“Tapi cowok sejati kan gak pakai matic!” Kata hati saya mengatakan. “Ah, tapi kan sekarang zamannya emansipasi pria!” Bantah pikiran saya. Setelah dua detik adu argumen, akhirnya dia pun mengalah, dan membiarkan saya memilih untuk  menyewa motor matic dengan mengesampingkan motor pria maupun motor bebek.

Okay, here’s your key.” Ucap sang resepsionis setelah kami memutuskan untuk memilih motor matic. “And that’s the motorbike.” Tunjuknya ke halaman guesthouse kecil kami di sudut Chiang Mai, Thailand.

Do you have the map?” Dia bertanya, yang hanya saya jawab dengan anggukan. “Good, so enjoy Chiang Mai! But wait …”

What is it?”

“Don’t forget to bring the raincoat, now is monsoon season, rain can come anytime.”

Dan saya pun membuka tas untuk memastikan jas hujan telah terbawa di dalamnya. Pengalaman basah di Phuket telah membuat saya dan Ahwan lebih berhati-hati menghadapi musim hujan. Salah satunya adalah dengan membawa jas hujan. Setelah semuanya siap, dimulailah perjalanan kami yang diawali dengan melihat panda di Chiang Mai.

DSCN5766

Please meet Ahwan, girls!

Chiang Mai, –pada saat saya ke sana bulan September 2011 dan belum terdapat Starbucks di sana– adalah satu-satunya lokasi di Asia Tenggara yang mempunyai koleksi panda di kebun binatangnya. Dan alasan inilah yang membuat kami sepakat mendatangi Chiang Mai Zoo, demi melihat panda. Panda asli, bukan panda lokal.

Hujan rintik-rintik, menemani perjalanan macho kami dengan motor matic. “Tak apalah, demi panda.” Pikir saya. Setelah sebelumnya mencari makan pagi dan sempat mampir ke stasiun Chiang Mai untuk membeli tiket kereta ke Bangkok –destinasi kami berikutnya–, sampailah kami di kebun binatang dengan kondisi tubuh nyemek.

Sehabis memarkir motor di tempat yang telah disediakan, saya menuju ke loket tempat penjualan tiket masuk, bersama dengan sekelompok anak-anak kecil rombongan study tour dari sekolahnya. Di situ tertulis, harga tiket masuk untuk pengunjung non Thailand adalah 100 Baht, sementara untuk warga negara Thailand, harganya hanya 50 Baht.

“Sudah kamu pura-pura jadi orang Thailand saja.” Kata Ahwan.

“Hah?” Saya melongo. “Bagaimana caranya?”

Tanpa sempat berpikir panjang, tiba-tiba antrian di depan saya sudah menyusut dan hanya ada saya dan petugas loket, terpisahkan oleh etalase. Saya sedikit menyipitkan mata, membentuk huruf V dengan jari tangan kanan tanpa mengucapkan sedikit kata pun, dan menyerahkan uang 500 Baht.

Petugas tersebut memberikan dua tiket kepada saya, beserta kembalian sebesar 400 Baht! Tak disangka, penyamaran saya berhasil. Dan tanpa ragu, saya mengucapkan “khwap khun khrap!” (salah satu ucapan dalam bahasa Thailand yang saya kuasai, selain “sawasdee khrap” dan Kiatisuk Senamuang.) yang berarti terima kasih dalam Bahasa Thailand.

DSCN5787

Welcome to Chiang Mai Zoo

Memasuki kebun binatang, saya seperti merasakan atmosfer yang sama seperti berada di Ragunan. Hanya bedanya, kebun binatang di sini lebih bersih, lebih lapang, dan lebih asri sehingga mampu memberikan suasana yang nyaman bagi para pengunjungnya.

Koleksi binatang di sini pun cukup lengkap, beragam, juga memiliki koleksi-koleksi fauna langka seperti koala, flamingo, unta, burung unta (namanya memang burung unta, bukan burungnya unta. -red), badak India (dan merupakan satu-satunya tempat yang memiliki koleksi Badak India di Thailand), hingga panda asli yang fenomenal. Sekadar informasi, perbedaan panda asli dengan panda lokal adalah warna puting susunya, di mana panda lokal memiliki puting yang berwarna cokelat.

DSCN5843

Pandas Around The World

Untuk melihat panda, pengunjung diharuskan membayar tiket untuk masuk ke dalam ruangannya. Harga tiketnya sama seperti harga tiket masuk kebun binatang, yaitu 100 Baht untuk turis, dan 50 Baht untuk warga Thailand. Kali ini saya mencoba keberuntungan ketika menyamar untuk kedua kalinya, dan hasilnya adalah … gagal. Nampaknya Dewi Fortuna dan Dewi Sri belum berpihak lagi kepada kami, sehingga kami harus merelakan uang 200 Baht masuk Pendapatan Asli Daerah Chiang Mai.

DSCN5841

Panda Asli & (Penggemar) Panda Lokal

Di dalam ruangan panda, kita akan disambut sebuah kubah kaca seluas lapangan tenis, di mana terdapat seekor panda di dalamnya. Panda tersebut bernama Lin Bing. Saat kami ke sana, Lin Bing sedang diberi makan oleh petugas. Melihatnya mengunyah daun bambu dengan imutnya, sungguh membuat saya gemas. Andai saja panda bisa dipelihara di rumah layaknya kucing, saya pasti sudah membungkus satu untuk oleh-oleh Mama di rumah.

Di ruangan berikutnya, terdapat dua halaman luas, tanpa dilapisi kaca, dan masing-masingnya terdapat seekor panda di dalamnya. Yang satu bernama Chuang Chuang (jantan) dan satunya bernama Lin Hui (betina). Mereka adalah dua maskot kebanggaan Chiang Mai. Setelah membaca sekilas, saya mengetahui bahwa Lin Bing tersebut merupakan anak semata wayang dari pasangan Chuang Chuang dan Lin Hui, yang lahir pada tanggal 27 Mei 2009. Panda betina ini merupakan satu-satunya panda yang lahir di Thailand. Perempuan, single, imut, vegetarian, anak tunggal, ada yang berminat?

OLYMPUS DIGITAL CAMERA

Chuang Chuang, eh, apa Lin Hui ya?

Puas menyaksikan panda (untuk pertama kalinya), kami bergegas menuju ke destinasi berikutnya di Chiang Mai, yaitu Wat Phra That Doi Suthep dan PhuPhing Palace. Dua lokasi ini terletak pada jalur yang sama dengan Chiang Mai Zoo, sehingga kami tidak perlu khawatir akan tersesat. Cukup ikuti tanjakan ke arah gunung Suthep –dan jalan berliku– maka kamu akan sampai. Apabila capai, kamu bisa beristirahat di beberapa spot yang terdapat sepanjang jalan. Seperti misalnya spot 7/11 ini.

Suthep-20110913-00588

It was 2011, guys. Please forgive me.

Phuphing Palace, yang merupakan lokasi peristirahatan raja dan ratu Thailand apabila sedang berada di wilayah Thailand Utara, merupakan tujuan awal kami. Tak mudah untuk mencapainya, karena letaknya yang cukup jauh dengan kondisi jalur berkelok yang menanjak ditambah dengan jalanan yang basah dan licin terkena hujan. Tak jarang saya menyeka air hujan yang menetes di mata, ketika mengendarai sepeda motor. Ketika kami tiba di lokasi, dan telah membeli tiket masuk, hujan turun dengan derasnya.

Kami keluar dari tempat berteduh, yaitu loket pembelian tiket, ketika hujan berhenti dan bergegas masuk ke Phuphing Palace sebelum hujan turun lagi.

DSCN5923

Garden at Phuphing Palace

Phuphing Palace, merupakan sebuah palace –yang digunakan royal family untuk beristirahat– yang dilengkapi taman-taman tematik, kolam, juga hutan serta kebun. Cuaca dingin membuat saya ingin memeluk seseorang, namun sayang cuma ada Ahwan di sana. Dengan keindahannya, saya maklum apabila tempat ini sering muncul di Instagram Ratu Thailand, apabila dia mempunyai sebuah akun Instagram. Oh iya, selain untuk beristirahat, tempat yang sering dipenuhi kabut ini juga cocok untuk…

DSCN5943

…galau.

Setelah diusir-usir penjaga karena tempat ini mau tutup, kami menuruni gunung Suthep kembali dengan sepeda motor dan langsung menuju Wat Phra That Doi Suthep, yang merupakan kuil tertinggi dan legendaris di Chiang Mai. Sebenarnya ada dua cara untuk menuju puncak kuil ini, yaitu menggunakan tram (yang mirip dengan cable car) dan membayar biaya 30 Baht sekali jalan, atau menaiki 309 anak tangganya secara manual, gratis hingga loket di pintu masuk. Tentu saja sebagai orang kaya, saya memilih cara nomor dua.

Dua buah naga menyambut saya di bawah tangga, sementara hujan yang kembali turun memaksa saya menaiki satu persatu anak tangganya dengan mengenakan jas hujan. Sungguh unyu sekali.

DSCN5956

Me, inside the green raincoat.

Sejarah kuil yang menurut cerita ditemukan pada tahun 1383 ini memang menarik. Ada sebuah legenda tentang seekor gajah putih yang dahulu bertugas menjaga pusaka persembahan dari Sumanathera (seorang biksu yang berasal dari Sukkhotai), yang kemudian diserahkan ke Nu Naone, raja dari kerajaan Lanna. Ketika itu, sang gajah mendaki ke gunung Suthep dan berteriak –atau bisa disebut melenguh, atau merintih, whatever you name it— sebanyak tiga kali sebelum akhirnya meninggal di tempat. Oleh sang raja, tempat meninggalnya si gajah putih ini dibangun sebuah kuil yang kemudian dikenal orang dengan nama Wat Phra That Doi Suthep.

Selain pagoda emasnya yang menjulang tinggi, di kuil ini juga dikenal sebagai tempat pacaran ABG setempat untuk memandangi Chiang Mai dari ketinggian 1.650 meter di atas permukaan laut. Sayang ketika saya ke sana, cuaca sedang tidak bersahabat dan langit pun sangat kelabu (sorry guys, am not gonna continue it with …seperti hatiku. I’m to manly to do that.). Oh iya, di sana saya menemukan satu patung Buddha yang sangat menarik, yaitu patung Buddha hijau yang terbuat dari giok dan dilapisi perhiasan keemasan yang menawan, seperti hatiku.

Kunjungan kami berakhir ketika langit mulai gelap, pertanda malam akan tiba. Dengan masih mengenakan jas hujan karena hujan semakin lebat, kami menuruni gunung Suthep dengan (sepeda motor dan) hati-hati dan tiba di Chiang Mai pada pukul tujuh malam.

Ah sial! Belum salat Maghrib.