Saya memarkir mobil pinjaman di depan bangunan yang nampaknya sudah tak berpenghuni tersebut, kemudian saya mendekati pintu dan melongok ke jendelanya. Nampak tak ada siapa-siapa di dalam. “Kamu yakin di sini tempatnya?” Saya bertanya ke Cicik, teman saya yang mengatakan bahwa ada hotel murah di daerah ini.

“Umm.. Kata temanku sih di sini tempatnya.” Jawab Cicik bingung, sebingung mengapa dia bisa dipanggil Cicik.

Saya melongok ke dalam sekali lagi, ada meja dengan kertas berserakan di atasnya. “Kayaknya bukan ini deh Cik, tempatnya.” Saya berjalan kembali ke arah mobil. “Ini nampak seperti kantor yang sudah tak terurus.”

Cicik berjalan ke arah gerbang depan, memarkir mobil supaya bisa keluar dengan sempurna, sebelum masuk kembali ke mobil “Mungkin, agak ke sanaan lagi ya tempat hotelnya.”

Saya mengangguk.

***

Perjalanan saya ke Manado kali ini, memang untuk kepentingan dinas selama empat hari. Namun, dasar mental traveler yang melekat pada diri saya, saya memutuskan untuk menambah hari liburan menjadi enam hari, dengan menambahkan Sabtu dan Minggu. Dan di dua hari itulah saya ditemani Cicik untuk berkeliling Manado dan sekitarnya, tentunya dengan mobil pinjaman dari kantornya. Terima kasih Cicik.

Beberapa jam sebelumnya, sambil menunggu Cicik pulang dari kantor, saya telah berjalan-jalan keliling Manado ditemani oleh Rindang. Waktu yang singkat itu saya habiskan untuk menyantap Nasi Kuning Seroja, menyusup ke sempitnya Jalan Roda sambil menikmati Pisang Goroho dan Teh Susu di warungnya yang khas, hingga menghabiskan makan siang di Manado Town Square, yang biasa disingkat Mantos, bukan Mantowsqu. Terima kasih Rindang.

DSCN7548

Pisang Goroho Sambal & Teh Susu

***

“Coba belok ke kanan!” Seru Cicik, pada saya yang sedang memegang setir. Saya melihat ke kanan, sebelum memperlambat laju mobil. Di sana ada sebuah bangunan yang mirip dengan bangunan pertama tadi. Cuma dengan keadaan lebih tak terawat. Saya berbelok ke kanan, dan mengarahkan mobil ke bangunan tersebut. Di tembok depannya terpampang tulisan “Horizon Hotel” namun jalan masuknya sudah diblok oleh rangkaian kayu yang dipasang melintang.

“Kamu yakin, ini hotelnya, Cik?”

DSCN7600

Tampak depan Horizon Hotel

“Umm.. Kata temanku sih iya. Karena di sekitar sini, kayaknya cuma ini deh hotelnya.” Nadanya bergetar, Cicik nampak masih ragu dengan jawabannya sendiri.

“Oke, coba kita tanya orang dulu. Omong-omong pintu masuknya mana ya?” Saya menatap kembali pintu depan yang terblokade, sebelum kemudian mengambil jalan menurun yang terletak di samping (bangunan yang kami duga adalah) hotel.

Terdapat sebuah bangunan kecil yang seperti pos satpam, di ujung jalan tersebut. Dan seorang yang tidak kelihatan seperti satpam muncul dari dalam pos tersebut. Tampangnya lusuh, selusuh baju yang dikenakannya. Entah jarang dicuci, atau memang warna putih pada bajunya telah pudar karena terlalu sering dipakai. Pria tersebut mendekati saya, dengan tatapan yang seperti menelanjangi lawan bicaranya, dia berkata “Cari kamar, Mas?”

Saya ingin menjawab “Cari jodoh, Mas.” tapi saya urungkan karena takut dia akan semakin menelanjangi saya dengan tangannya, dan tanpa bisa saya kendalikan, dua kata ini muncul dari bibir saya “Iya, Mas.”

“Yuk, masuk.” Ujarnya, dan saya tanpa sadar telah berjalan di belakangnya, masuk ke (bangunan tua yang masih belum pantas untuk saya sebut) hotel tersebut, melalui pintu kecil seukuran dua orang Miss WRP berjalan menyamping.

Sebuah tangga ulir menyambut saya di dalam bangunan tersebut, tangga yang menghubungkan lantai satu dan dua pada bangunan tersebut. Penerangan di dalam bangunan tersebut sangat kurang, dan bahkan pada beberapa sudut ruangan, hanya mengandalkan penerangan dari cahaya matahari saja. Temboknya sudah berjamur, langit-langitnya sebagian sudah menganga, dan kusen di ruangannya sudah lapuk oleh rayap. Sungguh, ini adalah hotel dengan penampakan terseram yang pernah saya kunjungi.

“Di sini, ada dua tipe kamar. Yang seharga seratus ribu tanpa televisi, dan yang seharga seratus lima puluh ribu dilengkapi televisi yang bisa nyala.” Pria itu menjelaskan, sambil membuka pintu salah satu kamar.

DSCN7586

Di balik jendela kamar

Sang surya, menerangi kamar tersebut malas-malasan, menjatuhkan nurnya tepat pada sepasang sofa tua berlubang. Di ujung lainnya terdapat televisi, di atas rak besi yang berkarat. “Ini, kamar yang berapa, Mas?” Tanya saya.

“Seratus ribu.”

“Kok ada tivinya?”

“Itu cuma pajangan saja, gak bisa dipakai.”

“…”

“Jadi, mau ambil kamar yang mana?”

Saya bimbang, melihat kondisi hotel yang sangat memprihatinkan ini mengingatkan saya akan nasib rakyat Indonesia. Saya menoleh ke arah Cicik, raut mukanya menunjukkan jawaban “Jangan diambil, cari hotel yang lain saja. Kayaknya seram tidur di sini.” Sementara di lain pihak, saya berpikiran toh hanya satu malam di sini, sebelum pindah ke hotel bintang lima yang diakomodasikan oleh kantor keesokan harinya. Dan akhirnya saya memutuskan.

 “Yang seratus ribu saja, Mas.”

“Okem kalau begitu. Ini kuncinya. Pria tersebut menyerahkan kunci kepada saya, sembari memasukkan uang seratus ribu yang saya serahkan, ke dalam kantung bajunya. “Selamat.”

Saya memandang kunci yang diserahkannya ke saya, sebuah kunci yang digantungkan pada kayu tua bergurat. Terdapat tiga goresan angka di atasnya, yang kemudian saya mengenali dua angka terdepan sebagai 13. Angka sial.

Sial.

DSCN7589

The lucky 13 (I hope)

***

Saya memacu Ford Ranger Double Cabin 6 Speed 2.200 cc yang dipinjam Cicik dari kantornya, menjauhi kota. Sore itu kami akan menuju Patung Yesus Memberkati, yang terletak sedikit di luar Manado, tepatnya di Perumahan Ciputra. Patung ini sendiri merupakan salah satu icon Manado, juga merupakan yang tertinggi kedua di Asia (30 meter tinggi patungnya, 20 meter tinggi penopangnya, dan 20 derajat kemiringannya). Konon, biaya pembuatan patung ini mencapai lima miliar rupiah, dan idenya sendiri digagas langsung oleh Ir. Ciputra.

“Eits, kelewatan tempatnya. Ayo mundur lagi.” Seru Cicik pada saya.

“Mu..mundur? Gimana caranya?” Saya menjawab sambil memperhatikan posisi perseneling yang tak biasanya.

“Ya tinggal mundur aja.” Jawab Cicik.

“TA..TAPI, INI POSISI R-NYA DI SAMPING ANGKA 1!”

2013-04-13 15.48.53

6 Speed Ford Ranger, tapi gimana cara mundurinnya?

Saya bingung, tak menyangka proses memundurkan mobil pun bisa menjadi sepelik Kasus Century. Saya mendorong tuasnya ke kiri, menekan tuasnya ke bawah, sampai mengelus-elusnya naik turun dengan gerakan erotis. Namun tetap gagal, mobil tetap bergeming. Hingga akhirnya, Cicik menelepon temannya, yang biasa memakai mobil ini.

“Di leher tuasnya, ada semacam kenop. Naikkan ke atas sambil geser tuas ke ujung kiri lalu naik.”

Berhasil, mobil tersebut mundur dengan lancar.

Yesus Memberkati.

DSCN7561

Monumen Yesus Memberkati

***

Tujuan berikutnya, adalah makan lagi dan lagi-lagi makan. Jalanan yang padat, serta arus lalu lintas yang macet membuat perjalanan kami ke Tanawangko Kalasey menjadi tersendat. Cicik berkata akan mentraktir saya makan di rumah makan yang terkenal akan sajian seafoodnya yaitu Rumah Makan Ria Rio, yang terletak tepat di bibir laut kawasan tersebut. Saya membiarkan Cicik memesan sendiri makanan dan minuman yang tersedia di daftar menu, lalu inilah akibatnya.

DSCN7569

Cicik Aini, yang membuat saya bingung kenapa bisa dipanggil cicik.

Makanan demi makanan berdatangan, mulai dari kepiting lada hitam, cumi goreng tepung, ikan kerapu masak woku, hingga pakis tumis bunga pepaya. Semuanya nampak lezat di mata saya. Kemudian setelah berdoa dan meng-upload foto makanan tersebut ke Instagram juga Twitter, saya makan dengan lahap sambil berharap saya bisa tidur dengan nyenyak malam nanti.

***

Malam baru akan berakhir ketika saya menginjakkan kaki kembali di Horizon Hotel, ada rasa yang berdebar ketika saya memasuki kembali pintu kecilnya. Lorong yang gelap, tangga berulir tanpa pegangan sempat membuat saya berpikir untuk mundur. But there is no way back, hari sudah hampir tengah malam, dan tak mungkin mencari penginapan lain lagi selain ini. Setelah menghiraukan suara-suara cekikik yang terdengar dari kamar di dekat ujung tangga, saya memasukkan kunci bertuliskan angka 13 tadi ke dalam lubang pintu, menarik gagangnya ke bawah, dan membuka pintunya. Dan setelah menyalakan lampu kamar, jantung saya berdegup semakin kencang.

DSCN7579

Uji nyali dimulai.

Hawa dingin merambat naik, melalui sela-sela kaki tepat ketika saya melangkahkan kaki di dalam kamar tersebut. Ternyata ada yang lupa mematikan AC tadi siang, pantas saja dingin. Cahaya remang-remang yang menguasai kamar, ternyata bersumber dari lampu bohlam yang terpasang pada langit-langitnya. Ada dua kemungkinan, mengapa lampu bohlam masih digunakan pada tahun 2013 ini. Yaitu (1) Inah belum mengganti lampu bohlamnya dengan neon, dan (2) Pemilik hotelnya belum mendengarkan instruksi P-Project. Air yang mengucur dari AC yang kemudian merembes turun ke tembok di bawahnya semakin menambah efek dramatis dari kamar ini. Suasananya begitu sepi, sedemikian sepi hingga saya bisa mendengar degup jantung saya sendiri. Saya menyesal tak memesan kamar yang bertelevisi aktif, karena saya merasa sangat kesepian malam ini. Tak ada Pak Leo maupun Harry Panca yang akan menolong, jika saya melambaikan tangan ke arah kamera handphone.

Di penghujung doa malam itu, saya berharap supaya malam ini segera berakhir.

***

Dengan masih mengenakan jaket dan celana jeans panjang yang saya pakai seharian, serta tanpa mematikan lampu kamar, saya mencoba tidur dengan berbagai posisi, mulai telentang, telungkup, hingga misionaris. Dan hasilnya, saya tertidur ketika mata saya terpejam.

Saya tertidur dengan pulas, hingga saya mendengar suara ketukan di pintu. Yang makin lama semakin kuat.

“tok tok tok.”

Saya masih memejamkan mata.

“TOK TOK TOK.”

Saya mulai membuka mata.

TOK! TOK! TOK!

Dengan sekuat tenaga, setelah mengumpulkan nyawa dan keberanian, saya melangkah ke pintu. Dengan tangan yang gemetar, saya memegang gagang pintu tersebut, memutar kuncinya dengan tangan kiri saya, dan menariknya ke dalam. Pintu terbuka perlahan.

Saya terkejut.

Cicik juga terkejut.

“AYO BERANGKAT, KITA KAN MAU KE TOMOHON HARI INI.” Serunya. “INI SUDAH JAM TUJUH LEWAT!”

***