
“Pokoknya gue mau ke Gua Jepang!” Saya mengatakan hal yang sama kepada Mumun, Vindhya, dan Vira ketika mereka meminta usulan objek apa yang bisa dinikmati di Manado. Sebenarnya, saya juga suka dengan objek-objek yang mainstream, namun kunjungan saya ke Manado untuk pertama kalinya pada tahun sebelumnya bersama Cicik, telah membawa saya ke objek-objek tersebut. Walaupun memang ada satu hari di mana saya sengaja menginap pada hotel (yang terlihat) angker di Manado, guna menguji nyali dan keimanan (baca: bokek).
Sebelumnya, saya mengusulkan untuk mencari wisata horor seperti yang saya lakukan di Bandung, namun tak ada yang mengiyakan. Lalu ketika saya melontarkan ide untuk berwisata malam, Vindhya malah berkata bahwa biasanya kegiatan malam ketika liburan hanya diisi dengan tidur-tidur dan ngobrol-ngobrol saja. Memang usia tak bisa bohong.
Dan disela-sela dive trip Bunaken bersama Ibu Penyu tersebut, muncullah ide mengunjungi Gua Jepang yang terletak tak jauh dari Manado.
Beberapa hari sebelumnya, saya sempat bertanya kepada Cicik tentang lokasi Gua Jepang tersebut, dan dia mengatakan bahwa kami pernah melewati gua-gua tersebut dalam perjalanan kami tahun lalu. “Arah Bukit Kasih. Kita sempat lewatin itu dulu.” Ujarnya.
Saya langsung membuka browser internet dan mencari beberapa petunjuk mengenai keberadaan gua tersebut. Kebanyakan dari foto-foto yang muncul memang mengingatkan pada tempat yang saya lalui tahun lalu. Namun ada beberapa artikel yang menyebutkan keberadaan Gua Jepang 50 kamar.
“Kalau yang 50 kamar, Cik?” Saya kembali bertanya pada Cicik, yang kemudian menanyakan hal yang sama pada temannya.
“Masuk Kawangkoan.” Jelasnya lagi “Tadi temanku bilang, kalau mau ke gua kudu sama orang setempat, kalau gak bisa hilang.”.
“Hah? Maksudnya?”
“Embuh. Temanku simpang siur ini jawabnya.”
Dan rasa penasaran saya pun semakin memuncak.
Sehari sebelum berangkat ke Gua Jepang, saya sudah menyiapkan peralatan yang dibutuhkan, yaitu keberanian, rasa percaya diri, beberapa kawan sebagai tumbal, juga sebuah Panasonic Solar Lantern BG-BL03 yang memiliki lima lampu LED dan tingkat penerangan 360 derajat sebagai alat bantu penerangan yang sudah saya charge langsung di bawah sinar matahari dengan menggunakan solar panel yang telah disediakan di dalam kemasan. Konon, hanya diperlukan waktu charge selama enam jam untuk mengisi daya Solar Lantern yang dapat dipakai untuk beroperasi hingga 15 jam dengan setelan cahaya medium.
Pak Yulius, –supir kami yang berusia sekitar 60 tahun, bertubuh tambun, yang membiarkan sebagian rambutnya memutih dan rontok karena usia– membawa kami ke lokasi Gua Jepang setelah kunjungan kami di Pasar Beriman Tomohon, yang menyajikan beraneka jenis binatang tak beriman untuk disantap mereka yang beriman. Beliau memarkir mobilnya pada sisi kanan jalan setelah jembatan, tepat di gua-gua yang saya lewati bersama Cicik tahun lalu. Beliau mengatakan, kalau Gua Jepang Kawangkoan, ya di sinilah tempatnya.
Hmm, aneh, bahkan Pak Yulius yang mengaku orang asli Manado tak tahu sama sekali tentang Gua Jepang 50 Kamar.
Kami berenam (Saya, Aldy, Diyan, Mumun, Vindhya, Vira) bergegas turun dari mobil dan masuk ke dalam Gua Jepang Kawangkoan yang ditunjukkan Pak Yulius. Saya menekan tombol Solar Lantern sebanyak tiga kali (sekali untuk cahaya rendah, dua kali untuk medium, empat kali untuk menggunakan port USB sebagai penyedia daya –misalkan untuk men-charge telepon genggam–, dan lima kali untuk mematikan Solar Lantern) guna menyalakan lampunya pada posisi maksimal karena memang sama sekali tak ada cahaya yang berasal dari dalam gua.
Aroma kotoran burung bercampur dengan debu-debu yang beterbangan menyapa hidung saya ketika kami mulai memasuki kegelapan. Gua tersebut berisikan banyak sekali lorong yang dapat membuat orang tersesat apabila memasukinya dengan sembarangan dan tanpa Bismillah. Bahkan banyak diantara lorong-lorong tersebut yang buntu seperti kisah cinta Romeo & Juliet.
Saya bukan termasuk orang yang berani dengan kegelapan, oleh karena itu saya bersyukur tidak hidup dalam zaman Jahiliyyah. Ada sedikit perasaan was-was ketika saya berjalan sendirian di depan rombongan, karena saya tidak tahu apa yang menanti saya di dalam kegelapan, dan ada sedikit rasa takut apabila teman-teman ternyata meninggalkan saya sendiri dalam kegelapan. Suasana mencekam ini, mirip seperti yang saya rasakan ketika menjelajahi ruangan demi ruangan Dhammayangyi Pahto –kuil terbesar di Bagan— pada pukul enam sore, saat hari mulai gelap, dan pengunjung mulai meninggalkan kuil.
Lorong demi lorong kami jelajahi sekitar setengah jam, sebelum akhirnya kami keluar. Dari pengamatan sekilas, gua ini terdiri dari sebuah jalan utama yang memanjang beberapa kilometer, di mana pada kanan kirinya terdapat jalan lain yang memiliki lorong-lorong dan kamar-kamar kecil. Jika diperhatikan dengan teliti, banyak ditemukan sarang-sarang burung pada langit-langit gua. Saya tidak menelusurinya lebih dalam, karena takut tersesat.
Traveler juga manusia, bukan?
“Mau coba tanya ke tempat cuci mobil itu?” Tanya Diyan, seperti mengerti kegelisahan saya, yang belum puas karena belum menemukan Gua Jepang 50 Kamar yang dicari. Dan kami pun menuju satu-satunya tanda kehidupan di dekat situ.
“Ngapain mau ke sana?” Tanya seorang pemuda yang sedang menunggu mobilnya dicuci. “Liputan?”
Dengan kebingungan, karena jalan-jalan ke gua atau pengin menginap di dalam gua sepertinya bukanlah suatu alasan yang umum, saya pun mengatakan “Pengin lihat-lihat saja.” yang disambut dengan tawa beberapa orang yang ada di situ.
“Lurus ke arah pertokoan Kawangkoan, nah dari situ tanya saja. Sudah dekat. Nama tempatnya Sendangan.” Demikian petunjuk yang saya dapatkan siang itu.
***
Pak Yulius, yang lama kelamaan saya perhatikan semakin mirip Wimar Witoelar, memarkir mobilnya di depan sebuah toko kacang. Ya, Kawangkoan dikenal sebagai penghasil kacang di Sulawesi. Bahkan ada satu tugu peringatan berbentuk kacang di Kawangkoan “Ini kacang, kalau dimakan satu negara pun tak akan habis.” Kelakar Pak Yulius. Joke om-om.
Bermodal Rp. 20.000,- saya mendapatkan informasi yang dibalut dengan dua bungkus kacang khas Kawangkoan dari si ibu pemilik toko, kata Beliau “Masuk saja ke gang di kanan jalan, di situ ada warung pertama, tanya lagi, di mana rumah Pala’ (ketua lingkungan. -red). Nanti Pala’ akan menunjukkan jalannya.”.
Bingung? Sama. Namun pencarian ini semakin menarik.
Beberapa pemuda setempat –yang sedang nongkrong di emperan toko– menawarkan jasa untuk membimbing kami ke arah gua, dan menawarkan harga Rp. 150.000,- untuk jasanya, yang langsung ditolak oleh si ibu. “Sudah cari sendiri saja, tanya Pala’, daripada sama preman-preman ini. Tante takut.”.
Ah baiknya, sayang saya sudah punya pacar, Tante.
Setelah sempat nyasar, kami pun kembali ke arah jalan utama dan memutuskan makan siang dahulu di Toronata Coffee House Kawangkoan, yang berumur lebih tua dari mendiang ayah saya. Sekadar informasi, kedai kopi ini terkenal akan sajian kopi dan mie-nya, oleh karena itu saya memesan nasi goreng, karena lapar.
“Oh, gua itu, yang dulunya digunakan untuk tempat mengungsi penduduk waktu perang dengan Jepang.” Jawab si kasir, ketika saya bertanya mengenai Gua Jepang 50 Kamar. “Tapi saya belum pernah ke sana, sih.”
Yeee!
“Tapi kalau lokasinya, tinggal lurus saja dari jalan ini.” Dia menunjukkan jalan di samping kedai kopi. “Nanti ada rumah-rumah penduduk di ujungnya, dan ada jalan kecil di bawah. Dari situ sudah dekat.”
***
Gerombolan bocah setempat mengerubuti kami layaknya para simpatisan partai yang mengelu-elukan calon legislatifnya, ketika kami turun dari mobil yang diparkir Pak Yulius. Sesaat setelah saya mengucap kata “Gua Jepang 50 Kamar” bocah-bocah itu dengan semangat berebut menunjukkan jalannya. “Ayo lewat sini, kak!” Seru Christian Gonzales.
Perjalanan kami berlanjut dengan menyusuri jalan perumahan, yang berujung pada jalan setapak kecil dengan hutan dan jurang di kiri-kanan kami. Bau kotoran babi tercium, dari sebuah rumah sebelum masuk jalan setapak. “Ini peternakan babi.” Jelas Edo, si bocah berbaju merah. “Hati-hati jangan sampai menginjak kotorannya.”.
Jalan paving pun berakhir pada jalan tanah yang licin dan menurun “Ini di sini juga ada gua kecil.” Ucap bocah berbaju kuning sambil menebas ranting pohon yang menghalangi jalan. Saya melihat ke sisi kanan, dan memang ada dua buah lubang yang mirip seperti gua. Setelah jalan tanah berakhir, kami masih harus menyeberangi sungai dengan jembatan kayunya, sebelum mendaki lagi sejauh kurang lebih 50 meter ke arah gua.
“WELCOME TO GUA JEPANG!” Teriak Edo ketika kami telah sampai di undakan terakhir sambil ngos-ngosan. Bocah-bocah itu berlari serempak ke mulut gua yang terletak sedikit menjorok ke bawah ketika saya membidikkan kamera ke arah tersebut. “Hati-hati.” Mereka memberikan peringatan “Di sini agak rendah langit-langitnya, dan di bawahnya ada genangan air.”
Kemudian kami masuk satu-persatu sambil menundukkan badan dan menghindari genangan air. Solar Lantern saya pinjamkan ke bocah berbaju kuning, supaya dia mencerahkan jalan kami. Saya beruntung membawa Solar Lantern tersebut, karena sangat berguna di saat-saat seperti ini. Sekitar 10 meter ke dalam, langit-langitnya sudah cukup tinggi sehingga kami tak perlu menunduk lagi.
“Ini kamar nomor satu.” Jelas Edo, sambil menunjuk ke tempat yang disinari cahaya Solar Lantern. “Dan ini kamar nomor dua.” Ucapnya, sambil menunjuk ke kamar yang di sebelahnya. “Dan itu, kamar yang dahulu digunakan sebagai penjara.”
Edo bercerita bahwa dahulu ada 50 kamar pada gua ini, namun karena berbagai sebab seperti gempa, sekarang hanya tinggal sekitar 32 kamar. Dan bocah-bocah tersebut hapal dengan ruangan pada gua ini karena sering bermain di sini. Ah, I wish that christmas comes early here. So they can get the brand new Playstation.
“Pada ujung gua, di jalanan yang menanjak, terdapat singgasana raja.” Si bocah menjelaskan sambil membawa kami ke tempat yang dimaksud. Sebuah jalan buntu. Belum sempat berargumen dan menjitak si bocah, dia menjelaskan. “Iya dulu di sini singgasana raja, namun sudah tertutup reruntuhan karena gempa.” Dia juga mengatakan bahwa di sini banyak terdapat persenjataan bekas tentara Jepang dan beberapa harta karun, namun ikut terkubur.
Berbeda dengan gua sebelumnya yang memanjang beberapa kilometer, gua ini lebih mirip sebuah lingkaran dengan labirin-labirinnya. Di mana pada tiap labirin terdapat kamar-kamar yang memiliki fungsinya sendiri.
“Mau lihat tempat yang mistis?” Tanya Edo, yang disambut nada setuju dari saya dan Diyan, yang sama-sama haus akan petualangan. “Namanya Batu Pinatowa.”
Tak jauh dari gua, Edo dan beberapa bocah membawa saya dan Diyan ke sebuah bukit kecil di sisi sebelah kiri jalan. Tak ada tangga maupun paving block untuk mencapai puncak bukit tersebut, hanya tanah yang disulap menjadi undakan seadanya dan beberapa pohon yang tumbuh di tepian bukit yang digunakan untuk pegangan. Di atas bukit, bocah-bocah --yang mampu mendaki secepat kilat-- tersebut menunjukkan sebuah pelataran kecil setelah berjalan sejenak, yang dinaungi pohon-pohon bambu yang rindang. Pada pelataran tersebut terdapat tiga buah batu yang disebut sebagai Batu Ayah, Batu Ibu, dan Batu Anak. Alkisah, dahulu ada sebuah keluarga yang dikutuk menjadi batu, dan inilah yang menjadi asal-usul Batu Pinatowa ini. Orang-orang yang mengharapkan kesaktian dapat bertapa dan berdoa di sini. Saking sakralnya, dikisahkan bahwa dahulu pernah ada seorang petani yang mencangkul dan mengenai batu tersebut, kepalanya langsung terpenggal.
Pada perjalanan pulang ke arah mobil, saya bertanya kepada Edo, bahwa sebenarnya apakah yang terjadi di Gua Jepang tersebut. Dia menceritakan bahwa dahulu gua tersebut digunakan tentara Jepang untuk mengurung warga lokal dan membumihanguskan mereka. Namun erita tersebut disangkal oleh seorang kawannya yang mengatakan “YEE, KALAU MATI SEMUA YA KITA GAK MUNGKIN MERDEKA!”
Tak mau kalah, Edo pun menjawab “YA BIARIN, YANG PENTING KAN JAWAB! DARIPADA KAMU DITANYA GAK MAU JAWAB!”
Dan kami pun berpisah dengan bocah-bocah tersebut dengan membiarkan misteri Gua Jepang 50 Kamar ini tetaplah menjadi misteri.
gue jepang emang banyak yah ada dimana2 di menado, di bukittingi jg ada
Iya, di Bandung juga ada!
banyak ya boleh jg klo dikoleksi
di semarang juga ada
di pangandaran juga ada
di jepang ada gak ya gua indonesia?
Eh, di Semarang di mananya broh? *belum tahu*
Kalau di Jepang, adanya “gua” (yang dimasukin orang) Indonesia.
Di daerah umbul sidomukti
ЩĸЩĸЩĸЩĸЩĸЩĸЩĸЩĸ
Semoga tidak ambigu pas saya baca
Huwow, gak jauh dari rumah tuh lokasinya!
pokoknya dari tempat turun flying fox itu susur dibalik bukit, bila anda melihat air terjun, nha dia di sebelah kanannya
iya banyak yah kelihatan klo indo pernah diajah ama Jepang
Gak ada gua belanda ya kak?
itu nyari yuk! h tp koleksi gua2 jepang pasti seru ya
Gimana itu koleksi gua jepang? Hahaha.
maksudnya keliling ke semua gua jepang ajjaja
Ada kak!
…di Belanda.
jepang merajalela selalu aja bikin goa dimana2…. termasuk di sini (nunjuk jantung
Hazeg! Itu pengalaman disakiti maksudnya Mas?
Iyah… Disakiti miyabi… Dia… (Ga sanggup
lumayan nih jalan2nya, rada membakar kalori!
Mayan buat ngurusin betis yak!
lalu bocah-bocah itu dibayar nggak?
Iya, dikasih gocap buat jajan paniki.
Bhahaha… cerita jepang vs belandanya memang paling memorable :))))
Ada foto lu lagi kencing juga, Yan. Mau gue pasang tapi takut kena UU pornografi.
guanya beneran mistis ga, Riev?
Di foto yg kamu bawa lampu itu, kok di samping kepala ada 2 mata ijo sih :p
Lumayan, kalau masuk sendiri ya merinding, Debz. Haha.
Itu orbs! #EAAA
Asik template baru ehehe. Udah nggak dot wordpress lagi 😀
Gue ngakak banget pas lihat foto lo dengan muka yang disenterin kayak gitu, cocok kalo main film jad arwah penasaran wkwkwk. Btw itu bocah-bocah Manado tampangnya Manado bgt yaaa (ya iyalah)
Ahahaha, pasti lu baru main ke sini lagi setelah beberapa lama ya?
Ini udah pakai dari tahun lalu, broh, themenya!
Haha sial, gue kurang montok buat main film begituan.
Sebenernya nggak juga sih, mas. Cuma gue biasa baca dari hape aja sambil ngopi pagi2 di kantor :3
Errr, apa hubungannya peran setan dengan bodi montok? 😐
Ahaha, di henpon harusnya kelihatan sih bedanya :p
Peran setan di Indo kan montok-montok brohhh..
Gue bukanya di aplikasi, bang.
Mas udah montok kok buat main peran horor. Itu perutnya kurang montok apa coba.
FAAKKKK!
Kk pasti inget saya kan? Saya edo kak
FB:Edo alfredo Saubi
Di add yah kak :D😁😁😀😀
Lama gkk ketemu
Waaahhhh, apa kabaaar? Bisa ketemu juga di sini hahaha.
Sehat Do?
Ga sekalian nginep di salah satu kamar di gua mas? haha
Temenin 😦
ga mau
Berasa engap nggak di dalamnya ? 🙂
Enggak begitu sih, karena ada angin dari luar dan dalam, jadi malah sejuk. Mungkin di beberapa spot agak engap karena debu.
Iya, di Indonesia ini banyak banget gua Jepang, di Lombok, Bukittinggi, Bandung. Mungkin karena gua alami di Indonesia jumlahnya lumayan banyak ya, jadi kelihatannya packaging tempat wisata gua2 Jepang di Indonesia kesannya kok kumuh dan gak terawat gitu. Atau wisata beginian ini termasuk spot wisata dengan minat khusus ya?
Iya, gua alami malah lebih kece dengan stalaktit dan stalakmit. Tapi sebenarnya kalau dikelola bagus dan ditambah bumbu cerita –baik sejarah atau mistis– sih bisa jadi objek wisata yang menarik, haha.
Minat khusus mungkin, makanya pas ke sana kemarin aku ditanya, mau ngapain ke Gua Jepang. D’oh!
ini gua pasti peninggalan masa perang dunia kedua. nemu bomng enggak didalamnya? :p awas meleduk 😀
Kalau bawa Sarah Azhari ke dalam gua pasti nemu, masbro!
jangan berduaan doang, nanti yang ketiga setan :hammer:
wah, seru ya Riev, kapan-kapan mau coba, ah..
Coba dong, biar seru! Wih, blog lu udah .com nih sekarang? CIEEE!
Dan misteri gua jepang 50 kamar tetap menjadi misteri…
Kebayang kalo nekat sendiri ke gua Jepang Kawangkoan. Nggak bakal bisa pulang selamat, lorong-lorongnya bikin pusing.
Hooh, jangan sendirian, apalagi kalau Limbad. Kasian, udah teriak-teriak gak ada yang nolongin.
Ada yang ngikutin ga? Trus denger derap langkah prajurit ga? Biar tambah seru gituu :p
Banyak yang ngikutin broooh…
…di Twitter #EAAA
Ah gue demen yang horor hororan begini,,, jadi inget waktu ke kuburan di toraja, gue ogah sewa lampu petromaks 25rb karena bokek hahaha,,, ngekorin pengunjung lain yg sewa terus pas balik ditinggalin hahahahahha
Waitu gue udah baca blogpost elu hahaha, ada cerita Londa tapi belum sempat ditulis di blog juga :p
Wihh seru nih, masuk goa Jepang pas di Tahura Juanda Bandung udah merinding gimana, apalagi goa 50 kamar…
Nggak ketemu teh kunti di sana kan, riv? *serius nanya*
Wah aku malah belum pernah ke Tahura Bandung, ntar ke sana ah, katanya sih seram ya?
Kunti? Enggg.. aku gak bisa ngerasain, Lim. Haha!
Mlipirlah ke Tahura riv, goa-nya masih terawat dan lumayan spooky sih hehe.
Temenin aku Lim, aku penakut anaknya 😦
Ya udah ntar kalo mlipir ke Bandung kutemeni deh. Oh iya, aku pake baju merah ya *kmudian mangkal* 😀
LOH KAMU DUKUNG JOKOWI JUGA?!
*salah fokus*
Huahaha salah baju nihh sikk ta ganti baju putih… *tetep mangkal di pojokan* >_<
Halim, gak boleh golput ya nak. Masa depan bangsa berada di tanganmu.
Banyak kali nich gua jepang, dimana2 selalu ada. Ah gw jadi penasaran, kapan lalu ke manado cuman lewat aja padahal dah di tunjukin tapi gw ngak begitu tertarik hehe
Kamu kan sukanya gua yang lain kak, aku tahu itu!
BTW, Panasonic Lantern nya beli dimana? Harganya?
Coba langsung kontak @IDPanasonic di Twitter, Mas. Harga sekitar 500 ribuan.
Hi,
Kawangkoan adalah kampung saya…. thanks to visited.
Dan…, Toronata Coffee House jg adalah restaurant milik orang tua saya… thanks to visited also… I hope you enjoy during came to Kawangkoan, enjoy the café. kacang and gua jepang…
Please feed back especially service at Toronata Coffee House….
Halo Bung Stefen, salam kenal!
Kunjungan ke Kawangkoan kemarin sangat menyenangkan, cuma mungkin hanya terbatas di waktu yang sedikit. I really enjoyed my visit, dan semoga bisa ke sana lagi dan merasakan kopi khas Toronata lagi.
Kayaknya ini bakal jd next ‘cave hunter’..saya suka goa mas..thanks ya infonya..anyway itu bocah2 kereenn,,sugoiii (gaya dikit lah ya pake bhs jepang satu kata aja ga banyak) mereka adalah generasi penerus bangsa yg doyan main tapi doyan dan tau sejarah juga..ahhh senang dehh baca ini,,
Wah baru nemu nih cewek yang suka goa, karena biasanya cowok yang suka. Iya, keren dan lucu-lucu haha. Kalau ke sana, salam ya buat mereka.
Fokus donk Goa nya yg mn -_-” lho..hahaha..InsyaAllah disalamin klo berjodoh..
wah hebat kecil2 udah pada pinter jadi guide
iya, banyak banget guidenya!
mantap apalagi ditambah dengan pendidikan dan pelatihan bisa jadi guide profesional mereka.
Aamiin semoga ke depannya mereka mau menjadi orang yang bermanfaat 😀
Gw suka banget dengan cerita pengalaman nya di gua jepang Manado ini.
Nambah wawasan jika liburan ke sana.
Thanks atas info nya
Siap! Semoga segera terwujud liburan di sananya!
Di Sultra ,tepatnya di kabupaten Bombana juga ada gua Jepang. Bahkan masih lengkap dengan mobil jeep, tank, serta amunisi dan senjatanya. Bahkan konon ada pesawatnya juga. Hanya untuk masuk kesana di butuhkan waktu sehari semalam. Tetangga yang sudah pernah masuk bahkan dia ambil amunisi satu renteng untuk kenang kenangan katannya. Kalau saya sih penasaran tapi dengan alasan jauh beliau tidak bersedia mengantar. 🙂
WHOAAAA! Kok sepertinya seru dan menarik banget guanya, Mas. Saya baca balasan Mas saja sudah penasaran banget pengin ke sana. Semoga memang ada benar dan bukan sekadar isapan jempol belaka ya. Kalau sudah ke sana mohon diinfokan Mas 🙂
Nice info gan..
Thanks gaaaan!
sebenarnya tepat dibawah tanah kota manado terdapat labirin2 goa yg sangat panjang… namun banyak yg sdh tertimbun karena sering gempa bumi, menurut nenek saya… ada ruangan yg cukup luas dan besar utk tempat pengungsian kalau ada pemboman sekutu
Wah fakta yang sangat menarik ini!
Tapi saat ini sudah tidak bisa diketemukan di mana ya? Padahal itu sisa-sisa sejarah yang harusnya bisa dilestarikan.
cukup menarik..jd pengin k situ…
Hayuk atuh ke sana 😀