Perjalanan panjang ini sebenarnya sudah dimulai beberapa tahun silam, tepatnya pada bulan Oktober 2012, namun waktu itu saya belum menyadari bahwa wanita yang saya temui kala itu akan menjadi istri saya saat ini. Memang rencana Tuhan sungguh tak terduga, karena siapa sangka dari proyek menulis buku cinta-cintaan berjudul Rasa Cinta, saya malah mendapatkan cinta, ya walaupun tidak seketika.

Dari pertemuan pertama ketika acara launching buku, saya tidak langsung berpacaran dengan Gladies (selanjutnya akan disebut sebagai Neng), gadis yang saat itu belum menimbulkan getaran di hati. Kami masih harus menjalani hidup masing-masing (saya berpacaran dan patah hati beberapa kali lagi, sementara Neng patah hati berbulan-bulan dan menemukan resep brownies fenomenalnya) sebelum akhirnya bertemu lagi pada penghujung 2014 (baca ceritanya di sini).

Launching Rasa Cinta

Our first meet, biasa saja, gak bikin dag dig dug.

Orang yang tepat, datang di waktu yang tepat. Mungkin itu adalah istilah yang pas digunakan untuk pertemuan ketiga kami. Saya yang baru saja patah hati akibat putus cinta, bertemu dengan Neng yang sudah matang dan sedang ranum-ranumnya.

“Wah, sudah siap petik nih.” Batin saya. Berikutnya, perjalanan panjang pun dimulai.

Catatan: Artikel ini akan sangat panjang, apabila tidak kuat membaca segera lambaikan tangan ke kamera.

Perjalanan Memastikan Bahwa She is The One

Sebelum bertemu dengan Neng, saya selalu berdoa untuk dipertemukan dengan seorang wanita yang mandiri, baik, sabar, penurut, juga hormat kepada pasangannya. Beruntungnya, Tuhan menjawab doa-doa anak saleh tersebut dengan menghadirkan Neng kepada saya.

Tak butuh waktu lama bagi saya untuk meyakini bahwa dialah yang saya cari, dan singkat cerita, akhirnya kami pun berpacaran, setelah Neng terjerumus sepikan-sepikan saya.

Si Eneng

Katanya, banyak cewek cakep di angkot Bandung.

Pada awal berpacaran, Neng menantang saya untuk datang ke Bandung dan bertemu dengan kedua orang tuanya, hal yang langsung saya sanggupi karena saya sudah pengalaman dengan hal-hal semacam ini.

Mencintai seseorang, berarti pula mencintai orang tua dan seluruh keluarganya.

Sedihnya, pada awal kedatangan ke Bandung, saya tidak langsung diperkenalkan Neng sebagai pacarnya, namun hanya sebagai ‘Teman Tapi Dekat’. Hiks. Barulah pada kunjungan berikutnya, saya mengajak kedua orang tuanya untuk makan malam dengan tujuan untuk menyatakan keseriusan saya.

Ayah Neng (berikutnya disebut Daddy), adalah seorang pria gagah tinggi besar dengan kumisnya yang tebal, sementara Ibunya (berikutnya disebut Mamam) adalah seorang wanita dengan raut muka yang tegas dan pandangan yang tajam. Kombinasi yang membuat saya ingin segera pipis di celana malam itu, dan masih ditambah pula dengan jaket kulit asli Garut yang dikenakan Daddy, yang membuatnya semakin sangar.

Malam itu, saking groginya, saya tidak sempat menyatakan maksud saya kepada Mamam dan Daddy. Semua kata-kata seperti menyangkut di tenggorokan.

Daddy

Awas kalau macam-macam sama anak saya.

Barulah pada hari berikutnya, tepat di saat saya akan kembali ke Jakarta, Neng mendesak saya untuk mengutarakan maksud kedatangan saya ke Bandung. Setelah mengecek situasi bahwa semua akan baik-baik saja, saya memberanikan diri untuk berbicara dengan baik dan benar.

“Om dan Tante, anu, saya berniat serius dengan Gladies.” Sebuah kalimat yang dibalas dengan tatapan tajam dari Mamam dan Daddy.

Malam itu, saya ketinggalan jadwal travel tujuan Bandung – Jakarta, namun saya tersenyum dalam hati, setelah mendapat jawaban yang saya nanti-nanti.

Perjalanan Menyatukan Keluarga

Setelah mendapat kata setuju, berikutnya adalah membicarakan tentang pernikahan. Pada awalnya, kami memang berencana menikah tahun lalu, namun setelah dipertimbangkan bahwa masih banyak yang belum disiapkan, dan ada yang masih perlu disesuaikan, rencana tersebut mundur hingga tahun depan.

Tidak ada acara lamar-melamar romantis seperti ABG zaman sekarang (yang tiba-tiba mengajak pasangannya makan malam bersama lilin, dan mengeluarkan sekotak cincin dari dalam sakunya) dalam perjalanan cinta saya dan Neng, karena selain belum ada modal membeli cincin, bagi saya yang terpenting adalah menyatukan dua keluarga, bukan hanya dua insan. Percuma kan apabila lamaran diterima, tapi orang tua tidak setuju.

Untuk itulah, saya mengajak keluarga inti saya untuk mendatangi kediaman keluarga inti Neng pada Bulan November 2015 untuk silaturahmi, sekaligus membahas mengenai acara pernikahan, apabila Mamam dan Daddy sudah ikhlas menikahkan Neng dengan saya.

Dengan bermodal mobil sewaan, hari itu saya menyetir seorang diri dari Jakarta ke Bandung, menyusul Mama, bersama keluarga dan saudara yang telah lebih dahulu berkumpul di Bandung. Alhamdulillah, jalanan macet hari itu, dan acara mundur beberapa jam karena saya terlambat datang.

Pertemuan Keluarga

Akhirnya, sebuah keputusan penting diambil pada hari itu, yaitu tanggal pernikahan saya dan Neng, yang diputuskan jatuh pada tanggal 14 Februari 2016, tepat di hari ulang tahun saya.

Sebagai orang yang susah mengingat tanggal (saya tipe orang yang sering lupa nama, tapi ingat rasa), saya bahagia, karena tak harus mengingat tanggal lain lagi. Namun karena tanggal tersebut tinggal 3 bulan lagi, maka mau tak mau  kami harus ngebut menyiapkan semuanya.

Perjalanan Mengurus Dokumen Pernikahan

Langkah pertama, adalah menyiapkan dokumen pernikahan supaya pernikahan kami sah secara negara. Karena di Indonesia, percuma apabila pernikahan sudah sah secara agama namun tidak diakui oleh negara. Bagi seorang pria yang ingin melangsungkan pernikahan di luar wilayah yang tertera pada Kartu Tanda Penduduk-nya, mungkin prosedurnya agak sedikit panjang sama seperti yang saya alami, karena diperlukan yang namanya Surat Numpang Nikah dari Kantor Urusan Agama (KUA) Domisili.

Adapun proses tersebut membutuhkan beberapa tahapan seperti di bawah ini.

1. Mengurus Surat Pengantar dari RT

Dimulai dengan mengurus surat pengantar dari RT setempat, saya yang nebeng alamat KTP dengan keluarga Om, meminta bantuan Tante untuk mengantarkan saya ke tempat Ibu RT. Sebelumnya, Tante saya sudah menyiapkan beberapa dokumen (yang didapatnya dari Ibu RT) untuk diisi dan ditandatangani di atas meterai. Dokumen tersebut berupa surat N1, N2, N4, dan surat keterangan belum menikah (berikutnya akan saya sebut sebagai dokumen pernikahan, karena saya tidak paham apa maksud N1, N2, N4 tersebut).

Begitu sampai di tempat Ibu RT pada malam itu, saya langsung ditanya akan melangsungkan pernikahan di KUA mana. Saya yang belum tahu, langsung menelepon Neng untuk menanyakan di daerah manakah KUA yang dimaksud. Setelah mendapat jawaban, Ibu RT langsung membuat surat pengantar numpang nikah yang ditujukan ke KUA tersebut.

Malam itu, kami (saya dan Ibu RT, bukan saya dan Tante) berpisah setelah saya menyelipkan selembar biru ke tangan Ibu RT, sesuai petunjuk Tante saya.

2. Meminta Tanda Tangan dan Cap dari RW

Masih di malam yang sama, saya bersama Tante langsung menuju rumah Pak RW untuk meminta tanda tangan dan cap RW pada surat yang dibuat oleh Ibu RT. Setelah dipersilakan menunggu sejenak karena Pak RW sedang ke masjid, akhirnya kami mendapatkan tanda tangan dan cap yang dimaksud.

“Apa ada biayanya, Pak?” Tanya saya ke Pak RW.

“Oh, paling-paling untuk biaya keamanan saja, Dik.” Jawab Pak RW, yang saya tindaklanjuti dengan menyelipkan selembar biru lagi ke tangan Pak RW.

3. Mengajukan Permohonan Dokumen Pernikahan ke Kelurahan

Esok paginya, setelah mendapat izin dari bos di kantor, saya bergegas ke Kantor Kelurahan tempat saya terdaftar sebagai penduduk, untuk mengurus dokumen pernikahan, atau tepatnya dokumen pernikahan yang saya dapat dari RT-RW akan ditukar dengan dokumen resmi kelurahan. Lampirannya adalah fotokopi KTP dan KK yang saya miliki.

Setelah mengantre, dokumen permohonan saya sempat ditolak karena tanpa disadari ada dokumen saya yang menggunakan materai edisi lama, namun akhirnya dokumen tersebut diproses setelah saya mengganti materainya.

“Kira-kira berapa lama, Mbak?” Tanya saya ke petugas kelurahan.

“Harusnya sih bisa ditunggu, tapi saat ini Pak Lurah sedang dinas luar kota.” Jelasnya. “Jadi baru bisa diambil minggu depan.”

Minggu depannya, pada waktu yang dijanjikan, saya datang kembali ke Kantor Kelurahan, untuk mengambil dokumen pernikahan, kali ini petugasnya laki-laki. Setelah mengecek kelengkapan dokumen dan akan berpamitan, saya sempat menanyakan apakah ada biaya untuk mengurus dokumen ini.

“Oh, tidak ada Mas. Biayanya gratis.”

Alhamdulillah, terima kasih Koh Ahok.

4. Meminta Stempel Kecamatan

Pada hari yang sama, saya langsung menuju ke Kantor Kecamatan untuk meminta pengesahan atas dokumen yang saya dapatkan dari kelurahan. Kedatangan saya di ruang pelayanan terpadu satu pintu, disambut oleh seorang petugas pria.

“Keperluannya apa, Mas?”

“Ini mau urus dokumen-dokumen pernikahan.” Jawab saya sambil menyerahkan dokumen yang saya bawa.

“Oh ini, minta tanda tangan Pak Camat dulu ya di lantai 2, baru ke sini lagi untuk meminta stempel.” Jawabnya.

Kantor Kecamatan

Di lantai 2 Kantor Kecamatan, saya meminta tanda tangan Pak Camat yang hari itu kebetulan sedang berada di kantor. Sebelum berpamitan, Pak Camat menawarkan saya untuk beramal melalui buku kecil yang berisi kupon amal jariyah dari BAZIS. Saya pun mengangguk.

“Mau berapa kupon? Selembarnya sepuluh ribu.” Tanyanya, yang saya jawab dengan memberikan isyarat tangan. Wah, kok mirip sumbangan PMI di bioskop 21.

Setelahnya, saya langsung menuju ke lantai 1 lagi, guna meminta stempel kecamatan supaya sah suratnya. Pelayanan di loket tersebut, Alhamdulillah tidak dipungut biaya. Terima kasih lagi Koh Ahok.

5. Mengurus Surat Pengantar ‘Numpang Nikah’ dari KUA Setempat

Perjalanan saya hari itu belum berakhir, karena saya masih harus menuju KUA setempat untuk mengurus surat terpenting, yaitu surat rekomendasi numpang nikah dari KUA. Dokumen yang saya bawa kini semakin lengkap ditambah dengan pas foto dan ijazah terakhir yang saya miliki.

Dengan bermodal GPS di handphone, saya mencari-cari di manakah letak KUA yang dimaksud, karena letaknya yang tidak pada jalan utama Jakarta. Sambil mengendarai sepeda motor, saya sesekali mengecek ke arah handphone memastikan bahwa saya tidak nyasar. Sebuah situasi yang membuat saya lebih mirip Driver Gojek daripada seorang CPP (Calon Pengantin Pria).

Setelah menemukan lokasi yang dimaksud, saya langsung mengurus surat tersebut di sudut ruangan lewat seorang ibu-ibu berhijab. Sang ibu sempat menanyakan asal-usul saya, termasuk sejarah pendidikan saya, sebelum memproses dokumen yang dimaksud.

“Coba dicek dulu suratnya.” Ujar sang ibu, kepada saya yang langsung mengecek surat yang baru saja diketik olehnya.

“Sudah cocok Bu.” Jawab saya, “Apakah ada biayanya?”

“Kalau itu, seikhlasnya Mas saja. Hehehe.” Sebuah kalimat yang langsung saya tindak lanjuti dengan menyelipkan dua lembar merah ke jemari sang ibu.

“Terima kasih, Bu.”

6. Melakukan Pendaftaran Pernikahan di KUA yang Dituju

Tahapan terakhir dari mengurus dokumen pernikahan adalah menyerahkan dokumen tersebut ke KUA yang dituju, sekaligus mendaftarkan pernikahan dan mendapat bimbingan pernikahan di sana.

Pada suatu pagi yang cerah, kali ini dengan mobil pinjaman, saya menyetir ke Bandung bersama Mama dan Neng, yang kebetulan sedang berada di Jakarta. Yang patut diingat adalah kondisi jalan menuju Bandung yang sungguh tak dapat diprediksi. Walaupun kami berangkat pada hari kerja, namun ternyata macet tetap dijumpai sepanjang jalan tol, yang mengakibatkan perjalanan Jakarta-Bandung menjadi sekitar 5 jam saja.

Sesampainya di KUA, ternyata petugas bersangkutan sedang istirahat salat duhur dan makan siang, dan kami diminta untuk mengisi beberapa dokumen yang diperlukan sambil menunggu waktu istirahat berakhir. Setelahnya, saya dan Neng digiring ke sebuah ruangan bersama seorang bapak berbatu akik untuk mendapat bimbingan pernikahan dengan cara Islam.

Secara garis besar, bapak berbatu akik tersebut menjelaskan beberapa hal, yaitu:

  • Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974
  • Hukum Munakahat, yang saya tak tahu hukum apakah itu.
  • Pembinaan keluarga sakinah
  • Pendidikan agama dalam keluarga
  • Kesejahteraan keluarga

Sesekali, si bapak berbatu akik membicarakan kata-kata dan kalimat dalam bahasa Arab, yang saya aminkan dalam hati. Semoga artinya baik. Terkadang, si bapak juga berkata dalam bahasa Sunda, yang saya iyakan saja. Semoga tidak sedang membicarakan saya.

Sekadar informasi, biaya pendaftaran pernikahan di KUA ini adalah sebesar Rp600.000,- di luar tips pembimbing pernikahan. Sebenarnya nikah itu murah kan? Hanya butuh enam ratus ribu. Namun gengsinya yang mahal.

Sore itu, saya menghabiskan waktu enam jam di jalanan menyetir dari Bandung kembali ke Jakarta karena macet yang lebih parah daripada saat berangkat.

Sial, sepertinya perjalanan ini masih akan sangat panjang.

Bersambung…