Langit malam menyambut kedatangan kami di Tan Son Nhat International Airport, Ho Chi Minh, Vietnam. Di bandara terbesar Vietnam tersebut, secara dramatis pesawat kami mengalami keterlambatan selama kurang lebih satu jam dari jadwal normal. Tepat di ujung pintu keluar bandara, saya mendapati seorang Vietnam berpakaian kemeja necis –yang sepertinya basah oleh keringat, sedang tersenyum memamerkan giginya sambil membawa papan bertuliskan sebuah nama di sana.

 Mr. Arif, welcome to Vietnam. Saat itu tahun 2011, dan ini adalah kali pertama kali saya mendatangi Vietnam.

“Ah, pasti dialah si Mister Ly.” Batin saya. “Ly Dong-gook.”


Beberapa jam yang lalu, ratusan penumpang tampak gusar dikarenakan pesawat yang akan membawa mereka ke Ho Chi Minh dikabarkan mengalami delay yang cukup lama. Di antara kerumunan penumpang tersebut, tampak seorang pemuda masa kini dengan kumis dan jenggot yang telah dicukur rapi sibuk memencet tuts demi tuts pada telepon genggamnya.

“Waduh delay, gue harus segera ngabarin SASCO nih.” Gumam saya, kepada figuran 2, yang biasa dipanggil dengan Ahwan.

“Emang siapa SASCO?”

“Itu, jasa penyedia layanan travel yang punya mobil jemputan untuk kita. Kan kasihan kalau nungguin, kemarin gue booking untuk pukul 20.30, dan sekarang ternyata delay pesawatnya.” Saya menimpali Ahwan, sambil tetap berkonsentrasi menyusun e-mail pemberitahuan kepada SASCO, mengenai keterlambatan ini.

TING! Tak berapa lama, jawaban telah masuk ke telepon genggam saya. E-mail diterima!

Dalam e-mail balasan tersebut, dikabarkan kalau pihak SASCO telah menjadwalkan ulang mengenai penjemputan saya, dari yang semula akan dilakukan oleh Mister Tuan –yang saya tak tahu mengapa orang tuanya menamakan Tuan, karena akan menjadi redundansi jika diterjemahkan ke Bahasa Indonesia, Tuan Tuan (dan Puan Puan), menjadi dialihkan ke Mister Ly.

PART I – Perjumpaan dengan Mister Ly

“Mister Ly?” Saya menyapa pria di hadapan saya.

Pria itu tetap tersenyum, menurunkan papan yang dipegangnya sambil menunjuk huruf demi huruf yang tertera di sana. Saya mengangguk malu, namun tetap menyodorkan tangan untuk bersalaman. Setelah itu, dia mengajak kami untuk segera menuju mobil yang telah disiapkannya.

Saigon Car Scam

“It’s a new car, only used for one kilometer.” Ucapnya, seraya membukakan pintu untuk kami, dan bagasi untuk Ahwan barang bawaan kami. Saya memperhatikan mobil tersebut, benar-benar mobil baru, fresh from the dealer. Nissan Grand Livina, dengan interior yang masih bersih dan wangi layaknya mobil baru.

“Yes, I know it from its smell.” Jawab saya yang disambut tawa renyah Mister Ly. Saya duduk pada jok depan mobil, sementara Mister Ly ada di samping kiri saya. Iya, di Vietnam, setir mobil adanya di sebelah kiri sesuai dengan ideologi negaranya. Berlawanan dengan mobil di Indonesia pada umumnya.

Kesan pertama saya terhadap pelayanan SASCO setelah melihat mobil baru dan driver yang ramah, adalah cukup mengesankan. Waktu itu, kami terpaksa menyewa mobil untuk mengantarkan kami ke Mui Ne. Karena padatnya jadwal liburan –yaitu 5 hari untuk mengunjungi Ho Chi Minh, Mui Ne, Hanoi, dan Ha Long Bay, serta tidak adanya transportasi malam ke Mui Ne dari Ho Chi Minh pada malam hari, kami rasa SASCO adalah pilihan yang paling tepat.

Mister Ly mengatakan dalam bahasa Inggris yang terpatah-patah bahwa perjalanan ke Mui Ne akan memakan waktu kurang lebih enam jam perjalanan, saya pun menimpali sambil meminta maaf karena pesawat kami mengalami delay sehingga membuat dia menunggu. “It’s okay.” Ujarnya, sambil mengemudikan mobil supaya baik jalannya.

Di tengah perjalanan, saya iseng bertanya kepada Mister Ly “Have you ever met Indonesian people before?” tapi dia cuma diam. “Do you have family here?” dia tetap diam. “Am I handsome?” Hening. Tak ada jangkrik di dalam mobil baru itu.

Detik berikutnya, Mister Ly tersenyum ke arah saya, sebelum mengucapkan dua buah kata yang penuh arti … “It’s okay.” sahutnya. Selidik punya selidik, ternyata dia hanya menguasai Bahasa Inggris secara hapalan dengan kosakata yang terbatas, termasuk dua kata sakti yang seperti Bodrex, bisa digunakan kapan saja, yaitu “It’s Okay.”. Sepertinya, perjalanan ini akan menjadi perjalanan yang sangat panjang.

Masih dengan senyum gemasnya, Mister Ly menyalakan radio dan mulai bersenandung mengikuti irama di radio tersebut. Radio berbahasa Vietnam, yang bahkan saya tak paham satu suku kata pun dalam bahasanya. Tak ambil pusing, saya pun memutuskan untuk menutup mata (daripada sama-sama diam, layaknya pasangan yang bertengkar setelah pulang malam mingguan, karena si  pria menggoda pelayan warung indomie, yang sama-sama pria) lalu mencoba tidur seperti halnya Ahwan di jok belakang.


Setengah tidur, saya merasakan mobil melaju kencang diantara deru bus-bus malam ketika saya membuka mata, dan detik berikutnya saya menutup mata lagi karena takut. Namun dikarenakan posisi duduk yang kurang nyaman, dan AC yang terlampau dingin, saya membuka mata kembali. Saat itu, mobil sedang berjalan perlahan dengan Mister Ly yang membuka kaca jendelanya separuh.

“Bla bla bla…” Ucapnya dalam bahasa dewa kepada saya, tetap dengan cengiran khasnya. Tangannya menunjuk ke luar jendela, di mana terdapat wanita-wanita seksi berjejer sepanjang jalan yang, sepertinya, dipenuhi tempat karaoke mesum. “Bro, cewek bro. Lihat tuh cakep banget, yang dadanya ada tahi lalatnya.” Mungkin itulah yang ingin dikatakannya kepada saya, namun saya hanya memberikan wajah sealim Rhoma Irama, sebelum tertidur kembali.

Saya merasakan paha saya diraba perlahan ketika membuka mata, dan langsung kaget ketika menjumpai wajah Mister Ly di hadapan saya. Dengan bahasa isyarat, dia mengatakan bahwa kita telah sampai pada sebuah restoran dan mengajak saya turun. Saya mengikuti titahnya, dan menurut ketika dia berhenti di depan sebuah lemari pendingin yang berisi beraneka macam minuman. Dia menunjuk ke lemari tersebut, dan saya berpikir “Oh, mungkin dia haus dan minta dibelikan minuman.”.

Sekaleng Kratingdaeng diambilnya dari dalam, dan kemudian menawarkan kepada saya mau mengambil minuman apa. Saya pun mengambil sebotol besar air mineral, dan kemudian dia menunjuk ke arah wanita muda yang berdiri di dekat situ. Saya pun berpikir “Oh, mungkin dia haus akan kasih sayang dan minta menikah dengan wanita itu.”, namun dia cuma memberikan pandangan yang seolah berkata “Dia kasirnya, dan biar saya yang bayar minumannya.” sambil mengeluarkan uang dalam dompetnya. Wah, saya sangat terkesima dengan kebaikan Mister Ly saat itu. Sudah betah menunggu pesawat yang delay, menyetir mobil walaupun terlihat sedikit mengantuk, sekarang dia membelikan saya sebotol minuman yang halal.

Pada sudut restoran yang mirip kafe dangdut di kawasan Padang Bulan, Medan, dia menuliskan sesuatu di telapak tangannya. “60” tunjuknya, dan saya pun mengartikannya sebagai “Perjalanan masih sekitar 60 kilometer lagi.” Sungguh jenius saya.


Mobil sudah memasuki Mui Ne, ketika tangan nakal Mister Ly membangunkan saya kembali. Debur ombak terdengar di kejauhan, berpadu dengan gemerisik nyiur di pinggir pantai. Mister Ly memelankan mobilnya, dan saya reflek membuka jendela, mencari alamat hotel yang telah saya pesan sebelumnya melalui internet, dan meminta Mister Ly berhenti ketika tiba di alamat hotel yang dimaksud.

Tak berapa lama kemudian, Mister Ly menghentikan mobilnya di halaman depan Hoang Kim Golden Resort. “Klik.” Dia menutup seluruh kaca jendela, dan mengunci pintu mobil dengan central lock. Saat itu pukul tiga pagi, dan adzan subuh masih belum terdengar di sana.

Saya bengong, dan Ahwan yang saat itu sudah terbangun juga ikut bengong. Dengan senyum khasnya, dia berucap “Give me the payment, 100 dollars.” Wah, ternyata ada kalimat lain yang dia kuasai. Sesuai perjanjian pemesanan, saya memberikan uang sewa mobil tersebut kepadanya, dan memutuskan untuk memberikan tip karena kebaikannya tadi, sebesar 100.000 Dong –atau yang saat itu senilai 50.000 Rupiah. Dengan wajah innocent, saya memberikan uang tersebut kepadanya “This is for you, brother.”.

Mister Ly terkekeh, tetap dengan senyuman khas yang kali ini terlihat sangat licik, “Give me 10 dollars more.” Pintanya. Saat itu saya merasa kalau saya dijebak, dimanfaatkan, dan dikhianati. Setelah meraba paha saya, kenapa justru saya yang diminta membayar? Pandangannya yang buas kini menatap tubuh saya inci demi inci, dengan kondisi pintu mobil yang terkunci rapat. Saya takut ternoda, ya Allah. Tolong Baim ya Allah.

“Bangsat memang si Mister Ly ini, kakeane!” Setelah berbincang sejenak dengan Ahwan dalam Bahasa Indonesia campur Jawa, saya akhirnya pasrah memberikan tambahan 50.000 Dong lagi ke Mister Ly, daripada terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, di negeri orang.

“Aaah, this is so cheap.” Gerutunya, sambil menekan central lock untuk membuka semua pintu. Klik.

CHEAP GUNDULMU! SETELAH PERBUATAN TAK SENONOH YANG TELAH ENGKAU LAKUKAN DAN SAYA TAK SEMPAT MENIKMATINYA TADI! BANGSAT KAU MISTER LY!

Part II –  Selamat Pagi Mui Ne!

Sejuknya udara pagi yang melengkapi pemandangan hijau di belakang kamar hotel membuat kami lupa akan peristiwa kurang mengenakkan yang terjadi tadi malam. Penginapan yang kami pilih untuk menginap selama semalam, Hoang Kim Golden Resort, memang memiliki dua bangunan utama yang berseberangan jalan, satu dengan view perkebunan kelapa sawit yang bukan milik Prabowo Subianto, sementara satunya lagi dengan view pantai Mui Ne yang membentang sepanjang sepuluh kilometer.

Seusai sarapan dengan menu yang disediakan oleh penginapan, saya mulai berjalan menyusuri pantai, sesyahdu lagu Cherish yang dinyanyikan oleh Kool & The Gang. Pertanyaannya, jika saya mendengarkan Kool & The Gang, maka berapakah umur saya?

Pantai Mui Ne sendiri, adalah pantai landai dengan pasir berwarna cokelat yang dihiasi nyiur di pinggiran pantainya. Ombak yang melalui pantai tersebut tidak begitu tinggi, sehingga cocok untuk melakukan beberapa olahraga air seperti berenang, bermain selancar, hingga mencuci piring. Sepanjang pinggiran pantai, saya menemukan banyak penginapan yang juga memiliki akses ke pantai pribadinya, mulai dari penginapan tak berbintang hingga resort yang paling keren pun ada di sini.

Mui Ne Beach

Saat akan kembali ke hotel selepas jalan pagi, beberapa supir jeep datang mengepung kami. Mereka menawarkan jasa tour keliling Mui Ne selama setengah hari, dari siang hingga petang. Paket yang ditawarkan adalah mengunjungi Fairy Stream, Fishing Village, White Sand Dune, hingga Red Sand Dune. Di Mui Ne, jeep adalah alat transportasi yang paling sering ditemui, dan digunakan para turis di sana. Saya tidak melihat adanya becak, mungkin karena sudah dilarang beroperasi oleh gubernur sebelumnya.

“C’mon mister, only 20 Dollars for half day tour.” Ucap seorang pria yang sedari tadi mengikuti kami. Nada suaranya ramah, walaupun tampangnya memelas. Dengan sedikit belas kasihan tanpa mempedulikan kejadian semalam, kami pun menyetujui untuk menggunakan jasanya. “That’s my car. Over there.” Tambahnya.

“Okay, we will come back later after check out and lunch.” Namun, kami malah mampir ke toko buah untuk membeli rambutan dan beberapa buah-buahan tropis yang dijual dengan harga cukup murah di sini.

Mui Ne

Selepas makan siang dan check-out, barulah kami kembali ke tempat tadi, dan menemukan si pria tadi berdiri di samping mobilnya. “So, we’re going now, Mister?”

“Yes sure.” Jawabnya. “But firstly, let me introduce your driver.”

“What? What do you mean?” Ingin rasanya menampar pria tadi dengan backpack berat yang saya bawa dalam perjalanan tersebut, namun saya masih teringat sila kedua Pancasila. “So you are not our driver?”

“Umm, yes.” Detik berikutnya, seorang pria kurus yang bertampang lebih memelas muncul dari balik punggungnya. “He’s your driver. You can call him … Jim.” 

Perasaan saya langsung tak enak.

[Naskah asli artikel ini pernah diterbitkan pada buku The DestinASEAN: Menjelajah Kisah di 10 Negara (2013)]

To Be Continued…