Seorang lelaki tua duduk di tangga sebuah rumah adat yang tak kalah tuanya, kedua matanya hampir terpejam, dan hanya menyisakan sedikit celah untuk mengintip apa yang berada di hadapannya. Jubah bermotif loreng dikenakannya dengan apik, lengkap dengan topi kebesaran, juga dua buah paruh burung enggang yang dikalungkannya di dada. Tanda-tanda kebesaran masih terlihat pada sang pangkalima –pewaris budaya nenek moyang suku Dayak yang masih mempertahankan budaya–, walaupun dia mencoba menutupi kelemahan tubuhnya dengan cara memegang erat salah satu tiang pada tangga tersebut.

d102753bf0a31e7a8438cbd7ae0e0cd0

Pangkalima by Agustian Teddy

Lelaki pada foto tersebut saya temukan pada sebuah acara bertajuk Dji Sam Soe POTRET MAHAKARYA INDONESIA: Blogger Gathering  & Live Blogging Competition, dan sekaligus membuka ingatan saya kembali tentang Desa Adat Pampang, yang saya kunjungi beberapa bulan silam.

***

DSCN9316

Pintu Masuk Desa Budaya Pampang

“Sebentar berhenti dulu!” Saya bersorak ke Inul dan Ryan yang berpelukan di atas sepeda motor di samping saya. “Saya mau mengambil gambar.” Ucap saya ketika melihat gerbang pintu masuk Desa Budaya Pampang, salah satu desa yang masih menjaga adat istiadat dari Suku Dayak Apokayan dan Kenyah.

Perjumpaan saya dengan Ryan –yang bekerja di Kalimantan–, adalah perjumpaan saya kembali setelah terpisah lebih dari setahun lamanya. Sementara terhadap Inul, ini adalah kunjungan saya dalam rangka menyemangati dia yang entah secara apes –atau malah beruntung– dimutasi oleh instansinya ke Samarinda. Kami bertiga adalah sahabat lama semasa kuliah dan pernah beberapa kali traveling bersama, di mana salah satunya adalah mengunjungi Macau.

Ketika saya menanyakan “Ada apa sih yang seru di Samarinda?”, mereka berdua menyarankan supaya saya mengunjungi Desa Pampang, untuk bertemu langsung dengan Suku Dayak yang mendiami desa tersebut. Saya pun mengiyakan ajakan mereka, dan menurut untuk menempuh perjalanan sekitar satu jam ke desa ini esok harinya.

***

DSCN9398

Selamat Datang di Desa Budaya Pampang

Pagi itu, Desa Pampang sangat sepi dan bahkan loket tiket masuknya pun tidak ada seorang pun yang menjaga. Di halaman parkirannya pun hanya terdapat sebuah mobil, dan dua buah sepeda motor yang kami pakai. Entah karena kami yang tiba kepagian, atau memang para penduduk Desa Pampang sedang menikmati Doraemon, Sinchan, atau Bima Satria Garuda di Hari Minggu pagi yang terik tersebut. Alhamdulillahpikir saya ketika dapat masuk ke Desa Pampang tanpa membayar sepeser pun. Inilah yang dinamakan rezeki orang bangun pagi tidak akan dipatok ayam.

DSCN9382

Tangga Masuk Rumah Panjang

Perlahan saya menaiki tangga –dengan perasaan hati-hati supaya tangga tidak patah karena berat badan saya yang dikombinasikan rasa takut ketahuan karena belum memiliki tiket masuk– untuk menuju ke dalam rumah panjang dan satu-satunya rumah yang terdapat di Desa Pampang tersebut. Rumah tersebut seluruhnya terbuat dari kayu yang kokoh, dengan ornamen-ornamen khas Suku Dayak berwarna merah, kuning, hitam dan putih yang menghiasi rumah ini.

DSCN9384

Ornamen Khas Suku Dayak

Konon, warna-warna tersebut diambil dari warna Burung Enggang, yang merupakan burung yang dianggap sakral bagi suku dayak, dan bahkan tidak diperbolehkan untuk diburu maupun dimakan. Sebagian dari mereka bahkan percaya bahwa burung ini adalah wujud penjelmaan dari Panglima Burung yang akan turun ketika perang dan membantu Suku Dayak.

***

Di dalam rumah, saya menyaksikan beberapa anak kecil yang sedang asyik bermain dan berlatih tari. Sementara di sudut yang lainnya, perhatian saya tercuri oleh sesosok pria berusia senja yang duduk di kursi panjang, dengan salah satu kaki diangkat ke atas kursi. Saya pun mendekatinya secara perlahan dan malu-malu.

“Sini-sini.” Ujar pria itu ketika melihat beberapa langkah kaki mendekat, sementara di belakang kami beberapa anak perempuan mengikuti sambil tersenyum kecil.

“Boleh ngobrol, Kek?” Tanya saya kepada si kakek.

“Boleh, sini duduk saja di samping saya.” Jawabnya sambil menggeser sedikit letak duduknya. “Saya ini sudah tak bisa melihat lagi. Sudah rusak semua.” Ucapnya.

Obrolan kami pun berlanjut –walaupun dengan sedikit kendala bahasa, namun terbantu dengan si bocah perempuan yang membantu menerjemahkan bahasa saya ke si kakek, dan sebaliknya– dengan cukup menyenangkan. Dia bercerita bahwa saat ini desa masih sepi karena sebagian besar penduduk (termasuk istrinya) pergi ke gereja (yang membuat saya terkejut bahwa Suku Dayak ternyata sudah menganut agama), bercerita bahwa dia sudah menetap di sini selama beberapa tahun setelah sebelumnya mengembara dari gunung ke gunung ketika muda (yang membuat saya terkejut akan ketangguhan Suku Dayak yang mirip Ninja Hattori), juga tentang bagaimana dia menghidupi dirinya saat ini, yang membuat saya terkejut karena…

DSCN9342

Tarif Foto

“Ambil fotolah dengan saya.” Ucapnya di akhir pembicaraan kami. “Untuk makan.” Serunya sambil menunjukkan gesture kepalan tangan ke arah mulutnya.

Ya, untuk menghidupi dirinya, si kakek yang bernama Pajang Apuy ini mengandalkan dana dari turis yang berkunjung ke desa itu dan berfoto dengannya. Tarifnya cukup lumayan, dua puluh lima ribu rupiah sekali foto untuk satu orang.

“Pakai topi itu boleh.” Ucapnya, ketika saya mengiyakan ajakannya untuk berfoto bersama.

Saya menyambar topi yang terletak pada meja di sampingnya, dan mengambil tas rajutan yang terletak di samping topi. “Pakai tas ini boleh juga kan?”

Dia mengangguk dan mengambil tongkat untuk membantunya berdiri dan berjalan menuju tempat pengambilan gambar.

2013-07-21 11.47.15

Me, with Pajang Apuy.

“KLIK”

Tombol shutter pun terpencet yang diikuti gerakan saya yang secepat kilat menyelipkan beberapa lembar uang ke tangan Pajang Apuy, yang meneruskannya kembali ke si bocah perempuan. Mungkin karena sudah tidak dapat melihat jelas, sehingga dia trauma apabila diberikan uang yang tidak sesuai dengan tarif yang berlaku. Si bocah menghitungnya dengan cekatan, dan berkata sesuatu dalam bahasa daerah kepada Pajang Apuy. Mereka mengucapkan terima kasih, dan saya pun bersyukur bahwa ketika melakukan handshake dengan Pajang Apuy tidak dipungut biaya lain, seperti layaknya apabila saya melakukan handshake dengan JKT48 atau bahkan DYK48.

Sesi foto berikutnya adalah berfoto dengan anak-anak kecil yang berkeliaran di situ. Dan karena mereka masih kecil, kami pun bisa menawar harga mereka yaitu dihitung per sekali foto, bukan per orang. Alhamdulillah. 

DSCN9348

Hana & Kiddos

DSCN9355

We love kiddos

Sebenarnya, tiap hari Minggu ada pagelaran tari adat yang rutin diadakan mulai pukul 14:00, namun karena saya dijadwalkan untuk kembali ke Jakarta malam itu dari Balikpapan –yang harus ditempuh dengan perjalanan darat selama tiga jam dari Samarinda–, maka saya pun dengan terpaksa melewatkan kesempatan langka tersebut.

DSCN9368

Inul, Ryan, Adam.

Selain karena telah mengunjungi sahabat baik yang terpisahkan oleh jarak, saya merasa senang dalam perjalanan kali ini karena mendapatkan pengalaman bertemu langsung dengan Suku Dayak yang memiliki kebudayaan menarik. Oh iya, satu alasan lagi, yaitu karena mendapat kesempatan untuk mengunjungi pacar saya yang sedang mengikuti program magang di Balikpapan saat itu.

2013-07-21 10.48.06

Ehehehe..

***

Dari data yang saya dapat dari Wikipedia, saya mengetahui bahwa pada Bulan Juni 1991, Gubernur Kaltim saat itu HM Ardans mencanangkan dan meresmikan Desa Pampang sebagai Desa Budaya. Pemerintah setempat merasa antusias bahwa desa budaya ini memiliki kegiatan positif yang bisa menjadi aset wisata unggulan baik di tingkat lokal bahkan hingga mancanegara. yang dapat mengundang turis lokal maupun mancanegara supaya hadir ke Desa Budaya Pampang ini.

DSCN9371

Me, at Pampang Village.

Memberi uang, bukan berarti bahwa saya mendukung mereka berleha-leha tidak bekerja dan hanya mengandalkan dari pemberian para turis yang hadir di Desa Budaya Pampang, melainkan untuk membantu melestarikan Suku Dayak juga Pajang Apuy –yang merupakan tetua terakhir di sukunya– yang merupakan Potret Mahakarya Indonesia.

***