Tak ada pendingin udara pada bus bekas perang dunia ke-II tersebut, hanya mengandalkan jendela yang kacanya dibuka separuh sehingga udara luar bisa masuk ke dalamnya. Saat itu pukul setengah enam pagi waktu Bagan, di mana suhu udara sedang dingin-dinginnya. Saya meringkuk, mencoba mencari kehangatan dari memeluk tubuh sendiri, namun gagal. Sweater biru lusuh yang saya kenakan pun tak banyak membantu pada udara seperti ini.

Bus mulai berbelok meninggalkan jalan beraspal, masuk ke jalur yang bukan semestinya tidak dilalui kendaraan bermotor, melewati Shwesandaw Paya, tempat saya melihat sunset kemarin. Namun ini masuk lebih jauh lagi, dengan jalanan yang semakin tak karuan, dan tanpa penerangan sedikit pun. Apabila ini tahun 1945, saya pasti sudah mengira bahwa saya sedang diculik ke Rengasdengklok. Namun ini tahun 2014, dan saya sedang di Bagan, menuju landasan balon udara, Balloons Over Bagan.

Seorang kru meminta kami semua untuk turun dari bus, dan menikmati secangkir teh atau kopi hangat (atau dua jika kurang, bahkan tiga jika ada yang tak tahu malu), sambil menyaksikan persiapan balon udara sebelum lepas landas.

P1050331

Hot air balloon preparation

Lidah api disemburkan ke udara, oleh mesin yang membakar propana cair bercampur udara. Sebuah pemandangan menakjubkan pada pagi hari, ketika itu menjadi satu-satunya cahaya yang menerangi saya. Tak berapa lama, setelah peralatan dipastikan siap dan berjalan dengan baik, kami dipanggil satu persatu oleh seorang bule yang kemudian saya ketahui adalah pilot balon udara saya.

Kami menurut, bagai kerbau dicocok hidungnya.

Dave –nama pria berkebangsaan Inggris tersebut– mengumpulkan kami pada sebuah tanah lapang tak jauh dari situ, sebelum membagikan sebuah topi yang berwarna senada dengan sweater saya. Di sana telah tersedia seperangkat balon udara, lengkap dengan balon raksasanya yang masih tergeletak kempis di tanah. “You have lot of time to take photos.” Serunya, yang membuat saya menurunkan kamera saya. Aduh. Ketahuan. “But now, you have to listen carefully.” Tambahnya, sambil menjelaskan prosedur keselamatan balon udara, dan posisi mendarat yang tepat. Saya menurut, walau mungkin akan lebih menarik jika sang peraga adalah seorang model wanita, bukan seorang Englishman gemuk, tua, dan berwajah sangar.

Prosesi persiapan balon udara hingga siap untuk terbang, sudah merupakan sebuah kesenangan tersendiri untuk saya. Maklum, ini adalah pertama kalinya saya berkesempatan naik balon udara, setelah sebelumnya hanya bisa bernyanyi Balonku ada Lima. Balloons Over Bagan –yang dikelola sepasang suami istri Australia-Myanmar– sendiri, memiliki sepuluh buah balon, namun tidak rupa-rupa warnanya.

Pada awalnya, balon diisi udara dengan menggunakan blower berukuran besar hingga separuh mengembang dan mampu terbang ke udara. Kemudian disusul dengan menggunakan mesin pembakar yang menghembuskan propana ke dalamnya. Setelah balon terkembang dan ditambatkan pada bus, Dave meminta kami semua naik satu persatu dengan cara memanjat. Sehingga total ada 16 penumpang dalam empat kompartemen, bersama dengan seorang Englishman gemuk, tua, dan berwajah sangar di tengah-tengah.

Setelah kami semua masuk, duduk manis, dan berpegang pada tali yang telah disediakan. Satu persatu pemberat yang menempel –termasuk kait yang terpasang pada bus– dilepas, dan perlahan kami terbang ke udara.

“AAAHHHHH!!!”

Saya seakan tak percaya akan peristiwa yang terjadi, ketika semua benda yang menempel di tanah terlihat semakin kecil dan kami semakin tinggi meninggalkannya. Balon-balon yang belum mengudara tampak seperti balon anak-anak yang diikat dengan batu supaya tidak terbang, sementara orang-orang, bangunan, dan mobil di bawah, terlihat bagai sebuah diorama keindahan ketika matahari perlahan muncul di ufuk timur sementara balon udara kami melayang mengikuti arah angin bertiup. Saya beruntung dapat menikmati perjalanan balon udara ini, sementara rekan saya Vira Indohoy yang mengunjungi Myanmar beberapa waktu lalu mencak-mencak karena penerbangan balon udaranya dibatalkan karena cuaca buruk. Kasihan.

P1050425

Balloons Over Bagan

Udara yang dihembuskan oleh mesin pemanas membawa kami naik, sementara angin yang bertiup pagi itu, menghembuskan kami mendekati Sungai Ayeyarwaddy yang bertugas memisahkan Bagan dengan Myaing dan Monywa. Dave mengatakan, bahwa tidak seharusnya balon terbang ke sini, namun arah angin yang seketika berubah –layaknya sikap seorang wanita PMS– telah membawa kami ke tempat ini.

Dan tak berapa lama, balon-balon yang lain pun ikut bermunculan satu per satu layaknya masalah seorang wanita PMS.

P1050479

Ayeyarwaddy River from the top

Di ketinggian seribu kaki, balon udara kami berhenti dengan tenang, dan tidak terombang-ambing. Saya yang duduk pada salah satu sudut balon pun sibuk mengabadikan pemandangan menakjubkan yang berada luas di bawah. Sementara Dave, si Englishman gemuk, tua, dan berwajah sangar tampak berkonsentrasi mengendalikan balonnya.

You see over there?” Tunjuknya pada dua buah titik berwarna hijau di kejauhan. Kami yang mendengarnya mengangguk, ketika melihat dua buah titik, yang kemudian kami sadari adalah dua buah balon udara juga. “It’s other company. Runs by the Dutch.”.

So, how about Balloons Over Bagan?” Seorang pria tua bertanya pada Dave. “Do you have any local pilot?

Dave menggeleng. “No, all Englishmen.”

Saya yang memperhatikan balon hijau di kejauhan bersyukur, karena balon kami tidak berwarna hijau, sehingga terhindar dari kutukan lagu Balonku Ada Lima.

P1050474

Dave, Englishman gemuk, tua, dan berwajah sangar.

Bagan has thousand temples.” Dave melanjutkan, sambil menunjuk ke salah satu kuil besar yang terdapat di bawah kami. “That’s Mingalazedi Temple.” Ucapnya, atau setidaknya begitulah yang saya dengar. Maklum, saking banyaknya kuil di Bagan, nama dan bentuknya pun hampir mirip-mirip. Beda dengan di Indonesia, ketika orang bisa dengan mudah menyebutkan beda antara Borobudur, Prambanan, dan Sarkem.

Kuil besar tersebut tertutup rangka besi pada stupanya, nampak seperti sedang direnovasi. Wajar saja, mengingat kini hanya tersisa sekitar 2.200 kuil dari kurang lebih 10.000 yang dibangun pada abad 11 hingga 13 , sehingga perawatan dan pemugaran kuil sangat diperlukan untuk menjaga kelestariannya.

Dave membawa kami terbang rendah, hampir setinggi stupanya. Dan saya langsung mencolek salah seorang bule bertopi abu-abu dan berjambang tipis yang berdiri pada kompartemen sebelah. “Can you help me to take my picture?” Tanya saya sopan, sambil memberikan kamera padanya.

Sure!

Setelah kira-kira setu jam mengangkasa, Dave mengumumkan bahwa balon akan segera memasuki landing position dan memberikan ten minutes camera time untuk menyelesaikan aktivitas foto-foto di udara. Saya yang merasa belum puas pun segera mengambil gambar sebanyak-banyaknya, apa saja yang tertangkap kamera, termasuk ketiak basah Dave, si Englishman gemuk, tua, dan berwajah sangar.

Salah satu hal paling keren dari penerbangan balon udara, adalah, kamu tak akan tahu di mana tempat mendaratnya, karena faktor yang paling mempengaruhi pendaratan adalah arah angin. Bisa saja di komplek kuil, di ladang milik warga, ataupun di pinggiran sungai, you will never know until it happens. Dan untuk itulah seorang Dave dibayar mahal, untuk melakukan pendaratan sempurna di tempat yang tak terduga.

P1050565

Finding a perfect spot to land.

Melalui penyeranta yang selalu dipegangnya, Dave melakukan koordinasi dengan rekan-rekannya di darat. Dari jauh, saya melihat sebuah bus yang juga digunakan untuk menjemput kami, bergerak ke arah estimasi lokasi pendaratan. Ketika aba-aba pendaratan diteriakkan Dave, para penumpang bergegas duduk pada kompartemen masing-masing, menyenderkan kepala ke belakang, dan memegang erat tali yang terletak di hadapannya. Termasuk saya.

Balon bergerak secara vertikal ke bawah, mendekati tanah. Dan tak sampai satu menit hingga saya mendengar bunyi tersebut.

DUG!

SRETTTT!

Keranjang balon udara menempel statis di tanah, sementara balonnya masih membumbung tinggi. Dave meminta kami turun satu persatu, untuk menuju ke meja makan dadakan, di mana telah disiapkan sarapan ringan mulai dari roti, buah-buahan, dan sampanye yang bisa diisi ulang. Saya menikmati sepotong roti dan segelas jus sambil menatap balon udara raksasa yang perlahan mengempis dan menipis dari kejauhan.

Sebelum benar-benar berakhir, Dave, si Englishman gemuk, tua, dan berwajah sangar membagikan sertifikat tanda kelulusan karena telah berhasil mengikuti penerbangan balon udara bersama Balloons Over Bagan. “It’s your name written in Burmese language.” Jelasnya sambil terkekeh, karena kami tak tahu apakah yang tercetak dalam aksara Burma tersebut adalah nama kami atau nama Adam Levine.

Ah, akhirnya saya mengubah pendapat saya tentang Dave, karena ternyata dia tak sesangar yang saya kira.

QUESTIONS

Beberapa waktu lalu, ada beberapa pertanyaan yang masuk melalui akun Instagram saya, menanyakan hal-hal tentang Balloons Over Bagan, di mana salah satunya datang dari Easther Anindya, yang menanyakan hal-hal sebagai berikut (keterangan: hijau untuk pertanyaan, dan merah untuk jawaban).

1. Transportasi dari tengah kota menuju tempat balon udara. Waktu tempuh, biaya, alternatif transportasi dan rekomendasi soal transportasi.

1. Transportasi semuanya telah disediakan oleh pihak Balloons Over Bagan, jadi tidak perlu khawatir akan itu. Cukup pastikan bisa bangun pagi sesuai jadwal jemputan.

2. Cara pendaftaran supaya bisa naik balon udara, HTM dan ketentuan yang boleh naik balon udara itu, misal : berat badan maksimal, tinggi badan minimal, dsb. Harus berkelompok kah? Atau sendiri juga bisa tapi join sama yang lain? Apakah bisa dilakukan pendaftaran sebelumnya atau on the spot. 

2. Cara pendaftaran bisa reservasi via email, HTM tergantung musim dan harinya, tinggi tidak dibatasi, namun ada berat badan maksimal yang harus dipenuhi (karena kalau terlampau berat akan dihitung sebagai dua orang), bisa sendiri seperti saya, dan sebaiknya TIDAK on the spot.

3. Pada saat hendak masuk ke dalam keranjangnya itu, persiapan apa saja yang harus dilakukan? Adakah perlengkapan khusus yang harus digunakan untuk keamanan kita?

3. Persiapannya adalah mematuhi instruksi, perlengkapan khusus, cukup kenakan pakaian saja, jangan bugil karena di atas sedikit berangin.

4. Pada saat balon mulai mengudara perasaan seperti apa? Dan pemandangan apa saja yang bisa dilihat dari sana? Hal-hal apa saja yang boleh dilakukan dan yg tidak boleh dilakukan.

4. Perasaan dan pemandangan sudah disebutkan pada artikel, sementara yang boleh dilakukan adalah menikmati penerbangan, dan yang tidak boleh dilakukan adalah memanjat balon udara atau mengambil foto dari luar balon udara.

5. Durasi saat naik balon udara dan cara pengoperasian balon udara.

5. Durasi, dimana-mana berkaitan dengan stamina. Dalam hal ini stamina dipengaruhi oleh bahan bakar dan arah angin, berkisar 45 menit sampai 60 menit. Cara pengoperasian, bukan wewenang saya untuk menjelaskan.

6. Pada saat selesai, hal apa saja yang perlu diperhatikan.

6. Apabila sendiri, tenang saja. Apabila bersama pasangan, jangan sampai pasangan tertinggal dalam keranjang.

IMGP2175

Enjoy your flight!

[BALLOONS OVER BAGAN]

FMI Centre, Room No. 806 & 807, Level 8, No. 380,

Bogyoke Aung San Road, Pabedan Township, Yangon, Myanmar.

(+95-1) 240363, 240373, 246933, 246988, 240400 (EXT – 1806/1807)

http://www.easternsafaris.com/balloonsoverbagan_home.html

res@balloonsoverbagan.com