Matahari bersinar terik tepat di atas kepala atas kami, saat Jim memarkir jeepnya pada warung kelontong yang terletak di samping sebuah gang kecil. Sebuah papan petunjuk bertuliskan Fairy Stream dan anak panah kecil yang menggantung di bawahnya nampak lebih menarik daripada Jim atau warung kelontong itu sendiri. “Just go straight, and follow the path.” Jim menjelaskan. “And you will find the stream. Fairy stream.”

“Um, okay. And you don’t go with us?” Timpal saya.

“No, I wait here. And now you have …” Pria itu melirik arloji yang dikenakannya sebelum berucap “45 minutes from now.”

BANGSAT.

[Baca: First Time in Vietnam (1) – Perjumpaan dengan Mister Ly]

Part III –  Pencarian Air Terjun Para Bidadari

Fairy stream, atau air terjun para bidadari adalah salah satu objek wisata kebanggaan Mui Ne selain pantai dan gurun pasirnya yang termahsyur. Untuk mencapainya, kami harus berjalan kaki sejauh kurang lebih dua kilometer dari jalan raya ke arah yang ditunjukkan anak panah, melewati:

  1. Sungai yang dangkal dan keruh;
  2. Hamparan batuan karst yang berwarna warni indah;
  3. Semak belukar yang terkombinasi unik dengan pepohonan hijau;
  4. Pilihan 1, 2, dan 3 benar.

Di awal jalur trekking, seorang anak kecil yang fasih berbicara bahasa Inggris menawarkan jasa untuk menjadi guide kami menuju air terjun tersebut. Namun kami menolaknya, karena kami merasa dia belum cukup umur bahwa kami bisa menemukan air terjun tersebut sendiri.

Namun ternyata anggapan kami itu salah, dan kami kualat terhadap anak kecil tersebut.

Mui Ne

Sudah hampir 45 menit kami berjalan –atau tepatnya setiap sepuluh menit berjalan, ada lima menit sesi untuk foto-foto. Ulangi sebanyak tiga kali, namun air terjun tersebut belum juga menunjukkan batang airnya. Beberapa turis mancanegara lain berjalan ke arah yang berlawanan, di mana turis terakhir yang kami temui berkata “Just go straight, you almost there. Maybe around thirty minutes more.”

APA, TIGA PULUH MENIT LAGI?!!!

Beruntung, karena langkah kaki kami yang cepat dan terbiasa menghadapi padatnya Jakarta, maka tak sampai tiga puluh menit kami telah tiba di ujung sungai. Atau lebih tepatnya setelah berjalan dua puluh sembilan menit tiga puluh tujuh detik, kami tiba di tempat yang dikatakan sebagai air terjunnya para bidadari tersebut.

Air terjun mungil kira-kira setinggi tiga meter mengalir dari sungai kecil di atasnya, mengisi debit air sungai yang kami lewati sepanjang perjalanan tadi. Kami sempat diam, bengong, dan tertegun bagaimana bisa air terjun yang hanya setinggi tiga orang bule dewasa ditumpuk ke atas, menjadi salah satu magnet wisata Mui Ne, sedangkan air terjun keren yang berada di Ujung Genteng, Sukabumi malah seperti belum terjamah dan kurang promosi.

Walaupun masih kalah dibanding air terjun Semirang di Ungaran, saya justru salut dengan ide pariwisata Vietnam, yang membuat orang penasaran dengan nama Fairy Stream ini. Fairy berarti bidadari, stream berarti arus, atau dapat diartikan sebagai air terjun di sini. Nama yang membuat pria-pria haus wanita penasaran.

Lalu memangnya ada bidadari yang mereka janjikan itu? Lucky us, sedang ada satu bidadari yang mandi di air terjun ini. Dan inilah penampakannya.

Fairy Stream Mui Ne

Sekembalinya pada ujung gang yang sama, kami menemukan Jim yang telah menunggu selama hampir dua jam. Memanglah melihat bidadari mandi langsung pada tempatnya, telah membuat kami lupa waktu. Tanpa menunggu waktu lebih lama lagi, berangkatlah kami menuju kejutan berikutnya.

Part IV:  Senja di Gurun Pasir Merah

Tak ada yang spesial dari Fishing Village yang ditunjukkan Jim sore itu, hanya sebuah perkampungan di mana terdapat puluhan kapal nelayan yang ditambatkan di pinggiran laut. Setelah mengambil beberapa foto dari berbagai angle, kami melanjutkan perjalanan ke White Sand Dune, atau gurun pasir berwarna putih.

Perjalanan menuju gurun pasir putih menempuh jarak yang cukup jauh dari Fishing Village, karena kami harus melalui jalan luar kota yang panjang dan sedikit berkelok, melewati pemakaman Vietnam yang cukup luas, juga melintasi gurun pasir yang pasirnya berwarna merah kecokelatan.

“That’s red sand dune.” Jim menjelaskan “We will be going to see sunset there. But now, we’re going to white sand dune first.”

Kami serempak mengangguk. Dalam perjalanan jeep ini, saya beberapa kali berdiri pada pijakan kaki di luar mobil dengan tangan bergelantungan pada pegangan yang terpasang pada langit-langit mobil, dan membiarkan angin menerbangkan rambut maupun kumis dan jenggot yang telah tercukur rapi, untuk menikmati udara Mui Ne yang masih jarang terjamah polusi.

Jim membelokkan jeep-nya ke kanan pada sebuah perempatan, berpindah dari jalan beraspal ke jalanan yang tersusun dari pasir dan batu-batuan. Jalan tersebut sempit dan bergelombang, sehingga Jim terkadang harus menghentikan mobilnya ketika berpapasan dengan kendaraan lain. Sebuah danau indah di sisi kiri jalan, memantulkan cahaya matahari yang kian meredup, dan tepat di ujung jalan setelah danau tersebut Jim memarkir mobilnya.

“This is the white sand dune.” Ucapnya “And be careful with those boys.” Tangan Jim menunjuk ke beberapa anak kecil yang berdebu yang memegang papan seluncur seadanya yang terbuat dari bahan fiber glass.

Dari beberapa catatan yang telah saya baca sebelumnya, kita memang harus hati-hati dengan bocah-bocah yang menyewakan papan seluncur ini, karena ketika kita asyik meluncur dari puncak gurun pasir ke bawah, bisa saja si bocah ini mengambil barang-barang kita yang ditinggal di atas gurun.

“Board, mister.” Salah seorang bocah tersebut mendekati saya. “For sand surfing. Only 5 dollars.”

Saya mengacuhkannya “No.”

“4 dollars?”

Saya tetap teguh pada pendirian “No.”

“3 dollars?”

Emosi saya mulai tak stabil “Noooooo.”

“Final price, a dollar for two!”

Dan Logika saya bergejolak “OKAY AM GETTING MY WALLET FIRST!” Gertak saya sambil memberikan pandangan I-am-watching-you.


Satu jam sudah kami menikmati keindahan gurun pasir putih tersebut, dan kata siapa gurun pasir cuma bisa ditemui di Cina, Arab atau Afrika? Di Vietnam pun ada yang seperti ini. Gurun pasir dengan pasir putihnya yang luas dan berbukit agak sedikit curam, sehingga memungkinkan kami untuk bermain seluncur dengan papan yang disewa seharga satu dollar dapat dua tersebut. Sekadar informasi, di Vietnam memakai dua mata uang, yaitu Vietnam Dong dan juga US Dollar.

Awan mendung mulai menggelayut manja, ketika kami kembali ke parkiran mobil. Di situ, Jim telah siap mengantar kami ke objek terakhir hari itu yaitu gurun pasir merah, untuk menikmati matahari terbenam. Tak berapa lama, kami telah kembali lagi ke jalan yang kami lewati sebelumnya.


Ratusan orang telah memadati red sand dune, atau gurun pasir merah, ketika kami tiba di sana. Sebagian besar dari mereka adalah turis mancanegara, sementara sisanya adalah turis lokal, penjual buah-buahan, penjual mainan, dan juga penjual cilok khas Vietnam. Melihat gundukan pasir yang tinggi, kami segera berlari untuk mendakinya, guna menikmati sunset yang diperkirakan sebentar lagi akan datang. Langkah-langkah kaki yang tiap saat terhisap pasir pun tak kami pedulikan, hingga tibalah kami di puncak gurun, dan menemukan penjual durian serta cempedak.

I don’t always eat Cempedak, but when I do, I do it first in Vietnam.

Ya, keinginan melihat matahari terbenam kalah dengan keinginan mencicipi cempedak dan durian yang telah kami tebus dengan harga sekitar tiga puluh ribu rupiah untuk dua butir buah yang eksotis ini.

Beberapa saat kemudian, tibalah waktu yang ditunggu untuk menyaksikan matahari terbenam. Maka mendongaklah kami ke langit di atas, menunggu detik-detik turunnya matahari, namun yang kami dapatkan justru awan mendung yang bergulung-gulung.

Matahari telah berpulang ke Tuannya mendahului kami. RIP.

Sunset in Mui Ne

“Jim, let’s go back to the town.” Seru saya beberapa saat setelahnya, dengan mulut penuh cilok.

“Okay, so how’s the sunset?” Saya terdiam ketika Jim mulai memacu kembali jeep-nya ke arah Mui Ne. Tak ada obrolan penting petang itu, mungkin karena kami sama-sama lelah dan malas membahas masalah rumah tangga. Sepanjang perjalanan, saya kembali teringat peristiwa kemarin, saat Mister Ly dengan kejinya mencoba merampok kami, serta menggerayangi paha saya. Saya berpikir, apakah Jim sama dengan Mister Ly atau justru malah lebih keji, mengingat penampilannya yang lusuh dan nampak lebih garang. Garang asem.


Perjalanan berakhir ketika mobil berhenti di tempat kami berangkat, yaitu tepat di depan toko buah yang kami kunjungi tadi siang. Dari hasil diskusi singkat, kami akhirnya sepakat untuk memberi Jim uang tip sebesar 50.000 Dong.

“This is for you, Jim.” Ucap saya sambil menunduk, karena merasa was-was apabila Jim ternyata meminta lebih.

Dia menerima uang tersebut sambil menatap tajam mata saya “Are you sure?”

Saya deg-degan. “Yeah, sure. It’s for you.” KENAPA, KURANG YA?

“This is…” Jim menggengam uang tersabut dengan tetap memandang saya. “…Really?”

Jantung saya berdetak tak karuan. “Y..yes, why?” WADUH, SEMOGA JIM TIDAK MENGELUARKAN BENDA TUMPUL SEHABIS INI.

“WOW, THANKS!” Serunya. “YOU ARE SO KIND!”

Saya terperangah. Dari situ saya menyimpulkan bahwa pepatah “Don’t judge a book from its cover.” adalah benar adanya. Trauma akan Mister Ly yang berpenampilan necis tetapi keji, akhirnya terhapuskan oleh pesona Jim yang berpenampilan lusuh tetapi berhati mulia.

“Please come to my house, you have to see my wife.” Ucap Jim girang. “That’s my house across the street.” Jelasnya, sambil menunjuk warung buah tempat kami membeli buah tadi siang.

Saya tersenyum, mencelos, hati kecil saya berterima kasih kepada Tuhan atas pengalaman berharga yang saya dapat hari ini. Hari pertama menginjakkan kaki di Vietnam, sebelum terbang ke Hanoi esok harinya.

Ya, perjalanan masih panjang, kawan.

[Naskah asli artikel ini pernah diterbitkan pada buku The DestinASEAN: Menjelajah Kisah di 10 Negara (2013)]