohonnya sendiri merupakan tanaman asli kepulauan Maluku (Ternate dan Tidore), yang dahulu dikenal oleh para penjelajah sebagai ‘The Spice Islands’. Sementara Pala (Myristica Fragrans Houtt), merupakan tanaman buah berupa pohon tinggi asli Indonesia, yang berasal dari wilayah Banda dan Maluku.
Selain digunakan sebagai campuran rokok dan penyedap masakan, cengkih mempunyai banyak manfaat bagi kesehatan manusia, diantaranya adalah:
- Mengobati sakit gigi, dengan menggunakan bunga cengkih yang disangrai, ditumbuk, kemudian ditaburkan pada gigi yang terasa sakit. Namun jangan lakukan ini pada gigi emas milik Bokir.
- Mencegah inflamasi (radang), karena cengkih mempunyai zat flavanoid yang memiliki sifat anti inflamasi yang juga bermanfaat untuk pasien rematik.
- Menghilangkan rasa mual, dengan cara meminum air rebusan cengkih yang ditambahkan madu. Jangan tambahkan susu, telur, dan jahe, kecuali kamu ingin membuat STMJ.
- Menjaga kesehatan jantung, melalui kandungan eugenol yang terdapat pada cengkih yang berfungsi mencegah pembekuan pada darah, dan mencegah stroke.
- Menyembuhkan batuk, dengan cara mengunyah cengkih, karena kandungan kimia yang terdapat di dalamnya merupakan ekspektoran alami yang dapat mengencerkan dahak. Apabila mengunyah cengkih saja terasa aneh, maka bisa ditambahkan nasi, dan dua potong ayam bakar.
Sementara pala, selain dikenal sebagai bumbu dapur dan bahan pembuat jamu juga memiliki khasiatnya sendiri bagi kesehatan, yaitu:
- Menghilangkan rasa sakit, karena salah satu senyawa dalam pala adalah mentol, yang memiliki karakteristik sebagai penghilang rasa sakit alami. Namun, hal ini tidak berlaku untuk sakit hati. Ingat, ini buah pala bukan Aa’ Gatot Brajamusti.
- Menyehatkan pencernaan, dengan menggiling pala menjadi bubuk dan mempertahankan kadar seratnya, sehingga dapat merangsang proses pencernaan dengan mempromosikan gerakan peristaltik di usus.
- Membantu detoksifikasi tubuh, karena pala dapat membersihkan organ-organ dari semua racun yang bisa disimpan di sana seperti alkohol, obat-obatan, polusi, atau racun organik alami dari makanan. Catatan: Tidak berfungsi untuk racun masa lalu.
- Mengobati insomnia, karena pala memiliki kandungan magnesium yang tinggi, mineral penting dalam tubuh yang berguna mengurangi ketegangan saraf, dan bahkan merangsang pelepasan serotonin yang menciptakan perasaan relaksasi atau sedasi. Maka, jauhkan masturbasi, dan beralihlah ke pala.
- Menjaga kesehatan kulit, pala yang dicampur dengan air dan dibalurkan pada kulit atau bahkan ditambah madu, dapat digunakan untuk perawatan kulit. Apabila resep ini tidak berhasil, maka kamu dapat pergi ke Dokter Kun Jayanata.
Karena berbagai khasiatnya tersebut, cengkih dan pala yang merupakan Gemah Rempah Mahakarya Indonesia telah menarik perhatian para saudagar dan petualang dari seluruh dunia datang untuk berdagang rempah-rempah yang saat itu sangat populer di Eropa dan dipasarkan dengan harga sangat tinggi. Bahkan konon pada masa itu, harga rempah-rempah yang merupakan komoditas utama perdagangan sampai melampaui harga emas!
Lalu bagaimanakah nasib bangsa Portugis yang sempat menduduki Maluku saat itu? Mereka berdagang rempah-rempah selama enam puluh tahun sampai akhir abad ke-16 sebelum Inggris menghentikan monopolinya pada sebuah zaman yang disebut sebagai Zaman Penemuan. Kasihan.
Mari kita kembali lagi ke lukisan Pulau Maitara dan Tidore yang terdapat pada uang kertas seribu rupiah, apakah lokasi tersebut benar-benar ada, atau hanya sekadar lukisan imajiner belaka? Jawabannya ada pada saat saya mengunjungi Ternate beberapa waktu silam.
“Nah, di sinilah tempatnya!” Seru Bang Ical setelah menepikan mobilnya di dekat gapura bambu kecil bertuliskan Rukun Warga setempat, dan meminta kami masuk. Sebuah bukit terjal dengan ilalang yang tumbuh liar terdapat di sana, sementara dua buah pulau terletak di kejauhan.
Saya menatap dengan seksama kedua pulau tersebut. Mirip sih dengan lukisan yang terdapat pada uang kertas seribu rupiah, namun sepertinya ada yang kurang pas di hati saya. Kalau dilihat dengan seksama, memang sih kedua pulau tersebut terlihat seperti Pulau Maitara dan Tidore, namun posisinya tidak mirip dengan yang saya pikirkan. Kali ini Pulau Maitara yang terletak di sisi kanan, padahal pada lukisan jelas-jelas pulau itu terletak di sebelah kiri. Dari sudut pengambilan lukisan pun tidak pas, karena kedua buah pulau yang terlukis pada uang kertas seribu rupiah terlihat dilukis sejajar dengan mata si pelukis, bukan dari atas bukit berbelukar.
Saya menggeleng “Wah, kayaknya bukan dari sini, Bang.” Saya berkata dengan lemas. “Apakah ada tempat lain lagi?”
Bang Ical terdiam beberapa saat, begitu juga dengan Pepi, rekan seperjalanan saya hari itu. Tanpa sadar, tangan saya sudah memencet-mencet tuts di telepon genggam, mencari informasi tentang di manakah tempat yang dimaksudkan oleh si mata uang seribu rupiah tersebut.
“Abang tahu Florida Cafe?” Tanya saya. “Ada yang bilang kalau lokasinya ada di sana.”
Pria setempat itu menggigit bibirnya, sambil memainkan sebatang rokok di tangan satunya. “Tahu, tapi…” Dia menaikkan sebelah alisnya, seolah memikirkan sesuatu, “ah sudahlah… Mau ke sana?”
Saya mengangguk, dan mobil sewaan tersebut berjalan perlahan menuju Florida Cafe.
Bang Ical menyetir dan melewati Florida Cafe sambil membawa saya yang manyun. Ternyata lokasi Florida Cafe pun tidak seperti yang saya bayangkan. Karena pastilah lukisan tersebut tidak diambil dari sebuah restoran yang terletak di sudut jalan berliku di atas sebuah bukit kecil.
Saya mengeluarkan kembali telepon genggam dari kantong dan membaca beberapa mention yang masuk di Twitter, sebagai jawaban karena saya bertanya apa saja hal yang bisa dilakukan di Ternate, selain menyamar menjadi Sultan Babullah.
“Foto a la uang seribu di Pantai Fitu.” Jawab salah seorang di sana. Dan saya merasa bahwa inilah hal yang harus saya lakukan sekarang, atau menyesal selamanya.
“Kalau Pantai Fitu, tahu, Bang?” Saya kembali bertanya, “Sempat tidak kalau ke sana?”
“Pesawatnya nanti jam berapa?” Saya sadar bahwa inilah hari terakhir saya di Ternate dan saya masih belum menemukan lokasi yang saya maksudkan. Tanpa mempedulikan kesalahan gramatikal yang diucapkan Bang Ical –bahwa seharusnya menggunakan pukul, bukan jam– saya menjawab.
“Masih sekitar empat jam lagi, Bang.” Jawab saya “Tapi belum makan siang.”
“Oh, tenang saja.” Timpalnya, “Biasanya flight jam segitu suka delay.”
“Pukul, Bang. Bukan jam.” Ingin hati mengingatkan, namun hanya mampu memendamnya, karena melihat perawakan Bang Ical yang lebih kekar.
Kemudian kami bergerak menuju Pantai Fitu.
“Kalau di sini sih memang tempat main saya.” Cerita Bang Ical, begitu dia membelokkan mobilnya ke sebuah jalan kecil pada sisi kiri kami. “Nah, inilah tempatnya, tapi sayang agak mendung.”.
Saya membelalakkan mata, melihat pemandangan yang hadir tepat di hadapan saya. Pulau Maitara nampak bersanding dengan Pulau Tidore, mirip seperti yang dilukiskan pada uang kertas seribu rupiah. Jadi inilah yang selama ini saya cari-cari, pemandangan Pulau Maitara yang dikabarkan memiliki kebun cengkih tertua di dunia (Menurut Bang Muhammad Rizal di kolom komentar, cengkih tertua adanya di pulau ternate namanya “cengkih afo”. Di sana ada dua pohon cengkih di ternate yg berhasil lolos diselamatkan warga setempat dari aksi pemusnahan masal cengkih oleh penjajah), yang sekaligus menjadi batas dua kesultanan antara Ternate dan Tidore. Kampret juga Bang Ical, malah tidak menyadari bahwa tempat yang saya cari adalah tempat di mana dia sering bermain. Memang kadang gajah di pelupuk mata seringkali tidak terlihat dibandingkan dengan Kim Kardashian di seberang lautan.
Saya meminjam kembali selembar uang seribu rupiah satu-satunya yang sudah lecek dari Pepi, dan inilah saat di mana saya menyadari bahwa uang lecek pun masih bermanfaat.
“Fotoin gue dong, Mas.”
Setelah sedikit senang karena menemukan apa yang saya cari, kembali Tuhan muncul dengan candaannya dan menurunkan awan tebal yang menutupi Pulau Tidore sehingga membuat pulaunya menghilang. Berikutnya rintik hujan mulai berjatuhan, dan kami berlari ke mobil, mencari perlindungan.
Tiga pria dewasa dalam satu mobil, mencari kehangatan.
“Paling hujannya gak lama.” Ucap Bang Ical menenangkan saya, “Mau ditunggu dulu?”
Saya pasrah, dan mengiyakan tawaran untuk menunggu selama setengah jam, sebelum kembali ke kota. Kemudian saya tertidur pulas dalam mobil.
Setengah jam berlalu, saya masih mengucek-ucek mata ketika hujan telah resmi berhenti dan awan tebal yang sedari tadi menyelimuti Pulau Tidore berangsur-angsur menghilang. Dengan sigap, saya keluar dari mobil sambil menenteng kamera setelah sebelumnya meminjam uang seribu lecek kepunyaan Pepi.
Saya berdiri kembali di bibir pantai, dengan uang seribu di tangan kiri dan kamera di tangan kanan. Bersiap mengabadikan momen langka tersebut ketika sisa awan masih menggantung di atap Pulau Tidore dan sebuah sampan lewat di depannya.
Momen langka yang hampir sama persis dengan lukisan pada uang kertas seribu rupiah. Uang kertas yang menyimpan cerita tentang kejayaan Indonesia di masa lampau, masa ketika Indonesia dikenal sebagai penghasil rempah-rempah yang disegani bangsa Eropa. Uang kertas yang menyimpan kejayaan Gemah Rempah Mahakarya Indonesia.
Dalam perjalanan pulang, kami sempat mampir ke sebuah Rumah Makan Tanawangko untuk mencicipi kelezatan kuliner khas setempat yang sangat kaya dengan rempah-rempah, sebelum akhirnya saya diantarkan kembali ke bandara.
Dan benar seperti perkataan Bang Ical, pesawat saya sore itu terkena delay selama dua jam, yang diperparah dengan kondisi mati listrik di bandara Sultan Babullah.
Sumber literatur: (1), (2), (3), (4), (5), (6), (7)
Tagged: Cengkih, Gemah Rempah Mahakarya Indonesia, Maitara, Maluku, Pala, Rempah-rempah, Ternate, Tidore
Menang dah nih bakalan :-))
LikeLike
Aamiin ~
Hahaha, itu kampungnya Kak Feb ya?
LikeLike
Niat tenan meeen… :)))
LikeLike
Ahahaha, namanya juga serious travel blog meeeeen :)))
LikeLike
Membuktikan apa yang ada digambar dengan menuju ke tempatnya langsung benar-benar hebat. Keren mas, ditunggu tulisannya yang lain.
LikeLike
Terima kasih Mas, semoga bisa nulis beberapa lagi bulan ini.
LikeLike
Tetap ditunggu mas 🙂
LikeLike
keren banget sih kak, menang nihh menang 😀
kalo menang traktir yaaaa 😛
LikeLike
Ahahaha, aamiin didoain menang!
Sini sini samperin aku.
LikeLike
wih keren ya, udah foto di tempat yang sama dengan duit seribuan hahaa
LikeLike
Ahahaha, pengin yang ke duit goceng lama juga, kelimutu!
LikeLike
didoakan 🙂
LikeLike
Tanda2 nich hehehe … Mudah2an tahun depan daku bisa kesana 🙂
LikeLike
Tanda2 nich hehehe .. Mudah2an tahun depan bisa kesana 🙂
LikeLike
Tanda-tanda apa kakcum? Aamiin didoakeun yaaa.
LikeLike
Terima kasih mz, sudah ‘meminjamkan’ matamu untuk mendatangi tempat itu.
Bahwa gambar yang ada di uang itu benar adanya. Bahwa saya tidak dibohongi pemerintah. *uuwoopoo*
Jalan-jalan bareng Fanz beratz Arip kapan nih? *wink*
LikeLike
Mau aku pinjami tubuhku juga, mb? *ealah*
Pemerintah tidak bohong mb, mungkin masa lalumu yang bohong. Yuk ke Bandung awal Desember, ada TravelNBlog2 nanti.
LikeLike
Duh bagus bangetttt… Kapan ya berfoto sama uang 1000an ditempat aslinya??
LikeLike
Pasti bisaaaa, yuk ke sana yuk!
LikeLike
Laler juga termasuk rempah-rempah Maluku mas??? 😉
LikeLike
Laler jadi salah satu penggemar rempah-rempah Maluku mbak 😀
LikeLike
Wow , keren
LikeLike
Terima kasih 🙂
LikeLike
Wuih… pemenang periode I dan II, Mas Alam dan Mbak Terry, sama-sama bagian dari tim EWK loh, Mas. Semoga menang!
Btw, aku penasaran sama apa yang terjadi di dalam mobil, yang berisi tiga pria dewasa yang sedang mencari kehangatan.. Ngopi sambil ngemilin cengkih dan pala, ya?
LikeLike
EWK itu… Ekspedisi Warisan Kuliner? EWKWKWKWKWK.
Aamiin makasih doanya, mb Elisa. Yang terjadi di dalam mobil adalah …
.
.
.
.
.
.
.
… ternyata ketiduran.
LikeLike
Yoi, Mz… Habis ini kamu yang menang.
eh, eh.. kok kamu berubah jadi bebek, mz? :3
LikeLike
AAMIIN!
WKWKWKWKWKWK
LikeLike
Wah .. Thanks sudah posting ini. Sangat menginspirasi.
LikeLike
Terima kasih sudah membaca 🙂
LikeLike
pengen tahun depan ke sana… *jinjing jermes*
LikeLike
Ihiy yuk ke sana! Enaknya nyelem om!
*jinjing shanel terus nyelem*
LikeLike
Aduh senel, entar jadi menel….
LikeLike
kslo denger nama ternate, tidore gw langsung terbayang zaman dahulu, saat orang-orang eropa itu berdatangan ke nusantara karena rempah-rempahnya.
LikeLike
Yoih, zaman di mana rempah-rempah lebih mahal daripada arisan emas koperasi.
LikeLike
Keren banget Rip foto di depan gunungnya! Abis foto, lalu nyebur dan berenang menuju gunungnya nggak? Kalau iya, lebih keren lagiii….
LikeLike
Maaf kak, aku gak bisa sekeren yang kamu minta, hiks.
ANYWAY SELAMAT SUDAH MENAAAANG :*
LikeLike
Luar biasak… Komennya udah sebanyak ini aja gitu!
Gue pengen ke ternate lagi deh. Terus mampir tidore. Dan kali ini kudu snorkeling, karena kalau diving belum punya license 😭😭
LikeLike
Hahaha, komen banyak bukan jaminan menang, Fan.
Iya nih gue juga pengin balik ke sana lagi, kemarin bentar bingit di sananya gak puas. Bikin atuh diving license, gak rugi karena berlaku lifetime.
LikeLike
Wah pas banget itu ada perahunya. Udah cek di balik gunungnya bang? Katanya sih ada patimura..
LikeLike
Iya, kebetulan banget pas ada perahu lewat. Hahaha, Patimura di balik gunung di uang seribuan yeee.
LikeLike
Cantiknya Indonesia ku👍👍
LikeLike
Cantik bangeeeeet!
LikeLike
Momennya pas banget tuh, ada sampan.
Sebelumnya udah pernah baca cerita serupa dari travel blogger lain. Tapi cerita dan pengalaman mas Ariev selalu menggelitik rasa ingin tahu 🙂
LikeLike
Makasih Gi, sudah baca! Awal Desember gue ada event di Bandung nih, join ya?
LikeLike
Oh ya? Siaaappp. Kabari ya 😀
LikeLike
Pastinya, tunggu aja poster #TravelNBlog2 ya, haha 😀
LikeLike
Sepakat sama matuis, momennya pas ada sampan juga. Btw itu lukisan siapa yah? Indonesia keren yah, dulu rempah-rempah harganya selangit ngalahin emas dan mungkin juga minyak. Sekarang ya gitu deh.
Makasih mas atas sharenya.
LikeLike
waduh iya tuh pertanyaannya bener, lukisan siapa? Karena gak mungkin agung, karena dia capek habis ngelukis pelangi. *halah*
Iya, sekarang rempah-rempah tak lebih hanya jadi bumbu dapur.
LikeLike
tak pernah terpikir loh
LikeLike
apanya loh?
LikeLike
arti uang 1000
LikeLike
Wah, saya juga pernah bang foto kayak beginian, tapi di Pura Ulun Danu Bedugul. Uang 50-ribuan. Hahaha
LikeLike
Eh sekarang gambarnya masih bedugul bukan sih? Haha. Asyik juga ya foto beginian tapi untuk tiap nominal rupiah.
LikeLike
kalo gaksalah masih bang…
LikeLike
kok kepikiran sih mas buat kesini ? karena sering ngeliatin duit seribuan ya ? *eh*
LikeLike
Haha maklum waktu itu cuma ada duit itu di dompet, dompetnya Pepi.
LikeLike
JUARAAAA…. eh tapi kok uang seribuannya lecek amat
LikeLike
Iya nih lecek banget, belum dapet jatah malem jumat.
LikeLike
nemu aja idenya 😀
LikeLike
Jieee yang dari Jepang.
LikeLike
Mas kerja di mana mas?
Mau donk masuk dalam kopernya :)))
LikeLike
Maaf kak, aku bukan anak koper #azeg
LikeLike
memang kadang ide datang dari hal 2 yang sederhana,tinggal mau mewujudkan nggak..hehe
LikeLike
YOIH!
Inspirasi juga bisa hadir dari hal-hal di sekitar.
LikeLike
Riv, gue pikir yang ada duit seribuan itu malah Danau Toba #abaikan
LikeLike
*abaikan*
LikeLike
ini KEREN!
LikeLike
PASTINYAAA ~
LikeLike
keren, keren, seru banget nih jalan2nya
LikeLike
Iyak! Itu pertengahan 2014 kaemarin hihi.
LikeLike
selanjutnya kemana lagi nih? pengen baca petualangan barunya.
LikeLike
Nah itu untuk tahun ini belum berencana, penginnya sih ke… pelaminan. *kalem*
LikeLike
mantap
LikeLike
aku sukak sekali postingan ini ! Eh, postingan yang lain juga sama sukaknya ! Been reading ur blog for these past one week and having this worry feeling for running out stories :(. Trimakasih ya Ariev sudah mau make lots of efforts untuk menuliskan banyak cerita yang bagus dan bermanfaat. If someone labels you as a good travel writer is so understatement. You’re an awesome story teller ! Semoga kamu selalu dimudahkan rezekinya supaya bisa globe trottering selamanya. Amin ..
LikeLike
Aduhhhh, aku tersentuh baca komennyaaaaa.
Really appreciated it, hope I can write and write and write more here. Many thanks for the praise, hope I can travel more, so I can stock more stories for years, haha!
Aaamiin aamiin semoga yaaaa. 😊
LikeLike
Koreksi: cengkih tertua adanya di pulau ternate namanya “cengkih afo”. Ada dua pohon cengkih di ternate yg berhasil lolos diselamatkan warga setempat dari aksi pemusnahan masal cengkih oleh penjajah.
LikeLiked by 1 person
Wah siap! Terima kasih infonya mas. Berarti pranala yang saya dapatkan kurang pas ya? 🙂
LikeLike
Uang Rp 1.000 nya sampai lecek gitu mas
Ijin berkunjung ya Gan, dari http://informasipanduanwisata.blogspot.com/
LikeLike
Iya, duit minjem soalnya haha.
LikeLike
Sama seperti di uang seribu….
LikeLike
Betul betul betul..
LikeLike
i love the way you discribe this..
LikeLike
Thank you, my pleasure 😀
LikeLike
Sukur dofu atas ulasannya dan atas segala upayanya utk bisa menghargai makna dibalik uang seribu kertas. Saya sebagai org Tidore merasa malu krn kurang menghargai sejarah sendiri. Benar apa kata Bung, kadang gajah tdk kelihatan di pelupuk mata.
Sekali lagi dari lubuk hati saya, saya ucapkan Sukur Dofu.
Sukur dofu(bhs Tidore) artinya banyak terima kasih.
LikeLike
Sukur Dofu!
Terima kasih kepada Tuhan karena telah menciptakan alam Indonesia yang luar biasa indah ini. Salam kenal!
LikeLike